Bagaimana KPK Menyikapi Putusan Praperadilan?

Kamis, 19 April 2018 - 08:32 WIB
Bagaimana KPK Menyikapi...
Bagaimana KPK Menyikapi Putusan Praperadilan?
A A A
Nurul Ghufron
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember

RES judicata pro veritate habetur. Apa yang telah di­putus oleh hakim harus dianggap benar. Me­respons putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan soal kasus bailout Bank Century yang memerintahkan termohon Komisi Pem­beran­tas­an Korupsi (KPK) melan­jut­kan penyidikan dan mene­tap­kan Boediono sebagai ter­sangka, banyak pihak yang ber­beda pendapat.

Perbedaan pandangan itu wajar, bahkan seandainya 1.000 ahli hukum pun boleh ber­pendapat 1001 dari berbagai sudut pandang, apalagi jika di­kaitkan dengan aspek sosial dan politik. Namun, bagaimanapun pemutusnya adalah hakim. Ruang perdebatan baik di ranah publik maupun di ruang aka­demis tetaplah sebagai pan­dang­an sementara.

Putusan hakim adalah hu­kum dalam arti konkret. Putus­an hakim apa pun harus di­pan­dang sebagai benar dan berlaku sebagai hukum. Itulah konse­kuensi kita sebagai bangsa me­milih negara berdasarkan hu­kum. Putusan praperadilan adalah putusan akhir yang tidak bisa diupayakan hukum ban­ding (Pasal 83 KUHAP). Bahkan Mah­kamah Agung (MA) tak dapat melakukan Peninjauan Kembali (Pasal 3 PermaRI Nomor 4/ 2016).

Karenanya, putusan pra­per­adilan adalah putusan yang incracht. KPK sebagai penegak hukum, maka dedikasi dan ko­mit­men yang utama di pun­dak­nya adalah menegakkan hukum. Sebagai penegak hukum KPK harus menegakkan putusan pra­per­adilan sebagai sebuah hu­kum. Berdasarkan Pasal 17 hu­ruf c UU Nomor 30 /2014 ten­tang Administrasi Pemerin­tah­an, pejabat yang tidak melak­sana­kan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuat­an hukum tetap, dipandang telah bertindak sewenang-wenang. Bertindak sewenang-wenang artinya telah meninggalkan akal sehat dan keluar dari nor­ma. Ini adalah hal yang sangat ironis jika sampai terjadi, pe­negak hukum tidak lagi dalam rule of law.

Bukan Putusan Pertama
Bunyi putusan praperadilan pada 10 April 2018 adalah, “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hu­kum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan per­atur­an perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidik­a­n dan penuntutan dalam pro­ses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”

Putusan praperadilan ini bukan putusan yang pertama. Sudah kali keempat pemohon mengajukan permohonan yang sama. Putusan praperadilan Nomor 12/Pid.Pra/2016/ PN.Jaksel sebelumnya telah memutuskan yang amarnya “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ke­tentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ber­laku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan.” Namun, perintah putusan praperadilan itu tidak kunjung dilaksanakan sampai putusan kasasi Budi Mulya turun.

Dengan begitu, putusan pra­peradilan 2018 ini harus di­baca sebagai pemenuhan harapan pencari keadilan akan tidak kun­jung dipenuhinya perintah hukum oleh penegak hukum. Peng­adilan tidak mungkin hanya akan terus memerin­tah­kan pada perintah yang sama dengan putusan sebelumnya tanpa berkesudahan sam­pai praperadilan ke sekian kalinya.

Publik perlu mengapresiasi ke­beranian hakim untuk meng­hen­ti­kan ketidakpastian hu­kum ini yang dapat dinilai bahwa tidak ada iktikad baik untuk me­lanjutkan penangan­an perkara bailout Bank Century pada nama yang lain. Ke­engganan untuk melan­jutkan penyidikan pada nama lainnya tersebut dapat dinilai sebagai keputusan fiksi negatif (menolak melanjutkan) penyi­dik­an kepada nama lainnya. Ketidak­pastian hukum yang diputus oleh hakim.

Konsekuensi Dakwaan KPK
Sorotan banyak pihak hanya fo­kus pada soal meng­apa hakim “me­me­­rintah­kan mene­tap­kan se­bagai ter­sangka”. Pu­blik juga ha­rus tahu bah­wa hal ini me­rupa­kan konsekuensi dari dak­waan jaksa: bahwa ter­dakwa Budi Mulya...bersama-sama Boediono, Miranda S Gultom, Siti C Fajriyah, Budi Rohadi, Muliaman D hadad, Hartadi Agus, Ardhayadi M, dan Raden Pardede telah me­laku­kan atau turut serta melakukan bebe­rapa perbuatan yang ada hu­bungan­nya sedemikian rupa se­hingga harus dipandang se­bagai per­buat­an berlanjut....”

Konsekuensi di­dakwanya Budi Mulya melakukan tindak pi­dana bersama-sama de­ngan beberapa orang (deelneming) ber­dasar­kan Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut me­ngan­dung perintah setiap peserta dalam tindak pidana tersebut harus di­per­lakukan sama sebagai pelaku atas tindak pidana yang didak­wa­kan.

Bahkan jika sam­pai hukum memutus berbeda antarpara peserta delneeming dimaksud, hal itu bisa menjadi pintu peninjauan kembali, yang salah satu alasannya yakni, “Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh peng­adilan yang sama atau sama ting­katnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain,” demikian Pasal 67 UU Nomor 5/2004 tentang Mah­kamah Agung. Inilah kepen­ting­an hukum untuk meng­hukumi secara sama pihak-pihak yang turut serta.

Apalagi dalam kasus bailout Bank Century ini kapa­sitas Budi Mulya hanyalah de­puti guber­nur Bank Indonesia Bidang 4, Pengelolaan Mone­ter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW). Posisinya bukan kunci, sementara yang disebut dalam dakwaan lain tersebut Guber­nur BI Boediono, Deputi Guber­nur Senior Miranda Goeltom, Deputi Gubernur Bidang Ke­bijakan Perbank­an/Stabilitas Sistem Keuangan Muliaman Hadad, dkk. Pihak-pihak ini­lah yang memiliki posisi lebih kunci dalam pengambilan ke­putusan mengeluarkan ke­bija­kan bailout Bank Century.

Dalam penegakan hukum­nya, Budi Mulya telah ber­proses hukum sampai kasasi, tetapi nama-nama yang ter­sebut da­lam dakwaan KPK itu oleh KPK malah tidak kunjung disidik. Ini ketidakadilan yang nyata, mi­nimal secara formal diper­laku­kan dalam proses hukum. Karena itu, hilang alas­an KPK untuk berdalih masih mencari alat bukti, karena dakwaan “ber­sama-sama me­lakukan tindak pidana” itu dari jaksa KPK.

KPK pun tak dapat berdalih bahwa itu merupakan dakwaan pro­duk sebelumnya. KPK adalah penegak hukum, karenanya pan­dangan hu­kumnya secara kelembagaan haruslah konsis­ten. Tidak ka­rena perubahan struktur KPK lalu mengubah pandangan hukumnya.

Jangan Mengulang Kesalahan
KPK lahir didedikasikan salah satunya untuk “mem­per­baiki” proses penegakan hu­kum tindak pidana korupsi yang ber­larut-larut tanpa ada kejelasan waktu penanganan dan tak dapat dipertang­gung­jawabkan. Atas dasar itu KPK dalam rangka supervisi diberi kewenangan untuk mengambil alih pena­ngan­an korupsi dari institusi penyidik atau pe­nuntut lain.

Harapannya, KPK memberikan harapan indah tentang ke­pasti­an hukum waktu penangan korupsi. Sangat disayangkan jika harap­an ini tinggal harapan dan pe­nangan korupsi di KPK dengan alasan yang sama, bahwa masih dicari alat buktinya tidak ber­kejelasan.

Sejauh ini SOP penangan per­kara di KPK belum mem­berikan kepastian soal waktu, sehingga sulit diharapkan KPK mampu memberi harapan ke­pas­tian waktu penanganan per­kara. KPK harus sadar bahwa ia lahir dalam semangat reformasi yang diharapkan membawa perubahan penegakan hukum yang berkepastian hukum, ter­buka, akuntabel, demi kepen­ting­an umum dan proporsional (Pasal 5 UU KPK).

KPK jikalau tak mampu mengubah kepasti­an hukum dalam penegakan korupsi maka sesungguhnya ia telah kehilangan ruh kelem­baga­an sebagai lembaga pene­gak hu­kum era reformasi. Indonesia mendambakan penegak hu­kum yang pasti berkeadilan dalam menegakkan hukum. Ini tantangan KPK.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0615 seconds (0.1#10.140)