Menimbang Urgensi Lobi Islam Indonesia
A
A
A
Manaf Maulana
Peneliti Budaya Politik
SEPERTI yang pernah dirilis media, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan hendak memindahkan kantor kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah Trump sebagai balas budi kepada Lobi Yahudi Amerika yang telah mendukungnya sehingga menang pemilihan presiden (pilpres).
Ketika kampanye menjelang pilpres, Trump memang berjanji akan memenuhi keinginan Lobi Yahudi Amerika jika mereka mau mendukungnya, yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menempatkan kantor kedutaan Amerika di Yerusalem.
Fakta politik di dalam negeri Amerika tersebut layak dicermati oleh tokoh-tokoh Islam di Indonesia berkaitan dengan urgensi membentuk Lobi Islam Indonesia (selanjutnya disingkat LII), dengan maksud dan tujuan memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas di negeri ini. Harus diakui sampai saat ini masih banyak kepentingan Islam di negeri ini yang belum mendapat perhatian pemerintah secara proporsional, karena memang belum ada pihak yang memperjuangkannya dengan serius.
Layak dicermati, kepentingan Islam di negeri ini jangan difokuskan hanya di ranah politik, melainkan juga di ranah-ranah lain yang lebih kompleks, agar semua ormas atau masyarakat Islam bisa bersatu untuk memperjuangkannya.
Kemakmuran Masjid
Jika LII bisa dibentuk, yang pertama diajukan agar dipenuhi oleh pemerintah adalah masalah mewujudkan kemakmuran masjid-masjid di seluruh pelosok negeri. Misalnya, LII mendesak pemerintah untuk memberi gaji dan tunjangan resmi bagi penjaga masjid yang tugasnya sama dengan penjaga sekolah negeri. Idealnya, kemakmuran semua masjid di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Pasalnya, masjid-masjid di seluruh pelosok negeri juga dijadikan tempat mendidik anak-anak bangsa agar menjadi manusia yang bertakwa. Sulit dibayangkan apa jadinya anak-anak bangsa jika hanya belajar di sekolah, tapi tidak pernah belajar beribadah di masjid-masjid, padahal mayoritas penduduk negeri adalah umat Islam.
Selama ini, pemerintah tak pernah peduli kebutuhan Masjid, kecuali sebatas membantu dana pembangunan kalau ada panitia yang mengajukan proposal, itu pun sebatas dana hibah yang rentan dikorupsi. Pada titik ini, tidak ada anggaran resmi yang dialokasikan untuk kepentingan masjid. Padahal, masjid sangat penting untuk menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Jika pemerintah bersedia mengalokasikan anggaran untuk kemakmuran masjid, tentu perkembangan Islam akan lebih maju, yang artinya semakin bermanfaat bagi pembangunan sumber daya manusia yang bermuara pada terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang bertakwa. Jika manusia Indonesia makin bertakwa, ke depan mungkin kasus korupsi tidak marak lagi.
Pendidikan Islam
Pembentukan LII tampaknya memiliki urgensi yang dapat dipahami semua pihak, jika dikaitkan juga dengan kepentingan pendidikan Islam. Dalam hal ini, urusan pendidikan Islam khususnya di tingkat desa belum mendapat perhatian pemerintah secara memadai.
Faktanya, sampai sekarang madrasah diniyah di pelosok desa-desa dan gurunya tidak memperoleh perhatian proporsional dari pemerintah. Gedungnya dibangun dengan dana swadaya masyarakat setempat, gurunya tidak memperoleh gaji maupun tunjangan dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah abai karena menganggap pendidikan Islam semata-mata urusan umat Islam, bukan urusan pemerintah.
Padahal, pendidikan Islam di tingkat desa telah nyata-nyata berkontribusi penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Misalnya, layak disebut nyaris semua tokoh ulama di negeri ini pernah mengenyam pendidikan di madrasah diniyah (termasuk pondok pesantren) di desa masing-masing.
Namun, sayangnya, kebanyakan tokoh ulama di negeri ini terlalu sibuk mengurus ormas dan partai sehingga lupa mendesak pemerintah untuk peduli madrasah diniyah dengan proporsional. Karena itu, diperlukan lembaga baru seperti LII yang bersedia mendesak pemerintah agar peduli pendidikan Islam tingkat desa yang notabene nonformal tersebut.
Selain itu, urusan pendidikan Islam dalam format pondok pesantren juga belum mendapat perhatian yang proporsional dari pemerintah. Akibatnya banyak pondok pesantren yang kondisinya memprihatinkan, misalnya santri-santrinya tidur di lantai tanpa kasur. Dalam hal ini, kondisi memprihatinkan tersebut malah sering dianggap sebagai tradisi yang perlu dilestarikan. Padahal, dari segi medis, kondisi tersebut jelas kurang sehat.
Kekuatan Politik
Jika LII terbentuk, tentu bisa juga digunakan dalam melakukan tawar menawar terhadap parpol dan kandidat yang akan berlaga dalam kontestasi demokrasi. Persis Lobi Yahudi Amerika yang mampu melakukan tawar-menawar terhadap partai dan kandidat pemimpin yang hendak didukungnya.
Dengan kata lain, jika sudah bisa dibentuk, LII sebagai kekuatan sosial agama layak diperhitungkan oleh parpol dan kandidat pemimpin. Pada titik ini, LII bisa menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan. Misalnya parpol dan kandidat pemimpin yang didukung LII, kalau menang dan berkuasa harus bersedia membantu mewujudkan hal-hal yang diinginkan LII.
Selama ini, meskipun memiliki kekuatan sosial agama, ormas-ormas Islam di negeri ini belum cukup kuat melakukan tawar-menawar dengan parpol dan kandidat pemimpin karena masing-masing memiliki agenda dan kepentingan sendiri-sendiri. Akibatnya, ormas-ormas Islam cenderung hanya diperalat parpol dan kandidat untuk kepentingan politik tanpa memperoleh imbalan yang proporsional.
Bahkan, sering kali parpol dan kandidat pemimpin yang didukung ormas tidak mau membantu ormas setelah menang kontestasi demokrasi; dengan alasan tugasnya bukan untuk ormas, melainkan untuk bangsa dan negara. Fakta ini tentu saja merugikan ormas yang telah mendukungnya dengan susah payah.
Sudah saatnya tokoh ormas Islam mempertimbangkan pembentukan LII ini untuk memperjuangkan kepentingan umat dalam arti luas di negeri ini, jika membentuk kekuatan politik sering terkendala oleh perbedaan atau friksi ideologi. Artinya, jika LII bisa dibentuk, ormas-ormas Islam yang telah ada akan tetap ada, tapi semua tokoh ormas Islam sepakat memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas melalui LII.
Harus diakui, selama ini Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia cenderung tidak diutamakan oleh pemerintah jika tidak ada yang mendesaknya untuk diutamakan. Misalnya kasus penistaan agama tahun lalu di Jakarta, nyaris diabaikan oleh pemerintah manakala tidak ada kelompok massa yang terus mendesak agar pelakunya diproses hukum.
Dengan fokus berjuang mengutamakan Islam dalam arti luas, pembentukan LII tak perlu terkendala sikap saling curiga atau tuduhan makar. Namanya saja lobi, yang diutamakan tentu konsultasi untuk mencapai konklusi yang adil bagi semua pihak, bukan agitasi atau intimidasi.
Peneliti Budaya Politik
SEPERTI yang pernah dirilis media, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan hendak memindahkan kantor kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah Trump sebagai balas budi kepada Lobi Yahudi Amerika yang telah mendukungnya sehingga menang pemilihan presiden (pilpres).
Ketika kampanye menjelang pilpres, Trump memang berjanji akan memenuhi keinginan Lobi Yahudi Amerika jika mereka mau mendukungnya, yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menempatkan kantor kedutaan Amerika di Yerusalem.
Fakta politik di dalam negeri Amerika tersebut layak dicermati oleh tokoh-tokoh Islam di Indonesia berkaitan dengan urgensi membentuk Lobi Islam Indonesia (selanjutnya disingkat LII), dengan maksud dan tujuan memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas di negeri ini. Harus diakui sampai saat ini masih banyak kepentingan Islam di negeri ini yang belum mendapat perhatian pemerintah secara proporsional, karena memang belum ada pihak yang memperjuangkannya dengan serius.
Layak dicermati, kepentingan Islam di negeri ini jangan difokuskan hanya di ranah politik, melainkan juga di ranah-ranah lain yang lebih kompleks, agar semua ormas atau masyarakat Islam bisa bersatu untuk memperjuangkannya.
Kemakmuran Masjid
Jika LII bisa dibentuk, yang pertama diajukan agar dipenuhi oleh pemerintah adalah masalah mewujudkan kemakmuran masjid-masjid di seluruh pelosok negeri. Misalnya, LII mendesak pemerintah untuk memberi gaji dan tunjangan resmi bagi penjaga masjid yang tugasnya sama dengan penjaga sekolah negeri. Idealnya, kemakmuran semua masjid di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Pasalnya, masjid-masjid di seluruh pelosok negeri juga dijadikan tempat mendidik anak-anak bangsa agar menjadi manusia yang bertakwa. Sulit dibayangkan apa jadinya anak-anak bangsa jika hanya belajar di sekolah, tapi tidak pernah belajar beribadah di masjid-masjid, padahal mayoritas penduduk negeri adalah umat Islam.
Selama ini, pemerintah tak pernah peduli kebutuhan Masjid, kecuali sebatas membantu dana pembangunan kalau ada panitia yang mengajukan proposal, itu pun sebatas dana hibah yang rentan dikorupsi. Pada titik ini, tidak ada anggaran resmi yang dialokasikan untuk kepentingan masjid. Padahal, masjid sangat penting untuk menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Jika pemerintah bersedia mengalokasikan anggaran untuk kemakmuran masjid, tentu perkembangan Islam akan lebih maju, yang artinya semakin bermanfaat bagi pembangunan sumber daya manusia yang bermuara pada terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang bertakwa. Jika manusia Indonesia makin bertakwa, ke depan mungkin kasus korupsi tidak marak lagi.
Pendidikan Islam
Pembentukan LII tampaknya memiliki urgensi yang dapat dipahami semua pihak, jika dikaitkan juga dengan kepentingan pendidikan Islam. Dalam hal ini, urusan pendidikan Islam khususnya di tingkat desa belum mendapat perhatian pemerintah secara memadai.
Faktanya, sampai sekarang madrasah diniyah di pelosok desa-desa dan gurunya tidak memperoleh perhatian proporsional dari pemerintah. Gedungnya dibangun dengan dana swadaya masyarakat setempat, gurunya tidak memperoleh gaji maupun tunjangan dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah abai karena menganggap pendidikan Islam semata-mata urusan umat Islam, bukan urusan pemerintah.
Padahal, pendidikan Islam di tingkat desa telah nyata-nyata berkontribusi penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Misalnya, layak disebut nyaris semua tokoh ulama di negeri ini pernah mengenyam pendidikan di madrasah diniyah (termasuk pondok pesantren) di desa masing-masing.
Namun, sayangnya, kebanyakan tokoh ulama di negeri ini terlalu sibuk mengurus ormas dan partai sehingga lupa mendesak pemerintah untuk peduli madrasah diniyah dengan proporsional. Karena itu, diperlukan lembaga baru seperti LII yang bersedia mendesak pemerintah agar peduli pendidikan Islam tingkat desa yang notabene nonformal tersebut.
Selain itu, urusan pendidikan Islam dalam format pondok pesantren juga belum mendapat perhatian yang proporsional dari pemerintah. Akibatnya banyak pondok pesantren yang kondisinya memprihatinkan, misalnya santri-santrinya tidur di lantai tanpa kasur. Dalam hal ini, kondisi memprihatinkan tersebut malah sering dianggap sebagai tradisi yang perlu dilestarikan. Padahal, dari segi medis, kondisi tersebut jelas kurang sehat.
Kekuatan Politik
Jika LII terbentuk, tentu bisa juga digunakan dalam melakukan tawar menawar terhadap parpol dan kandidat yang akan berlaga dalam kontestasi demokrasi. Persis Lobi Yahudi Amerika yang mampu melakukan tawar-menawar terhadap partai dan kandidat pemimpin yang hendak didukungnya.
Dengan kata lain, jika sudah bisa dibentuk, LII sebagai kekuatan sosial agama layak diperhitungkan oleh parpol dan kandidat pemimpin. Pada titik ini, LII bisa menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan. Misalnya parpol dan kandidat pemimpin yang didukung LII, kalau menang dan berkuasa harus bersedia membantu mewujudkan hal-hal yang diinginkan LII.
Selama ini, meskipun memiliki kekuatan sosial agama, ormas-ormas Islam di negeri ini belum cukup kuat melakukan tawar-menawar dengan parpol dan kandidat pemimpin karena masing-masing memiliki agenda dan kepentingan sendiri-sendiri. Akibatnya, ormas-ormas Islam cenderung hanya diperalat parpol dan kandidat untuk kepentingan politik tanpa memperoleh imbalan yang proporsional.
Bahkan, sering kali parpol dan kandidat pemimpin yang didukung ormas tidak mau membantu ormas setelah menang kontestasi demokrasi; dengan alasan tugasnya bukan untuk ormas, melainkan untuk bangsa dan negara. Fakta ini tentu saja merugikan ormas yang telah mendukungnya dengan susah payah.
Sudah saatnya tokoh ormas Islam mempertimbangkan pembentukan LII ini untuk memperjuangkan kepentingan umat dalam arti luas di negeri ini, jika membentuk kekuatan politik sering terkendala oleh perbedaan atau friksi ideologi. Artinya, jika LII bisa dibentuk, ormas-ormas Islam yang telah ada akan tetap ada, tapi semua tokoh ormas Islam sepakat memperjuangkan kepentingan Islam dalam arti luas melalui LII.
Harus diakui, selama ini Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia cenderung tidak diutamakan oleh pemerintah jika tidak ada yang mendesaknya untuk diutamakan. Misalnya kasus penistaan agama tahun lalu di Jakarta, nyaris diabaikan oleh pemerintah manakala tidak ada kelompok massa yang terus mendesak agar pelakunya diproses hukum.
Dengan fokus berjuang mengutamakan Islam dalam arti luas, pembentukan LII tak perlu terkendala sikap saling curiga atau tuduhan makar. Namanya saja lobi, yang diutamakan tentu konsultasi untuk mencapai konklusi yang adil bagi semua pihak, bukan agitasi atau intimidasi.
(whb)