Keadilan dan Pajak Pedagang di Medsos
A
A
A
William Henly
Founder Indosterling Capital
”OUR new constitution is now established, and has an appearance that promises permanency; but in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.” - Benjamin Franklin (1789)
Sebuah wacana kebijakan di sektor perpajakan Tanah Air mengemuka beberapa waktu belakangan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana mengenakan pajak kepada para pedagang yang menjajakan dagangan mereka di media sosial (medsos).
Aturan itu sedang digodok dan akan tertuang dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK). Menurut penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, para pedagang di medsos tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan self assessment system.
Sistem ini mengatur bahwa wewenang, kepercayaan, tanggung jawab untuk wajib pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus dibayarkan setiap tahun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaporan hasil berdagang di medsos harus dilaporkan ke dalam surat pemberitahuan (SPT) sebagaimana wajib pajak lain. Ini setelah mereka terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Apabila dirunut, rencana Kemenkeu tidak bisa tidak memiliki kaitan dengan rencana pengenaan pajak untuk marketplace. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), selaku wadah komunikasi antarpelaku industri e-commerce Indonesia, selalu menolak rencana tersebut.
Pasalnya, rencana pajak untuk marketplace tidak mencakup perdagangan di medsos. Jika PMK terkait pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos diterbitkan, bagaimana pemerintah dan pedagang yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bersikap?
Pajak dan Fungsi
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak memiliki sejumlah ciri. Salah satunya adalah pajak merupakan kontribusi wajib warga negara. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk warga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif.
Mereka antara lain warga negara yang memiliki penghasilan tidak kena pajak (PTKP) lebih dari Rp2.050.000 per bulan. Karyawan/pegawai, baik karyawan swasta maupun pegawai pemerintah, dengan total penghasilan lebih dari Rp2 juta maka wajib membayar pajak. Pun wirausaha, maka setiap penghasilan akan dikenakan pajak sebesar 1% dari total penghasilan kotor/bruto (PP Nomor 46 Tahun 2013).
Namun, yang patut diingat oleh pemerintah adalah pengenaan pajak harus mengedepankan asas keadilan. Jangan sampai ada unsur-unsur ketidakadilan di dalamnya. Berkaca dari rencana pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos, penulis menilai pemerintah ingin mengedepankan asas keadilan. Dengan demikian, fungsi pajak untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam perekonomian terpenuhi.
Pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos juga tepat. Ini karena mayoritas pedagang berjualan melalui medium itu. Ditambah tren peningkatan perdagangan online yang terus meningkat menurut berbagai survei. Secara kasatmata pun, kita dapat dengan mudah menemukan aktivitas jual beli di medsos seperti Facebook, Instagram.
Hal ini pun terkonfirmasi dalam survei yang dilaksanakan idEA, beberapa waktu lalu. Mereka mencatat sekitar 59% pedagang ada di medsos. Sementara yang melalui marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, maupun Shopee, hanya sekitar 16%.
Berkaca dari kenyataan tersebut, rencana pemerintah mengenakan pajak kepada pedagang di medsos tak perlu dirisaukan. Namun, ada sejumlah catatan yang patut dicermati bersama.
Penerapan di Lapangan
Salah satu pekerjaan rumah (PR) besar yang harus diperhatikan dalam penerapan kebijakan perpajakan adalah kepatuhan wajib pajak maupun non-wajib pajak yang rendah. Sudah menjadi rahasia umum masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (tidak terkecuali para pedagang), ingin menghindar dari pajak.
Padahal, sebagaimana kutipan pada pembuka tulisan ini, tidak ada sesuatu yang pasti di dunia kecuali kematian dan pajak. Namun, rangkaian kasus penyelewengan pajak dengan melibatkan pegawai DJP Kemenkeu seperti kasus Gayus bertahun-tahun lalu, membuat kepercayaan publik memudar.
Meski sejak kasus itu DJP mereformasi diri hingga menjadi salah satu institusi terpercaya di Tanah Air, masih ada sebagian masyarakat yang skeptis. Ini tugas berat yang harus diselesaikan apabila pemerintah hendak memajaki pedagang di medsos.
Kemudian, jika dicermati, pajak untuk pedagang di medsos beririsan dengan keberadaan PP Nomor 46 Tahun 2013. Para wirausaha, termasuk pelaku UMKM, dikenakan pajak sebesar satu persen dari total penghasilan kotor/bruto dari setiap penghasilan.
Namun, penerapan kebijakan ini pun jauh panggang dari api sebab sampai dengan tahun lalu dari sekitar 59 juta pelaku UMKM, yang baru membayar pajak hanya 397.000 pelaku UMKM. Kebijakan tax amnesty yang diluncurkan pemerintah pun tak membantu banyak. Hal ini tergambar dari jumlah pelaku UMKM yang mengikuti kebijakan tersebut.
Mengacu penjelasan DJP, beberapa karakteristik UMKM ditunjuk jadi penyebab rendahnya pemungutan pajak UMKM. Pertama, tingkat turnover yang sangat tinggi. Pelaku UMKM hanya bertahan dalam jangka waktu sesaat, tidak dalam waktu lama.
Kedua, pelaku UMKM kerap mengabaikan aspek perpajakan lantaran fokus membangun usaha. Ketiga, persepsi bahwa pajak menambah biaya usaha.
Mengatasi semua permasalahan yang ada, pemerintah perlu mengevaluasi pemungutan pajak UMKM terlebih dahulu sebelum memajaki pedagang di medsos. Dari sana, bisa dipetik pelajaran agar kegagalan terdahulu tidak terulang, sebab pedagang di medsos yang didominasi pelaku UMKM sudah masuk dalam kategori wajib pajak.
Dari sisi pelaku UMKM, pengenaan pajak tentu akan memiliki banyak manfaat. Ambil contoh dari keberadaan NPWP. NPWP dapat berguna apabila pelaku UMKM hendak mengajukan pembiayaan ke perbankan. Pembiayaan sebagaimana diketahui berkaitan dengan peningkatan kapasitas UMKM itu sendiri.
Terlepas dari segala pro dan kontra, semua pihak tentu menunggu kelahiran PMK terkait pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos. Semua dengan harapan aspek keadilan terpenuhi. Bukan hanya dari sisi pemerintah, melainkan juga para pedagang yang menjadi bagian dari masyarakat Tanah Air.
Founder Indosterling Capital
”OUR new constitution is now established, and has an appearance that promises permanency; but in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.” - Benjamin Franklin (1789)
Sebuah wacana kebijakan di sektor perpajakan Tanah Air mengemuka beberapa waktu belakangan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana mengenakan pajak kepada para pedagang yang menjajakan dagangan mereka di media sosial (medsos).
Aturan itu sedang digodok dan akan tertuang dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK). Menurut penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, para pedagang di medsos tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan self assessment system.
Sistem ini mengatur bahwa wewenang, kepercayaan, tanggung jawab untuk wajib pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus dibayarkan setiap tahun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaporan hasil berdagang di medsos harus dilaporkan ke dalam surat pemberitahuan (SPT) sebagaimana wajib pajak lain. Ini setelah mereka terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Apabila dirunut, rencana Kemenkeu tidak bisa tidak memiliki kaitan dengan rencana pengenaan pajak untuk marketplace. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), selaku wadah komunikasi antarpelaku industri e-commerce Indonesia, selalu menolak rencana tersebut.
Pasalnya, rencana pajak untuk marketplace tidak mencakup perdagangan di medsos. Jika PMK terkait pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos diterbitkan, bagaimana pemerintah dan pedagang yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bersikap?
Pajak dan Fungsi
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak memiliki sejumlah ciri. Salah satunya adalah pajak merupakan kontribusi wajib warga negara. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk warga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif.
Mereka antara lain warga negara yang memiliki penghasilan tidak kena pajak (PTKP) lebih dari Rp2.050.000 per bulan. Karyawan/pegawai, baik karyawan swasta maupun pegawai pemerintah, dengan total penghasilan lebih dari Rp2 juta maka wajib membayar pajak. Pun wirausaha, maka setiap penghasilan akan dikenakan pajak sebesar 1% dari total penghasilan kotor/bruto (PP Nomor 46 Tahun 2013).
Namun, yang patut diingat oleh pemerintah adalah pengenaan pajak harus mengedepankan asas keadilan. Jangan sampai ada unsur-unsur ketidakadilan di dalamnya. Berkaca dari rencana pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos, penulis menilai pemerintah ingin mengedepankan asas keadilan. Dengan demikian, fungsi pajak untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam perekonomian terpenuhi.
Pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos juga tepat. Ini karena mayoritas pedagang berjualan melalui medium itu. Ditambah tren peningkatan perdagangan online yang terus meningkat menurut berbagai survei. Secara kasatmata pun, kita dapat dengan mudah menemukan aktivitas jual beli di medsos seperti Facebook, Instagram.
Hal ini pun terkonfirmasi dalam survei yang dilaksanakan idEA, beberapa waktu lalu. Mereka mencatat sekitar 59% pedagang ada di medsos. Sementara yang melalui marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, maupun Shopee, hanya sekitar 16%.
Berkaca dari kenyataan tersebut, rencana pemerintah mengenakan pajak kepada pedagang di medsos tak perlu dirisaukan. Namun, ada sejumlah catatan yang patut dicermati bersama.
Penerapan di Lapangan
Salah satu pekerjaan rumah (PR) besar yang harus diperhatikan dalam penerapan kebijakan perpajakan adalah kepatuhan wajib pajak maupun non-wajib pajak yang rendah. Sudah menjadi rahasia umum masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (tidak terkecuali para pedagang), ingin menghindar dari pajak.
Padahal, sebagaimana kutipan pada pembuka tulisan ini, tidak ada sesuatu yang pasti di dunia kecuali kematian dan pajak. Namun, rangkaian kasus penyelewengan pajak dengan melibatkan pegawai DJP Kemenkeu seperti kasus Gayus bertahun-tahun lalu, membuat kepercayaan publik memudar.
Meski sejak kasus itu DJP mereformasi diri hingga menjadi salah satu institusi terpercaya di Tanah Air, masih ada sebagian masyarakat yang skeptis. Ini tugas berat yang harus diselesaikan apabila pemerintah hendak memajaki pedagang di medsos.
Kemudian, jika dicermati, pajak untuk pedagang di medsos beririsan dengan keberadaan PP Nomor 46 Tahun 2013. Para wirausaha, termasuk pelaku UMKM, dikenakan pajak sebesar satu persen dari total penghasilan kotor/bruto dari setiap penghasilan.
Namun, penerapan kebijakan ini pun jauh panggang dari api sebab sampai dengan tahun lalu dari sekitar 59 juta pelaku UMKM, yang baru membayar pajak hanya 397.000 pelaku UMKM. Kebijakan tax amnesty yang diluncurkan pemerintah pun tak membantu banyak. Hal ini tergambar dari jumlah pelaku UMKM yang mengikuti kebijakan tersebut.
Mengacu penjelasan DJP, beberapa karakteristik UMKM ditunjuk jadi penyebab rendahnya pemungutan pajak UMKM. Pertama, tingkat turnover yang sangat tinggi. Pelaku UMKM hanya bertahan dalam jangka waktu sesaat, tidak dalam waktu lama.
Kedua, pelaku UMKM kerap mengabaikan aspek perpajakan lantaran fokus membangun usaha. Ketiga, persepsi bahwa pajak menambah biaya usaha.
Mengatasi semua permasalahan yang ada, pemerintah perlu mengevaluasi pemungutan pajak UMKM terlebih dahulu sebelum memajaki pedagang di medsos. Dari sana, bisa dipetik pelajaran agar kegagalan terdahulu tidak terulang, sebab pedagang di medsos yang didominasi pelaku UMKM sudah masuk dalam kategori wajib pajak.
Dari sisi pelaku UMKM, pengenaan pajak tentu akan memiliki banyak manfaat. Ambil contoh dari keberadaan NPWP. NPWP dapat berguna apabila pelaku UMKM hendak mengajukan pembiayaan ke perbankan. Pembiayaan sebagaimana diketahui berkaitan dengan peningkatan kapasitas UMKM itu sendiri.
Terlepas dari segala pro dan kontra, semua pihak tentu menunggu kelahiran PMK terkait pengenaan pajak kepada para pedagang di medsos. Semua dengan harapan aspek keadilan terpenuhi. Bukan hanya dari sisi pemerintah, melainkan juga para pedagang yang menjadi bagian dari masyarakat Tanah Air.
(whb)