Warisan Budaya untuk Semua

Rabu, 02 Mei 2018 - 08:00 WIB
Warisan Budaya untuk Semua
Warisan Budaya untuk Semua
A A A
Nadjamuddin RamlyDosen Universitas Tadulako/Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud

KETIKA Pemerintah Mesir memutuskan membuat Bendungan Aswan pada 1954, Kuil Abu Simbel yang merupakan peninggalan bukti peradaban Mesir Kuno ikut terkena dampak banjir. Peristiwa tersebut melahirkan sejarah penolakan yang besar dari kalangan cendekia bidang pelestarian warisan budaya.

Saat bersamaan, rasa kepedulian dan tanggung jawab dunia untuk menjaga warisan budaya khususnya di Indonesia terus diupayakan. Alhasil, Candi Borobudur menjadi satu dari tiga mahakarya warisan budaya dunia yang dipandang penting dan mendapat dukungan dari bangsa-bangsa di dunia.

Pada saat ditemukan Candi Borobudur mengalami kerusakan yang signifikan. Pemugaran membutuhkan waktu hingga 10 tahun dengan biaya besar. Pemugaran juga melibatkan berbagai bidang disiplin keahlian. Namun, berkat kesuksesan kampanye internasional yang dilakukan UNESCO untuk merestorasi Candi Borobudur, restorasi bisa dilakukan. Hal itu dilakukan dengan mendatangkan dana bantuan dari berbagai negara dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu (arkeologi, sejarah, kimia, dan teknik sipil). Akhirnya pada 1983, Candi Borobudur berhasil diresmikan oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia kala itu.

Menyadari adanya ancaman kerusakan dan kepunahan warisan budaya, UNESCO mengambil inisiatif untuk menerbitkan konvensi yang secara khusus menitikberatkan perlindungan warisan budaya dan alam pada tahun 1974. Konvensi yang dinamakan Perlindungan Warisan Dunia Alam dan Budaya ini (Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage) menjamin perlindungan warisan budaya dan alam, menyusun rencana pengelolaan, mengatur sistem pelaporan keadaan pelestarian, melindungi warisan budaya dan alam dengan menyediakan bantuan teknis dan pelatihan profesional, serta mendorong partisipasi masyarakat dan kerja sama internasional bagi perlindungan warisan budaya dan alam.

Pemerintah Republik Indonesia melakukan upaya perlindungan yang diamanahkan dalam konvensi ini sejalan dengan peraturan perundangan Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya. Undang-undang mencakup cagar budaya, yaitu benda, bangunan, situs, struktur, dan kawasan.

Indonesia saat ini sudah berhasil menetapkan empat warisan budaya, yaitu Kompleks Candi Borobudur termasuk Candi Mendut dan Candi Pawon pada 1991, Kompleks Candi Prambanan termasuk Candi Sewu, Candi Bubrah, Candi Lumbung, dan Candi Gana pada 1992; Situs Manusia Purba Sangiran pada 1996; dan Lanskap Budaya “Subak” Provinsi Bali pada 2012, termasuk empat warisan alam mencakup Taman Nasional Komodo pada 1991, Taman Nasional Ujung Kulon pada 1991, Taman Nasional Lorenzt pada 1999, dan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera pada 2004. Selain delapan warisan budaya dan alam yang sudah ditetapkan UNESCO, terdapat beberapa usulan baru masuk dalam Daftar Sementara Warisan Dunia UNESCO berjumlah 19 kawasan.

Arti Penting Usulan Warisan Budaya Dunia
Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value) merupakan ide dasar dari konvensi ini. Di berbagai negara, tersimpan warisan bersama yang bernilai penting bagi kemanusiaan dan memberikan arti penting bagi generasi sekarang serta akan datang.

Penentuan nilai penting ditentukan oleh kriteria tertentu, yaitu sebagai mahakarya, pertukaran nilai yang seimbang, testimoni atas tradisi budaya, baik sudah punah atau masih berlangsung, tipologi, dan makna lahan dan/atau terasosiasi dengan peristiwa yang berlangsung saat ini. Tinggalan budaya yang diwarisi hingga sekarang harus tampak utuh dan terintegrasi dalam suatu fisik ruang. Oleh sebab itu, kondisi fisik tinggalan budaya tersebut mutlak harus terjaga, terawat, dan terkelola dengan baik.

Dalam perkembangannya, pendekatan ini menimbulkan permasalahan terutama manusia dan lingkungannya. Permasalahan terletak pada sikap dan pandangan masyarakat bahwa warisan dunia memberi batas-batas perlindungan sehingga membuat jarak antara masyarakat dengan warisan budayanya sendiri.

Hal ini bisa dilihat dari pengusulan dan penetapan lanskap budaya Provinsi Bali (Subak) menjadi warisan budaya dunia. Pengusulan dan penetapannya terbilang lama karena harus ada pelibatan masyarakat langsung dalam pengelolaan Subak.

Seperti diketahui, Subak merupakan lanskap budaya tempat hubungan antara manusia dengan tanah yang berjalan dari waktu ke waktu. Hubungan tersebut diwariskan dalam setiap kehidupan manusia. Subak adalah sebuah sistem pengairan pada sawah sejak abad ke-9 di Bali yang menunjukkan filosofi dari konsep Tri Hita Karana. Konsep tersebut menghubungkan konsep spiritual, keduniawian, dan alam yang terlahir dengan sendirinya ketika terjadi pertukaran budaya antara Bali dengan India sehingga subak sudah merupakan bagian dari budaya pura (temple culture).

Nilai-nilai kearifan inilah menjadi nilai penting yang dimiliki lanskap budaya Provinsi Bali dan harus terus dijaga demi kelestariannya. Dalam pengusulan warisan budaya dunia, Subak memenuhi 3 (tiga) dari 6 (enam) kriteria Nilai Universal Luar Biasa yang ditentukan UNESCO.

Untuk itu, mengingat cakupan pengelolaan warisan budaya yang luas, peranan dan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan pendukungnya.

Pelestarian harus hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas. Hal ini sewajibnya didukung dengan pengelolaan bersama dan sinergitas stakeholder agar tujuan pengelolaan berkelanjutan yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3959 seconds (0.1#10.140)