Pikir-Pikir Vonis Setya Novanto

Rabu, 25 April 2018 - 08:45 WIB
Pikir-Pikir Vonis Setya...
Pikir-Pikir Vonis Setya Novanto
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PENGADILAN Tindak Pi­dana Korupsi (Ti­­pi­kor) Jakarta te­lah menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan den­da Rp500 juta kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto (Set­nov) dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Vonis tersebut dijatuhkan ka­re­na Setnov dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang me­langgar Pasal 3 Undang-Un­dang (UU) Nomor 31/1999 se­ba­gaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 ten­tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Vonis Setnov tersebut sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan ketua umum Partai Golkar tersebut dengan 16 ta­hun penjara.

Terhadap vonis tersebut Setnov menyatakan pikir-pikir, sebuah sikap yang me­mang logis berkaitan dengan posi­si­nya. Artinya, pema­ham­an pi­kir-pikir dalam perspektif hu­kum adalah melakukan kal­ku­lasi atas segala kemungkin­an.

Pikir-pikir dapat di­akhiri de­ngan pengajuan upaya hu­kum maupun dengan me­ne­rima putusan. Dalam hal ter­dakwa menerima putusan maka pu­tusan berkekuatan hukum te­tap, tetapi dalam hal terdakwa mengajukan kasasi maka pu­tusan belum ber­ke­kuatan hu­kum tetap me­ng­ingat masih dilakukan upaya hukum.

Secara logis putusan hakim yang sedikit lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK menunjukkan bahwa ha­kim ingin memutus secara win-win tanpa ada kegaduhan di te­ngah masyarakat. Hakim tentu menimbang prosedur tetap jaksa penuntut umum jika pu­tusan hakim kurang dari 2/3 tun­tutan tentu jaksa akan me­ng­ajukan keberatan.

Di sam­ping itu, dalam konteks sosio­logi hukum masyarakat tentu akan gaduh jika vonis jauh lebih ringan dari tuntutan meng­ingat nyata-nyata tidak ada fak­ta persidangan yang me­ri­ngan­kan Setnov.

Nash Equilibrium

Vonis yang lebih ringan dari putusan tersebut di satu sisi menyampaikan pesan seolah hakim juga mem­pe­r­tim­bang­kan fakta meringankan yang dihadirkan oleh Setnov, tetapi se­jatinya dari fakta yang ter­bukti di persidangan tidak ada yang secara substansial me­ringan­kan­nya. Memang men­jatuhkan pidana adalah ke­wenangan mut­lak majelis hakim, tetapi dalam hal kal­kulasi hukum bisa dibilang dalam hal ini Setnov cukup beruntung mendapat “diskon” vonis 1 tahun lebih ren­dah dari tuntutan.

Andai dalam hal ini Setnov mengajukan kasasi tentu harus memperhitungkan tren bahwa terpidana e-KTP sebelumnya yang mengajukan kasasi hu­kum­annya malah diperberat dengan cukup signifikan. Mo­men­tum hukuman terpidana kasus e-KTP Irman dan Sugiharto yang justru diperberat hingga 15 tahun oleh Mah­ka­mah Agung, dan terakhir vonis Andi Narogong yang diperberat menjadi 11 tahun ketika ban­ding, serta status justice colla­bo­rator yang telah dikabulkan di ting­kat sebelumnya juga di­ba­talkan penting jadi per­tim­ba­ngan.

Jika dianalisis, artinya, se­cara logis peran terpidana yang bukan pelaku utama saja di­vo­nis 15 tahun. Maka seharusnya peran pelaku utama harus jauh lebih berat dari 15 tahun. Hal lain yang harus diper­tim­bang­kan oleh Setnov jika hendak meng­ajukan upaya hukum adalah harus disadari bahwa pe­nyidikan kasus e-KTP belum se­le­sai dan bisa jadi dari hasil penyidikan para saksi atau ter­sangka lain justru makin mem­beratkan posisi Setnov.

Satu-satunya harapan Set­nov pada upaya hukum adalah memperjuangkan status justice collaborator yang sudah hampir pasti tidak dapat dibuktikan bahwa ia bukan pelaku utama. Dan, hal ini sudah pernah di­to­lak di dalam pengadilan tipikor. Artinya risiko Setnov me­ng­ajukan upaya hukum jauh lebih besar daripada potensi men­da­patkan keringanan hukuman.

Sebenarnya putusan 15 ta­hun penjara boleh dibilang me­ru­pakan good deal buat Setnov mengingat dia “hanya” di­tun­tut 16 tahun. Apalagi besar ke­mungkinan jaksa penuntut umum KPK tidak melakukan upaya hukum, serta ma­sya­rakat juga tidak gaduh.

Jika Setnov melakukan upaya hukum di tahun po­li­tik ini dan di te­ngah perbaikan citra Mah­kamah Agung, be­sar kemung­kin­an hu­ku­mannya akan diper­berat me­ng­ingat hampir tidak ada fakta yang meringankan diri­nya se­la­ma di persidangan.

Kemungkinan ber­tam­bah­nya hukuman jika Setnov me­la­kukan upaya hukum kasasi da­pat terlihat dari penyidikan e-KTP yang masih berlangsung dan hampir seluruhnya mene­guh­kan peran Setnov dalam korupsi E-KTP tersebut. Da­lam konteks kriminologi, se­ca­ra lo­gis tentu semua pihak yang te­ngah disidik saat ini hampir pasti akan terjadi fenomena nash equilibrium yang me­ru­gi­kan Setnov pada upaya hukum.

Secara konkret situasi ter­kini dalam perkara e-KTP ada­lah sama dengan model pe­ng­am­bilan keputusan yang di­na­ma­kan prisoners dilemma yang merupakan pengembangan game theory ke dalam hukum te­rapan. Jika mengacu pada se­mi­nar yang diselenggarakan De­par­temen Psi­ko­logi Universitas Stanford pada 1950, situasi per­kara e-KTP ini ada­lah identik de­ngan prisoners di­lemma mo­­del II.

Mo­del teori yang lahir atas riset dua orang penjahat yang baru tertangkap ditempatkan se­cara terpisah dengan inte­ro­gasi terpisah. Hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. De­mi­kian sebaliknya, jika masing-ma­sing diam maka masing-ma­sing ha­nya akan terkena hu­kum­an 1 ta­hun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 ta­hun.

Secara psikologi, setiap orang pasti menginginkan pi­hak lainnya yang dihukum lebih berat sehingga pada akhir riset A berharap B diam dan B ber­harap A diam hingga keduanya baik A maupun B lebih memilih memberikan keterangan. Fe­no­mena ini yang disebut sebagai nash equilibrium. Saat ini para pihak baik terdakwa maupun (calon) terdakwa perkara e-KTP sedang berada dalam fenomena nash equilibrium.

Disparitas Putusan

Sebagaimana disampaikan di awal bahwa putusan 15 tahun merupakan good deal buat Set­nov mengingat pelaku lainnya (yang bukan pelaku utama), yakni Irman dan Sugiharto, juga dihukum 15 tahun. Fenomena putusan Setnov ini sekaligus me­nyadarkan masyarakat ba­h­wa masih terjadi disparitas da­lam penjatuhan pidana tindak pidana korupsi.

Disparitas yang dimaksudkan di sini adalah adanya perbedaan hukuman pi­dana pada tindak pidana serupa atau bahkan untuk pelaku yang hanya turut serta. Disparitas penjatuhan pi­da­na ini mengacaukan norma hu­kum pidana terkait kon­se­kuen­si pidana sebagai pelaku utama, aktor intelektual maupun per­ban­tuan yang sesungguhnya me­miliki konsekuensi hukum berbeda.

Secara reflektif jika mantan Ketua Mahkamah Kons­titusi Akil Mochtar divonis se­umur hidup lalu mantan jaksa Urip diputus 20 tahun, Irman dan Sugiharto 15 tahun, dan kini Setnov diputus 15 tahun, se­sungguhnya telah terjadi disparitas.

Mahkamah Agung harus segera menyusun peraturan Mah­kamah Agung (perma) ataupun surat edaran Mah­ka­mah Agung (SEMA) terkait acuan penjatuhan pidana pada tin­dak pidana korupsi seba­gai­mana Mahkamah Agung telah membuat SEMA tentang justice collaborator. Ini penting agar tidak terjadi disparitas pada pen­jatuhan pidana tindak pi­dana korupsi dan putusan da­pat memenuhi rasa keadilan ma­syarakat.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0753 seconds (0.1#10.140)