Ekstremisme Kekerasan
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Dalam seminggu ini, Indonesia digoncang oleh beberapa peristiwa kekerasan, termasuk bom bunuh diri di beberapa tempat di Surabaya. Sebelumnya juga terjadi serangan teror di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Serangan-serangan tersebut telah menelan korban puluhan jiwa, meninggal dan luka-luka.
Peristiwa-peristiwa ini tentunya sangat memprihatinkan, bahkan mencoreng wajah Indonesia yang dikenal aman, damai dan toleran. Peristiwa kekerasan di Brimob bahkan terjadi hanya sehari sebelum Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan segitiga (trilateral meeting) ulama-ulama Afghanistan, Pakistan dan Indonesia di Istana Bogor, untuk membicarakan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.
Oleh karenanya serangan terror tersebut sangat menyedihkan dan sekaligus memalukan bangsa dan negara Indonesia. Maka sangat sepatutnya kita semua mendeklarasikan bahwa tindakan kekerasan seperti itu bukan Indonesia, dan bukan pula untuk tujuan kebaikan apapun, sekaligus musuh bersama bangsa.
Pastinya tindakan biadab itu tidak mendapat tempat di mana saja, dan tidak akan terjustifikasi oleh apapun. Tidak oleh pertimbangan umum manusia (common sense) maupun ajaran agama (religious guidance). Sebaliknya tindakan teror tidak mengenal kemanusiaan dan tidak mengenal agama. Bahkan musuh sekaligus perusak agama.
Faktor-faktor Ekstremisme
Jika diselami lebih jauh akan didapati bahwa tendensi ekstremisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
Pertama, kebodohan dalam beragama. Jangan pernah berpikir bahwa pelaku teror adalah orang-orang berilmu, apalagi dalam ilmu agama. Sebaliknya mereka pada umumnya adalah orang-orang yang tidak paham agama, bahkan jauh dari agama. Pelaku teror pada peristiwa 9/11 di Amerika Serikat ditemukan di kemudian hari adalah orang-orang yang tidak beragama, bahkan peminum dan womanizer.
Kedua, kurang rasionalitas, pikiran sempit dan dominannya emosi. Orang-orang seperti ini kerap kali mengedepankan amarah dalam merespon berbagai permasalahan hidupnya. Tindakan yang dilakukan dominannya terbangun di atas emosi yang tinggi, tanpa pertimbangan rasional, dan kerap kali mengambil jalan pintas.
Ketiga, respons terhadap ketidak adilan sosial. Kekerasan-kekerasan juga sering kali terjadi karena adanya ketidakadilan atau kezhaliman di masyarakat. Ketika mereka merasa bahwa jalan untuk menemukan Keadilan itu buntu (stuck) maka di sinilah mereka akan mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi atau akibatnya.
Keempat, misinformasi atau informasi yang tidak menyeluruh. Di sini peran media sangat besar dalam membangun kemarahan itu.
Media seringkali tidak bertanggung jawab, bahkan demi meraup keuntungan material mereka rela menjual informasi-informasi yang menyesatkan dan berbahaya. Apalagi dalam dunia keterbukaan media, khususnya media sosial.
Kelima, faktor ekonomi dan kejiwaan. Tidak jarang juga tindakan teror termotivasi oleh faktor ekonomi atau kemiskinan. Ketika manusia lapar maka sering rasa kemanusiaannya (sense of humanity) menjadi hilang. Maka tindakan yang mereka ambil menjadi animalistik, bagaikan anjing-anjing yang kelaparan.
Keenam, dorongan untuk menjadi pahlawan membela kebenaran. Nampak seperti positif. Tapi sesungguhnya sebuah tindakan yang tidak mendapat pembenaran, apalagi dalam agama, adalah salah.
Motivasi atau niat yang baik wajib dilaksanakan melalui cara yang baik dan benar. Keinginan berhaji tidak dapat dilakukan dengan jalan merampok. Mencari keadilan tidak bisa dilakukan dengan melakukan pembunuhan orang-orang yang tiada dosa.
Mati di Jalan Allah atau Mati Syahid
Seringkali juga kita dengarkan bahwa mereka yang melakukan tindakan teror itu dan mati dianggap mati di jalan Allah (fii sabilillah). Orang yang mati di jalan Allah ini juga dikenal sebagai “mati syahid”.
Sepintas dengan doktrin-doktrin murahan yang menyesatkan ini nampak seperti kebenaran. Sebab memang mati di jalan Allah itu sesuatu yang mulia. Syahid di jalan Allah itu sudah pasti balasannya adalah syurga.
Tapi bagaimanakah konsep mati di jalan Allah atau syahid? Apakah dengan melakukan pembunuhan dan tindakan teror kepada warga sipil dan orang-orang tak berdosa bisa dikategorikan “mati di jalan Allah” atau “syahid?”.
Jawabannya pasti tidak! Mati di jalan bukan konsep dadakan, apalagi konsep yang dilakukan dengan cara biadab dan terkutuk. Mati di jalan Allah itu akan terjadi ketika hidup seseorang juga ada di jalan Allah. Syahid itu hanya akan diperoleh ketika didahului dengan mempersaksikan kebenaran dalam hidup kita.
Mempersaksikan kebenaran itu adalah melakukan ajaran secara konsekuensi. Yaitu dengan menegakkan tauhid dan ubudiyah yang benar, diikuti oleh prilaku sosial yang baik. Inilah hidup yang mempersaksikan kebenaran (syahadah). Dan kehidupan yang seperti inilah pada akhirnya jika berakhir, berakhir di jalan Allah dan menemukan “syahadah” (mati syahid).
Karenanya tindakan teror sungguh tindakan syetan, dan matinya pasti di jalan syetan. Membunuh warga sipil (non combatant) dalam keadaan perang saja dilarang. Apalagi dalam keadaan damai, dan lebih khusus lagi di rumah-rumah ibadah siapa saja, jelas keharamannya dalam Islam.
Karena itu, konsep mati di jalan Allah yang dijanji dengan syurga itu harus dibenarkan. Konsep ini adalah proses hidup hingga akhir. Mati di jalan Allah harus didahului oleh “hidup di jalan-Nya”.
Jika didahului oleh pembunuhan dan pengrusakan, apalagi dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa, jelas bukan mati di jalan Allah yang dijanjikan surga. Tapi mati di jalan setan yang berakhir di neraka.
Ini juga tentunya terkait dengan konsep jihad yang semakin disalahpahami. Jihad menjadi gandengan untuk memburu kepentingan, bahkan kepentingan sesaat dan parsial.
Tegasnya, jihad yang melibatkan persenjataan hanya terjadi ketika ada peperangan. Dan peperangan dalam sebuah tatanan negara hanya boleh dikomandankan (diinstruksikan) oleh Panglima tertinggi, presiden dalam konteks Indonesia.
Selebihnya jihad yang harus ditegakkan adalah jihad-jihad dalam bentuk membangun kepribadian, keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Jihad itu adalah perjuangan untuk membangun kehidupan dan peradaban. Bukan merusak kehidupan dan peradaban. Sementara teror adalah sebaliknya. Merusak kehidupan dan memporak porandakan peradaban.
Merespons Teror
Teror itu kejahatan (evil) yang harus kita perangi bersama. Teror harus dijadikan musuh bersama (common enemy) dan musuh peradaban manusia, bahkan musuh agama dan semua nilai-nilai kebaikan yang ada.
Oleh karenanya harus dihadapi dan direspons secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Tidak setengah hati, apalagi dijadikan sekedar lompatan untuk tujuan yang kadang sama jahatnya, bahkan lebih jahat.
Sejak terjadinya serangan teror di Amerika yang dikenal dengan 9/11 di tahun 2001 yang lalu, gendang peperangan kepada teror (war on terror) telah ditabuh. Dimulai dengan serangan ke Afghanistan oleh Amerika dan sekutunya, yang diikuti oleh berbagai peperangan baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Masalahnya kemudian peperangan kepada teror ini tidak jarang tergandengi oleh kepentingan dan motif-motif jahat yang tidak kurang, bahkan lebih jahat dari teror itu sendiri. Peperangan kepada teror biasanya tergandengi oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme, yang cenderung menghalalkan segala cara. Akibatnya beribu-ribu orang tak berdosa, khususnya anak-anak dan wanita terbunuh demi memburu kepentingan itu. Dan semua itu atas nama memerangi terorisme internasional.
Kembali kepada peristiwa-peristiwa mutakhir di Indonesia, sekedar diingatkan bahwa jangan sampai juga tergandengi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Atas nama memerangi terorisme tapi yang terjadi adalah menarget pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Termasuk di dalamnya kepentingan politik, khususnya di musim politik ini.
Tentu diingatkan pula bahwa jangan juga peristiwa teror ini lalu dengan cara apapun dijadikan alat untuk menuduh pihak tertentu. Pengalaman mengatakan bahwa zaman kini yang paling sering tertuduh adalah umat Islam. Padahal kalaupun yang melakukan kejahatan itu beragama Islam, apakah secara otomatis umat harus dicurigai dan bertanggung jawab?
Tanggung Jawab Bersama
Fenomena ini (teror) sekali adalah musuh bersama (common enemy). Dan karenanya cara terbaik untuk merespon adalah dengan melibatkan semua unsur segmen masyarakat. Pemerintah, tokoh agama, pendidik, senimam, bahkan orang tua, semuanya memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa saja agar kejahatan ini tidak membesar dan melebar.
Jangan sampai peristiwa ini dipakai oleh pihak tertentu untuk semakin memperlebar saling mencurigai, permusuhan dan perpecahan baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antar masyarakat sendiri.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan ini jangan sampai ada yang dirangkul, seolah pahlawan, tapi sebagian yang lain dicurigai bahkan dipandang musuh. Ini sangat berbahaya karena bisa menjadi pemicu penyebab teror seperti yang disebutkan tadi.
Semua pihak harusnya menjadikan semua ini sebagai peringatan. Untuk pemerintah boleh jadi kejahatan ini karena adanya sesuatu yang tidak beres dengan “sense of justice” di masyarakat. Keamanan dan Keadilan sosial erat kaitannya. Dalam bahasa Alquran “al-khauf” (ketidakamanan) dan “al-Juu” (kelaparan/kemiskinan) sangat erat kaitannya.
Untuk ulama dan tokoh agama peristiwa ini harus dijadikan peringatan bahwa ternyata masih ada paham-paham agama yang salah, dan menjadi kewajiban para ulama untuk meluruskannya.
Demikian seterusnya, untuk pendidik, pebisnis semuanya harus menjadikannya sebabai peringatan keras untuk mengambil bagian dalam usaha menangkal kecenderungan ini.
Khusus kepada orang tua, adalah tanggung jawab besar di atas pundak mereka untuk menanamkan nilai-nilai “kasih sayang” sedini mungkin dalam diri generasi. Banyak anak-anak yang tumbuh besar dalam kemarahan karena kesalahan orang tua.
Akhirnya, demikian pula kepada masing-masing golongan dalam masyarakat. Keragaman itu adalah berkah. Tapi gagal mengelolah keragaman boleh jadi membawa musibah.
Satu hal yang krusial dalam mengelolah keragaman ini adalah dengan menumbuh suburkan “saling memahami” dan “saling menghormati”. Bahkan memangun kerja sama di tengah keragaman itu demi terwujudnya “common interest” (kepentingan bersama) yang lebih besar.
Dan adakah lagi kepentingan yang lebih besar dalam konteks keindoneisaan dari pada terwujudnya kesatuan, keadilan, keamanan dan kesejahteraan nasional kita? Dengan bersama-sama menjaga keamanan akan terwujud negara yang “baldatun thoyyibatun wa Rabbib Ghafuur”. Insya Allah!
*Makassar-JKT, 14 Mei 2018
Presiden Nusantara Foundation
Dalam seminggu ini, Indonesia digoncang oleh beberapa peristiwa kekerasan, termasuk bom bunuh diri di beberapa tempat di Surabaya. Sebelumnya juga terjadi serangan teror di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Serangan-serangan tersebut telah menelan korban puluhan jiwa, meninggal dan luka-luka.
Peristiwa-peristiwa ini tentunya sangat memprihatinkan, bahkan mencoreng wajah Indonesia yang dikenal aman, damai dan toleran. Peristiwa kekerasan di Brimob bahkan terjadi hanya sehari sebelum Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan segitiga (trilateral meeting) ulama-ulama Afghanistan, Pakistan dan Indonesia di Istana Bogor, untuk membicarakan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.
Oleh karenanya serangan terror tersebut sangat menyedihkan dan sekaligus memalukan bangsa dan negara Indonesia. Maka sangat sepatutnya kita semua mendeklarasikan bahwa tindakan kekerasan seperti itu bukan Indonesia, dan bukan pula untuk tujuan kebaikan apapun, sekaligus musuh bersama bangsa.
Pastinya tindakan biadab itu tidak mendapat tempat di mana saja, dan tidak akan terjustifikasi oleh apapun. Tidak oleh pertimbangan umum manusia (common sense) maupun ajaran agama (religious guidance). Sebaliknya tindakan teror tidak mengenal kemanusiaan dan tidak mengenal agama. Bahkan musuh sekaligus perusak agama.
Faktor-faktor Ekstremisme
Jika diselami lebih jauh akan didapati bahwa tendensi ekstremisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
Pertama, kebodohan dalam beragama. Jangan pernah berpikir bahwa pelaku teror adalah orang-orang berilmu, apalagi dalam ilmu agama. Sebaliknya mereka pada umumnya adalah orang-orang yang tidak paham agama, bahkan jauh dari agama. Pelaku teror pada peristiwa 9/11 di Amerika Serikat ditemukan di kemudian hari adalah orang-orang yang tidak beragama, bahkan peminum dan womanizer.
Kedua, kurang rasionalitas, pikiran sempit dan dominannya emosi. Orang-orang seperti ini kerap kali mengedepankan amarah dalam merespon berbagai permasalahan hidupnya. Tindakan yang dilakukan dominannya terbangun di atas emosi yang tinggi, tanpa pertimbangan rasional, dan kerap kali mengambil jalan pintas.
Ketiga, respons terhadap ketidak adilan sosial. Kekerasan-kekerasan juga sering kali terjadi karena adanya ketidakadilan atau kezhaliman di masyarakat. Ketika mereka merasa bahwa jalan untuk menemukan Keadilan itu buntu (stuck) maka di sinilah mereka akan mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi atau akibatnya.
Keempat, misinformasi atau informasi yang tidak menyeluruh. Di sini peran media sangat besar dalam membangun kemarahan itu.
Media seringkali tidak bertanggung jawab, bahkan demi meraup keuntungan material mereka rela menjual informasi-informasi yang menyesatkan dan berbahaya. Apalagi dalam dunia keterbukaan media, khususnya media sosial.
Kelima, faktor ekonomi dan kejiwaan. Tidak jarang juga tindakan teror termotivasi oleh faktor ekonomi atau kemiskinan. Ketika manusia lapar maka sering rasa kemanusiaannya (sense of humanity) menjadi hilang. Maka tindakan yang mereka ambil menjadi animalistik, bagaikan anjing-anjing yang kelaparan.
Keenam, dorongan untuk menjadi pahlawan membela kebenaran. Nampak seperti positif. Tapi sesungguhnya sebuah tindakan yang tidak mendapat pembenaran, apalagi dalam agama, adalah salah.
Motivasi atau niat yang baik wajib dilaksanakan melalui cara yang baik dan benar. Keinginan berhaji tidak dapat dilakukan dengan jalan merampok. Mencari keadilan tidak bisa dilakukan dengan melakukan pembunuhan orang-orang yang tiada dosa.
Mati di Jalan Allah atau Mati Syahid
Seringkali juga kita dengarkan bahwa mereka yang melakukan tindakan teror itu dan mati dianggap mati di jalan Allah (fii sabilillah). Orang yang mati di jalan Allah ini juga dikenal sebagai “mati syahid”.
Sepintas dengan doktrin-doktrin murahan yang menyesatkan ini nampak seperti kebenaran. Sebab memang mati di jalan Allah itu sesuatu yang mulia. Syahid di jalan Allah itu sudah pasti balasannya adalah syurga.
Tapi bagaimanakah konsep mati di jalan Allah atau syahid? Apakah dengan melakukan pembunuhan dan tindakan teror kepada warga sipil dan orang-orang tak berdosa bisa dikategorikan “mati di jalan Allah” atau “syahid?”.
Jawabannya pasti tidak! Mati di jalan bukan konsep dadakan, apalagi konsep yang dilakukan dengan cara biadab dan terkutuk. Mati di jalan Allah itu akan terjadi ketika hidup seseorang juga ada di jalan Allah. Syahid itu hanya akan diperoleh ketika didahului dengan mempersaksikan kebenaran dalam hidup kita.
Mempersaksikan kebenaran itu adalah melakukan ajaran secara konsekuensi. Yaitu dengan menegakkan tauhid dan ubudiyah yang benar, diikuti oleh prilaku sosial yang baik. Inilah hidup yang mempersaksikan kebenaran (syahadah). Dan kehidupan yang seperti inilah pada akhirnya jika berakhir, berakhir di jalan Allah dan menemukan “syahadah” (mati syahid).
Karenanya tindakan teror sungguh tindakan syetan, dan matinya pasti di jalan syetan. Membunuh warga sipil (non combatant) dalam keadaan perang saja dilarang. Apalagi dalam keadaan damai, dan lebih khusus lagi di rumah-rumah ibadah siapa saja, jelas keharamannya dalam Islam.
Karena itu, konsep mati di jalan Allah yang dijanji dengan syurga itu harus dibenarkan. Konsep ini adalah proses hidup hingga akhir. Mati di jalan Allah harus didahului oleh “hidup di jalan-Nya”.
Jika didahului oleh pembunuhan dan pengrusakan, apalagi dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa, jelas bukan mati di jalan Allah yang dijanjikan surga. Tapi mati di jalan setan yang berakhir di neraka.
Ini juga tentunya terkait dengan konsep jihad yang semakin disalahpahami. Jihad menjadi gandengan untuk memburu kepentingan, bahkan kepentingan sesaat dan parsial.
Tegasnya, jihad yang melibatkan persenjataan hanya terjadi ketika ada peperangan. Dan peperangan dalam sebuah tatanan negara hanya boleh dikomandankan (diinstruksikan) oleh Panglima tertinggi, presiden dalam konteks Indonesia.
Selebihnya jihad yang harus ditegakkan adalah jihad-jihad dalam bentuk membangun kepribadian, keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Jihad itu adalah perjuangan untuk membangun kehidupan dan peradaban. Bukan merusak kehidupan dan peradaban. Sementara teror adalah sebaliknya. Merusak kehidupan dan memporak porandakan peradaban.
Merespons Teror
Teror itu kejahatan (evil) yang harus kita perangi bersama. Teror harus dijadikan musuh bersama (common enemy) dan musuh peradaban manusia, bahkan musuh agama dan semua nilai-nilai kebaikan yang ada.
Oleh karenanya harus dihadapi dan direspons secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Tidak setengah hati, apalagi dijadikan sekedar lompatan untuk tujuan yang kadang sama jahatnya, bahkan lebih jahat.
Sejak terjadinya serangan teror di Amerika yang dikenal dengan 9/11 di tahun 2001 yang lalu, gendang peperangan kepada teror (war on terror) telah ditabuh. Dimulai dengan serangan ke Afghanistan oleh Amerika dan sekutunya, yang diikuti oleh berbagai peperangan baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Masalahnya kemudian peperangan kepada teror ini tidak jarang tergandengi oleh kepentingan dan motif-motif jahat yang tidak kurang, bahkan lebih jahat dari teror itu sendiri. Peperangan kepada teror biasanya tergandengi oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme, yang cenderung menghalalkan segala cara. Akibatnya beribu-ribu orang tak berdosa, khususnya anak-anak dan wanita terbunuh demi memburu kepentingan itu. Dan semua itu atas nama memerangi terorisme internasional.
Kembali kepada peristiwa-peristiwa mutakhir di Indonesia, sekedar diingatkan bahwa jangan sampai juga tergandengi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Atas nama memerangi terorisme tapi yang terjadi adalah menarget pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Termasuk di dalamnya kepentingan politik, khususnya di musim politik ini.
Tentu diingatkan pula bahwa jangan juga peristiwa teror ini lalu dengan cara apapun dijadikan alat untuk menuduh pihak tertentu. Pengalaman mengatakan bahwa zaman kini yang paling sering tertuduh adalah umat Islam. Padahal kalaupun yang melakukan kejahatan itu beragama Islam, apakah secara otomatis umat harus dicurigai dan bertanggung jawab?
Tanggung Jawab Bersama
Fenomena ini (teror) sekali adalah musuh bersama (common enemy). Dan karenanya cara terbaik untuk merespon adalah dengan melibatkan semua unsur segmen masyarakat. Pemerintah, tokoh agama, pendidik, senimam, bahkan orang tua, semuanya memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa saja agar kejahatan ini tidak membesar dan melebar.
Jangan sampai peristiwa ini dipakai oleh pihak tertentu untuk semakin memperlebar saling mencurigai, permusuhan dan perpecahan baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antar masyarakat sendiri.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan ini jangan sampai ada yang dirangkul, seolah pahlawan, tapi sebagian yang lain dicurigai bahkan dipandang musuh. Ini sangat berbahaya karena bisa menjadi pemicu penyebab teror seperti yang disebutkan tadi.
Semua pihak harusnya menjadikan semua ini sebagai peringatan. Untuk pemerintah boleh jadi kejahatan ini karena adanya sesuatu yang tidak beres dengan “sense of justice” di masyarakat. Keamanan dan Keadilan sosial erat kaitannya. Dalam bahasa Alquran “al-khauf” (ketidakamanan) dan “al-Juu” (kelaparan/kemiskinan) sangat erat kaitannya.
Untuk ulama dan tokoh agama peristiwa ini harus dijadikan peringatan bahwa ternyata masih ada paham-paham agama yang salah, dan menjadi kewajiban para ulama untuk meluruskannya.
Demikian seterusnya, untuk pendidik, pebisnis semuanya harus menjadikannya sebabai peringatan keras untuk mengambil bagian dalam usaha menangkal kecenderungan ini.
Khusus kepada orang tua, adalah tanggung jawab besar di atas pundak mereka untuk menanamkan nilai-nilai “kasih sayang” sedini mungkin dalam diri generasi. Banyak anak-anak yang tumbuh besar dalam kemarahan karena kesalahan orang tua.
Akhirnya, demikian pula kepada masing-masing golongan dalam masyarakat. Keragaman itu adalah berkah. Tapi gagal mengelolah keragaman boleh jadi membawa musibah.
Satu hal yang krusial dalam mengelolah keragaman ini adalah dengan menumbuh suburkan “saling memahami” dan “saling menghormati”. Bahkan memangun kerja sama di tengah keragaman itu demi terwujudnya “common interest” (kepentingan bersama) yang lebih besar.
Dan adakah lagi kepentingan yang lebih besar dalam konteks keindoneisaan dari pada terwujudnya kesatuan, keadilan, keamanan dan kesejahteraan nasional kita? Dengan bersama-sama menjaga keamanan akan terwujud negara yang “baldatun thoyyibatun wa Rabbib Ghafuur”. Insya Allah!
*Makassar-JKT, 14 Mei 2018
(poe)