Menyoal Peran Pemerintah pada Sektor Batu Bara
A
A
A
Marwan Batubara Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
SETELAH dinantikan cukup lama, pada 9 Maret 2018 pemerintah akhirnya menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batu Bara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Peraturan tersebut diterbitkan terutama untuk memenuhi permintaan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengalami peningkatan beban biaya operasi akibat harus membeli harga batu bara yang terus naik sejak akhir 2016 sesuai mekanisme pasar bebas. PLN menginginkan agar pemerintah menetapkan harga khusus batu bara bagi PLN.
Kepmen Nomor 1395 antara lain menetapkan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik sebesar USD70 per metrik ton atas spesifikasi acuan pada kalori 6.322 kcal/kg gross air-received (GAR), total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%. Harga batu bara untuk kalori lain dikonversi terhadap harga batu bara kalori 6.322 GAR sesuai perhitungan berlaku. Volume maksimal pembelian batu bara pembangkit listrik 100 juta ton per tahun atau sesuai kebutuhan. Pembayaran royalti dan pajak dihitung berdasarkan harga transaksional.
Perusahaan yang menjual batu bara untuk kepentingan listrik nasional dapat diberikan tambahan produksi 10% apabila memenuhi syarat sesuai ketentuan berlaku. Semula Kepmen ESDM ini ditetapkan untuk berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2018. Artinya, harga khusus tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga Desember 2019. Namun, hanya berselang dua hari, Kementerian ESDM mengubah ketentuan tentang pemberlakuan harga yang berlaku sejak 1 Januari 2018 menjadi sejak 12 Maret 2018. Perubahan tersebut terjadi hanya karena alasan sepele, yaitu untuk mempermudah administrasi keuangan perusahaan tambang batu bara.
Disayangkan bahwa Kepmen Nomor 1395 sangat terlambat terbit. Jika keputusan akhirnya ditetapkan, tampaknya hal itu disebabkan gigihnya manajemen PLN berjuang dan besarnya tekanan publik. Akibat keterlambatan, selama 2017 PLN harus menanggung beban tambahan biaya operasi hingga Rp15 triliun. Untuk 2018, akibat ketentuan berlaku surut “sejak 1 Januari 2018” berubah menjadi “12 Maret 2018”, beban PLN bertambah Rp4 triliun. Dalam tulisan ini, IRESS mempertanyakan sikap pemerintah yang abai melindungi kepentingan PLN dan publik untuk memperoleh pelayanan listrik murah dan berkelanjutan.
Pertama, peningkatan beban biaya puluhan triliun rupiah di atas terjadi terutama karena PLN mengoperasikan sekitar 60% pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menggunakan energi primer batu bara. Sementara harga batu bara acuan (HBA) terus naik dari rata-rata USD61,94 (2016) menjadi USD85,92 per ton (2017). Karena itu, manajemen PLN sejak awal 2017 berulangkali meminta pemerintah menetapkan harga khusus agar beban biaya operasi tidak naik. Dengan begitu, tarif listrik tidak perlu naik, pelayanan berkelanjutan, dan ribuan desa teraliri listrik. Salah satu yang diajukan PLN adalah skema “harga biaya plus margin” tertentu yang fair bagi dua belah pihak.
Kedua, pada masa awal mengajukan permohonan tertangkap kesan Kementerian ESDM (KESDM) justru tidak mendukung keinginan PLN. KESDM pernah mengatakan HBA untuk PLN tidak akan diturunkan dan sebaliknya KESDM meminta PLN berhemat. Menteri ESDM Ignasius Jonan bahkan mengatakan bahwa skema “biaya plus margin” yang diajukan PLN skema yang usang. Padahal, yang diminta PLN hal yang wajar, konstitusional, serta berkeadilan bagi seluruh rakyat, terutama karena SDA batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketiga, pengaruh pengusaha batu bara terhadap pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan peraturan terasa sangat kuat. Pemerintah tampak enggan melindungi kepentingan publik dan terkesan lari dari tanggung jawab. Faktanya, terkait harga khusus, KESDM malah meminta PLN melakukan negosiasi langsung dengan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Saat itu pemerintah hanya mengambil peran sebagai “mediator”. Negosiasi antara ABPI dan PLN tak kunjung mencapai kesepakatan selama berbulan-bulan karena APBI bersikukuh pada harga USD85 per ton. Sedangkan PLN bersedia menaikkan harga patokan tersebut dari USD60 menjadi USD65 per ton.
Keempat, ada pembatasan harga khusus hanya berlaku hingga Desember 2019 sangat pantas dipertanyakan. Seperti diketahui, HBA rata-rata selama sepuluh tahun (2007-2017) telah berfluktuasi signifikan antara USD34 per ton (2007) hingga USD85 per ton (2017), dan yang tertinggi terjadi pada 2011, yakni USD118 per ton. Merujuk fakta harga yang fluktuatif di satu sisi dan kebutuhan listrik berkelanjutan di sisi lain, wajar jika harga khusus berlaku lama. Pembatasan waktu dua tahun dapat diterima jika pemerintah berniat dan mampu menemukan skema yang lebih baik. Sebaliknya, jika pemberlakuan tersebut lebih karena kepentingan politik oligarki pada Pemilu 2019, rakyat sangat wajar melakukan protes dan menggugat.
Kelima, produksi nasional batu bara pada 2017 sekitar 470 juta ton. Dengan kenaikan HBA rata-rata dari USD61,84 (2016) menjadi USD85,92 per ton (2017) atau kenaikan 38,94%, telah memberikan tambahan pendapatan bisnis batu bara sekitar Rp99 triliun. Dari peningkatan ini, pemerintah diperkirakan memperoleh tambahan royalti sekitar Rp7,5 triliun dan pajak Rp15 - Rp25 triliun. Para pengusaha diperkirakan mendapat tambahan Rp25-Rp35 triliun. Sedangkan PLN justru menanggung beban tambahan Rp15 triliun. Jelas distribusi pendapatan kekayaan negara ini tidak adil dan perlu dikoreksi agar negara memperoleh porsi terbesar. Karena itu, harga khusus batu bara harus berlaku lama dan pajak progresif perlu diberlakukan.
Keenam, dalam butir 6 Permen Nomor 1395 termuat ketentuan bahwa bagi para kontraktor yang telah memenuhi ketentuan persentase minimal penjualan batu bara untuk kepentingan domestik akan memperoleh kenaikan jumlah produksi paling banyak 10% dari kapasitas produksi yang telah disetujui. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan prinsip konservasi SDA dan kepentingan ketahanan energi berkelanjutan. Di sini tampak, demi mendapat dukungan penerapan harga khusus, pemerintah sangat lemah sekaligus “murah hati” kepada pengusaha swasta/asing, sehingga mudah memberi insentif walau hal tersebut melanggar aturan.
Ketujuh, dengan seluruh perangkat pemerintahan, data pendukung, keahlian aparat, instrumen pengkajian dan otoritas yang dimiliki, pemerintah mampu memutuskan berapa harga yang tepat dan adil bagi PLN. Pemerintah berkuasa mengaudit biaya produksi dan memeriksa laporan keuangan perusahaan tambang, serta menjadikan masukan dari PLN dan APBI sebagai pertimbangan. Dengan semua itu, pemerintah akan dapat menetapkan harga secara objektif, berkeadilan, otonom, dan independen dalam waktu cepat. Sayangnya, karena mungkin “terpengaruh” para kontraktor, seluruh wewenang tersebut dengan sengaja tidak digunakan.
Kedelapan, kuatnya pengaruh pengusaha mengakibatkan keputusan terlambat dan berujung pada kerugian PLN. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara berkuasa dan berdaulat untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola (melalui BUMN) dan mengawasi seluruh SDA milik negara, termasuk harga batu bara sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Menyerahkan pengelolaan SDA batu bara untuk didominasi perusahaan-perusahaan swasta dan asing sudah melanggar konstitusi. Apalagi jika setelah itu pemerintah abai melindungi kepentingan rakyat dan gagal membuat kebijakan harga batu bara yang konstitusional, objektif, dan berkeadilan. Jelas, pemerintah telah gagal menjalankan fungsi kedaulatan dan kekuasaan negara sesuai UUD 1945.
Sebagai kesimpulan, pengalaman IRESS setahun mengikuti perkembangan upaya PLN untuk memperoleh harga khusus batu bara kepada pemerintah telah menunjukkan bahwa sikap pemerintah justru sangat jauh dari konstitusi dan peran melindungi kepentingan publik. Terkesan, pemerintah yang diperankan oleh KESDM justru lebih memihak kepada kepentingan pengusaha dan para anggota oligarki. Untuk itu, sambil menuntut untuk terus meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan tata kelola korporasi yang baik, kita berharap upaya advokasi yang telah diperankan PLN selama ini perlu terus dipelihara dan dikembangkan. Selain itu, penerbitan Kepmen Nomor 1395 bukanlah akhir dari upaya untuk penyediaan listrik yang murah dan berkelanjutan, tetapi awal untuk berlakunya harga khusus batu bara bagi PLN untuk waktu lama dan penerapan skema windfall profit tax dalam sektor bisnis batu bara.
SETELAH dinantikan cukup lama, pada 9 Maret 2018 pemerintah akhirnya menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batu Bara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Peraturan tersebut diterbitkan terutama untuk memenuhi permintaan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengalami peningkatan beban biaya operasi akibat harus membeli harga batu bara yang terus naik sejak akhir 2016 sesuai mekanisme pasar bebas. PLN menginginkan agar pemerintah menetapkan harga khusus batu bara bagi PLN.
Kepmen Nomor 1395 antara lain menetapkan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik sebesar USD70 per metrik ton atas spesifikasi acuan pada kalori 6.322 kcal/kg gross air-received (GAR), total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%. Harga batu bara untuk kalori lain dikonversi terhadap harga batu bara kalori 6.322 GAR sesuai perhitungan berlaku. Volume maksimal pembelian batu bara pembangkit listrik 100 juta ton per tahun atau sesuai kebutuhan. Pembayaran royalti dan pajak dihitung berdasarkan harga transaksional.
Perusahaan yang menjual batu bara untuk kepentingan listrik nasional dapat diberikan tambahan produksi 10% apabila memenuhi syarat sesuai ketentuan berlaku. Semula Kepmen ESDM ini ditetapkan untuk berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2018. Artinya, harga khusus tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga Desember 2019. Namun, hanya berselang dua hari, Kementerian ESDM mengubah ketentuan tentang pemberlakuan harga yang berlaku sejak 1 Januari 2018 menjadi sejak 12 Maret 2018. Perubahan tersebut terjadi hanya karena alasan sepele, yaitu untuk mempermudah administrasi keuangan perusahaan tambang batu bara.
Disayangkan bahwa Kepmen Nomor 1395 sangat terlambat terbit. Jika keputusan akhirnya ditetapkan, tampaknya hal itu disebabkan gigihnya manajemen PLN berjuang dan besarnya tekanan publik. Akibat keterlambatan, selama 2017 PLN harus menanggung beban tambahan biaya operasi hingga Rp15 triliun. Untuk 2018, akibat ketentuan berlaku surut “sejak 1 Januari 2018” berubah menjadi “12 Maret 2018”, beban PLN bertambah Rp4 triliun. Dalam tulisan ini, IRESS mempertanyakan sikap pemerintah yang abai melindungi kepentingan PLN dan publik untuk memperoleh pelayanan listrik murah dan berkelanjutan.
Pertama, peningkatan beban biaya puluhan triliun rupiah di atas terjadi terutama karena PLN mengoperasikan sekitar 60% pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menggunakan energi primer batu bara. Sementara harga batu bara acuan (HBA) terus naik dari rata-rata USD61,94 (2016) menjadi USD85,92 per ton (2017). Karena itu, manajemen PLN sejak awal 2017 berulangkali meminta pemerintah menetapkan harga khusus agar beban biaya operasi tidak naik. Dengan begitu, tarif listrik tidak perlu naik, pelayanan berkelanjutan, dan ribuan desa teraliri listrik. Salah satu yang diajukan PLN adalah skema “harga biaya plus margin” tertentu yang fair bagi dua belah pihak.
Kedua, pada masa awal mengajukan permohonan tertangkap kesan Kementerian ESDM (KESDM) justru tidak mendukung keinginan PLN. KESDM pernah mengatakan HBA untuk PLN tidak akan diturunkan dan sebaliknya KESDM meminta PLN berhemat. Menteri ESDM Ignasius Jonan bahkan mengatakan bahwa skema “biaya plus margin” yang diajukan PLN skema yang usang. Padahal, yang diminta PLN hal yang wajar, konstitusional, serta berkeadilan bagi seluruh rakyat, terutama karena SDA batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketiga, pengaruh pengusaha batu bara terhadap pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan peraturan terasa sangat kuat. Pemerintah tampak enggan melindungi kepentingan publik dan terkesan lari dari tanggung jawab. Faktanya, terkait harga khusus, KESDM malah meminta PLN melakukan negosiasi langsung dengan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Saat itu pemerintah hanya mengambil peran sebagai “mediator”. Negosiasi antara ABPI dan PLN tak kunjung mencapai kesepakatan selama berbulan-bulan karena APBI bersikukuh pada harga USD85 per ton. Sedangkan PLN bersedia menaikkan harga patokan tersebut dari USD60 menjadi USD65 per ton.
Keempat, ada pembatasan harga khusus hanya berlaku hingga Desember 2019 sangat pantas dipertanyakan. Seperti diketahui, HBA rata-rata selama sepuluh tahun (2007-2017) telah berfluktuasi signifikan antara USD34 per ton (2007) hingga USD85 per ton (2017), dan yang tertinggi terjadi pada 2011, yakni USD118 per ton. Merujuk fakta harga yang fluktuatif di satu sisi dan kebutuhan listrik berkelanjutan di sisi lain, wajar jika harga khusus berlaku lama. Pembatasan waktu dua tahun dapat diterima jika pemerintah berniat dan mampu menemukan skema yang lebih baik. Sebaliknya, jika pemberlakuan tersebut lebih karena kepentingan politik oligarki pada Pemilu 2019, rakyat sangat wajar melakukan protes dan menggugat.
Kelima, produksi nasional batu bara pada 2017 sekitar 470 juta ton. Dengan kenaikan HBA rata-rata dari USD61,84 (2016) menjadi USD85,92 per ton (2017) atau kenaikan 38,94%, telah memberikan tambahan pendapatan bisnis batu bara sekitar Rp99 triliun. Dari peningkatan ini, pemerintah diperkirakan memperoleh tambahan royalti sekitar Rp7,5 triliun dan pajak Rp15 - Rp25 triliun. Para pengusaha diperkirakan mendapat tambahan Rp25-Rp35 triliun. Sedangkan PLN justru menanggung beban tambahan Rp15 triliun. Jelas distribusi pendapatan kekayaan negara ini tidak adil dan perlu dikoreksi agar negara memperoleh porsi terbesar. Karena itu, harga khusus batu bara harus berlaku lama dan pajak progresif perlu diberlakukan.
Keenam, dalam butir 6 Permen Nomor 1395 termuat ketentuan bahwa bagi para kontraktor yang telah memenuhi ketentuan persentase minimal penjualan batu bara untuk kepentingan domestik akan memperoleh kenaikan jumlah produksi paling banyak 10% dari kapasitas produksi yang telah disetujui. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan prinsip konservasi SDA dan kepentingan ketahanan energi berkelanjutan. Di sini tampak, demi mendapat dukungan penerapan harga khusus, pemerintah sangat lemah sekaligus “murah hati” kepada pengusaha swasta/asing, sehingga mudah memberi insentif walau hal tersebut melanggar aturan.
Ketujuh, dengan seluruh perangkat pemerintahan, data pendukung, keahlian aparat, instrumen pengkajian dan otoritas yang dimiliki, pemerintah mampu memutuskan berapa harga yang tepat dan adil bagi PLN. Pemerintah berkuasa mengaudit biaya produksi dan memeriksa laporan keuangan perusahaan tambang, serta menjadikan masukan dari PLN dan APBI sebagai pertimbangan. Dengan semua itu, pemerintah akan dapat menetapkan harga secara objektif, berkeadilan, otonom, dan independen dalam waktu cepat. Sayangnya, karena mungkin “terpengaruh” para kontraktor, seluruh wewenang tersebut dengan sengaja tidak digunakan.
Kedelapan, kuatnya pengaruh pengusaha mengakibatkan keputusan terlambat dan berujung pada kerugian PLN. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara berkuasa dan berdaulat untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola (melalui BUMN) dan mengawasi seluruh SDA milik negara, termasuk harga batu bara sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Menyerahkan pengelolaan SDA batu bara untuk didominasi perusahaan-perusahaan swasta dan asing sudah melanggar konstitusi. Apalagi jika setelah itu pemerintah abai melindungi kepentingan rakyat dan gagal membuat kebijakan harga batu bara yang konstitusional, objektif, dan berkeadilan. Jelas, pemerintah telah gagal menjalankan fungsi kedaulatan dan kekuasaan negara sesuai UUD 1945.
Sebagai kesimpulan, pengalaman IRESS setahun mengikuti perkembangan upaya PLN untuk memperoleh harga khusus batu bara kepada pemerintah telah menunjukkan bahwa sikap pemerintah justru sangat jauh dari konstitusi dan peran melindungi kepentingan publik. Terkesan, pemerintah yang diperankan oleh KESDM justru lebih memihak kepada kepentingan pengusaha dan para anggota oligarki. Untuk itu, sambil menuntut untuk terus meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan tata kelola korporasi yang baik, kita berharap upaya advokasi yang telah diperankan PLN selama ini perlu terus dipelihara dan dikembangkan. Selain itu, penerbitan Kepmen Nomor 1395 bukanlah akhir dari upaya untuk penyediaan listrik yang murah dan berkelanjutan, tetapi awal untuk berlakunya harga khusus batu bara bagi PLN untuk waktu lama dan penerapan skema windfall profit tax dalam sektor bisnis batu bara.
(kri)