Bingkai Hukum Terorisme

Senin, 21 Mei 2018 - 07:05 WIB
Bingkai Hukum Terorisme
Bingkai Hukum Terorisme
A A A
Hariman Satria

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

SEPEKAN penuh teror mungkin adalah ungkapan yang pa­ling realistis untuk mendeskripsikan ulah te­ro­ris­me di negeri ini. Pemerintah dan apa­ratur penegak hukum se­akan-akan dibuat tak berdaya. Pe­ris­tiwa bermula dari ke­ru­su­h­an yang dilakukan narapidana te­ro­risme di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Bri­mob Ke­la­pa Dua Depok, yang meng­aki­bat­kan gugurnya 5 personel polisi. Puncaknya, Minggu, 13 Mei 2018, terjadi se­rangan bom yang mematikan di tiga gereja di Su­ra­baya. Jumlah korban mencapai puluhan orang, baik yang terluka mau­pun meninggal dunia. Ber­selang beberapa hari teroris kem­bali menyerang Mapolda Riau dan menewaskan seorang ang­gota polisi, sedangkan empat pe­laku penyerangan tewas.

Selepas peristiwa ini, kita kemudian bertanya-tanya da­lam hati, mengapa teroris ma­sih saja dengan mudah ber­ge­rak dan mampu memorak-po­ran­da­kan keamanan negara dalam se­ke­jap? Bukankah ne­geri ini punya Badan Intelijen Negara (BIN), Detasemen Khu­sus 88 (Densus 88) An­ti­te­ror, dan Badan Na­sio­nal Pe­nang­­gu­la­ngan Terorisme (BNPT) yang pe­ngetahuan, ke­terampilan, dan peralatannya diyakini ma­sih mampu m­e­nang­kal se­jum­lah aksi teror? Belum lagi kita memiliki ribuan per­sonel po­lisi. Lalu bagaimanakah potret hu­kum atas aksi te­ro­ris­me ter­sebut?

Masalah Definisi

Isu krusial yang ikut me­nge­muka bertalian dengan aksi terorisme adalah tentang nasib revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tin­dak Pidana Terorisme yang tak jelas juntrungannya. Pihak pe­merintah meyakini bahwa revisi peraturan itu telah me­masuki babak akhir. Namun pen­dapat berbeda justru da­tang dari parlemen (DPR) yang masih mempersoalkan definisi terorisme. Inilah pangkal ma­salahnya sehingga revisi masih terkatung-katung.

Claire de Than & Edwin Shorts (2003) menyatakan the­re is by no means one con­sis­tent and enforced of terrorism or of te­r­ro­ris act. Pandangan ini cen­de­rung menunjukkan bah­wa me­mang tidak mudah un­tuk mendefiniskan terorisme atau tindakan teroris secara kon­sis­ten. Ada banyak varia­bel dan motif yang bertalian dengan aksi teror seperti motif politik, ekonomi hingga ide­o­logi.

Maka memandang te­ro­ris­me tentunya tidak boleh di­ba­tasi dalam satu motif atau de­finisi tertentu. Salah satu de­finisi yang menarik, misalnya da­lam Kamus Besar Bahasa Indo­nesia/KBBI (2008), te­ro­risme di­artikan sebagai peng­gu­naan kekerasan untuk me­nimbulkan ketakutan dalam usaha men­ca­pai suatu tujuan, terutama tujuan politik.

Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dise­but­kan Sanford H Kadish (1983) yang menyebut terorisme seba­gai the threat or use of violence for political purposes by individual or groups, whether acting for, or in opposition to established go­vernmental authority .

Baik dalam KBBI maupun pendapat yang dikemukakan Ka­dish jelas ada kesamaan bah­wa dikatakan sebagai terorisme jika tindakannya yang meng­gu­nakan kekerasan kemudian menimbulkan ketakutan yang didasari oleh tujuan politik. De­ngan demikian, motivasi politik menjadi poin penting yang tak terpisahkan ketika berbicara tentang terorisme dalam kon­teks ini.

Bertalian dengan itu, saya berpandangan bahwa me­ma­sukkan motif politik dalam d­e­fi­nisi terorisme tentu harus di­lakukan ekstra-hati-hati. Per­ta­ma, ini seakan-akan men­ya­ma­kan terorisme de­ngan ke­ja­hat­an politik (political crime). Pa­dahal bisa saja antara keduanya berbeda satu sama lain. Kedua, potensi penya­lah­gu­na­annya sangatlah be­sar sebab hingga kini belum ada de­fi­nisi yang baku me­ngenai kejahatan po­­litik yang diru­mus­kan dalam per­atur­an. Ketiga, be­lum ada pula para­me­ter mengenai ka­pan suatu perbuatan di­ka­te­go­rikan sebagai kejahatan poltik. Ke­empat, kejahatan poli­tik itu sendiri masih di­bagi dalam 3 bagian lagi: political offender, pseudo political offender dan poli­tical refugee .

Meskipun demikian dalam beberapa literatur yang lain, de­finisi terorisme tidak mutatis mutandis bertalian dengan mo­tif politik. Dalam Article 1 (2) of the failed 1937, League of Na­tions Convention for The Pre­ven­tion and Punishmentof Terro­rism, misalnya terorisme dise­but sebagai criminal acts directed against a state and intended or calculated to create a state of terror in the mind of particular per­sons or group or the general pu­blic. Definisi ini menem­pat­kan terorisme sebagai ke­ja­hatan yang diarahkan kepada negara yang ditujukan sebagai teror, dalam benak seseorang, ke­lom­pok atau masyarakat umum.

Dengan demikian mengulas definisi terorisme tentu sa­ngat­lah luas cakupannya. Pada satu sisi para ahli menggunakan mo­tif politik sebagai salah satu ele­men ketika berbicara tentang terorisme tetapi di sisi yang lain, keberadaan motif politik dalam terorisme menjadi tidak pen­ting, sepanjang tindakan teror itu menimbulkan kepanikan, ketakutan dan kerusakan baik kepada individu, kelompok mau­pun kepentingan umum.

Saya berpandangan bahwa sebaiknya kita tidak perlu mem­batasi definisi terorisme secara sempit dan spesifik melainkan hanya perlu dirumuskan ele­men-elemen dari perbuatan pi­dananya. Artinya bahwa pem­bentuk undang-undang hanya perlu merumuskan secara jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) elemen actus reus maupun mens rea pelaku. Ketika elemen-ele­men tersebut terpenuhi maka pada saat itulah se­se­orang disebut sebagai teroris.

Melalui konsep yang de­mikian, yang akan tampak di per­mukaan adalah bentuk-bentuk tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai terorisme. Sebagai pem­­banding, kita bisa lihat UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Ta­hun 2001 tentang Pem­berantasan Tin­dak Pidana Korupsi yang hanya menye­but­­kan 30 perbuatan yang di­kua­lifikasi se­ba­gai kejahatan ko­rupsi. Adapun definisi korupsi tidak disebut­kan sama sekali.

Tanpa disadari, konsep itu justru sangat mengun­tung­kan, sebab kita tidak perlu te­r­jebak dengan definisi korupsi, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana mer­u­mus­kan bah­wa suatu per­buat­an disebut se­bagai korupsi. Ha­ra­pan saya te­ro­risme pun mesti mengambil konsep yang sama. Tidak mem­buat definisi yang baku, sebab hal itu justru ber­potensi men­dis­torsi pem­be­ran­tasan tero­ris­me itu sendiri tetapi hanya perlu me­ru­mus­kan perbuatan jahatnya (dolus malus).

Kejahatan Transnasional

Istilah kejahatan trans­na­sio­nal tidaklah dapat dile­pas­kan dari seorang guru besar hukum internasional di Yale University bernama Philip C Jessup (1956). Kala itu ia berusaha memformulasi suatu istilah yang secara substantif mengenai tindakan atau pe­ris­tiwa yang melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Ia menggunakan istilah trans­na­tio­nal law atau hukum trans­na­sional. Istilah Jessup ini ke­mu­dian dikembangkan oleh Neil Boister (2012) yang meng­hu­bung­kannya dengan kejahatan yang sifatnya lintas batas ne­gara dengan sebutan trans­na­tional crime atau kejahatan trans­nasional.

Ada 4 kriteria transnational crime menurut Boister: perta­ma, perbuatan dilakukan pada lebih dari satu negara. Kedua, per­buatan dilakukan di satu negara tetapi substansinya disiapkan, direncanakan dan diawasi di negara lain. Ketiga, kejahatan dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal terorganisasi yang berasal lebih dari satu negara. Keempat, ke­jahatan dilakukan di satu ne­gara tetapi memberi dampak di negara lain.

Terorisme di Indonesia jelas memenuhi kriteria tersebut. Teroris berafiliasi dengan ke­lom­pok terorganisasi seperti ISIS di Suriah. Sehingga setiap tindakan teror, mulai dari per­siap­an, perencanaan, penda­na­an sampai pengawasannya di­la­kukan oleh ISIS sendiri. Belum lagi para pelaku berasal dari berbagai negara yang kemudian berbaiat dengan ISIS.

HAM vs Pelibatan TNI

Isu yang ikut menggelinding dalam revisi UU anti terorisme adalah mengenai upaya peli­bat­an TNI. Hal ini didasari oleh fakta bahwa selama ini TNI ti­dak pernah dilibatkan dalam me­lacak, mengejar dan me­nang­kap teroris, padahal ke­nyatannya ini mengancam ke­amanan negara. Benarkah demikian?

Saya berpandangan bahwa pelibatan TNI pada dasarnya tetap dibutuhkan tetapi le­ga­li­tasnya haruslah dibuat sejak awal dan diperjelas parame­ter­nya. Perlu disadari bahwa dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 ten­tang Tentara Nasional In­do­ne­sia, TNI diposisikan sebagai pe­ng­awal pertahanan negara (strik­ing force). Dengan demi­kian, pelibatan TNI untuk mem­berantas terorisme harus mem­perhatikan rumusan da­lam per­aturan a quo. Contoh se­der­hana misalnya, tugas me­nye­lidiki dan menyidik perkara te­ro­risme tidak dapat dilak­sa­na­kan oleh TNI. Sebab hal ini menjadi kewenangan Densus 88, BNPT, dan kepolisian secara umum.

Namun dalam kondisi ter­tentu ketika serangan tero­ris­me baik dari dalam maupun luar te­lah mengancam kedaulatan dan pertahanan negara, hal itu sudah dapat melibatkan TNI. Tapi un­tuk menghindari pe­nya­lah-gu­na­an wewenang se­hingga ber­po­tensi menim­bul­kan pe­lang­garan hak asasi ma­nusia (HAM), sekali lagi pen­g­aturannya harus memenuhi prinsip: lex scripta (tertulis), lex certa (jelas), lex stricta (tidak mul­titafsir) dan lex praevia (ti­dak berlaku surut).

Melalui pengaturan yang demikian, proses hukum ter­hadap pelaku teror akan me­nge­depankan perlindungan HAM sebagai ciri dari negara hukum modern (recht staat ). Selain itu, pe­nyakit masa lalu berupa tin­da­kan otoritaria­nis­me zaman Orde Baru yang me­ngandalkan TNI, tidak lagi ter­jadi.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9036 seconds (0.1#10.140)