Pikir-Pikir Vonis Setya Novanto
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Vonis tersebut dijatuhkan karena Setnov dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Vonis Setnov tersebut sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan ketua umum Partai Golkar tersebut dengan 16 tahun penjara.
Terhadap vonis tersebut Setnov menyatakan pikir-pikir, sebuah sikap yang memang logis berkaitan dengan posisinya. Artinya, pemahaman pikir-pikir dalam perspektif hukum adalah melakukan kalkulasi atas segala kemungkinan.
Pikir-pikir dapat diakhiri dengan pengajuan upaya hukum maupun dengan menerima putusan. Dalam hal terdakwa menerima putusan maka putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dalam hal terdakwa mengajukan kasasi maka putusan belum berkekuatan hukum tetap mengingat masih dilakukan upaya hukum.
Secara logis putusan hakim yang sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK menunjukkan bahwa hakim ingin memutus secara win-win tanpa ada kegaduhan di tengah masyarakat. Hakim tentu menimbang prosedur tetap jaksa penuntut umum jika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutan tentu jaksa akan mengajukan keberatan.
Di samping itu, dalam konteks sosiologi hukum masyarakat tentu akan gaduh jika vonis jauh lebih ringan dari tuntutan mengingat nyata-nyata tidak ada fakta persidangan yang meringankan Setnov.
Nash Equilibrium
Vonis yang lebih ringan dari putusan tersebut di satu sisi menyampaikan pesan seolah hakim juga mempertimbangkan fakta meringankan yang dihadirkan oleh Setnov, tetapi sejatinya dari fakta yang terbukti di persidangan tidak ada yang secara substansial meringankannya. Memang menjatuhkan pidana adalah kewenangan mutlak majelis hakim, tetapi dalam hal kalkulasi hukum bisa dibilang dalam hal ini Setnov cukup beruntung mendapat “diskon” vonis 1 tahun lebih rendah dari tuntutan.
Andai dalam hal ini Setnov mengajukan kasasi tentu harus memperhitungkan tren bahwa terpidana e-KTP sebelumnya yang mengajukan kasasi hukumannya malah diperberat dengan cukup signifikan. Momentum hukuman terpidana kasus e-KTP Irman dan Sugiharto yang justru diperberat hingga 15 tahun oleh Mahkamah Agung, dan terakhir vonis Andi Narogong yang diperberat menjadi 11 tahun ketika banding, serta status justice collaborator yang telah dikabulkan di tingkat sebelumnya juga dibatalkan penting jadi pertimbangan.
Jika dianalisis, artinya, secara logis peran terpidana yang bukan pelaku utama saja divonis 15 tahun. Maka seharusnya peran pelaku utama harus jauh lebih berat dari 15 tahun. Hal lain yang harus dipertimbangkan oleh Setnov jika hendak mengajukan upaya hukum adalah harus disadari bahwa penyidikan kasus e-KTP belum selesai dan bisa jadi dari hasil penyidikan para saksi atau tersangka lain justru makin memberatkan posisi Setnov.
Satu-satunya harapan Setnov pada upaya hukum adalah memperjuangkan status justice collaborator yang sudah hampir pasti tidak dapat dibuktikan bahwa ia bukan pelaku utama. Dan, hal ini sudah pernah ditolak di dalam pengadilan tipikor. Artinya risiko Setnov mengajukan upaya hukum jauh lebih besar daripada potensi mendapatkan keringanan hukuman.
Sebenarnya putusan 15 tahun penjara boleh dibilang merupakan good deal buat Setnov mengingat dia “hanya” dituntut 16 tahun. Apalagi besar kemungkinan jaksa penuntut umum KPK tidak melakukan upaya hukum, serta masyarakat juga tidak gaduh.
Jika Setnov melakukan upaya hukum di tahun politik ini dan di tengah perbaikan citra Mahkamah Agung, besar kemungkinan hukumannya akan diperberat mengingat hampir tidak ada fakta yang meringankan dirinya selama di persidangan.
Kemungkinan bertambahnya hukuman jika Setnov melakukan upaya hukum kasasi dapat terlihat dari penyidikan e-KTP yang masih berlangsung dan hampir seluruhnya meneguhkan peran Setnov dalam korupsi E-KTP tersebut. Dalam konteks kriminologi, secara logis tentu semua pihak yang tengah disidik saat ini hampir pasti akan terjadi fenomena nash equilibrium yang merugikan Setnov pada upaya hukum.
Secara konkret situasi terkini dalam perkara e-KTP adalah sama dengan model pengambilan keputusan yang dinamakan prisoners dilemma yang merupakan pengembangan game theory ke dalam hukum terapan. Jika mengacu pada seminar yang diselenggarakan Departemen Psikologi Universitas Stanford pada 1950, situasi perkara e-KTP ini adalah identik dengan prisoners dilemma model II.
Model teori yang lahir atas riset dua orang penjahat yang baru tertangkap ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah. Hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya, jika masing-masing diam maka masing-masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
Secara psikologi, setiap orang pasti menginginkan pihak lainnya yang dihukum lebih berat sehingga pada akhir riset A berharap B diam dan B berharap A diam hingga keduanya baik A maupun B lebih memilih memberikan keterangan. Fenomena ini yang disebut sebagai nash equilibrium. Saat ini para pihak baik terdakwa maupun (calon) terdakwa perkara e-KTP sedang berada dalam fenomena nash equilibrium.
Disparitas Putusan
Sebagaimana disampaikan di awal bahwa putusan 15 tahun merupakan good deal buat Setnov mengingat pelaku lainnya (yang bukan pelaku utama), yakni Irman dan Sugiharto, juga dihukum 15 tahun. Fenomena putusan Setnov ini sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa masih terjadi disparitas dalam penjatuhan pidana tindak pidana korupsi.
Disparitas yang dimaksudkan di sini adalah adanya perbedaan hukuman pidana pada tindak pidana serupa atau bahkan untuk pelaku yang hanya turut serta. Disparitas penjatuhan pidana ini mengacaukan norma hukum pidana terkait konsekuensi pidana sebagai pelaku utama, aktor intelektual maupun perbantuan yang sesungguhnya memiliki konsekuensi hukum berbeda.
Secara reflektif jika mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur hidup lalu mantan jaksa Urip diputus 20 tahun, Irman dan Sugiharto 15 tahun, dan kini Setnov diputus 15 tahun, sesungguhnya telah terjadi disparitas.
Mahkamah Agung harus segera menyusun peraturan Mahkamah Agung (perma) ataupun surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait acuan penjatuhan pidana pada tindak pidana korupsi sebagaimana Mahkamah Agung telah membuat SEMA tentang justice collaborator. Ini penting agar tidak terjadi disparitas pada penjatuhan pidana tindak pidana korupsi dan putusan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Vonis tersebut dijatuhkan karena Setnov dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Vonis Setnov tersebut sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan ketua umum Partai Golkar tersebut dengan 16 tahun penjara.
Terhadap vonis tersebut Setnov menyatakan pikir-pikir, sebuah sikap yang memang logis berkaitan dengan posisinya. Artinya, pemahaman pikir-pikir dalam perspektif hukum adalah melakukan kalkulasi atas segala kemungkinan.
Pikir-pikir dapat diakhiri dengan pengajuan upaya hukum maupun dengan menerima putusan. Dalam hal terdakwa menerima putusan maka putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dalam hal terdakwa mengajukan kasasi maka putusan belum berkekuatan hukum tetap mengingat masih dilakukan upaya hukum.
Secara logis putusan hakim yang sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK menunjukkan bahwa hakim ingin memutus secara win-win tanpa ada kegaduhan di tengah masyarakat. Hakim tentu menimbang prosedur tetap jaksa penuntut umum jika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutan tentu jaksa akan mengajukan keberatan.
Di samping itu, dalam konteks sosiologi hukum masyarakat tentu akan gaduh jika vonis jauh lebih ringan dari tuntutan mengingat nyata-nyata tidak ada fakta persidangan yang meringankan Setnov.
Nash Equilibrium
Vonis yang lebih ringan dari putusan tersebut di satu sisi menyampaikan pesan seolah hakim juga mempertimbangkan fakta meringankan yang dihadirkan oleh Setnov, tetapi sejatinya dari fakta yang terbukti di persidangan tidak ada yang secara substansial meringankannya. Memang menjatuhkan pidana adalah kewenangan mutlak majelis hakim, tetapi dalam hal kalkulasi hukum bisa dibilang dalam hal ini Setnov cukup beruntung mendapat “diskon” vonis 1 tahun lebih rendah dari tuntutan.
Andai dalam hal ini Setnov mengajukan kasasi tentu harus memperhitungkan tren bahwa terpidana e-KTP sebelumnya yang mengajukan kasasi hukumannya malah diperberat dengan cukup signifikan. Momentum hukuman terpidana kasus e-KTP Irman dan Sugiharto yang justru diperberat hingga 15 tahun oleh Mahkamah Agung, dan terakhir vonis Andi Narogong yang diperberat menjadi 11 tahun ketika banding, serta status justice collaborator yang telah dikabulkan di tingkat sebelumnya juga dibatalkan penting jadi pertimbangan.
Jika dianalisis, artinya, secara logis peran terpidana yang bukan pelaku utama saja divonis 15 tahun. Maka seharusnya peran pelaku utama harus jauh lebih berat dari 15 tahun. Hal lain yang harus dipertimbangkan oleh Setnov jika hendak mengajukan upaya hukum adalah harus disadari bahwa penyidikan kasus e-KTP belum selesai dan bisa jadi dari hasil penyidikan para saksi atau tersangka lain justru makin memberatkan posisi Setnov.
Satu-satunya harapan Setnov pada upaya hukum adalah memperjuangkan status justice collaborator yang sudah hampir pasti tidak dapat dibuktikan bahwa ia bukan pelaku utama. Dan, hal ini sudah pernah ditolak di dalam pengadilan tipikor. Artinya risiko Setnov mengajukan upaya hukum jauh lebih besar daripada potensi mendapatkan keringanan hukuman.
Sebenarnya putusan 15 tahun penjara boleh dibilang merupakan good deal buat Setnov mengingat dia “hanya” dituntut 16 tahun. Apalagi besar kemungkinan jaksa penuntut umum KPK tidak melakukan upaya hukum, serta masyarakat juga tidak gaduh.
Jika Setnov melakukan upaya hukum di tahun politik ini dan di tengah perbaikan citra Mahkamah Agung, besar kemungkinan hukumannya akan diperberat mengingat hampir tidak ada fakta yang meringankan dirinya selama di persidangan.
Kemungkinan bertambahnya hukuman jika Setnov melakukan upaya hukum kasasi dapat terlihat dari penyidikan e-KTP yang masih berlangsung dan hampir seluruhnya meneguhkan peran Setnov dalam korupsi E-KTP tersebut. Dalam konteks kriminologi, secara logis tentu semua pihak yang tengah disidik saat ini hampir pasti akan terjadi fenomena nash equilibrium yang merugikan Setnov pada upaya hukum.
Secara konkret situasi terkini dalam perkara e-KTP adalah sama dengan model pengambilan keputusan yang dinamakan prisoners dilemma yang merupakan pengembangan game theory ke dalam hukum terapan. Jika mengacu pada seminar yang diselenggarakan Departemen Psikologi Universitas Stanford pada 1950, situasi perkara e-KTP ini adalah identik dengan prisoners dilemma model II.
Model teori yang lahir atas riset dua orang penjahat yang baru tertangkap ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah. Hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya, jika masing-masing diam maka masing-masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
Secara psikologi, setiap orang pasti menginginkan pihak lainnya yang dihukum lebih berat sehingga pada akhir riset A berharap B diam dan B berharap A diam hingga keduanya baik A maupun B lebih memilih memberikan keterangan. Fenomena ini yang disebut sebagai nash equilibrium. Saat ini para pihak baik terdakwa maupun (calon) terdakwa perkara e-KTP sedang berada dalam fenomena nash equilibrium.
Disparitas Putusan
Sebagaimana disampaikan di awal bahwa putusan 15 tahun merupakan good deal buat Setnov mengingat pelaku lainnya (yang bukan pelaku utama), yakni Irman dan Sugiharto, juga dihukum 15 tahun. Fenomena putusan Setnov ini sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa masih terjadi disparitas dalam penjatuhan pidana tindak pidana korupsi.
Disparitas yang dimaksudkan di sini adalah adanya perbedaan hukuman pidana pada tindak pidana serupa atau bahkan untuk pelaku yang hanya turut serta. Disparitas penjatuhan pidana ini mengacaukan norma hukum pidana terkait konsekuensi pidana sebagai pelaku utama, aktor intelektual maupun perbantuan yang sesungguhnya memiliki konsekuensi hukum berbeda.
Secara reflektif jika mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur hidup lalu mantan jaksa Urip diputus 20 tahun, Irman dan Sugiharto 15 tahun, dan kini Setnov diputus 15 tahun, sesungguhnya telah terjadi disparitas.
Mahkamah Agung harus segera menyusun peraturan Mahkamah Agung (perma) ataupun surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait acuan penjatuhan pidana pada tindak pidana korupsi sebagaimana Mahkamah Agung telah membuat SEMA tentang justice collaborator. Ini penting agar tidak terjadi disparitas pada penjatuhan pidana tindak pidana korupsi dan putusan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
(whb)