Kedaulatan Pangan, Hidup Matinya Sebuah Bangsa
A
A
A
Rokhmin Dahuri
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB,
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
PEMERINTAH harus menyediakan seluruh sarana produksi pertanian dan perikanan dengan harga relatif murah dan dalam jumlah yang mencukupi di seluruh wilayah Nusantara. Selain mengandalkan mekanisme pasar, pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh komoditas dan produk pangan dengan harga yang menguntungkan produsen (petani dan nelayan). Bila harga tersebut memberatkan mayoritas konsumen, pemerintah perlu memberikan subsidi sesuai dengan daya beli masyarakat. Infrastruktur pertanian dan perikanan harus diperbaiki dan dibangun di setiap kawasan produksi sesuai kebutuhan wilayah. Industri alsintan (peralatan dan mesin pertanian dan perikanan) harus diperkuat dan dikembangkan.
Diversifikasi pola konsumsi pangan pun harus terus digalakkan secara berkesinambungan, terutama dengan mengurangi konsumsi beras dan gandum, dan secara simultan meningkatkan konsumsi bahan pangan lokal. Sejak akhir 1980-an, bangsa Indonesia menjadi konsumen beras tertinggi di dunia, dan saat ini mencapai 115 kg per kapita. Padahal, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 50 kg per kapita. Supaya sehat, mestinya konsumsi beras kurang dari 60 kg per kapita (Puslitbang Gizi, 2004). Lebih dari 90% asupan karbohidrat rakyat Indonesia berasal dari beras dan gandum. Hanya kurang dari 10% yang berasal dari jagung, sagu, umbi-umbian, sorgum, dan bahan pangan lokal lainnya. Tingginya konsumsi beras itu ditengarai berkorelasi langsung dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia (WHO, 2014).
Dalam dekade terakhir, konsumsi terigu berasal dari gandum impor meningkat secara fenomenal. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia hanya 1,05 kg; naik jadi 2,64 kg pada 1996; dan pada 2017 melonjak menjadi 24 kg. Implikasinya, impor gandum meledak menjadi lebih dari 12 juta ton dengan nilai USD2,1 miliar pada 2017. Padahal, Indonesia memiliki keragaman sumber pangan lokal tertinggi kedua setelah Brasil, dengan potensi produksi yang luar biasa besar yakni 77 jenis berupa tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak (lemak), 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu (Kementan, 2018). Berbagai jenis pangan lokal sumber karbohidrat nonberas tersebut antara lain jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, sukun, dan pisang.
Semua jenis bahan pangan lokal itu juga bisa dibuat tepung, sehingga sangat berpotensi untuk menggantikan terigu berbasis gandum, yang semuanya berasal dari impor. Sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi produksi tanaman lokal sumber karbohidrat nonberas, yakni sagu. Dengan potensi lahan sagu 6 juta ha yang tersebar di berbagai wilayah NKRI dan produktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/ha/tahun (IPB, 2018), maka bisa dihasilkan rata-rata 180 juta ton per tahun. Padahal, total kebutuhan beras nasional saat ini sekitar 30 juta ton/tahun, dan gandum 12 juta ton/tahun. Oleh sebab itu, bila pemerintah dan rakyat serius memberantas mafia pangan serta bekerja maksimal, sejatinya Indonesia sangat mudah untuk berdaulat pangan.
Guna mengurangi konsumsi karbohidrat, kita harus mendorong konsumsi ikan, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, sehingga mencapai komposisi gizi yang berimbang, sehat, dan mencerdaskan. Hingga saat ini, konsumsi buah dan sayur rakyat Indonesia masih dari yang direkomendasikan (Kemenkes, 2010). Rekomendasinya 73 kg/kapita/tahun, namun kenyataannya baru 43 kg (Kementan, 2018).
Pemerintah juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas dan etos kerja para petani, peternak, pembudi daya ikan, dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara sistematis dan berkesinambungan.
Solusi Politik-Ekonomi
Sederet jurus teknikal di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor pertanian, serta kelautan dan perikanan. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi untuk direalisasikan. Pertama, menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar anggaran negara untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan.
Ketiga, gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk, polietelin, tekstil dan produk petrokimia lainnya, ketimbang diekspor mentah seperti sekarang. Keempat, penyediaan permodalan (skim kredit) khusus dengan suku bunga yang lebih murah dan persyaratan lebih lunak, baik melalui lembaga perbankan maupun nonbank. Kebijakan inilah yang membuat sektor pertanian dan perikanan maju dan tangguh di Kanada, Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, China, Australia, Thailand, Vietnam, dan negara pertanian-perikanan lainnya.
Kelima, penguatan dan perluasan peran Badan Urusan Logistik sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian dan perikanan. Ketujuh, pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten. Kedelapan, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya.
Kesembilan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Terakhir, adalah kebijakan makro (seperti moneter, fiskal, RTRW, litbang, dan iklim investasi) yang kondusif bagi keberhasilan kinerja sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan. Dengan perkataan lain, sektor pangan (pertanian, dan kelautan dan perikanan) mesti kita anggap bukan sekadar sektor ekonomi, tetapi juga sektor kehidupan.
Melalui implementasi segenap kebijakan teknis dan politik-ekonomi di atas secara konsisten dan berkesinambungan, insya Allah Indonesia tidak hanya akan mampu berdaulat di bidang pangan pada 2030, tetapi juga bisa membantu feeding the world.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB,
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
PEMERINTAH harus menyediakan seluruh sarana produksi pertanian dan perikanan dengan harga relatif murah dan dalam jumlah yang mencukupi di seluruh wilayah Nusantara. Selain mengandalkan mekanisme pasar, pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh komoditas dan produk pangan dengan harga yang menguntungkan produsen (petani dan nelayan). Bila harga tersebut memberatkan mayoritas konsumen, pemerintah perlu memberikan subsidi sesuai dengan daya beli masyarakat. Infrastruktur pertanian dan perikanan harus diperbaiki dan dibangun di setiap kawasan produksi sesuai kebutuhan wilayah. Industri alsintan (peralatan dan mesin pertanian dan perikanan) harus diperkuat dan dikembangkan.
Diversifikasi pola konsumsi pangan pun harus terus digalakkan secara berkesinambungan, terutama dengan mengurangi konsumsi beras dan gandum, dan secara simultan meningkatkan konsumsi bahan pangan lokal. Sejak akhir 1980-an, bangsa Indonesia menjadi konsumen beras tertinggi di dunia, dan saat ini mencapai 115 kg per kapita. Padahal, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 50 kg per kapita. Supaya sehat, mestinya konsumsi beras kurang dari 60 kg per kapita (Puslitbang Gizi, 2004). Lebih dari 90% asupan karbohidrat rakyat Indonesia berasal dari beras dan gandum. Hanya kurang dari 10% yang berasal dari jagung, sagu, umbi-umbian, sorgum, dan bahan pangan lokal lainnya. Tingginya konsumsi beras itu ditengarai berkorelasi langsung dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia (WHO, 2014).
Dalam dekade terakhir, konsumsi terigu berasal dari gandum impor meningkat secara fenomenal. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia hanya 1,05 kg; naik jadi 2,64 kg pada 1996; dan pada 2017 melonjak menjadi 24 kg. Implikasinya, impor gandum meledak menjadi lebih dari 12 juta ton dengan nilai USD2,1 miliar pada 2017. Padahal, Indonesia memiliki keragaman sumber pangan lokal tertinggi kedua setelah Brasil, dengan potensi produksi yang luar biasa besar yakni 77 jenis berupa tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak (lemak), 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu (Kementan, 2018). Berbagai jenis pangan lokal sumber karbohidrat nonberas tersebut antara lain jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, sukun, dan pisang.
Semua jenis bahan pangan lokal itu juga bisa dibuat tepung, sehingga sangat berpotensi untuk menggantikan terigu berbasis gandum, yang semuanya berasal dari impor. Sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi produksi tanaman lokal sumber karbohidrat nonberas, yakni sagu. Dengan potensi lahan sagu 6 juta ha yang tersebar di berbagai wilayah NKRI dan produktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/ha/tahun (IPB, 2018), maka bisa dihasilkan rata-rata 180 juta ton per tahun. Padahal, total kebutuhan beras nasional saat ini sekitar 30 juta ton/tahun, dan gandum 12 juta ton/tahun. Oleh sebab itu, bila pemerintah dan rakyat serius memberantas mafia pangan serta bekerja maksimal, sejatinya Indonesia sangat mudah untuk berdaulat pangan.
Guna mengurangi konsumsi karbohidrat, kita harus mendorong konsumsi ikan, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, sehingga mencapai komposisi gizi yang berimbang, sehat, dan mencerdaskan. Hingga saat ini, konsumsi buah dan sayur rakyat Indonesia masih dari yang direkomendasikan (Kemenkes, 2010). Rekomendasinya 73 kg/kapita/tahun, namun kenyataannya baru 43 kg (Kementan, 2018).
Pemerintah juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas dan etos kerja para petani, peternak, pembudi daya ikan, dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara sistematis dan berkesinambungan.
Solusi Politik-Ekonomi
Sederet jurus teknikal di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor pertanian, serta kelautan dan perikanan. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi untuk direalisasikan. Pertama, menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar anggaran negara untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan.
Ketiga, gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk, polietelin, tekstil dan produk petrokimia lainnya, ketimbang diekspor mentah seperti sekarang. Keempat, penyediaan permodalan (skim kredit) khusus dengan suku bunga yang lebih murah dan persyaratan lebih lunak, baik melalui lembaga perbankan maupun nonbank. Kebijakan inilah yang membuat sektor pertanian dan perikanan maju dan tangguh di Kanada, Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, China, Australia, Thailand, Vietnam, dan negara pertanian-perikanan lainnya.
Kelima, penguatan dan perluasan peran Badan Urusan Logistik sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian dan perikanan. Ketujuh, pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten. Kedelapan, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya.
Kesembilan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Terakhir, adalah kebijakan makro (seperti moneter, fiskal, RTRW, litbang, dan iklim investasi) yang kondusif bagi keberhasilan kinerja sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan. Dengan perkataan lain, sektor pangan (pertanian, dan kelautan dan perikanan) mesti kita anggap bukan sekadar sektor ekonomi, tetapi juga sektor kehidupan.
Melalui implementasi segenap kebijakan teknis dan politik-ekonomi di atas secara konsisten dan berkesinambungan, insya Allah Indonesia tidak hanya akan mampu berdaulat di bidang pangan pada 2030, tetapi juga bisa membantu feeding the world.
(wib)