Aksi Terorisme terhadap Polisi?
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
PERASAAN haru dan bangga tertuju ke para personel Polri yang hari-hari belakangan ini tampak menjadi incaran para pelaku kekerasan. Beberapa penggawa Tribrata tewas, sementara lainnya cedera. Ada pula anggota Polri yang menyabung nyawa dengan melakukan aksi-aksi heroik demi menyelamatkan masyarakat.
Sepatutnya para pelaku penganiayaan dan pembunuhan para personel Polri dikenai sanksi pidana.
Untuk penindakan saat ini serta untuk kepentingan antisipasi kejadian serupa ke depannya, perlu dipastikan apakah setiap aksi penyerangan apalagi pembunuhan terhadap personel polisi mutlak disebut sebagai aksi terorisme? Sebagai ilustrasi, betapapun Polri-Alhamdulillah- mengatasi keadaan, penyebutan kejadian pada malam jahanam di Mako Brimob sebagai aksi terorisme justru tidak menguntungkan.
Aksi terorisme oleh tahanan terorisme di markas komando polisi hingga menewaskan sejumlah personel Detasemen Khusus Antiterorisme pastinya sama sekali bukan narasi yang menyenangkan hati.
Ada banyak variasi definisi tentang terorisme. Benang merah dari sekian banyak definisi itu adalah adanya motif ataupun tujuan politis atau ideologis tertentu yang ingin dicapai lewat cara kekerasan.
Kekerasan memang terjadi di Mako Brimob dan pelakunya adalah para tahanan terorisme. Persoalannya apakah kekerasan yang mereka lancarkan itu bermotif atau bertujuan politik? Ambil misal, jika mengacu pada kronologi peristiwa sebagaimana diwartakan media bahwa kejadian mencekam itu bermula dari kesalahpahaman setelah dilakukan pemeriksaan terhadap makanan bagi para tahanan, perlu dicek kembali ada tidaknya motif dan tujuan politik di balik tragedi di Mako Brimob.
Seandainya simpulan tentang keberadaan motif ataupun tujuan politik itu terlalu rapuh, kendati aksi dilakukan oleh para tahanan terorisme, boleh jadi lebih tepat jika perbuatan para pelaku pada malam itu dikategorikan sebagai kejahatan konvensional. Konsekuensinya terhadap para pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dengan menerapkan pasal-pasal selain terorisme.
Tema tentang pemidanaan terhadap para pelaku, seperti diuraikan di atas, bersimpul dengan wacana tentang pentingnya penguatan ekstra bagi para personel Polri. Penguatan tersebut kian relevan apabila diasumsikan bahwa situasi dewasa ini berisiko kian tinggi bagi keselamatan personel polisi.
Titik berangkatnya adalah dengan membaca ulang Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mencermati UU tersebut, hanya tersedia satu pasal yang memuat kepedulian kepada personel Polri yang tengah menghadapi keadaan bahaya, yaitu Pasal 41. Bunyinya, “Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal tersebut mencerminkan kepedulian akan keberhasilan Polri dalam menjalankan misi kerjanya. Tapi UU Polri seolah abai terhadap risiko kegagalan operasi yang dapat menimpa personel polisi sendiri.
UU Polri tidak sedikit pun memuat aturan main tentang bentuk perlakuan yang harus dikenakan ke pelaku penyerangan polisi serta perlakuan bagi polisi (dan keluarganya) yang menjadi korban penyerangan.
Substansi UU Polri di Indonesia dapat dibandingkan misalnya dengan Police Protection Act atau Protect and Serve Act di Amerika Serikat.
Sekian banyak negara bagian di Amerika Serikat telah dan akan meluncurkan ketentuan hukum untuk mengantisipasi aksi-aksi kriminal yang dapat berakibat fatal bagi personel polisi. Berdasarkan act tersebut, pelaku-pelaku penyerangan terhadap personel polisi dijatuhi hukuman lebih berat. Semasa berkuasa,
Presiden Barrack Obama juga mengesahkan Blue Alert Act yang memberikan jaminan tidak sebatas bagi personel kepolisian Amerika Serikat, tetapi juga melindungi martabat, kemandirian, otonomi, dan privasi keluarga para anggota kepolisian.
Hate Crime
Melalui Police Protection Act atau Protect and Serve Act, negara-negara bersangkutan menempatkan penyerangan terhadap polisi sebagai kejahatan yang didorong oleh kebencian (hate crime). Polisi menjadi kelompok berikutnya setelah sebelumnya ras dan agama menjadi dua kelompok yang dipandang sebagai kelompok yang acap menjadi sasaran kejahatan bermuatan kebencian.
Sanksi pidana lebih berat mengancam para pelaku kejahatan bermuatan kebencian tanpa harus mengembel-embeli mereka dengan sebutan pelaku kejahatan terorisme. Bingkai hate crime sedemikian rupa bisa menangkal meruyaknya ketakutan massal di masyarakat sipil karena paham bahwa serangan ditujukan “hanya” ke polisi.
Ajakan agar masyarakat tetap beraktivitas sebagaimana biasa juga berpeluang lebih tinggi untuk diamini karena publik tahu bahwa mereka bukan pihak yang disasar oleh para pelaku kekerasan. Penggunaan delik kejahatan bermuatan kebencian—ketimbang delik terorisme—juga bisa menciptakan gambaran tentang kondisi nasional yang relatif tetap kondusif, bahwa Indonesia bersih dari aksi teror, menjelang Asian Games dan perhelatan kegiatan-kegiatan berskala besar lainnya.
Sampai di sini, dengan asumsi bahwa hate crime “lebih sepele” daripada kejahatan terorisme, penggunaan delik kejahatan bermuatan kebencian (dengan polisi selaku sasaran penjahat) tampaknya bisa berdampak positif.
Delik hate crime, alih-alih kejahatan terorisme, lebih pas untuk menurunkan kesan kegentingan yang tengah dihadapi Indonesia. Yang perlu dijawab sebelum delik hate crime diterapkan adalah apakah gelombang serangan yang terisolasi terhadap polisi sudah membawa Indonesia ke situasi krisis. Seberapa tinggi sesungguhnya risiko maut yang dihadapi personel polisi dibandingkan dengan risiko serupa pada profesi-profesi lain ataupun pada masyarakat secara umum.
Bagaimana perbandingan antara kerugian yang polisi alami dengan keberhasilan operasi pemberantasan yang polisi capai. Tidakkah keberadaan delik hate crime terhadap polisi sedikit banyak akan menumbuhkan mindset polisi sebagai pihak yang lemah. Efek susulannya, akankah mindset seperti itu menggiring personel kepolisian untuk kemudian mengalokasikan lebih banyak energi dalam rangka menjaga dirinya sendiri?
Wallahu a’lam.
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
PERASAAN haru dan bangga tertuju ke para personel Polri yang hari-hari belakangan ini tampak menjadi incaran para pelaku kekerasan. Beberapa penggawa Tribrata tewas, sementara lainnya cedera. Ada pula anggota Polri yang menyabung nyawa dengan melakukan aksi-aksi heroik demi menyelamatkan masyarakat.
Sepatutnya para pelaku penganiayaan dan pembunuhan para personel Polri dikenai sanksi pidana.
Untuk penindakan saat ini serta untuk kepentingan antisipasi kejadian serupa ke depannya, perlu dipastikan apakah setiap aksi penyerangan apalagi pembunuhan terhadap personel polisi mutlak disebut sebagai aksi terorisme? Sebagai ilustrasi, betapapun Polri-Alhamdulillah- mengatasi keadaan, penyebutan kejadian pada malam jahanam di Mako Brimob sebagai aksi terorisme justru tidak menguntungkan.
Aksi terorisme oleh tahanan terorisme di markas komando polisi hingga menewaskan sejumlah personel Detasemen Khusus Antiterorisme pastinya sama sekali bukan narasi yang menyenangkan hati.
Ada banyak variasi definisi tentang terorisme. Benang merah dari sekian banyak definisi itu adalah adanya motif ataupun tujuan politis atau ideologis tertentu yang ingin dicapai lewat cara kekerasan.
Kekerasan memang terjadi di Mako Brimob dan pelakunya adalah para tahanan terorisme. Persoalannya apakah kekerasan yang mereka lancarkan itu bermotif atau bertujuan politik? Ambil misal, jika mengacu pada kronologi peristiwa sebagaimana diwartakan media bahwa kejadian mencekam itu bermula dari kesalahpahaman setelah dilakukan pemeriksaan terhadap makanan bagi para tahanan, perlu dicek kembali ada tidaknya motif dan tujuan politik di balik tragedi di Mako Brimob.
Seandainya simpulan tentang keberadaan motif ataupun tujuan politik itu terlalu rapuh, kendati aksi dilakukan oleh para tahanan terorisme, boleh jadi lebih tepat jika perbuatan para pelaku pada malam itu dikategorikan sebagai kejahatan konvensional. Konsekuensinya terhadap para pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dengan menerapkan pasal-pasal selain terorisme.
Tema tentang pemidanaan terhadap para pelaku, seperti diuraikan di atas, bersimpul dengan wacana tentang pentingnya penguatan ekstra bagi para personel Polri. Penguatan tersebut kian relevan apabila diasumsikan bahwa situasi dewasa ini berisiko kian tinggi bagi keselamatan personel polisi.
Titik berangkatnya adalah dengan membaca ulang Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mencermati UU tersebut, hanya tersedia satu pasal yang memuat kepedulian kepada personel Polri yang tengah menghadapi keadaan bahaya, yaitu Pasal 41. Bunyinya, “Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal tersebut mencerminkan kepedulian akan keberhasilan Polri dalam menjalankan misi kerjanya. Tapi UU Polri seolah abai terhadap risiko kegagalan operasi yang dapat menimpa personel polisi sendiri.
UU Polri tidak sedikit pun memuat aturan main tentang bentuk perlakuan yang harus dikenakan ke pelaku penyerangan polisi serta perlakuan bagi polisi (dan keluarganya) yang menjadi korban penyerangan.
Substansi UU Polri di Indonesia dapat dibandingkan misalnya dengan Police Protection Act atau Protect and Serve Act di Amerika Serikat.
Sekian banyak negara bagian di Amerika Serikat telah dan akan meluncurkan ketentuan hukum untuk mengantisipasi aksi-aksi kriminal yang dapat berakibat fatal bagi personel polisi. Berdasarkan act tersebut, pelaku-pelaku penyerangan terhadap personel polisi dijatuhi hukuman lebih berat. Semasa berkuasa,
Presiden Barrack Obama juga mengesahkan Blue Alert Act yang memberikan jaminan tidak sebatas bagi personel kepolisian Amerika Serikat, tetapi juga melindungi martabat, kemandirian, otonomi, dan privasi keluarga para anggota kepolisian.
Hate Crime
Melalui Police Protection Act atau Protect and Serve Act, negara-negara bersangkutan menempatkan penyerangan terhadap polisi sebagai kejahatan yang didorong oleh kebencian (hate crime). Polisi menjadi kelompok berikutnya setelah sebelumnya ras dan agama menjadi dua kelompok yang dipandang sebagai kelompok yang acap menjadi sasaran kejahatan bermuatan kebencian.
Sanksi pidana lebih berat mengancam para pelaku kejahatan bermuatan kebencian tanpa harus mengembel-embeli mereka dengan sebutan pelaku kejahatan terorisme. Bingkai hate crime sedemikian rupa bisa menangkal meruyaknya ketakutan massal di masyarakat sipil karena paham bahwa serangan ditujukan “hanya” ke polisi.
Ajakan agar masyarakat tetap beraktivitas sebagaimana biasa juga berpeluang lebih tinggi untuk diamini karena publik tahu bahwa mereka bukan pihak yang disasar oleh para pelaku kekerasan. Penggunaan delik kejahatan bermuatan kebencian—ketimbang delik terorisme—juga bisa menciptakan gambaran tentang kondisi nasional yang relatif tetap kondusif, bahwa Indonesia bersih dari aksi teror, menjelang Asian Games dan perhelatan kegiatan-kegiatan berskala besar lainnya.
Sampai di sini, dengan asumsi bahwa hate crime “lebih sepele” daripada kejahatan terorisme, penggunaan delik kejahatan bermuatan kebencian (dengan polisi selaku sasaran penjahat) tampaknya bisa berdampak positif.
Delik hate crime, alih-alih kejahatan terorisme, lebih pas untuk menurunkan kesan kegentingan yang tengah dihadapi Indonesia. Yang perlu dijawab sebelum delik hate crime diterapkan adalah apakah gelombang serangan yang terisolasi terhadap polisi sudah membawa Indonesia ke situasi krisis. Seberapa tinggi sesungguhnya risiko maut yang dihadapi personel polisi dibandingkan dengan risiko serupa pada profesi-profesi lain ataupun pada masyarakat secara umum.
Bagaimana perbandingan antara kerugian yang polisi alami dengan keberhasilan operasi pemberantasan yang polisi capai. Tidakkah keberadaan delik hate crime terhadap polisi sedikit banyak akan menumbuhkan mindset polisi sebagai pihak yang lemah. Efek susulannya, akankah mindset seperti itu menggiring personel kepolisian untuk kemudian mengalokasikan lebih banyak energi dalam rangka menjaga dirinya sendiri?
Wallahu a’lam.
(sms)