Manusia, Masa Depan Dunia, dan Indonesia
A
A
A
Syaefudin Simon
Alumnus FMIPA UGM/Associate Leadership for Environment and Development, New York/Tim Ahli Fraksi PPP DPR RI
SAINTIS dunia berduka. Stephen Hawking, lahir 8 Januari 1942, telah pergi untuk selamanya pada 14 Maret 2018. Kepergian ilmuwan terbesar Abad XX ini sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan dunia ilmu pengetahuan, khususnya fisika teori (theorithical physics), kosmologi, dan astronomi. Hawking telah membuka cakrawala manusia terhadap proses penciptaan dan penemuan energi kosmos yang luar biasa gigantik.
Salah satu penemuan terbesar Hawking adalah asumsi-asumsi kosmologis-astronomis yang dikembangkan dari persamaan matematis. Temuan Hawking melalui pendekatan astronomatika (mathematical-astonomy) inilah yang kemudian membuat Hawking dikenal dunia sebagai peramal masa depan kosmologi. Dengan pendekatan astronomatika, Hawking mampu melacak sekaligus meramalkan apa yang terjadi di jagat raya masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Dengan pendekatan astronomatika itu pula Hawking menemukan suatu benda hitam (black hole) yang mampu menyerap cahaya. Black hole, tulis Hawking, adalah suatu jalan menuju dunia lain yang belum terpecahkan manusia. “Ada universe lain dalam black hole,” tulis Hawking. Sebuah tantangan masa depan bagi ilmuwan fisika teori sepeninggal penulis buku fenomenal A Brief of Time itu. Barangkali itulah keberhasilan spektakuler dari Hawking, di mana matematika menjadi instrumen eksplorasi kosmologi—yang melanjutkan dan memperkaya tesis-tesis Einstein sebelumnya.
Menarik. Hawking mengemukakan bahwa kehidupan ekstraterestrial, secara matematis, adalah niscaya. Dari pendekatan matematis, kata Hawking, keberadaan alien adalah niscaya. Tantangan terbesarnya adalah memperkirakan seperti apakah alien itu. Hawking meyakini bahwa alien tidak hanya ada di planet-planet, tapi juga di tempat lain, seperti bintang-bintang atau mengapung di angkasa luar yang mahaluas. Hawking juga memprediksi bahwa beberapa spesies alien memiliki peradaban yang lebih maju dari manusia di planet bumi.
Meski seorang ilmuwan, Hawking mencemaskan bahwa akhir dari planet bumi adalah karena ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia itu sendiri. Sejarah peradaban manusia memberikan pelajaran kepada kita bahwa ambisi, keserakahan, dan hasrat berkuasa manusia lebih dominan daripada ajaran-ajaran moralnya. Perang nuklir, global warming, polusi atmosfer, dan wabah virus mematikan adalah sebagian dari pencetus kehancuran planet bumi. Itulah sebabnya Hawking menyarankan manusia untuk segera memikirkan pengembangan teknologi yang memungkinkannya membentuk kehidupan dan peradaban di luar angkasa.
Tipe Peradaban Manusia
Machio Kaku, fisikawan Jepang, dalam The Physics of Extraterrestrial Civilization menyatakan, sebuah peradaban maju harus tumbuh lebih cepat dari frekuensi bencana-bencana yang mengancam kehidupannya. Jika tumbukan meteor dan komet terjadi sekali dalam orde ribuan tahun, manusia berperadaban tipe satu sudah harus menguasai perjalanan antariksa untuk menyimpangkan puing-puing angkasa dalam kurun waktu tersebut. Begitu pula dengan proses munculnya fenomena kekacauan iklim akibat global warming, manusia pada peradaban tipe satu harus mampu merekayasa iklim dengan mengubah sistem atmosfer bumi untuk menepis kenaikan suhu bumi itu.
Dewasa ini, menurut astronom yang juga ahli fisika teori (theoritical physicist) Inggris, Frank Watson Dyson, manusia zaman modern saat ini masih berada dalam tipe peradaban nol. Menurut Dyson, kegundahan manusia terhadap global warming dan kekacauan iklim seperti yang terjadi saat ini adalah ciri manusia peradaban tipe nol dalam menghadapi fenomena alam.
Di masyarakat manusia peradaban tipe satu, masalah-masalah tersebut (gempa tektonik, tsunami, dan global warming) sudah bisa diatasi dengan sempurna seperti mengatasi saluran air yang macet di selokan dan got yang mampet di sekitar rumah kita.
Untuk mengatasi gempa bumi, tsunami, dan kekacauan iklim, manusia pada peradaban tipe satu membutuhkan energi yang luar biasa. Energi ini bisa diperoleh dari energi matahari dan sumber-sumber energi nonkonvensional lain di bumi.
Saat ini pemanfaatan energi matahari oleh penduduk bumi yang berperadaban nol, menurut astronom Berkeley, Don Goldsmith, masih sangat sedikit. Menurut Goldsmith, bumi hanya menerima satu per miliar energi matahari dan manusia di bumi hanya menggunakan sepersejuta total energi matahari yang diterima bumi. Dengan demikian, manusia bumi saat ini hanya memanfaatkan seperjuta miliar energi matahari.
Seandainya manusia bumi mampu memanfaatkan energi matahari secara maksimal, maka energi yang didapatkan dari transformasi energi matahari itu sudah mampu untuk mendukung manusia dengan peradaban tipe satu. Yaitu manusia yang mempunyai output energi yang sangat besar sehingga mampu mengatasi gempa bumi, mengalihkan tsunami, dan mengubah cuaca.
Setelah beberapa ribu tahun sebuah peradaban tipe satu pun akan kehabisan energi. Mereka telah mengonsumsi seluruh output energi matahari yang berkisar semiliar triliun energi per detik. Untuk mengatasi kekurangan energi karena bertambahnya penduduk dan tantangan alam, manusia harus memasuki peradaban tipe dua.
Menurut Dyson, manusia dengan peradaban tipe dua ini harus bisa membangun kawasan gigantik di sekitar bintang untuk mendapat output energi yang amat besar. Karena konsumsi energinya yang luar biasa besar, tempat kehidupan manusia pada peradaban tipe dua ini akan terlihat seperti planet bercahaya dari pesawat angkasa luar yang saat itu sudah menjadi public transport.
Namun, manusia dengan peradaban tipe dua yang telah menjalani kehidupan sehari-hari secara ekstraterestrial itu, menurut Dyson, akan mendapat ancaman dari ledakan supernova dari bintang terdekat sehingga planet yang mereka tempati akan habis terbakar. Untuk mengatasi ledakan supernova tersebut, mau tidak mau, manusia harus berpindah menuju peradaban tipe tiga, yaitu peradaban yang dibangun di antariksa, di antara bintang-bintang. Manusia dengan peradaban tipe tiga ini mampu mendapatkan energi yang jumlahnya amat gigantik dan terus-menerus karena banyaknya bintang yang bisa dimanfaatkan energinya di jagat raya (universe). Peradaban manusia tipe tiga ini, menurut Dyson, bersifat kekal karena tak ada bencana alam yang menghancurkan mereka (Rakhmat, 2011).
Indonesia
Mimpikah itu? Tidak! Lima puluh tahun lalu manusia mungkin hanya mimpi untuk bisa berkomunikasi tatap muka dengan sahabatnya dari jarak ribuan kilometer. Kini hanya melalui handphone kecil dengan OS Android, komunikasi semacam itu bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. “Anda harus bermimpi sebelum mimpi itu jadi kenyataan,” kata Abdul Kalam, bapak teknologi India. Dengan mimpi inilah kita bisa membayangkan masa depan manusia di antara bintang-bintang. Semua itu terjadi karena semua yang dapat kita bayangkan, tulis Pablo Picasso, niscaya akan menjadi kenyataan.
Bagaimana bangsa Indonesia? Kesibukan politik dan kesibukan fanatisme agama telah menguras energi bangsa ini. Pengembangan ilmu dan teknologi untuk memanfaatkan sumber energi nonkonvensional terbengkalai karena minimnya anggaran dan kepedulian negara. Dari perspektif pembangunan sumber energi, Indonesia dalam kategori Dyson mungkin belum memasuki peradaban tipe nol, tapi masih berada dalam zona peradaban primitif. Ciri-ciri peradaban primitif, manusianya masih lebih mementingkan fanatisme agama, golongan, dan partai ketimbang berkarya dengan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama.
Entah bagaimana penilaian Hawking terhadap bangsa Indonesia. Sebab, Hawking tidak percaya bahwa Tuhan bisa mengintervensi hukum alam.
Alumnus FMIPA UGM/Associate Leadership for Environment and Development, New York/Tim Ahli Fraksi PPP DPR RI
SAINTIS dunia berduka. Stephen Hawking, lahir 8 Januari 1942, telah pergi untuk selamanya pada 14 Maret 2018. Kepergian ilmuwan terbesar Abad XX ini sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan dunia ilmu pengetahuan, khususnya fisika teori (theorithical physics), kosmologi, dan astronomi. Hawking telah membuka cakrawala manusia terhadap proses penciptaan dan penemuan energi kosmos yang luar biasa gigantik.
Salah satu penemuan terbesar Hawking adalah asumsi-asumsi kosmologis-astronomis yang dikembangkan dari persamaan matematis. Temuan Hawking melalui pendekatan astronomatika (mathematical-astonomy) inilah yang kemudian membuat Hawking dikenal dunia sebagai peramal masa depan kosmologi. Dengan pendekatan astronomatika, Hawking mampu melacak sekaligus meramalkan apa yang terjadi di jagat raya masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Dengan pendekatan astronomatika itu pula Hawking menemukan suatu benda hitam (black hole) yang mampu menyerap cahaya. Black hole, tulis Hawking, adalah suatu jalan menuju dunia lain yang belum terpecahkan manusia. “Ada universe lain dalam black hole,” tulis Hawking. Sebuah tantangan masa depan bagi ilmuwan fisika teori sepeninggal penulis buku fenomenal A Brief of Time itu. Barangkali itulah keberhasilan spektakuler dari Hawking, di mana matematika menjadi instrumen eksplorasi kosmologi—yang melanjutkan dan memperkaya tesis-tesis Einstein sebelumnya.
Menarik. Hawking mengemukakan bahwa kehidupan ekstraterestrial, secara matematis, adalah niscaya. Dari pendekatan matematis, kata Hawking, keberadaan alien adalah niscaya. Tantangan terbesarnya adalah memperkirakan seperti apakah alien itu. Hawking meyakini bahwa alien tidak hanya ada di planet-planet, tapi juga di tempat lain, seperti bintang-bintang atau mengapung di angkasa luar yang mahaluas. Hawking juga memprediksi bahwa beberapa spesies alien memiliki peradaban yang lebih maju dari manusia di planet bumi.
Meski seorang ilmuwan, Hawking mencemaskan bahwa akhir dari planet bumi adalah karena ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia itu sendiri. Sejarah peradaban manusia memberikan pelajaran kepada kita bahwa ambisi, keserakahan, dan hasrat berkuasa manusia lebih dominan daripada ajaran-ajaran moralnya. Perang nuklir, global warming, polusi atmosfer, dan wabah virus mematikan adalah sebagian dari pencetus kehancuran planet bumi. Itulah sebabnya Hawking menyarankan manusia untuk segera memikirkan pengembangan teknologi yang memungkinkannya membentuk kehidupan dan peradaban di luar angkasa.
Tipe Peradaban Manusia
Machio Kaku, fisikawan Jepang, dalam The Physics of Extraterrestrial Civilization menyatakan, sebuah peradaban maju harus tumbuh lebih cepat dari frekuensi bencana-bencana yang mengancam kehidupannya. Jika tumbukan meteor dan komet terjadi sekali dalam orde ribuan tahun, manusia berperadaban tipe satu sudah harus menguasai perjalanan antariksa untuk menyimpangkan puing-puing angkasa dalam kurun waktu tersebut. Begitu pula dengan proses munculnya fenomena kekacauan iklim akibat global warming, manusia pada peradaban tipe satu harus mampu merekayasa iklim dengan mengubah sistem atmosfer bumi untuk menepis kenaikan suhu bumi itu.
Dewasa ini, menurut astronom yang juga ahli fisika teori (theoritical physicist) Inggris, Frank Watson Dyson, manusia zaman modern saat ini masih berada dalam tipe peradaban nol. Menurut Dyson, kegundahan manusia terhadap global warming dan kekacauan iklim seperti yang terjadi saat ini adalah ciri manusia peradaban tipe nol dalam menghadapi fenomena alam.
Di masyarakat manusia peradaban tipe satu, masalah-masalah tersebut (gempa tektonik, tsunami, dan global warming) sudah bisa diatasi dengan sempurna seperti mengatasi saluran air yang macet di selokan dan got yang mampet di sekitar rumah kita.
Untuk mengatasi gempa bumi, tsunami, dan kekacauan iklim, manusia pada peradaban tipe satu membutuhkan energi yang luar biasa. Energi ini bisa diperoleh dari energi matahari dan sumber-sumber energi nonkonvensional lain di bumi.
Saat ini pemanfaatan energi matahari oleh penduduk bumi yang berperadaban nol, menurut astronom Berkeley, Don Goldsmith, masih sangat sedikit. Menurut Goldsmith, bumi hanya menerima satu per miliar energi matahari dan manusia di bumi hanya menggunakan sepersejuta total energi matahari yang diterima bumi. Dengan demikian, manusia bumi saat ini hanya memanfaatkan seperjuta miliar energi matahari.
Seandainya manusia bumi mampu memanfaatkan energi matahari secara maksimal, maka energi yang didapatkan dari transformasi energi matahari itu sudah mampu untuk mendukung manusia dengan peradaban tipe satu. Yaitu manusia yang mempunyai output energi yang sangat besar sehingga mampu mengatasi gempa bumi, mengalihkan tsunami, dan mengubah cuaca.
Setelah beberapa ribu tahun sebuah peradaban tipe satu pun akan kehabisan energi. Mereka telah mengonsumsi seluruh output energi matahari yang berkisar semiliar triliun energi per detik. Untuk mengatasi kekurangan energi karena bertambahnya penduduk dan tantangan alam, manusia harus memasuki peradaban tipe dua.
Menurut Dyson, manusia dengan peradaban tipe dua ini harus bisa membangun kawasan gigantik di sekitar bintang untuk mendapat output energi yang amat besar. Karena konsumsi energinya yang luar biasa besar, tempat kehidupan manusia pada peradaban tipe dua ini akan terlihat seperti planet bercahaya dari pesawat angkasa luar yang saat itu sudah menjadi public transport.
Namun, manusia dengan peradaban tipe dua yang telah menjalani kehidupan sehari-hari secara ekstraterestrial itu, menurut Dyson, akan mendapat ancaman dari ledakan supernova dari bintang terdekat sehingga planet yang mereka tempati akan habis terbakar. Untuk mengatasi ledakan supernova tersebut, mau tidak mau, manusia harus berpindah menuju peradaban tipe tiga, yaitu peradaban yang dibangun di antariksa, di antara bintang-bintang. Manusia dengan peradaban tipe tiga ini mampu mendapatkan energi yang jumlahnya amat gigantik dan terus-menerus karena banyaknya bintang yang bisa dimanfaatkan energinya di jagat raya (universe). Peradaban manusia tipe tiga ini, menurut Dyson, bersifat kekal karena tak ada bencana alam yang menghancurkan mereka (Rakhmat, 2011).
Indonesia
Mimpikah itu? Tidak! Lima puluh tahun lalu manusia mungkin hanya mimpi untuk bisa berkomunikasi tatap muka dengan sahabatnya dari jarak ribuan kilometer. Kini hanya melalui handphone kecil dengan OS Android, komunikasi semacam itu bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. “Anda harus bermimpi sebelum mimpi itu jadi kenyataan,” kata Abdul Kalam, bapak teknologi India. Dengan mimpi inilah kita bisa membayangkan masa depan manusia di antara bintang-bintang. Semua itu terjadi karena semua yang dapat kita bayangkan, tulis Pablo Picasso, niscaya akan menjadi kenyataan.
Bagaimana bangsa Indonesia? Kesibukan politik dan kesibukan fanatisme agama telah menguras energi bangsa ini. Pengembangan ilmu dan teknologi untuk memanfaatkan sumber energi nonkonvensional terbengkalai karena minimnya anggaran dan kepedulian negara. Dari perspektif pembangunan sumber energi, Indonesia dalam kategori Dyson mungkin belum memasuki peradaban tipe nol, tapi masih berada dalam zona peradaban primitif. Ciri-ciri peradaban primitif, manusianya masih lebih mementingkan fanatisme agama, golongan, dan partai ketimbang berkarya dengan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama.
Entah bagaimana penilaian Hawking terhadap bangsa Indonesia. Sebab, Hawking tidak percaya bahwa Tuhan bisa mengintervensi hukum alam.
(wib)