Mengukur Efektivitas Dana Desa

Kamis, 22 Februari 2018 - 05:59 WIB
Mengukur Efektivitas...
Mengukur Efektivitas Dana Desa
A A A
Hendri Achmad Hudori
Statistikawan pada Badan Pusat Statistik Aceh Besa

MELALUI Nawacita, Pre­si­den Joko Widodo (Jo­kowi) mencanangkan program pembangunan yang berorientasi pada penguatan daerah. Nawacita yang ketiga tersebut adalah "Membangun Indonesia dari Pinggiran de­ngan Memperkuat Daerah-Dae­rah dan Desa dalam Ke­rangka NKRI".

Untuk me­wu­jud­kannya, sejak tiga tahun ter­akhir telah dikucurkan dana besar ke desa-desa melalui pro­gram dana desa. Jumlahnya te­rus meningkat dari tahun ke ta­hun, dari rata-rata Rp280 juta per desa pada 2015 menjadi Rp800 juta per desa pada 2017.

Dana yang besar tersebut ber­tujuan untuk percepatan pe­ningkatan kesejahteraan ma­sya­rakat di daerah perdesaan. Setelah tiga tahun berjalan, apakah dana desa telah efektif dalam mendongkrak perce­pat­an kesejahteraan masyarakat se­suai dengan yang diharap­kan?

Desa merupakan repre­sen­tasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang se­iring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak ter­pisahkan dari tatanan ke­hi­dup­an bangsa. Kebijakan penataan dan pengaturan mengenai desa diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Guna men­dukung pelaksanaan tugas dan fungsi desa dalam penye­len­g­garaan pemerintahan dan pem­bangunan desa dalam segala aspeknya sesuai dengan ke­we­nangan yang dimiliki, UU No 6 Tahun 2014 memberikan man­dat kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana desa. Dana desa tersebut diang­gar­kan setiap tahun dalam APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa.

Menurut UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain me­ningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan masya­ra­kat dari kemiskinan, mema­ju­kan perekonomian desa, meng­atasi kesenjangan pem­ba­ngunan antardesa, serta mem­per­kuat masyarakat desa seba­gai subjek dari pembangunan.

Dana desa mulai dikucurkan pada 2015. Saat itu diang­gar­kan Rp20,7 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta. Pa­da 2016, dana desa meningkat men­jadi Rp46,98 triliun de­ngan rata-rata setiap desa men­dapat Rp628 juta. Selanjutnya pada 2017 kembali meningkat menjadi Rp60 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapat alokasi Rp800 juta.

Dana desa yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun itu ditar­get­kan dapat men­dorong per­ce­patan pemba­ngun­an dan pem­ber­dayaan ma­syarakat di perdesaan se­hingga dapat me­ning­kat­kan kese­jah­te­raan ma­sya­ra­kat. Aspek ke­sejahteraan yang di­mak­sud ber­mak­na dapat me­ning­katkan lapangan ker­ja, mengen­tas­kan ma­sya­rakat dari ke­miskinan, dan mengatasi ke­senjangan masyarakat di per­desaan.

Cara untuk mengukur efek­ti­vitas dana desa dapat melalui per­bandingan per­tumbuhan ke­sejah­teraan masyarakat se­be­lum dan sesudah dana desa di­ku­curkan. Indikator kese­jah­teraan yang digunakan an­tara lain indikator peng­ang­guran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebe­lum adanya dana desa (2012-2014) rata-rata penurunan peng­angguran per tahun sebe­sar 0,095%, se­dangkan setelah ada dana desa (2015-2017) rata-rata penu­run­an per tahun sebesar 0,34%. Ternyata rata-rata penurunan angka peng­ang­guran per tahun lebih tinggi setelah dana desa di­kucurkan.

Dengan kata lain pe­nurunan angka pengangguran lebih efek­tif setelah adanya da­na desa yang juga berarti terjadi pe­ningkatan lapangan kerja yang cukup signifikan setelah dana dikucurkan bila diban­ding­kan dengan sebelumnya.

Sementara itu dari sisi indi­kator kemiskinan, rata-rata pe­nu­runan kemiskinan per tahun sebelum adanya dana desa (2012-2014) sebesar 1,24%, sedangkan setelah dana desa (2015-2017) sebesar 0,33%. Ter­nyata rata-rata penurunan kemiskinan per tahun setelah dana desa dikucurkan malah lebih rendah daripada sebelum dana desa dikucurkan sehingga dapat disimpulkan penurunan kemiskinan setelah adanya dana desa belum efektif. Arti­nya dana desa belum mampu mendongkrak daya beli ma­sya­rakat secara sig­ni­fikan.

Selain me­lalui indi­ka­tor peng­ang­guran dan ke­mis­kin­an, efek­ti­vitas dana de­sa juga da­pat diukur me­lalui indi­ka­tor ke­tim­pangan, ya­itu de­ngan rasio gini. Se­belum ber­gulirnya da­na desa (2012-2014), ter­ja­di pe­ning­kat­an rasio gini per tahun sebesar 0,0005 poin, sedangkan setelah bergulirnya dana desa (2015-2017) terjadi penurunan per tahun sebesar 0,0055 poin.

Artinya setelah da­na desa bergulir, kesenjangan pendapatan masyarakat se­ma­kin berkurang. Dari sisi ke­tim­pangan, program dana desa me­nunjukkan efektivitas yang le­bih baik bila dibandingkan de­ngan sebelum program ter­se­but bergulir.

Efektivitas dana desa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dapat menghambat keberhasilan pro­gram tersebut adalah terjadinya penyimpangan dalam pe­nge­lo­la­annya. ­Dalam satu kesem­pat­an, Presiden Joko Widodo me­nyebutkan terdapat 900 ke­pala desa di Indonesia tersangkut kasus penyalahgunaan ang­gar­an dana desa pada 2017.

Menurut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif, ada enam modus penyimpangan dana desa, yaitu pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark-up anggaran yang tidak meli­bat­kan masyarakat dalam mu­sya­warah desa, penyelewengan da­na desa untuk kepentingan pri­badi, dan lemahnya peng­awas­an serta penggelapan honor aparat desa.

Selain akibat penyalah­guna­an anggaran, hal lain yang dapat mengurangi efektivitas dana desa adalah kurangnya kom­pe­tensi aparat desa sebagai pe­nge­lola. Kurangnya kompetensi mengakibatkan mereka tidak mampu membuat perencanaan yang baik, menyusun laporan dan membuat pertang­gung­jawaban kegiatan.

Menurut hemat penu­lis, ada dua sisi yang harus diantisipasi agar efekti­vi­tas dana desa lebih baik ke de­pan, yakni dari sisi in­ter­nal dan eksternal. Dari sisi internal, hal yang penting ada­lah integritas dan kom­petensi. Aparat desa harus memiliki integritas agar tidak tergoda melihat dana yang besar untuk mela­ku­kan korupsi sehingga dana desa dapat digunakan se­pe­nuhnya untuk pem­ba­ngun­­an. Aparat desa juga harus me­ningkatkan kom­petensinya agar bisa me­nge­lola dana de­ngan baik dan terhindar dari ke­sa­lahan yang tidak disengaja.

Dari sisi eksternal yang harus dioptimalkan adalah pen­dampingan dan peng­awas­an. Pendamping desa ha­rus mam­pu menjalankan fung­si­nya da­lam memberikan saran dan ma­sukan kepada aparat desa se­hing­ga terhindar dari penyim­pangan atau kesalahan. Peng­awasan dimaksudkan agar pe­nge­lolaan dana desa dila­ku­kan se­suai dengan ketentuan. Pem­be­rian sanksi harus dila­ku­kan untuk mengurangi ter­ja­di­nya pelanggaran dan sebagai efek jera bagi yang berniat tidak baik.

Kunci sukses desa untuk menyejahterakan masyarakat dalam membangun desa adalah kuatnya sentuhan inisiasi, inovasi, kreasi, dan kerja sama antara aparat desa dan ma­syarakat dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama. Pembangunan desa tidak mungkin bisa dilakukan oleh aparat desa sendiri, tetapi butuh dukungan, prakarsa, dan peran aktif dari masyarakat.

Mari kelola dana desa dengan amanah! Jangan jadikan dana yang melimpah sebagai pintu masuk ke dalam penjara. Mari gunakan dana desa sebagai modal pembangunan untuk menuju masyarakat perdesaan yang mandiri dan sejahtera. Semoga!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0757 seconds (0.1#10.140)