Hak Kembali Pengungsi Palestina
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
KETIKA dunia mengalihkan perhatiannya kepada serangan koalisi 3 negara ke Suriah, tak jauh dari sana sejumlah warga Palestina yang terbunuh oleh militer Israel akibat aksi di perbatasan Gaza hingga pekan ini mencapai 39 orang dan korban yang luka-luka mencapai kurang lebih 445 orang.
Mereka adalah korban yang berpartisipasi dalam gerakan Great March of Return, yaitu sebuah acara tahunan untuk memperingati tanah kelahiran warga Palestina yang kini dikuasai Israel. Gerakan ini dimulai pada 30 Maret lalu dan masih terus berlangsung hingga artikel ini ditulis.
Para korban terutama meninggal dalam keadaan tewas akibat penembak jitu. Mereka menembak dengan semena-mena tidak hanya kepada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu korban adalah Mohammed Ayyoub yang berusia 15 tahun. Seorang pekerja pers Yaser Murtaja ditembak pasukan Israel karena menerbangkan drone untuk meliput aksi di Gaza.
Ironisnya, Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman Israel menuduh bahwa Hammas membayar Yaser, sementara Federasi Jurnalis Internasional justru melaporkan sebaliknya bahwa Yaser justru pernah ditahan Hammas karena pemberitaannya tentang penggusuran di Gaza. Dengan kata lain, Yaser sebetulnya adalah pekerja pers yang netral dan tidak berpolitik namun ia tetap menjadi target penembakan militer Israel.
Palestina memiliki dua wilayah geografis utama, Gaza dan Tepi Barat, yang terpisah oleh wilayah kekuasaan Israel. Wilayah Tepi Barat adalah wilayah dengan luas 5.640 km2 dan wilayah perairan seluas 220 km2, yang berada di bagian barat laut Laut Mati.
Wilayah ini adalah wilayah yang terkurung daratan di dekat pantai Mediterania Asia Barat. Sebagian wilayah di bawah kendali Israel, sebagian lagi di bawah kendali Otoritas Palestina dan beberapa ada dibawa kendali bersama Palestina dan Israel. Status akhir dari seluruh area belum ditentukan oleh pihak-pihak terkait.
Gaza adalah sebuah wilayah Palestina yang terletak di pantai timur Laut Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur dan utara. Gaza memiliki luas total 365 km2. Jumlah penduduk di wilayah ini adalah sekitar 1,9 juta jiwa dan 1,3 juta di antaranya pengungsi yang berasal dari beberapa wilayah yang dulu adalah wilayah Palestina, tetapi kini dikuasai Israel.
PBB mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai “orang-orang yang tempat tinggal normalnya adalah Palestina selama periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948, dan yang kehilangan rumah dan mata pencarian sebagai akibat dari konflik 1948”.
Festival Great March of Return adalah gerakan untuk memperingati hak-hak para pengungsi untuk kembali ke tempat tinggal mereka sebelum Negara Israel berdiri. Tujuh puluh tahun lalu penduduk yang lahir dan tinggal di sejumlah wilayah di Palestina terusir ketika David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel, mendeklarasikan berdirinya Negara Israel pada 15 Mei 1948. Lebih dari 700.000 jiwa meninggalkan wilayah tersebut dengan status pengungsi dan tinggal di tenda-tenda sekitar.
Warga Palestina yang pertama kali memelopori gerakan ini adalah Muthna Al-Najjar, yaitu seorang wartawan independen dari Desa Khuzaa. Aksi itu dilakukan sebagai tanggapan atas sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bermusuhan terhadap pengungsi Palestina dan Yerusalem. Ia dan teman-teman ingin aksi ini sebagai gerakan yang damai dan tidak dipolitisasi oleh Hammas, Fattah, atau kelompok politik lainnya.
Meskipun demikian, gerakan ini juga tidak dapat menolak apabila ada kelompok-kelompok politik lain yang ikut bergabung. Puluhan ribu orang mendatangi batas-batas perbatasan dengan Israel dan mulai mendirikan tenda-tenda sebagai simbol status pengungsi warga Palestina.
Mereka juga mengadakan acara kebudayaan dan kesenian untuk mengisi festival tersebut dengan pesan untuk terus menjaga ingatan tentang tanah kelahiran mereka.
Hukum internasional menyatakan pengungsi Palestina memiliki hak untuk kembali ke wilayah asal dari mana mereka secara paksa diusir pada 1948 dan pada 1967. Resolusi Majelis Umum PBB 194 yang disahkan pada 11 Desember 1948 mengakui hak untuk kembali untuk pertama kalinya, meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang besar seperti yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Pasal 11 dari resolusi itu menyatakan bahwa para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukannya pada tanggal yang paling memungkinkan (permitted to do so at the earliest practicable date), dan bahwa kompensasi harus dibayarkan untuk properti mereka yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan.
Untuk properti, berdasarkan prinsip hukum internasional atau dalam keadilan harus dibuat baik oleh pemerintah atau pihak berwenang yang bertanggung jawab (should be made good by the Governments or authorities responsible).
Israel selalu mendebatkan interpretasi pasal ini dengan mengatakan bahwa pasal tersebut hanya berlaku bagi mereka “bila ingin hidup dalam damai dengan tetangga mereka”. Selama negara-negara Arab dan para pengungsi tidak dapat berdamai dengan Israel maka Israel menganggap pemukiman kembali bukanlah kewajiban bagi negaranya.
Israel pernah menawarkan pemulangan untuk 100.000 pengungsi dengan imbalan perjanjian damai yang komprehensif dengan negara-negara Arab dan untuk pencaplokan semua wilayah yang telah direbutnya sampai 1949, yakni Perjanjian Gencatan Senjata dalam Konferensi Lausanne 1949. Konferensi itu adalah perjanjian antara Israel dan delegasi negara-negara Arab. Namun, sebelum genap 100.000, tawaran itu dengan cepat ditarik oleh Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion.
Dalam konteks hukum internasional, pro dan kontra hak untuk kembali ini masih menjadi perdebatan yang amat pelik, padahal kehidupan di Gaza semakin memprihatinkan. Gaza telah mengalami sepuluh tahun blokade ilegal dan hal ini memicu krisis sosioekonomi dan kesehatan.
Penduduk sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Air minum tidak aman untuk dikonsumsi dan listrik juga hanya tersedia 16 jam per hari.
PBB sudah memperingatkan bahwa Gaza akan tidak bisa dihuni pada 2020, kecuali tindakan segera diambil. Laporan yang berjudul “Gaza-10 tahun kemudian”, memerinci indikator kunci seperti menurunnya pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan listrik telah memburuk lebih jauh akibat blokade. Apabila hal itu terus berlangsung maka Gaza sudah tidak dapat lagi dihuni dua tahun sejak hari ini.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
KETIKA dunia mengalihkan perhatiannya kepada serangan koalisi 3 negara ke Suriah, tak jauh dari sana sejumlah warga Palestina yang terbunuh oleh militer Israel akibat aksi di perbatasan Gaza hingga pekan ini mencapai 39 orang dan korban yang luka-luka mencapai kurang lebih 445 orang.
Mereka adalah korban yang berpartisipasi dalam gerakan Great March of Return, yaitu sebuah acara tahunan untuk memperingati tanah kelahiran warga Palestina yang kini dikuasai Israel. Gerakan ini dimulai pada 30 Maret lalu dan masih terus berlangsung hingga artikel ini ditulis.
Para korban terutama meninggal dalam keadaan tewas akibat penembak jitu. Mereka menembak dengan semena-mena tidak hanya kepada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu korban adalah Mohammed Ayyoub yang berusia 15 tahun. Seorang pekerja pers Yaser Murtaja ditembak pasukan Israel karena menerbangkan drone untuk meliput aksi di Gaza.
Ironisnya, Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman Israel menuduh bahwa Hammas membayar Yaser, sementara Federasi Jurnalis Internasional justru melaporkan sebaliknya bahwa Yaser justru pernah ditahan Hammas karena pemberitaannya tentang penggusuran di Gaza. Dengan kata lain, Yaser sebetulnya adalah pekerja pers yang netral dan tidak berpolitik namun ia tetap menjadi target penembakan militer Israel.
Palestina memiliki dua wilayah geografis utama, Gaza dan Tepi Barat, yang terpisah oleh wilayah kekuasaan Israel. Wilayah Tepi Barat adalah wilayah dengan luas 5.640 km2 dan wilayah perairan seluas 220 km2, yang berada di bagian barat laut Laut Mati.
Wilayah ini adalah wilayah yang terkurung daratan di dekat pantai Mediterania Asia Barat. Sebagian wilayah di bawah kendali Israel, sebagian lagi di bawah kendali Otoritas Palestina dan beberapa ada dibawa kendali bersama Palestina dan Israel. Status akhir dari seluruh area belum ditentukan oleh pihak-pihak terkait.
Gaza adalah sebuah wilayah Palestina yang terletak di pantai timur Laut Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur dan utara. Gaza memiliki luas total 365 km2. Jumlah penduduk di wilayah ini adalah sekitar 1,9 juta jiwa dan 1,3 juta di antaranya pengungsi yang berasal dari beberapa wilayah yang dulu adalah wilayah Palestina, tetapi kini dikuasai Israel.
PBB mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai “orang-orang yang tempat tinggal normalnya adalah Palestina selama periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948, dan yang kehilangan rumah dan mata pencarian sebagai akibat dari konflik 1948”.
Festival Great March of Return adalah gerakan untuk memperingati hak-hak para pengungsi untuk kembali ke tempat tinggal mereka sebelum Negara Israel berdiri. Tujuh puluh tahun lalu penduduk yang lahir dan tinggal di sejumlah wilayah di Palestina terusir ketika David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel, mendeklarasikan berdirinya Negara Israel pada 15 Mei 1948. Lebih dari 700.000 jiwa meninggalkan wilayah tersebut dengan status pengungsi dan tinggal di tenda-tenda sekitar.
Warga Palestina yang pertama kali memelopori gerakan ini adalah Muthna Al-Najjar, yaitu seorang wartawan independen dari Desa Khuzaa. Aksi itu dilakukan sebagai tanggapan atas sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bermusuhan terhadap pengungsi Palestina dan Yerusalem. Ia dan teman-teman ingin aksi ini sebagai gerakan yang damai dan tidak dipolitisasi oleh Hammas, Fattah, atau kelompok politik lainnya.
Meskipun demikian, gerakan ini juga tidak dapat menolak apabila ada kelompok-kelompok politik lain yang ikut bergabung. Puluhan ribu orang mendatangi batas-batas perbatasan dengan Israel dan mulai mendirikan tenda-tenda sebagai simbol status pengungsi warga Palestina.
Mereka juga mengadakan acara kebudayaan dan kesenian untuk mengisi festival tersebut dengan pesan untuk terus menjaga ingatan tentang tanah kelahiran mereka.
Hukum internasional menyatakan pengungsi Palestina memiliki hak untuk kembali ke wilayah asal dari mana mereka secara paksa diusir pada 1948 dan pada 1967. Resolusi Majelis Umum PBB 194 yang disahkan pada 11 Desember 1948 mengakui hak untuk kembali untuk pertama kalinya, meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang besar seperti yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Pasal 11 dari resolusi itu menyatakan bahwa para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukannya pada tanggal yang paling memungkinkan (permitted to do so at the earliest practicable date), dan bahwa kompensasi harus dibayarkan untuk properti mereka yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan.
Untuk properti, berdasarkan prinsip hukum internasional atau dalam keadilan harus dibuat baik oleh pemerintah atau pihak berwenang yang bertanggung jawab (should be made good by the Governments or authorities responsible).
Israel selalu mendebatkan interpretasi pasal ini dengan mengatakan bahwa pasal tersebut hanya berlaku bagi mereka “bila ingin hidup dalam damai dengan tetangga mereka”. Selama negara-negara Arab dan para pengungsi tidak dapat berdamai dengan Israel maka Israel menganggap pemukiman kembali bukanlah kewajiban bagi negaranya.
Israel pernah menawarkan pemulangan untuk 100.000 pengungsi dengan imbalan perjanjian damai yang komprehensif dengan negara-negara Arab dan untuk pencaplokan semua wilayah yang telah direbutnya sampai 1949, yakni Perjanjian Gencatan Senjata dalam Konferensi Lausanne 1949. Konferensi itu adalah perjanjian antara Israel dan delegasi negara-negara Arab. Namun, sebelum genap 100.000, tawaran itu dengan cepat ditarik oleh Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion.
Dalam konteks hukum internasional, pro dan kontra hak untuk kembali ini masih menjadi perdebatan yang amat pelik, padahal kehidupan di Gaza semakin memprihatinkan. Gaza telah mengalami sepuluh tahun blokade ilegal dan hal ini memicu krisis sosioekonomi dan kesehatan.
Penduduk sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Air minum tidak aman untuk dikonsumsi dan listrik juga hanya tersedia 16 jam per hari.
PBB sudah memperingatkan bahwa Gaza akan tidak bisa dihuni pada 2020, kecuali tindakan segera diambil. Laporan yang berjudul “Gaza-10 tahun kemudian”, memerinci indikator kunci seperti menurunnya pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan listrik telah memburuk lebih jauh akibat blokade. Apabila hal itu terus berlangsung maka Gaza sudah tidak dapat lagi dihuni dua tahun sejak hari ini.
(poe)