Disorientasi Terorisme
A
A
A
DRAMA penyanderaan anggota Densus 88 Antiteror oleh narapidana terorisme di Rumah Tahahan Cabang Salemba, Markas Komando Brimob Polri, Kelapa Dua Depok pada 8 Mei 2018 berakhir setelah berlangsung selama 36 jam. Dari kejadian dramatis ini tergambar empat hal. Pertama, upaya teroris menciptakan momentum baru di luar Suriah dan Irak dan umumnya Timur Tengah masih berlangsung dan dilakukan dalam waktu serentak dan sangat rapi. Hal ini diperkuat dengan viralnya aksi para napi terorisme tersebut di media yang dikelola jejaring ISIS hanya dalam hitungan kurang dari satu jam setelah aksi.
Kedua, ini langkah untuk menciptakan area konflik baru setelah posisi kelompok ISIS terjepit di sebagian besar negara Timur Tengah.
Ketiga, di tengah ruang gerak para teroris yang makin sempit, penyanderaan terhadap lima personel Densus 88 adalah langkah berani dan cenderung nekat. Apalagi dilakukan di Mako Brimob Polri. Upaya ini adalah rangkaian kisruh tahun lalu di tempat yang sama dengan pola yang kurang lebih sama. Ketika tahun lalu dianggap tidak mendapatkan respons yang keras dari Polri, aksi kali ini adalah skema eskalasi yang bila dibaca secara saksama merupakan gabungan dari frustrasi dan disorientasi napi terorisme atas makin sempit dan terbatasnya ruang gerak.
Keempat, pengamanan atas Rumah Tahanan Cabang Salemba di Mako Brimob Polri yang dianggap tidak terlalu ketat oleh para napi terorisme membuat mereka berupaya memanfaatkan keadaan. Langkah tersebut bertujuan membangun sentimen positif atas apa yang dilakukan. Namun hal tersebut ternyata tidak muncul, sebaliknya justru kecaman publik yang mereka peroleh akibat perlakuannya terhadap lima personel Polri yang gugur.
Frustrasi dan Disorientasi
Neuman and Smith (2005) mengungkapkan bahwa disorientasi terorisme dilakukan untuk menjauhkan pemerintah dari publik. Namun dalam fase tertentu hal tersebut menjadi kebalikannya, napi terorisme justru telah menjauhkan diri mereka dari publik dan menjadikan pihak Polri sebagai entitas pemerintah yang mendapatkan simpati dari publik. Kondisi tersebut lanjut Neuman dan Smith dipicu oleh tiga hal, yakni ketiadaan kepemimpinan yang menjadi rujukan, terputusnya jaringan pengumpan dan penghubung, serta makin terdesaknya entitas kelompok teror, dalam hal ini ISIS dalam dinamika regional dan global, sehingga mereka kehilangan daya cengkeram dan kontrol atas wilayah cakupan yang diklaim dikuasai.
Harus diakui, setelah terbunuhnya Santoso pada pertengahan 2016 dan ketidakberdayaan Abu Bakar Baíasyir karena penyakit yang diderita membuat posisi pergerakan terorisme di Indonesia tidak lagi leluasa. Apalagi isu tewasnya Bachrum Naim di Suriah serta Aman Abdurahman yang masih meringkuk di tahanan membuat orientasi organisasi terorisme di Indonesia makin tidak jelas. Situasi inilah yang pada akhirnya membuat frustrasi pelaku teror dan napi terorisme yang ada. Betapapun hal tersebut berkali-kali dibantah, pada kenyataannya langkah dan manuver yang dilakukan pelaku teror di Indonesia memang tidak lagi sistematis, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini.
Oleh karena itu langkah nekat dari napi terorisme di tahanan Mako Brimob Polri harus dilihat dalam lima perspektif. Pertama, upaya tersebut lebih banyak dianggap sebagai langkah trial and error atas situasi yang mereka hadapi, dengan harapan akan muncul kepemimpinan baru di luar Abu Bakar Baasyir, Santoso, Bachrum Naim, dan bahkan Aman Abdurahman. Namun faktanya, hal tersebut tidak muncul, malah ada sikap ambigu yang muncul manakala mereka menyerah pada 10 Mei 2018 setelah lebih dari 36 jam melakukan penyanderaan dan perlawanan. Sikap ambigu tersebut dipicu oleh kefrustrasian akibat ketiadaan kepemimpinan yang terukur, jalur logistik yang ditutup, dan terdesaknya wilayah klaim yang dimiliki.
Kedua, perlu evaluasi atas pengamanan yang tidak ketat dan komunikasi antara personel Densus 88 Antiteror yang menjaga rumah tahanan tersebut dengan para napi terorisme. Ben Sheppard (2009) mengingatkan bahwa betapapun para pelaku teror tersebut tampak pasrah dan menerima hukuman atas perbuatannya, ideologinya tidak serta-merta hilang. Oleh karena itu butuh pola dan penanganan yang sama atas para pelaku teror sejak penangkapan hingga proses hukuman yang dijalaninya. Artinya Densus 88 Antiteror Polri harus kembali menguatkan persepsi dan tindakan personelnya untuk fokus pada peran dan fungsinya secara efektif dan tidak larut.
Ketiga, perlu sikap tegas dari pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Antiterorisme sebagai pengganti UU Nomor 15/ 2003. UU baru itu akan menjadi rujukan bagi upaya kontraradikalisme, pelepasan, dan deradikalisasi, dari hulu hingga hilir, yang melibatkan komponen lain, utamanya yang berkaitan dengan tahapan deradikalisasi seperti Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), serta unsur lainnya dengan tetap mengedepankan penegakan hukum.
Keempat, peristiwa tersebut juga menegaskan pentingnya tahanan khusus teroris dikelola dengan pengamanan yang ketat dan diorientasikan untuk mengembalikan para tahanan itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Persyaratan pengamanan ketat di antaranya akses ke rumah tahanan khusus teroris yang terbatas serta jaringan komunikasi yang terlokalisasi. Hal ini perlu ditegaskan mengingat persepsi kita terhadap pelaku teror cenderung permisif dan abai atas kerusakan yang dibuat kepada bangsa dan negara.
Kelima, ideologi teror itu bukan bagian dari ajaran agama tertentu sehingga prilaku keji yang dilakukan para napi terorisme terhadap personel Densus 88 Antiteror bukan merepresentasikan ajaran agama, tapi perbuatan yang mengenyahkan sisi kemanusiaan. Oleh karena itu apa yang dilakukan napi terorisme tersebut tidak pernah menjadi bagian atas ajaran yang diklaimnya tersebut.
Kedua, ini langkah untuk menciptakan area konflik baru setelah posisi kelompok ISIS terjepit di sebagian besar negara Timur Tengah.
Ketiga, di tengah ruang gerak para teroris yang makin sempit, penyanderaan terhadap lima personel Densus 88 adalah langkah berani dan cenderung nekat. Apalagi dilakukan di Mako Brimob Polri. Upaya ini adalah rangkaian kisruh tahun lalu di tempat yang sama dengan pola yang kurang lebih sama. Ketika tahun lalu dianggap tidak mendapatkan respons yang keras dari Polri, aksi kali ini adalah skema eskalasi yang bila dibaca secara saksama merupakan gabungan dari frustrasi dan disorientasi napi terorisme atas makin sempit dan terbatasnya ruang gerak.
Keempat, pengamanan atas Rumah Tahanan Cabang Salemba di Mako Brimob Polri yang dianggap tidak terlalu ketat oleh para napi terorisme membuat mereka berupaya memanfaatkan keadaan. Langkah tersebut bertujuan membangun sentimen positif atas apa yang dilakukan. Namun hal tersebut ternyata tidak muncul, sebaliknya justru kecaman publik yang mereka peroleh akibat perlakuannya terhadap lima personel Polri yang gugur.
Frustrasi dan Disorientasi
Neuman and Smith (2005) mengungkapkan bahwa disorientasi terorisme dilakukan untuk menjauhkan pemerintah dari publik. Namun dalam fase tertentu hal tersebut menjadi kebalikannya, napi terorisme justru telah menjauhkan diri mereka dari publik dan menjadikan pihak Polri sebagai entitas pemerintah yang mendapatkan simpati dari publik. Kondisi tersebut lanjut Neuman dan Smith dipicu oleh tiga hal, yakni ketiadaan kepemimpinan yang menjadi rujukan, terputusnya jaringan pengumpan dan penghubung, serta makin terdesaknya entitas kelompok teror, dalam hal ini ISIS dalam dinamika regional dan global, sehingga mereka kehilangan daya cengkeram dan kontrol atas wilayah cakupan yang diklaim dikuasai.
Harus diakui, setelah terbunuhnya Santoso pada pertengahan 2016 dan ketidakberdayaan Abu Bakar Baíasyir karena penyakit yang diderita membuat posisi pergerakan terorisme di Indonesia tidak lagi leluasa. Apalagi isu tewasnya Bachrum Naim di Suriah serta Aman Abdurahman yang masih meringkuk di tahanan membuat orientasi organisasi terorisme di Indonesia makin tidak jelas. Situasi inilah yang pada akhirnya membuat frustrasi pelaku teror dan napi terorisme yang ada. Betapapun hal tersebut berkali-kali dibantah, pada kenyataannya langkah dan manuver yang dilakukan pelaku teror di Indonesia memang tidak lagi sistematis, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini.
Oleh karena itu langkah nekat dari napi terorisme di tahanan Mako Brimob Polri harus dilihat dalam lima perspektif. Pertama, upaya tersebut lebih banyak dianggap sebagai langkah trial and error atas situasi yang mereka hadapi, dengan harapan akan muncul kepemimpinan baru di luar Abu Bakar Baasyir, Santoso, Bachrum Naim, dan bahkan Aman Abdurahman. Namun faktanya, hal tersebut tidak muncul, malah ada sikap ambigu yang muncul manakala mereka menyerah pada 10 Mei 2018 setelah lebih dari 36 jam melakukan penyanderaan dan perlawanan. Sikap ambigu tersebut dipicu oleh kefrustrasian akibat ketiadaan kepemimpinan yang terukur, jalur logistik yang ditutup, dan terdesaknya wilayah klaim yang dimiliki.
Kedua, perlu evaluasi atas pengamanan yang tidak ketat dan komunikasi antara personel Densus 88 Antiteror yang menjaga rumah tahanan tersebut dengan para napi terorisme. Ben Sheppard (2009) mengingatkan bahwa betapapun para pelaku teror tersebut tampak pasrah dan menerima hukuman atas perbuatannya, ideologinya tidak serta-merta hilang. Oleh karena itu butuh pola dan penanganan yang sama atas para pelaku teror sejak penangkapan hingga proses hukuman yang dijalaninya. Artinya Densus 88 Antiteror Polri harus kembali menguatkan persepsi dan tindakan personelnya untuk fokus pada peran dan fungsinya secara efektif dan tidak larut.
Ketiga, perlu sikap tegas dari pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Antiterorisme sebagai pengganti UU Nomor 15/ 2003. UU baru itu akan menjadi rujukan bagi upaya kontraradikalisme, pelepasan, dan deradikalisasi, dari hulu hingga hilir, yang melibatkan komponen lain, utamanya yang berkaitan dengan tahapan deradikalisasi seperti Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), serta unsur lainnya dengan tetap mengedepankan penegakan hukum.
Keempat, peristiwa tersebut juga menegaskan pentingnya tahanan khusus teroris dikelola dengan pengamanan yang ketat dan diorientasikan untuk mengembalikan para tahanan itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Persyaratan pengamanan ketat di antaranya akses ke rumah tahanan khusus teroris yang terbatas serta jaringan komunikasi yang terlokalisasi. Hal ini perlu ditegaskan mengingat persepsi kita terhadap pelaku teror cenderung permisif dan abai atas kerusakan yang dibuat kepada bangsa dan negara.
Kelima, ideologi teror itu bukan bagian dari ajaran agama tertentu sehingga prilaku keji yang dilakukan para napi terorisme terhadap personel Densus 88 Antiteror bukan merepresentasikan ajaran agama, tapi perbuatan yang mengenyahkan sisi kemanusiaan. Oleh karena itu apa yang dilakukan napi terorisme tersebut tidak pernah menjadi bagian atas ajaran yang diklaimnya tersebut.
(pur)