Luhut, Amien, dan Sertifikat Tanah Itu
A
A
A
Nyoto Santoso Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
SUHU politik nasional memanas. Dua politisi senior-Amien Rais (AR) dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP)- saling adu opini perihal kebijakan sertifikasi tanah untuk orang miskin. Menurut AR, kebijakan sertifikasi tanah adalah sebuah pengibulan publik. Sementara bagi LBP, kebijakan tersebut merupakan keberpihakan negara kepada rakyat kecil untuk menyejahterakan petani gurem. Sama sekali bukan pengibulan.
Publik di dunia nyata dan di dunia maya pun terpecah. Sebagian berpihak kepada AR. Sebagian lagi berpihak kepada LBP. Mana yang benar? Mungkinkah kedua opini itu disinkronkan sehingga menimbulkan resultante kebijakan yang hebat dan bermanfaat untuk rakyat?
Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), AR memang menjadi tokoh oposisi. Ketua Dewan Pertimbangan PAN itu kerap mengkritik pemerintahan Jokowi dengan bahasa yang keras dan vulgar. Soal tuduhan pembohongan publik itu, misalnya, dilontarkan AR ketika ia berbicara di forum Bandung Informal Meeting di Hotel Savoy Homman (18/3) lalu. AR menyatakan program bagi-bagi sertifikat tanah itu merupakan pembohongan. Kenapa? Kata Amien, Jokowi melupakan substansinya: bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai kelompok tertentu dan pemerintahan Jokowi membiarkannya.
Pernyataan AR yang keras itu mengagetkan. LBP, Menko Kemaritiman yang dianggap dekat dengan Presiden Jokowi, langsung bereaksi. “Pernyataan AR menyesatkan,” katanya. “AR pun bukan orang yang bersih-bersih amat,” lanjutnya. LBP siap membuka ke-dok AR jika ia tetap menyudutkan pemerintah.
Menanggapi perang opini yang memecah publik ini Pemuda Muhammadiyah hendak membuat panggung terbuka untuk AR dan LBP. Tujuannya menjernihkan permasalahan “tanah” tersebut. Betulkah kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan sertifikat tanah kepada petani miskin itu sebuah pembohongan? Lalu sejauh mana pembagian sertifikat tanah itu berhasil mengangkat perekonomian rakyat kecil?
Seorang warganet yang tergabung dalam FB Kampung UGM, Priyo Sudarmo, menulis status: yang marah atas pernyataan Pak Amien (AR) bukan hanya Pak Luhut (LBP). Tapi banyak orang, terutama para petugas Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap ( PTSL) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN). PTSL itu membantu masyarakat untuk memudahkan proses sertifikasi tanah. Hasilnya: tanah yang disertifikasi akan mampu menggerakkan dan memajukan perekonomian masyarakat bawah.
Kenapa? Sertifikat yang dimiliki oleh masyarakat bisa menjadi barang berharga yang bisa mereka agunkan kepada bank atau lembaga keuangan.
Tak bisa dimungkiri, program sertifikasi tanah tersebut sangat bermanfaat. Tanah-tanah negara seperti milik Perhutani atau BUMN lain yang idle dan telantar, yang selama ini diberdayakan petani, setelah disertifikasi menjadi sesuatu yang punya nilai finansial. Petani pun tidak takut digusur petugas BUMN yang tanah “nganggurnya” diberdayakan. Mereka tenang bercocok tanam atau berkebun. Bahkan lebih jauh lagi, sertifikat tersebut bisa jadi agunan di bank dan lembaga keuangan lain.
Tak hanya itu. Sertifikasi tanah juga bisa meminimalkan konflik pertanahan di masyarakat. Ini karena semua tanah yang terdaftar terpetakan dengan rapi.
Sebagai gambaran, sertifikasi tanah di Kabupaten Bogor, pada tahun 2017, mencapai 80.000 bidang tanah. Yang menarik, kata Bupati Bogor Nurhayanti, masyarakat di kampung-kampung yang tanahnya mendapat sertifikat, ekonominya tumbuh. Karena para petani bisa mendapat pinjaman bank dengan mengagunkan sertifikat tanah tersebut. Di Bogor, kata Nurhayanti, dari 2.000.000 bidang tanah, yang disertifikasi baru 700.000-an bidang. Jika program sertifikasi tersebut selesai, niscaya ekonomi masyarakat akan tumbuh. Rakyat kecil tidak bodoh. Jika ada modal dan peluang bisnis, mereka bisa bergerak sendiri. Dari gambaran sertifikasi tanah di Bogor, terlihat betapa besar manfaat yang diperoleh masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Jadi, tidak benar sertifikasi tanah tersebut tidak bermanfaat dan hanya pengibulan. Jika sertifikasi tanah untuk rakyat itu sudah mencapai seluruh Indonesia, niscaya ada peningkatan ekonomi yang luar biasa. Khususnya di tengah rakyat kecil yang selama ini tak punya akses keuangan di perbankan dan lembaga keuangan lain.
UU Land Reform
Sebaliknya kritik AR juga tidak sesat-sesat amat. Kenapa? Faktanya memang segelintir orang memiliki tanah yang luas sekali, bisa mencapai jutaan hektare (ha). UU Land Reform yang memihak rakyat, misalnya, sampai hari ini tidak jelas keberadaannya. Tidak adanya UU Land Reform yang memihak rakyat inilah yang menyebabkan banyak kasus rakyat tergusur dari tempat kelahiran dan mata pencahariannya. Pemerintah lebih memihak pemilik modal besar untuk perkebunan, tanaman industri, pertambangan, dan lain-lain.
Sebagai gambaran, konflik pemegang HGU (hak guna usaha) perkebunan melawan petani setempat, konflik antara pemegang IUP (izin usaha pertambangan) dan pemangku hutan adat (masyarakat), antara pengembang dan rakyat miskin, dan antara kontraktor pembangunan infrastruktur dan petani pemilik lahan masih terus terjadi sampai sekarang. Berdasarkan data, saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9 juta ha. Dari penguasaan tanah sangat luas itu, 59% berkonflik dengan rakyat. Konfliknya meliputi 591 kasus di 22 provinsi dan 143 kabupaten.
Di sektor kehutanan, misalnya, peruntukan hutan bagi industri mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), sementara Hutan Tanaman Rakyat hanya berkisar 631.628 ha. Di pihak lain, petani Indonesia rata-rata hanya menguasai 0,25 ha tanah, sedangkan 85% rumah tangga petani adalah petani gurem dan tak bertanah.
Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2015, misalnya, terjadi 252 konflik agraria dengan luas tanah 400.430 ha. Dan konflik tersebut sedikitnya menyeret 108.714 keluarga. Akibatnya korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya 124 orang, dan ditahan 278 orang.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa persoalan tanah dan kepemilikannya belum terselesaikan, dari za-man ke zaman. Padahal masalahnya simpel saja jika semua pihak yang berkepentingan mengacu pada Pasal 33 UUD 45. Pasal 33 tersebut berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“
Jika kita telaah, isi pasal di atas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya bumi, air beserta kekayaan alam lain yang ada di atasnya (perkebunan dan hutan) maupun di dalamnya (tambang) adalah milik negara. Milik negara itu harus dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.
Dari konflik opini antara AR dan LBP, tersirat di sana, sertifikasi tanah—meski terbukti manfaatnya sangat besar untuk rakyat-belum menyentuh “keadilan penguasaan tanah” seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Dengan begitu pernyataan AR tidak sesat-sesat amat.
Meski demikian AR juga tidak bisa menyalahkan pemerintahan Jokowi. Sejak zaman Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, SBY sampai Jokowi, faktanya UU Land Reform yang diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam penguasaan tanah belum hadir. Pembuatan UU Land Reform itu terus terbentur berbagai konflik kepentingan sehingga terbengkalai di tengah jalan.
Dari gambaran itu, sebetulnya konflik opini antara AR dan LBP tak seharusnya meruncing dan menimbulkan kegerahan politik. Keduanya, AR dan LBP, seharusnya bisa duduk bersama, lalu mencari ide-ide solutif untuk menyelesaikan berbagai kasus pertanahan di Indonesia. Termasuk di antaranya, bagaimana memperluas program sertifikasi tanah yang kini dijalankan pemerintahan Jokowi dan menggolkan terbentuknya UU Land Reform prorakyat dengan dukungan solid partai-partai politik di DPR seperti diinginkan AR.
SUHU politik nasional memanas. Dua politisi senior-Amien Rais (AR) dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP)- saling adu opini perihal kebijakan sertifikasi tanah untuk orang miskin. Menurut AR, kebijakan sertifikasi tanah adalah sebuah pengibulan publik. Sementara bagi LBP, kebijakan tersebut merupakan keberpihakan negara kepada rakyat kecil untuk menyejahterakan petani gurem. Sama sekali bukan pengibulan.
Publik di dunia nyata dan di dunia maya pun terpecah. Sebagian berpihak kepada AR. Sebagian lagi berpihak kepada LBP. Mana yang benar? Mungkinkah kedua opini itu disinkronkan sehingga menimbulkan resultante kebijakan yang hebat dan bermanfaat untuk rakyat?
Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), AR memang menjadi tokoh oposisi. Ketua Dewan Pertimbangan PAN itu kerap mengkritik pemerintahan Jokowi dengan bahasa yang keras dan vulgar. Soal tuduhan pembohongan publik itu, misalnya, dilontarkan AR ketika ia berbicara di forum Bandung Informal Meeting di Hotel Savoy Homman (18/3) lalu. AR menyatakan program bagi-bagi sertifikat tanah itu merupakan pembohongan. Kenapa? Kata Amien, Jokowi melupakan substansinya: bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai kelompok tertentu dan pemerintahan Jokowi membiarkannya.
Pernyataan AR yang keras itu mengagetkan. LBP, Menko Kemaritiman yang dianggap dekat dengan Presiden Jokowi, langsung bereaksi. “Pernyataan AR menyesatkan,” katanya. “AR pun bukan orang yang bersih-bersih amat,” lanjutnya. LBP siap membuka ke-dok AR jika ia tetap menyudutkan pemerintah.
Menanggapi perang opini yang memecah publik ini Pemuda Muhammadiyah hendak membuat panggung terbuka untuk AR dan LBP. Tujuannya menjernihkan permasalahan “tanah” tersebut. Betulkah kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan sertifikat tanah kepada petani miskin itu sebuah pembohongan? Lalu sejauh mana pembagian sertifikat tanah itu berhasil mengangkat perekonomian rakyat kecil?
Seorang warganet yang tergabung dalam FB Kampung UGM, Priyo Sudarmo, menulis status: yang marah atas pernyataan Pak Amien (AR) bukan hanya Pak Luhut (LBP). Tapi banyak orang, terutama para petugas Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap ( PTSL) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN). PTSL itu membantu masyarakat untuk memudahkan proses sertifikasi tanah. Hasilnya: tanah yang disertifikasi akan mampu menggerakkan dan memajukan perekonomian masyarakat bawah.
Kenapa? Sertifikat yang dimiliki oleh masyarakat bisa menjadi barang berharga yang bisa mereka agunkan kepada bank atau lembaga keuangan.
Tak bisa dimungkiri, program sertifikasi tanah tersebut sangat bermanfaat. Tanah-tanah negara seperti milik Perhutani atau BUMN lain yang idle dan telantar, yang selama ini diberdayakan petani, setelah disertifikasi menjadi sesuatu yang punya nilai finansial. Petani pun tidak takut digusur petugas BUMN yang tanah “nganggurnya” diberdayakan. Mereka tenang bercocok tanam atau berkebun. Bahkan lebih jauh lagi, sertifikat tersebut bisa jadi agunan di bank dan lembaga keuangan lain.
Tak hanya itu. Sertifikasi tanah juga bisa meminimalkan konflik pertanahan di masyarakat. Ini karena semua tanah yang terdaftar terpetakan dengan rapi.
Sebagai gambaran, sertifikasi tanah di Kabupaten Bogor, pada tahun 2017, mencapai 80.000 bidang tanah. Yang menarik, kata Bupati Bogor Nurhayanti, masyarakat di kampung-kampung yang tanahnya mendapat sertifikat, ekonominya tumbuh. Karena para petani bisa mendapat pinjaman bank dengan mengagunkan sertifikat tanah tersebut. Di Bogor, kata Nurhayanti, dari 2.000.000 bidang tanah, yang disertifikasi baru 700.000-an bidang. Jika program sertifikasi tersebut selesai, niscaya ekonomi masyarakat akan tumbuh. Rakyat kecil tidak bodoh. Jika ada modal dan peluang bisnis, mereka bisa bergerak sendiri. Dari gambaran sertifikasi tanah di Bogor, terlihat betapa besar manfaat yang diperoleh masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Jadi, tidak benar sertifikasi tanah tersebut tidak bermanfaat dan hanya pengibulan. Jika sertifikasi tanah untuk rakyat itu sudah mencapai seluruh Indonesia, niscaya ada peningkatan ekonomi yang luar biasa. Khususnya di tengah rakyat kecil yang selama ini tak punya akses keuangan di perbankan dan lembaga keuangan lain.
UU Land Reform
Sebaliknya kritik AR juga tidak sesat-sesat amat. Kenapa? Faktanya memang segelintir orang memiliki tanah yang luas sekali, bisa mencapai jutaan hektare (ha). UU Land Reform yang memihak rakyat, misalnya, sampai hari ini tidak jelas keberadaannya. Tidak adanya UU Land Reform yang memihak rakyat inilah yang menyebabkan banyak kasus rakyat tergusur dari tempat kelahiran dan mata pencahariannya. Pemerintah lebih memihak pemilik modal besar untuk perkebunan, tanaman industri, pertambangan, dan lain-lain.
Sebagai gambaran, konflik pemegang HGU (hak guna usaha) perkebunan melawan petani setempat, konflik antara pemegang IUP (izin usaha pertambangan) dan pemangku hutan adat (masyarakat), antara pengembang dan rakyat miskin, dan antara kontraktor pembangunan infrastruktur dan petani pemilik lahan masih terus terjadi sampai sekarang. Berdasarkan data, saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9 juta ha. Dari penguasaan tanah sangat luas itu, 59% berkonflik dengan rakyat. Konfliknya meliputi 591 kasus di 22 provinsi dan 143 kabupaten.
Di sektor kehutanan, misalnya, peruntukan hutan bagi industri mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), sementara Hutan Tanaman Rakyat hanya berkisar 631.628 ha. Di pihak lain, petani Indonesia rata-rata hanya menguasai 0,25 ha tanah, sedangkan 85% rumah tangga petani adalah petani gurem dan tak bertanah.
Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2015, misalnya, terjadi 252 konflik agraria dengan luas tanah 400.430 ha. Dan konflik tersebut sedikitnya menyeret 108.714 keluarga. Akibatnya korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya 124 orang, dan ditahan 278 orang.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa persoalan tanah dan kepemilikannya belum terselesaikan, dari za-man ke zaman. Padahal masalahnya simpel saja jika semua pihak yang berkepentingan mengacu pada Pasal 33 UUD 45. Pasal 33 tersebut berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“
Jika kita telaah, isi pasal di atas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya bumi, air beserta kekayaan alam lain yang ada di atasnya (perkebunan dan hutan) maupun di dalamnya (tambang) adalah milik negara. Milik negara itu harus dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.
Dari konflik opini antara AR dan LBP, tersirat di sana, sertifikasi tanah—meski terbukti manfaatnya sangat besar untuk rakyat-belum menyentuh “keadilan penguasaan tanah” seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Dengan begitu pernyataan AR tidak sesat-sesat amat.
Meski demikian AR juga tidak bisa menyalahkan pemerintahan Jokowi. Sejak zaman Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, SBY sampai Jokowi, faktanya UU Land Reform yang diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam penguasaan tanah belum hadir. Pembuatan UU Land Reform itu terus terbentur berbagai konflik kepentingan sehingga terbengkalai di tengah jalan.
Dari gambaran itu, sebetulnya konflik opini antara AR dan LBP tak seharusnya meruncing dan menimbulkan kegerahan politik. Keduanya, AR dan LBP, seharusnya bisa duduk bersama, lalu mencari ide-ide solutif untuk menyelesaikan berbagai kasus pertanahan di Indonesia. Termasuk di antaranya, bagaimana memperluas program sertifikasi tanah yang kini dijalankan pemerintahan Jokowi dan menggolkan terbentuknya UU Land Reform prorakyat dengan dukungan solid partai-partai politik di DPR seperti diinginkan AR.
(mhd)