Politik yang Rakus

Jum'at, 27 April 2018 - 09:30 WIB
Politik yang Rakus
Politik yang Rakus
A A A
Bambang Widodo Umar
Guru Besar Sosiologi Hukum Departemen Kriminologi FISIP UI

Pernyataan ini per­nah dilontarkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dan kini kembali me­ngentak setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Terlepas benar tidaknya prediksi Indo­nesia akan bubar, berbagai ke­sulitan melanda Indonesia yang diawali se­belum Soeharto jatuh sampai saat ini. Perubahan ke arah perbaikan-sebagaimana dikehendaki oleh rakyat-memang belum tam­pak jelas. Mungkinkah ini ka­rena politik yang rakus? Politik yang hanya digerakkan oleh syahwat me­ngejar kekuasaan untuk mem­peroleh sesuatu lebih banyak daripada yang diperlukan?

Dari sisi ketahanan nasio­nal, Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menunjukkan indeks ketahanan nasional di Indonesia pada kurun 2014-2015 mengalami penurunan. Kemudian dari hasil survei Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lem­hannas juga menyatakan indeks ketahanan nasional Indonesia pada 2016 berada pada posisi kurang tangguh. Dari delapan gatra yang di­ukur, tiga gatra menunjukkan tren penurunan, yaitu gatra sumber kekayaan alam, gatra sosial budaya, dan gatra ideologi. Apabila tren itu terus menurun, apa tidak mungkin membuat kapal republik ini akhirnya karam? Tidak ada jalan pintas (shortcut) untuk menahan ba­haya itu bila sumber daya yang ada tak teroptimalisasi secara maksimal, termasuk sumber daya manusia.

Fakta yang terjadi saat ini justru kemerosotan. Ber­kem­bangnya ujaran kebencian, misalnya, yang diikuti dengan meledaknya sentimen agama memperlihatkan bagaimana degradasi moral hingga adab oleh sebagian dari bangsa ini nyata adanya. Sentimen aga­ma yang didiseminasi meng­gunakan berita palsu (hoaks) oleh oknum-oknum picisan justru mengundang intervensi dari dalam maupun luar negeri.

Intinya jika aktor per­poli­tik­an tidak menyadari ke­ada­an ini, bahkan tidak mau tahu akan kesejukan politik yang sangat didambakan masyarakat, tapi merasa lebih tahu de­ngan ber­bagai kebijakan tanpa melihat skala prioritas dan dampaknya, keadaan bisa men­jadi semakin buruk. Sial­nya lagi hal itu berakumulasi dengan korupsi untuk mem­perkaya diri sendiri serta golongannya dan hal itu terus berlanjut. Lengkap sudah persyaratan untuk menuju keruntuhan suatu bangsa dan negara.

Lalu bagaimana? Apakah warga negara diam saja? Menyerahkan masalah kepada aktor perpolitikan yang tak acuh, juga tokoh-tokoh masyara­kat yang lembek tetapi bang­ga menjadi agen-agen ke­kuasaan? Malang nian nasib rakyat Indonesia karena orang-orang yang diharapkan mem­bawa rakyat, bangsa, dan ne­gara ke arah kehidupan lebih baik, aman sejahtera, justru ber­­buat memalukan. Ganggu­an apa saja yang akan masya­rakat hadapi, bagai­mana me­reka harus meng­­hadapi dan men­jaga hak­nya secara baik dan benar? Per­tama, perlu disadari bahwa pro­ses demo­krati­sasi Barat yang tumbuh cepat di Indonesia ter­nyata di­barengi oleh tim­bul­nya nasio­nalisme baru dengan berbagai kegun­cangan. Per­cepatan negara untuk menjadi negara industri menjadikan ke­bingung­an bagi bangsa dalam menerima pe­ngaruh pa­ham nasionalisme. Nasional­isme aliran kiri ber­hubungan erat dengan anti­kapi­talis, ter­utama di dunia ketiga setelah Perang Dunia II.

Sementara itu nasio­nal­isme aliran kanan, yang bertautan dengan fasisme, hancur sete­lah Perang Dunia II. Awal 1990, runtuhnya Uni Soviet dan ber­akhirnya perang dingin me­mun­culkan kembali nasio­nal­isme aliran kanan. Tentu aliran ini tidak stagnan, dengan stra­tegi baru­nya membuat ke­bingung­an di banyak negara termasuk Indo­nesia dalam membina nasionalis­me­nya.

Di Indonesia, kebingungan itu diakumulasi melalui senti­men antar-penganut agama dengan eskalasi yang tinggi. Meskipun secara fisik belum runtuh, hal itu membuat kesal mereka yang mengingin­kan­nya. Siapa saja mereka itu? Bisa jadi kaum kapitalis baru yang ingin menguasai daerah kaya sumber alam, atau negara-negara besar yang melihat NKRI sudah tidak punya harap­an untuk bisa membayar utang atau bisa jadi dari kaum fun­damentalis agama.

Demokratisasi pasca-Soeharto harus dibayar dengan longgarnya tekanan maupun penerapan aturan hingga terjadi ketidakstabilan di semua lini, apalagi penegakan hukum terus melemah. Lalu bagaimana demokratisasi bisa berjalan dengan lancar. Hal ini justru yang harus dipikirkan oleh para negarawan, para cedekiawan maupun tokoh-tokoh masyarakat. Mana yang harus dipilih me­nekan demokrasi sampai pada titik tertentu sambil men­jaga kestabilan politik dan roda perekonomian sehingga memberikan kehidupan yang setara kepada rakyat banyak atau terus membuka kran politik praktis yang tak tentu arahnya?

Cukup sudah pengorbanan ini, enough is enough kata orang Barat. Mari bersama-sama mem­bangun kembali negeri ini dari begitu banyak per­ma­salahan yang tidak sekadar disebabkan masalah teknis, tetapi lebih dari itu sudah me­nyangkut masalah substantif. Mungkin kita masih perlu belajar perpolitikan lebih arif dan bermakna. Dari sini kita berharap lahir pemimpin dan negarawan yang memiliki keprihatinan mendalam akan nasib bangsanya, tanggung jawab besar atas tugasnya, dan mampu mendorong spirit un­tuk mewujudkan perubahan yang konstruktif.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6968 seconds (0.1#10.140)