Disorientasi Terorisme

Jum'at, 11 Mei 2018 - 05:07 WIB
Disorientasi Terorisme
Disorientasi Terorisme
A A A
DRAMA pe­nyan­de­ra­an anggota Den­sus 88 Antiteror oleh na­rapidana te­­r­o­ris­me di Rumah Tahahan Ca­­bang Salemba, Markas Ko­man­­do Brimob Polri, Kelapa Dua De­pok pada 8 Mei 2018 ber­akhir se­­telah berlangsung se­lama 36 jam. Dari kejadian dra­m­atis ini ter­gambar empat hal. Pertama, upa­ya teroris men­ciptakan mo­men­tum baru di luar Suriah dan Irak dan umum­nya Timur Te­ngah ma­sih berlangsung dan di­la­kukan da­lam waktu serentak dan sa­ngat rapi. Hal ini di­per­kuat de­ngan viralnya aksi para na­pi te­ro­risme tersebut di me­dia yang di­kelola jejaring ISIS ha­nya da­lam hitungan kurang da­ri satu jam setelah aksi.

Kedua, ini langkah untuk men­ciptakan area konflik baru s­e­telah posisi kelompok ISIS ter­jepit di sebagian besar ne­ga­ra Timur Tengah.

Ketiga, di tengah ruang ge­rak para teroris yang makin sem­p­­it, penyanderaan ter­ha­dap lima personel Densus 88 ada­­lah langkah berani dan cen­de­rung nekat. Apalagi d­i­la­ku­kan di Mako Brimob Polri. Upa­ya ini adalah rangkaian kisruh ta­hun lalu di tempat yang sama de­ngan pola yang kurang lebih sa­­ma. Ketika tahun lalu di­ang­gap tidak mendapatkan res­pons yang keras dari Polri, aksi ka­li ini adalah skema eskalasi yang bila dibaca secara saksama me­rupakan gabungan dari frus­­tra­si dan disorientasi napi te­­r­o­ris­me atas makin sempit dan ter­­batasnya ruang gerak.

Keempat, pengamanan atas Ru­­­mah Tahanan Cabang Sa­lem­­­ba di Mako Brimob Polri yang di­ang­gap tidak terlalu ke­tat oleh p­a­ra napi terorisme mem­­buat me­reka berupaya me­­­man­faat­kan keadaan. Lang­k­ah tersebut ber­tujuan mem­ba­ngun sen­ti­men positif atas apa yang di­la­ku­kan. Na­mun hal ter­sebut ter­nya­ta t­i­dak mun­cul, sebaliknya jus­tru ke­caman pub­lik yang me­re­ka per­oleh aki­bat per­la­ku­an­nya ter­hadap li­ma personel Pol­ri yang gugur.

Frustrasi dan Disorientasi

Neuman and Smith (2005) meng­­ungkapkan bahwa dis­orien­­tasi terorisme dilakukan un­­tuk menjauhkan pe­me­rin­tah da­ri publik. Namun dalam fa­se ter­tentu hal tersebut men­ja­di ke­balikannya, napi te­ro­ris­me jus­tru telah menjauhkan di­ri me­reka dari publik dan men­ja­­di­kan pihak Polri sebagai en­ti­­tas pemerintah yang men­da­pat­­kan simpati dari publik. Kon­­disi tersebut lanjut Neu­man dan Smith dipicu oleh tiga hal, yakni ketiadaan ke­pe­mim­pin­­an yang menjadi rujukan, ter­­putusnya jaringan peng­um­pan dan penghubung, serta ma­­kin terdesaknya entitas ke­lom­­pok teror, dalam hal ini ISIS da­­lam dinamika regional dan glo­­bal, sehingga mereka ke­hi­lang­­an daya cengkeram dan kont­rol atas wilayah cakupan yang di­klaim dikuasai.

Harus diakui, setelah ter­bu­nuh­nya Santoso pada pert­­­­e­ngah­an 2016 dan ketidak­ber­da­yaan Abu Bakar Baíasyir ka­re­na penyakit yang diderita mem­buat posisi pergerakan te­ro­ris­me di Indonesia tidak lagi le­lua­sa. Apalagi isu tewasnya Bach­rum Naim di Suriah serta Aman Ab­durahman yang ma­sih me­ring­kuk di tahanan mem­buat orien­tasi organisasi te­rorisme di Indonesia makin ti­dak jelas. Si­tuasi inilah yang pa­da ak­hir­nya membuat frus­tras­i pelaku te­ror dan napi te­ro­ris­me yang ada. Betapapun hal ter­sebut ber­­kali-kali dibantah, pa­da ke­nya­­ta­an­nya langkah dan m­a­nu­ver yang di­lakukan pe­laku teror di In­do­ne­sia m­e­mang tidak lagi sis­­te­ma­tis, se­ti­dak­nya dalam dua ta­hun ter­akhir ini.

Oleh karena itu langkah n­e­kat dari napi terorisme di ta­han­­an Mako Brimob Polri h­a­rus di­li­­hat dalam lima pers­pek­tif. Per­ta­ma, upaya tersebut l­e­b­ih ba­nyak dianggap sebagai lang­kah trial and error atas si­tua­s­i yang me­reka hadapi, de­ngan ha­rap­an akan muncul ke­pemimpinan ba­ru di luar Abu Ba­kar Baasyir, San­toso, Bac­h­rum Naim, dan bah­kan Aman Ab­durahman. Na­mun fak­ta­nya, hal tersebut ti­dak muncul, ma­lah ada sikap am­bigu yang mun­cul manakala me­reka me­nye­rah pada 10 Mei 2018 set­e­lah lebih dari 36 jam me­lakukan p­e­nyanderaan dan per­la­wa­n­an. Sikap ambigu ter­se­but di­pi­cu oleh kefrustrasian aki­bat ke­tia­daan ke­pe­mim­pin­an yang ter­ukur, jalur logistik yang di­tu­tup, dan terdesaknya wi­la­yah klaim yang dimiliki.

Kedua, perlu evaluasi atas peng­­­amanan yang tidak ketat dan komunikasi antara per­so­nel Den­sus 88 Antiteror yang men­ja­ga rumah tahanan ter­se­but de­ngan para napi te­ro­ris­me. Ben Shep­pard (2009) meng­­ingat­kan bahwa be­ta­pa­pun pa­ra pe­la­ku teror tersebut tam­pak pas­rah dan menerima hu­­kum­an atas per­buatannya, ideo­­lo­gi­nya t­i­dak serta-merta hi­lang. Oleh ka­re­na itu butuh po­la dan pe­na­ngan­an yang sa­ma atas pa­ra pe­la­ku teror sejak ­pe­­nang­kap­an hing­ga proses hu­kuman yang di­ja­laninya. Ar­t­i­nya Den­sus 88 An­ti­teror Polri ha­rus kem­bali me­nguatkan per­­sepsi dan tin­dak­an per­so­nel­nya un­tuk fokus pa­da peran dan fung­sinya secara efektif dan tidak larut.

Ketiga, perlu sikap tegas da­ri pe­­­merintah dan DPR untuk se­­ge­­ra menyelesaikan pem­ba­has­­an RUU Antiterorisme se­ba­gai peng­­ganti UU Nomor 15/ 2003. UU baru itu akan men­ja­di ru­juk­an bagi upaya kon­tra­ra­di­­ka­lis­me, pelepasan, dan dera­di­­ka­li­sa­si, dari hulu hingga hi­lir, yang me­­libatkan kom­ponen lain, uta­ma­nya yang berkaitan d­e­ngan ta­­hap­an deradikalisasi se­­per­ti Ke­men­terian Agama, Ke­­­men­te­ri­­an Sosial, Badan Pem­­­bi­na Ideo­­logi Pancasila (BPIP), ser­ta un­sur lainnya de­ngan te­tap me­nge­depankan pe­­ne­gak­an hukum.

Keempat, peristiwa te­r­se­but ju­­ga menegaskan pen­ting­nya ta­­hanan khusus teroris di­ke­lola de­­ngan pengamanan yang ke­tat dan diorientasikan un­tuk me­­ngem­balikan para ta­han­an itu ke pangkuan Ibu Per­tiwi. Per­­sya­ratan pengamanan ke­tat di an­taranya akses ke ru­mah ta­han­­an khusus teroris yang ter­ba­­tas serta jaringan k­o­mu­­ni­ka­si yang terlokalisasi. Hal ini per­lu dite­gas­kan meng­ingat per­sep­­si kita ter­hadap pe­laku teror cen­­de­rung permisif d­an abai atas ke­ru­sakan yang di­buat ke­pa­da bang­sa dan negara.

Kelima, ideologi teror itu bu­kan bagian dari ajaran agama ter­­­tentu sehingga prilaku keji yang dilakukan para napi te­ro­ris­­­me terhadap personel Den­sus 88 An­titeror bukan me­re­pre­­sent­a­si­kan ajaran agama, ta­pi per­buat­an yang me­ng­enyah­kan sisi ke­manusiaan. Oleh ka­re­na itu apa yang di­la­ku­kan napi te­ro­ris­me tersebut ti­dak pernah men­ja­di bagian atas ajaran yang di­klaimnya tersebut.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5373 seconds (0.1#10.140)