Bingkai Hukum Terorisme
A
A
A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
SEPEKAN penuh teror mungkin adalah ungkapan yang paling realistis untuk mendeskripsikan ulah terorisme di negeri ini. Pemerintah dan aparatur penegak hukum seakan-akan dibuat tak berdaya. Peristiwa bermula dari kerusuhan yang dilakukan narapidana terorisme di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, yang mengakibatkan gugurnya 5 personel polisi. Puncaknya, Minggu, 13 Mei 2018, terjadi serangan bom yang mematikan di tiga gereja di Surabaya. Jumlah korban mencapai puluhan orang, baik yang terluka maupun meninggal dunia. Berselang beberapa hari teroris kembali menyerang Mapolda Riau dan menewaskan seorang anggota polisi, sedangkan empat pelaku penyerangan tewas.
Selepas peristiwa ini, kita kemudian bertanya-tanya dalam hati, mengapa teroris masih saja dengan mudah bergerak dan mampu memorak-porandakan keamanan negara dalam sekejap? Bukankah negeri ini punya Badan Intelijen Negara (BIN), Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pengetahuan, keterampilan, dan peralatannya diyakini masih mampu menangkal sejumlah aksi teror? Belum lagi kita memiliki ribuan personel polisi. Lalu bagaimanakah potret hukum atas aksi terorisme tersebut?
Masalah Definisi
Isu krusial yang ikut mengemuka bertalian dengan aksi terorisme adalah tentang nasib revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tak jelas juntrungannya. Pihak pemerintah meyakini bahwa revisi peraturan itu telah memasuki babak akhir. Namun pendapat berbeda justru datang dari parlemen (DPR) yang masih mempersoalkan definisi terorisme. Inilah pangkal masalahnya sehingga revisi masih terkatung-katung.
Claire de Than & Edwin Shorts (2003) menyatakan there is by no means one consistent and enforced of terrorism or of terroris act. Pandangan ini cenderung menunjukkan bahwa memang tidak mudah untuk mendefiniskan terorisme atau tindakan teroris secara konsisten. Ada banyak variabel dan motif yang bertalian dengan aksi teror seperti motif politik, ekonomi hingga ideologi.
Maka memandang terorisme tentunya tidak boleh dibatasi dalam satu motif atau definisi tertentu. Salah satu definisi yang menarik, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2008), terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik.
Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Sanford H Kadish (1983) yang menyebut terorisme sebagai the threat or use of violence for political purposes by individual or groups, whether acting for, or in opposition to established governmental authority .
Baik dalam KBBI maupun pendapat yang dikemukakan Kadish jelas ada kesamaan bahwa dikatakan sebagai terorisme jika tindakannya yang menggunakan kekerasan kemudian menimbulkan ketakutan yang didasari oleh tujuan politik. Dengan demikian, motivasi politik menjadi poin penting yang tak terpisahkan ketika berbicara tentang terorisme dalam konteks ini.
Bertalian dengan itu, saya berpandangan bahwa memasukkan motif politik dalam definisi terorisme tentu harus dilakukan ekstra-hati-hati. Pertama, ini seakan-akan menyamakan terorisme dengan kejahatan politik (political crime). Padahal bisa saja antara keduanya berbeda satu sama lain. Kedua, potensi penyalahgunaannya sangatlah besar sebab hingga kini belum ada definisi yang baku mengenai kejahatan politik yang dirumuskan dalam peraturan. Ketiga, belum ada pula parameter mengenai kapan suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan poltik. Keempat, kejahatan politik itu sendiri masih dibagi dalam 3 bagian lagi: political offender, pseudo political offender dan political refugee .
Meskipun demikian dalam beberapa literatur yang lain, definisi terorisme tidak mutatis mutandis bertalian dengan motif politik. Dalam Article 1 (2) of the failed 1937, League of Nations Convention for The Prevention and Punishmentof Terrorism, misalnya terorisme disebut sebagai criminal acts directed against a state and intended or calculated to create a state of terror in the mind of particular persons or group or the general public. Definisi ini menempatkan terorisme sebagai kejahatan yang diarahkan kepada negara yang ditujukan sebagai teror, dalam benak seseorang, kelompok atau masyarakat umum.
Dengan demikian mengulas definisi terorisme tentu sangatlah luas cakupannya. Pada satu sisi para ahli menggunakan motif politik sebagai salah satu elemen ketika berbicara tentang terorisme tetapi di sisi yang lain, keberadaan motif politik dalam terorisme menjadi tidak penting, sepanjang tindakan teror itu menimbulkan kepanikan, ketakutan dan kerusakan baik kepada individu, kelompok maupun kepentingan umum.
Saya berpandangan bahwa sebaiknya kita tidak perlu membatasi definisi terorisme secara sempit dan spesifik melainkan hanya perlu dirumuskan elemen-elemen dari perbuatan pidananya. Artinya bahwa pembentuk undang-undang hanya perlu merumuskan secara jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) elemen actus reus maupun mens rea pelaku. Ketika elemen-elemen tersebut terpenuhi maka pada saat itulah seseorang disebut sebagai teroris.
Melalui konsep yang demikian, yang akan tampak di permukaan adalah bentuk-bentuk tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai terorisme. Sebagai pembanding, kita bisa lihat UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang hanya menyebutkan 30 perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi. Adapun definisi korupsi tidak disebutkan sama sekali.
Tanpa disadari, konsep itu justru sangat menguntungkan, sebab kita tidak perlu terjebak dengan definisi korupsi, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana merumuskan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai korupsi. Harapan saya terorisme pun mesti mengambil konsep yang sama. Tidak membuat definisi yang baku, sebab hal itu justru berpotensi mendistorsi pemberantasan terorisme itu sendiri tetapi hanya perlu merumuskan perbuatan jahatnya (dolus malus).
Kejahatan Transnasional
Istilah kejahatan transnasional tidaklah dapat dilepaskan dari seorang guru besar hukum internasional di Yale University bernama Philip C Jessup (1956). Kala itu ia berusaha memformulasi suatu istilah yang secara substantif mengenai tindakan atau peristiwa yang melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Ia menggunakan istilah transnational law atau hukum transnasional. Istilah Jessup ini kemudian dikembangkan oleh Neil Boister (2012) yang menghubungkannya dengan kejahatan yang sifatnya lintas batas negara dengan sebutan transnational crime atau kejahatan transnasional.
Ada 4 kriteria transnational crime menurut Boister: pertama, perbuatan dilakukan pada lebih dari satu negara. Kedua, perbuatan dilakukan di satu negara tetapi substansinya disiapkan, direncanakan dan diawasi di negara lain. Ketiga, kejahatan dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal terorganisasi yang berasal lebih dari satu negara. Keempat, kejahatan dilakukan di satu negara tetapi memberi dampak di negara lain.
Terorisme di Indonesia jelas memenuhi kriteria tersebut. Teroris berafiliasi dengan kelompok terorganisasi seperti ISIS di Suriah. Sehingga setiap tindakan teror, mulai dari persiapan, perencanaan, pendanaan sampai pengawasannya dilakukan oleh ISIS sendiri. Belum lagi para pelaku berasal dari berbagai negara yang kemudian berbaiat dengan ISIS.
HAM vs Pelibatan TNI
Isu yang ikut menggelinding dalam revisi UU anti terorisme adalah mengenai upaya pelibatan TNI. Hal ini didasari oleh fakta bahwa selama ini TNI tidak pernah dilibatkan dalam melacak, mengejar dan menangkap teroris, padahal kenyatannya ini mengancam keamanan negara. Benarkah demikian?
Saya berpandangan bahwa pelibatan TNI pada dasarnya tetap dibutuhkan tetapi legalitasnya haruslah dibuat sejak awal dan diperjelas parameternya. Perlu disadari bahwa dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI diposisikan sebagai pengawal pertahanan negara (striking force). Dengan demikian, pelibatan TNI untuk memberantas terorisme harus memperhatikan rumusan dalam peraturan a quo. Contoh sederhana misalnya, tugas menyelidiki dan menyidik perkara terorisme tidak dapat dilaksanakan oleh TNI. Sebab hal ini menjadi kewenangan Densus 88, BNPT, dan kepolisian secara umum.
Namun dalam kondisi tertentu ketika serangan terorisme baik dari dalam maupun luar telah mengancam kedaulatan dan pertahanan negara, hal itu sudah dapat melibatkan TNI. Tapi untuk menghindari penyalah-gunaan wewenang sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sekali lagi pengaturannya harus memenuhi prinsip: lex scripta (tertulis), lex certa (jelas), lex stricta (tidak multitafsir) dan lex praevia (tidak berlaku surut).
Melalui pengaturan yang demikian, proses hukum terhadap pelaku teror akan mengedepankan perlindungan HAM sebagai ciri dari negara hukum modern (recht staat ). Selain itu, penyakit masa lalu berupa tindakan otoritarianisme zaman Orde Baru yang mengandalkan TNI, tidak lagi terjadi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
SEPEKAN penuh teror mungkin adalah ungkapan yang paling realistis untuk mendeskripsikan ulah terorisme di negeri ini. Pemerintah dan aparatur penegak hukum seakan-akan dibuat tak berdaya. Peristiwa bermula dari kerusuhan yang dilakukan narapidana terorisme di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, yang mengakibatkan gugurnya 5 personel polisi. Puncaknya, Minggu, 13 Mei 2018, terjadi serangan bom yang mematikan di tiga gereja di Surabaya. Jumlah korban mencapai puluhan orang, baik yang terluka maupun meninggal dunia. Berselang beberapa hari teroris kembali menyerang Mapolda Riau dan menewaskan seorang anggota polisi, sedangkan empat pelaku penyerangan tewas.
Selepas peristiwa ini, kita kemudian bertanya-tanya dalam hati, mengapa teroris masih saja dengan mudah bergerak dan mampu memorak-porandakan keamanan negara dalam sekejap? Bukankah negeri ini punya Badan Intelijen Negara (BIN), Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pengetahuan, keterampilan, dan peralatannya diyakini masih mampu menangkal sejumlah aksi teror? Belum lagi kita memiliki ribuan personel polisi. Lalu bagaimanakah potret hukum atas aksi terorisme tersebut?
Masalah Definisi
Isu krusial yang ikut mengemuka bertalian dengan aksi terorisme adalah tentang nasib revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tak jelas juntrungannya. Pihak pemerintah meyakini bahwa revisi peraturan itu telah memasuki babak akhir. Namun pendapat berbeda justru datang dari parlemen (DPR) yang masih mempersoalkan definisi terorisme. Inilah pangkal masalahnya sehingga revisi masih terkatung-katung.
Claire de Than & Edwin Shorts (2003) menyatakan there is by no means one consistent and enforced of terrorism or of terroris act. Pandangan ini cenderung menunjukkan bahwa memang tidak mudah untuk mendefiniskan terorisme atau tindakan teroris secara konsisten. Ada banyak variabel dan motif yang bertalian dengan aksi teror seperti motif politik, ekonomi hingga ideologi.
Maka memandang terorisme tentunya tidak boleh dibatasi dalam satu motif atau definisi tertentu. Salah satu definisi yang menarik, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2008), terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik.
Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Sanford H Kadish (1983) yang menyebut terorisme sebagai the threat or use of violence for political purposes by individual or groups, whether acting for, or in opposition to established governmental authority .
Baik dalam KBBI maupun pendapat yang dikemukakan Kadish jelas ada kesamaan bahwa dikatakan sebagai terorisme jika tindakannya yang menggunakan kekerasan kemudian menimbulkan ketakutan yang didasari oleh tujuan politik. Dengan demikian, motivasi politik menjadi poin penting yang tak terpisahkan ketika berbicara tentang terorisme dalam konteks ini.
Bertalian dengan itu, saya berpandangan bahwa memasukkan motif politik dalam definisi terorisme tentu harus dilakukan ekstra-hati-hati. Pertama, ini seakan-akan menyamakan terorisme dengan kejahatan politik (political crime). Padahal bisa saja antara keduanya berbeda satu sama lain. Kedua, potensi penyalahgunaannya sangatlah besar sebab hingga kini belum ada definisi yang baku mengenai kejahatan politik yang dirumuskan dalam peraturan. Ketiga, belum ada pula parameter mengenai kapan suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan poltik. Keempat, kejahatan politik itu sendiri masih dibagi dalam 3 bagian lagi: political offender, pseudo political offender dan political refugee .
Meskipun demikian dalam beberapa literatur yang lain, definisi terorisme tidak mutatis mutandis bertalian dengan motif politik. Dalam Article 1 (2) of the failed 1937, League of Nations Convention for The Prevention and Punishmentof Terrorism, misalnya terorisme disebut sebagai criminal acts directed against a state and intended or calculated to create a state of terror in the mind of particular persons or group or the general public. Definisi ini menempatkan terorisme sebagai kejahatan yang diarahkan kepada negara yang ditujukan sebagai teror, dalam benak seseorang, kelompok atau masyarakat umum.
Dengan demikian mengulas definisi terorisme tentu sangatlah luas cakupannya. Pada satu sisi para ahli menggunakan motif politik sebagai salah satu elemen ketika berbicara tentang terorisme tetapi di sisi yang lain, keberadaan motif politik dalam terorisme menjadi tidak penting, sepanjang tindakan teror itu menimbulkan kepanikan, ketakutan dan kerusakan baik kepada individu, kelompok maupun kepentingan umum.
Saya berpandangan bahwa sebaiknya kita tidak perlu membatasi definisi terorisme secara sempit dan spesifik melainkan hanya perlu dirumuskan elemen-elemen dari perbuatan pidananya. Artinya bahwa pembentuk undang-undang hanya perlu merumuskan secara jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) elemen actus reus maupun mens rea pelaku. Ketika elemen-elemen tersebut terpenuhi maka pada saat itulah seseorang disebut sebagai teroris.
Melalui konsep yang demikian, yang akan tampak di permukaan adalah bentuk-bentuk tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai terorisme. Sebagai pembanding, kita bisa lihat UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang hanya menyebutkan 30 perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi. Adapun definisi korupsi tidak disebutkan sama sekali.
Tanpa disadari, konsep itu justru sangat menguntungkan, sebab kita tidak perlu terjebak dengan definisi korupsi, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana merumuskan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai korupsi. Harapan saya terorisme pun mesti mengambil konsep yang sama. Tidak membuat definisi yang baku, sebab hal itu justru berpotensi mendistorsi pemberantasan terorisme itu sendiri tetapi hanya perlu merumuskan perbuatan jahatnya (dolus malus).
Kejahatan Transnasional
Istilah kejahatan transnasional tidaklah dapat dilepaskan dari seorang guru besar hukum internasional di Yale University bernama Philip C Jessup (1956). Kala itu ia berusaha memformulasi suatu istilah yang secara substantif mengenai tindakan atau peristiwa yang melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Ia menggunakan istilah transnational law atau hukum transnasional. Istilah Jessup ini kemudian dikembangkan oleh Neil Boister (2012) yang menghubungkannya dengan kejahatan yang sifatnya lintas batas negara dengan sebutan transnational crime atau kejahatan transnasional.
Ada 4 kriteria transnational crime menurut Boister: pertama, perbuatan dilakukan pada lebih dari satu negara. Kedua, perbuatan dilakukan di satu negara tetapi substansinya disiapkan, direncanakan dan diawasi di negara lain. Ketiga, kejahatan dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal terorganisasi yang berasal lebih dari satu negara. Keempat, kejahatan dilakukan di satu negara tetapi memberi dampak di negara lain.
Terorisme di Indonesia jelas memenuhi kriteria tersebut. Teroris berafiliasi dengan kelompok terorganisasi seperti ISIS di Suriah. Sehingga setiap tindakan teror, mulai dari persiapan, perencanaan, pendanaan sampai pengawasannya dilakukan oleh ISIS sendiri. Belum lagi para pelaku berasal dari berbagai negara yang kemudian berbaiat dengan ISIS.
HAM vs Pelibatan TNI
Isu yang ikut menggelinding dalam revisi UU anti terorisme adalah mengenai upaya pelibatan TNI. Hal ini didasari oleh fakta bahwa selama ini TNI tidak pernah dilibatkan dalam melacak, mengejar dan menangkap teroris, padahal kenyatannya ini mengancam keamanan negara. Benarkah demikian?
Saya berpandangan bahwa pelibatan TNI pada dasarnya tetap dibutuhkan tetapi legalitasnya haruslah dibuat sejak awal dan diperjelas parameternya. Perlu disadari bahwa dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI diposisikan sebagai pengawal pertahanan negara (striking force). Dengan demikian, pelibatan TNI untuk memberantas terorisme harus memperhatikan rumusan dalam peraturan a quo. Contoh sederhana misalnya, tugas menyelidiki dan menyidik perkara terorisme tidak dapat dilaksanakan oleh TNI. Sebab hal ini menjadi kewenangan Densus 88, BNPT, dan kepolisian secara umum.
Namun dalam kondisi tertentu ketika serangan terorisme baik dari dalam maupun luar telah mengancam kedaulatan dan pertahanan negara, hal itu sudah dapat melibatkan TNI. Tapi untuk menghindari penyalah-gunaan wewenang sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sekali lagi pengaturannya harus memenuhi prinsip: lex scripta (tertulis), lex certa (jelas), lex stricta (tidak multitafsir) dan lex praevia (tidak berlaku surut).
Melalui pengaturan yang demikian, proses hukum terhadap pelaku teror akan mengedepankan perlindungan HAM sebagai ciri dari negara hukum modern (recht staat ). Selain itu, penyakit masa lalu berupa tindakan otoritarianisme zaman Orde Baru yang mengandalkan TNI, tidak lagi terjadi.
(pur)