Sisi Gelap Modernisasi Nelayan

Rabu, 11 April 2018 - 06:53 WIB
Sisi Gelap Modernisasi...
Sisi Gelap Modernisasi Nelayan
A A A
Muhamad Husen
Pengurus DPD HNSI Jabar dan Pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia

PERINGATAN Hari Ne­­layan Indon­es­ia, 6 April, ber­langsung senyap. Tidak ada gempita, kem­e­riah­an di se­jum­lah wi­la­yah, gaung Hari Ne­la­yan nyaris tak ter­de­ngar. Mem­bahas kampanye partai dan pemilu tampaknya lebih me­na­rik ketimbang isu-isu nelayan. Padahal untuk menggali po­ten­si perikanan yang demikian be­sar, dibu­tuh­kan sosok ne­layan modern.

Posisi nelayan di Tanah Air saat ini memang belum bisa dikatakan modern. Meskipun dikatakan primitif juga tentu tidak. Untuk mencapai mo­dern pun belum me­mung­kin­kan. Roda kehidupan nelayan berjalan seperti biasa, me­lan­jut­kan hidup di tengah kes­e­sak­an pendapatan dan impitan kebutuhan hidup. Nasibnya tetap memprihatinkan.

Mengapa nelayan belum modern? Sebagian besar ja­wa­bannya akan merujuk pada te­r­batasnya armada dan tek­no­logi penangkapan serta adanya ham­batan kultural dan struk­tural, termasuk berbagai ken­da­la lain yang selalu meng­ha­dang. Kalaupun mereka me­nik­mati kemajuan, posisinya selalu ter­tera pada urutan paling be­la­kang. Kehidupan nelayan tetap saja merupakan sosok keter­ting­galan, padahal para peme­gang kebijakan di negeri ini sudah sering bongkar pasang be­rikut program me­mo­der­ni­sasi nelayan menjadi salah satu pencanangan ker­janya.

Realita modernisasi masih memiliki sisi gelap, mereka yang bertarung hidup di te­ngah ganasnya lautan, ibarat pah­lawan yang kalah perang. Hasil tangkapan cenderung me­nu­run karena kalahnya daya jang­kau menembus laut dalam, me­ngingat kapal yang di­pakai ber­ukuran kecil. Aki­batnya, pen­da­patan nelayan minim. Jika patah semangat, sebagian dari mereka akan me­nempuh jalan pintas dengan cara berpindah pekerjaan. Se­ba­gian bisa ber­hasil, tetapi tidak sedikit pula gagal karena tidak memiliki keterampilan khusus. Tidak mudahnya me­raih tambahan modal, apalagi tingkat edukasi mereka yang ren­dah sehingga keter­be­la­kangan selalu menye­li­mu­tinya.

Mengalami Penurunan
Gaung yales veva yaya mahe serta bait-bait lagu “nenek mo­yangku orang pelaut”, semakin kental dikenal dan mudah di­hafal di kalangan anak-anak se­kolah. Semboyan yang men­cer­minkan kejayaan nenek mo­yang kita sejak zaman Sriwijaya dan masih tertanam di benak para pelaut Indonesia sampai sekarang. Makna isinya baru terasa menggema pada se­ba­gian kecil dari penguasaan laut secara menyeluruh, yaitu da­lam dunia pelayaran dan pen­je­lajahan laut-laut Nusantara. Namun, pada bidang-bidang lain, khususnya pada pe­man­faa­tan sumber daya hayati yang se­cara ekologis dapat terles­ta­ri­kan, kajian ekonomisnya me­nguntungkan dan ana­lisis il­miah bisa diper­tang­gung­ja­wab­kan, sem­boyan heroik itu be­lum terpatri secara utuh da­lam sanubari para pe­tinggi negeri ini.

Secara kasatmata bangsa Indonesia umum­nya me­nge­tahui bahwa sekitar tiga per em­pat wilayahnya berupa laut. Memiliki luas 5,8 juta kilo­me­ter persegi yang meng­hu­bung­kan lebih dari 17.504 pulau de­ngan panjang garis pantai 95.200 km (ter­panjang kedua di dunia). Daerah pesisir dan laut­annya mengandung po­tensi ekonomi kelautan luar biasa, diperkirakan mencapai USD1,3 miliar per tahun. Ko­non dari perikanan tangkap ber­nilai USD15,1 juta, budi daya laut USD46,7 juta, budi daya tambak USD10 juta, dan bioteknologi kelautan USD4 juta. Sumber daya ikan laut diperkirakan sebanyak 12,5 juta ton/tahun. Pada 2017 produksinya baru 7,67 juta ton.

Di balik fakta di atas, selalu muncul pertanyaan klise dan menggelitik, mengapa keka­ya­an laut sedemikian besar itu be­lum bisa membuat bangsa kita menjadi lebih maju dan mak­mur. Apalagi untuk me­mo­der­n­kan nelayan, padahal me­re­ka­lah selama ini turut meng­gali potensi kelautan tersebut. Saat ini kontribusi sektor ke­lautan Indonesia sekitar 22% dari produk domestik bruto (PDB), tergolong kecil di­ban­dingkan dengan negara APEC lainnya, seperti Vietnam, Ko­rea, dan Je­pang. Bahkan ting­kat pen­dap­atan nelayan masih ber­ki­sar sekitar Rp300.000 per bu­lan. Sementara kerugian ne­gara akibat pencurian ikan me­nurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) diper­ki­ra­kan rata-rata Rp30 triliun per tahun.

Runyamnya regulasi per­ikanan tangkap, adanya du­ga­an tentang sumber daya ikan di beberapa wilayah perairan su­dah mengalami degradasi, dan sering kurang bersahabatnya cuaca buruk tidak menentu, te­lah menambah deretan pan­jang penyebab nasib nelayan selama ini. Ujung-ujungnya, mereka terpuruk di ladang sendiri. Tidak mengherankan apabila jumlah nelayan di ne­gara kita mengalami pe­nu­run­an, jika pa­da 2003 tercatat 3,85 juta ne­la­yan, maka pada 2007 berkurang menjadi 2,66 juta. Pada 2016 diperkirakan seba­nyak 2,17 juta (hanya 0,87% dari jumlah te­na­ga kerja Indo­nesia).

Minimnya akses sarana pro­duksi membuat nelayan be­lum mampu memanfaatkan dan mengelola kekayaan laut secara optimal. Di sejumlah sentra produksi perikanan, akses ba­han bakar minyak sulit diper­oleh. Nelayan terpaksa mem­be­li solar eceran di wa­rung de­ngan harga lebih mahal ke­tim­bang membeli di stasiun pe­ng­isian bahan bakar untuk umum (SPBU). Kesulitan lain adalah akses permodalan un­tuk me­laut. Sulitnya akses per­bankan mengakibatkan ne­la­yan ter­jerat utang permodalan de­ngan tengkulak.

Model perikanan skala me­nengah ke bawah dengan sis­tem bagi hasil nelayan dengan pemilik menghasilkan hubu­ngan patronase yang kuat. Ar­ti­nya, segala sesuatu kendala pengusaha ditanggung pula pe­kerjanya. Kendala berlanjut hingga hilir, yakni mata rantai perdagangan yang dikuasai tengkulak. Akibatnya, nelayan nyaris tak punya posisi tawar.

Tidak Ada Apa-apanya
Manakala menelaah vo­lu­me serta nilai produk per­ikan­an Indonesia, tentu kita ber­pen­dapat ternyata kemam­puan kita tidak ada apa-apanya di­ban­dingkan dengan negara lain da­lam mengelola kekayaan laut­nya. Korea Selatan yang h­a­nya memiliki garis pantai tak le­bih dari 2.713 kilometer mampu menyumbang 37% bagi PDB-nya. Jepang dengan garis pantai 34.386 kilometer, sektor ke­laut­annya mampu me­nyum­bang 54%. Te­tang­ga kita, Thai­land, yang garis pantainya saja 2.600 ki­lo­me­ter juga dapat me­ngekspor produk perikanan jauh lebih besar dari Indonesia.

Sementara Cina, luas wi­la­yah perairannya 503.209 km persegi (8,81% luas perairan In­donesia) dengan panjang ga­ris pantai 32.000 km, sepuluh tahun lalu kon­tribusi sektor kelautannya terhadap PDB men­capai 48,4%, keber­pi­hak­an pe­me­rin­tahnya terhadap sektor perikanan terbukti mu­lai dari pembangunan rumah susun nelayan yang layak ter­masuk berbagai insentif usaha untuk menumbuhkan inves­tasi.

Negara Islandia dan Nor­wegia telah membuktikan pula bahwa laut dapat menjadi tum­puan penghidupan eko­no­mi. Di Islandia, 65% PDB berasal dari sektor perikanan dengan pendapatan per kapita ra­k­yatnya USD26.000, se­dangkan Norwegia mem­be­rikan kon­tri­busi 25% untuk ekspor ikan sal­mon saja senilai USD2 miliar per tahun. Ada­pun pen­da­pat­an per kapitanya mencapai USD30.000.

Mencermati kisah sukses negara lain berikut sederet per­soalan yang dihadapi nelayan, saatnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadikan peringatan Hari Nelayan tahun ini sebagai mo­mentum membangkitkan dan menyejahterakan nelayan se­suai Nawacita. Ambisi me­nem­patkan Indonesia sebagai po­ros maritim dunia hanya bisa tercapai jika nelayan modern bisa diwujudkan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1510 seconds (0.1#10.140)