Politik yang Rakus
A
A
A
Bambang Widodo Umar
Guru Besar Sosiologi Hukum Departemen Kriminologi FISIP UI
Pernyataan ini pernah dilontarkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dan kini kembali mengentak setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Terlepas benar tidaknya prediksi Indonesia akan bubar, berbagai kesulitan melanda Indonesia yang diawali sebelum Soeharto jatuh sampai saat ini. Perubahan ke arah perbaikan-sebagaimana dikehendaki oleh rakyat-memang belum tampak jelas. Mungkinkah ini karena politik yang rakus? Politik yang hanya digerakkan oleh syahwat mengejar kekuasaan untuk memperoleh sesuatu lebih banyak daripada yang diperlukan?
Dari sisi ketahanan nasional, Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menunjukkan indeks ketahanan nasional di Indonesia pada kurun 2014-2015 mengalami penurunan. Kemudian dari hasil survei Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lemhannas juga menyatakan indeks ketahanan nasional Indonesia pada 2016 berada pada posisi kurang tangguh. Dari delapan gatra yang diukur, tiga gatra menunjukkan tren penurunan, yaitu gatra sumber kekayaan alam, gatra sosial budaya, dan gatra ideologi. Apabila tren itu terus menurun, apa tidak mungkin membuat kapal republik ini akhirnya karam? Tidak ada jalan pintas (shortcut) untuk menahan bahaya itu bila sumber daya yang ada tak teroptimalisasi secara maksimal, termasuk sumber daya manusia.
Fakta yang terjadi saat ini justru kemerosotan. Berkembangnya ujaran kebencian, misalnya, yang diikuti dengan meledaknya sentimen agama memperlihatkan bagaimana degradasi moral hingga adab oleh sebagian dari bangsa ini nyata adanya. Sentimen agama yang didiseminasi menggunakan berita palsu (hoaks) oleh oknum-oknum picisan justru mengundang intervensi dari dalam maupun luar negeri.
Intinya jika aktor perpolitikan tidak menyadari keadaan ini, bahkan tidak mau tahu akan kesejukan politik yang sangat didambakan masyarakat, tapi merasa lebih tahu dengan berbagai kebijakan tanpa melihat skala prioritas dan dampaknya, keadaan bisa menjadi semakin buruk. Sialnya lagi hal itu berakumulasi dengan korupsi untuk memperkaya diri sendiri serta golongannya dan hal itu terus berlanjut. Lengkap sudah persyaratan untuk menuju keruntuhan suatu bangsa dan negara.
Lalu bagaimana? Apakah warga negara diam saja? Menyerahkan masalah kepada aktor perpolitikan yang tak acuh, juga tokoh-tokoh masyarakat yang lembek tetapi bangga menjadi agen-agen kekuasaan? Malang nian nasib rakyat Indonesia karena orang-orang yang diharapkan membawa rakyat, bangsa, dan negara ke arah kehidupan lebih baik, aman sejahtera, justru berbuat memalukan. Gangguan apa saja yang akan masyarakat hadapi, bagaimana mereka harus menghadapi dan menjaga haknya secara baik dan benar? Pertama, perlu disadari bahwa proses demokratisasi Barat yang tumbuh cepat di Indonesia ternyata dibarengi oleh timbulnya nasionalisme baru dengan berbagai keguncangan. Percepatan negara untuk menjadi negara industri menjadikan kebingungan bagi bangsa dalam menerima pengaruh paham nasionalisme. Nasionalisme aliran kiri berhubungan erat dengan antikapitalis, terutama di dunia ketiga setelah Perang Dunia II.
Sementara itu nasionalisme aliran kanan, yang bertautan dengan fasisme, hancur setelah Perang Dunia II. Awal 1990, runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin memunculkan kembali nasionalisme aliran kanan. Tentu aliran ini tidak stagnan, dengan strategi barunya membuat kebingungan di banyak negara termasuk Indonesia dalam membina nasionalismenya.
Di Indonesia, kebingungan itu diakumulasi melalui sentimen antar-penganut agama dengan eskalasi yang tinggi. Meskipun secara fisik belum runtuh, hal itu membuat kesal mereka yang menginginkannya. Siapa saja mereka itu? Bisa jadi kaum kapitalis baru yang ingin menguasai daerah kaya sumber alam, atau negara-negara besar yang melihat NKRI sudah tidak punya harapan untuk bisa membayar utang atau bisa jadi dari kaum fundamentalis agama.
Demokratisasi pasca-Soeharto harus dibayar dengan longgarnya tekanan maupun penerapan aturan hingga terjadi ketidakstabilan di semua lini, apalagi penegakan hukum terus melemah. Lalu bagaimana demokratisasi bisa berjalan dengan lancar. Hal ini justru yang harus dipikirkan oleh para negarawan, para cedekiawan maupun tokoh-tokoh masyarakat. Mana yang harus dipilih menekan demokrasi sampai pada titik tertentu sambil menjaga kestabilan politik dan roda perekonomian sehingga memberikan kehidupan yang setara kepada rakyat banyak atau terus membuka kran politik praktis yang tak tentu arahnya?
Cukup sudah pengorbanan ini, enough is enough kata orang Barat. Mari bersama-sama membangun kembali negeri ini dari begitu banyak permasalahan yang tidak sekadar disebabkan masalah teknis, tetapi lebih dari itu sudah menyangkut masalah substantif. Mungkin kita masih perlu belajar perpolitikan lebih arif dan bermakna. Dari sini kita berharap lahir pemimpin dan negarawan yang memiliki keprihatinan mendalam akan nasib bangsanya, tanggung jawab besar atas tugasnya, dan mampu mendorong spirit untuk mewujudkan perubahan yang konstruktif.
Guru Besar Sosiologi Hukum Departemen Kriminologi FISIP UI
Pernyataan ini pernah dilontarkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dan kini kembali mengentak setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Terlepas benar tidaknya prediksi Indonesia akan bubar, berbagai kesulitan melanda Indonesia yang diawali sebelum Soeharto jatuh sampai saat ini. Perubahan ke arah perbaikan-sebagaimana dikehendaki oleh rakyat-memang belum tampak jelas. Mungkinkah ini karena politik yang rakus? Politik yang hanya digerakkan oleh syahwat mengejar kekuasaan untuk memperoleh sesuatu lebih banyak daripada yang diperlukan?
Dari sisi ketahanan nasional, Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menunjukkan indeks ketahanan nasional di Indonesia pada kurun 2014-2015 mengalami penurunan. Kemudian dari hasil survei Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lemhannas juga menyatakan indeks ketahanan nasional Indonesia pada 2016 berada pada posisi kurang tangguh. Dari delapan gatra yang diukur, tiga gatra menunjukkan tren penurunan, yaitu gatra sumber kekayaan alam, gatra sosial budaya, dan gatra ideologi. Apabila tren itu terus menurun, apa tidak mungkin membuat kapal republik ini akhirnya karam? Tidak ada jalan pintas (shortcut) untuk menahan bahaya itu bila sumber daya yang ada tak teroptimalisasi secara maksimal, termasuk sumber daya manusia.
Fakta yang terjadi saat ini justru kemerosotan. Berkembangnya ujaran kebencian, misalnya, yang diikuti dengan meledaknya sentimen agama memperlihatkan bagaimana degradasi moral hingga adab oleh sebagian dari bangsa ini nyata adanya. Sentimen agama yang didiseminasi menggunakan berita palsu (hoaks) oleh oknum-oknum picisan justru mengundang intervensi dari dalam maupun luar negeri.
Intinya jika aktor perpolitikan tidak menyadari keadaan ini, bahkan tidak mau tahu akan kesejukan politik yang sangat didambakan masyarakat, tapi merasa lebih tahu dengan berbagai kebijakan tanpa melihat skala prioritas dan dampaknya, keadaan bisa menjadi semakin buruk. Sialnya lagi hal itu berakumulasi dengan korupsi untuk memperkaya diri sendiri serta golongannya dan hal itu terus berlanjut. Lengkap sudah persyaratan untuk menuju keruntuhan suatu bangsa dan negara.
Lalu bagaimana? Apakah warga negara diam saja? Menyerahkan masalah kepada aktor perpolitikan yang tak acuh, juga tokoh-tokoh masyarakat yang lembek tetapi bangga menjadi agen-agen kekuasaan? Malang nian nasib rakyat Indonesia karena orang-orang yang diharapkan membawa rakyat, bangsa, dan negara ke arah kehidupan lebih baik, aman sejahtera, justru berbuat memalukan. Gangguan apa saja yang akan masyarakat hadapi, bagaimana mereka harus menghadapi dan menjaga haknya secara baik dan benar? Pertama, perlu disadari bahwa proses demokratisasi Barat yang tumbuh cepat di Indonesia ternyata dibarengi oleh timbulnya nasionalisme baru dengan berbagai keguncangan. Percepatan negara untuk menjadi negara industri menjadikan kebingungan bagi bangsa dalam menerima pengaruh paham nasionalisme. Nasionalisme aliran kiri berhubungan erat dengan antikapitalis, terutama di dunia ketiga setelah Perang Dunia II.
Sementara itu nasionalisme aliran kanan, yang bertautan dengan fasisme, hancur setelah Perang Dunia II. Awal 1990, runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin memunculkan kembali nasionalisme aliran kanan. Tentu aliran ini tidak stagnan, dengan strategi barunya membuat kebingungan di banyak negara termasuk Indonesia dalam membina nasionalismenya.
Di Indonesia, kebingungan itu diakumulasi melalui sentimen antar-penganut agama dengan eskalasi yang tinggi. Meskipun secara fisik belum runtuh, hal itu membuat kesal mereka yang menginginkannya. Siapa saja mereka itu? Bisa jadi kaum kapitalis baru yang ingin menguasai daerah kaya sumber alam, atau negara-negara besar yang melihat NKRI sudah tidak punya harapan untuk bisa membayar utang atau bisa jadi dari kaum fundamentalis agama.
Demokratisasi pasca-Soeharto harus dibayar dengan longgarnya tekanan maupun penerapan aturan hingga terjadi ketidakstabilan di semua lini, apalagi penegakan hukum terus melemah. Lalu bagaimana demokratisasi bisa berjalan dengan lancar. Hal ini justru yang harus dipikirkan oleh para negarawan, para cedekiawan maupun tokoh-tokoh masyarakat. Mana yang harus dipilih menekan demokrasi sampai pada titik tertentu sambil menjaga kestabilan politik dan roda perekonomian sehingga memberikan kehidupan yang setara kepada rakyat banyak atau terus membuka kran politik praktis yang tak tentu arahnya?
Cukup sudah pengorbanan ini, enough is enough kata orang Barat. Mari bersama-sama membangun kembali negeri ini dari begitu banyak permasalahan yang tidak sekadar disebabkan masalah teknis, tetapi lebih dari itu sudah menyangkut masalah substantif. Mungkin kita masih perlu belajar perpolitikan lebih arif dan bermakna. Dari sini kita berharap lahir pemimpin dan negarawan yang memiliki keprihatinan mendalam akan nasib bangsanya, tanggung jawab besar atas tugasnya, dan mampu mendorong spirit untuk mewujudkan perubahan yang konstruktif.
(zik)