Mengukur Efektivitas Dana Desa
A
A
A
Hendri Achmad Hudori
Statistikawan pada Badan Pusat Statistik Aceh Besa
MELALUI Nawacita, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan program pembangunan yang berorientasi pada penguatan daerah. Nawacita yang ketiga tersebut adalah "Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka NKRI".
Untuk mewujudkannya, sejak tiga tahun terakhir telah dikucurkan dana besar ke desa-desa melalui program dana desa. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, dari rata-rata Rp280 juta per desa pada 2015 menjadi Rp800 juta per desa pada 2017.
Dana yang besar tersebut bertujuan untuk percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan. Setelah tiga tahun berjalan, apakah dana desa telah efektif dalam mendongkrak percepatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan yang diharapkan?
Desa merupakan representasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang seiring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan bangsa. Kebijakan penataan dan pengaturan mengenai desa diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dalam segala aspeknya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, UU No 6 Tahun 2014 memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana desa. Dana desa tersebut dianggarkan setiap tahun dalam APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa.
Menurut UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Dana desa mulai dikucurkan pada 2015. Saat itu dianggarkan Rp20,7 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta. Pada 2016, dana desa meningkat menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapat Rp628 juta. Selanjutnya pada 2017 kembali meningkat menjadi Rp60 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapat alokasi Rp800 juta.
Dana desa yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun itu ditargetkan dapat mendorong percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di perdesaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aspek kesejahteraan yang dimaksud bermakna dapat meningkatkan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan masyarakat di perdesaan.
Cara untuk mengukur efektivitas dana desa dapat melalui perbandingan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah dana desa dikucurkan. Indikator kesejahteraan yang digunakan antara lain indikator pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebelum adanya dana desa (2012-2014) rata-rata penurunan pengangguran per tahun sebesar 0,095%, sedangkan setelah ada dana desa (2015-2017) rata-rata penurunan per tahun sebesar 0,34%. Ternyata rata-rata penurunan angka pengangguran per tahun lebih tinggi setelah dana desa dikucurkan.
Dengan kata lain penurunan angka pengangguran lebih efektif setelah adanya dana desa yang juga berarti terjadi peningkatan lapangan kerja yang cukup signifikan setelah dana dikucurkan bila dibandingkan dengan sebelumnya.
Sementara itu dari sisi indikator kemiskinan, rata-rata penurunan kemiskinan per tahun sebelum adanya dana desa (2012-2014) sebesar 1,24%, sedangkan setelah dana desa (2015-2017) sebesar 0,33%. Ternyata rata-rata penurunan kemiskinan per tahun setelah dana desa dikucurkan malah lebih rendah daripada sebelum dana desa dikucurkan sehingga dapat disimpulkan penurunan kemiskinan setelah adanya dana desa belum efektif. Artinya dana desa belum mampu mendongkrak daya beli masyarakat secara signifikan.
Selain melalui indikator pengangguran dan kemiskinan, efektivitas dana desa juga dapat diukur melalui indikator ketimpangan, yaitu dengan rasio gini. Sebelum bergulirnya dana desa (2012-2014), terjadi peningkatan rasio gini per tahun sebesar 0,0005 poin, sedangkan setelah bergulirnya dana desa (2015-2017) terjadi penurunan per tahun sebesar 0,0055 poin.
Artinya setelah dana desa bergulir, kesenjangan pendapatan masyarakat semakin berkurang. Dari sisi ketimpangan, program dana desa menunjukkan efektivitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum program tersebut bergulir.
Efektivitas dana desa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dapat menghambat keberhasilan program tersebut adalah terjadinya penyimpangan dalam pengelolaannya. Dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo menyebutkan terdapat 900 kepala desa di Indonesia tersangkut kasus penyalahgunaan anggaran dana desa pada 2017.
Menurut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif, ada enam modus penyimpangan dana desa, yaitu pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark-up anggaran yang tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa, penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi, dan lemahnya pengawasan serta penggelapan honor aparat desa.
Selain akibat penyalahgunaan anggaran, hal lain yang dapat mengurangi efektivitas dana desa adalah kurangnya kompetensi aparat desa sebagai pengelola. Kurangnya kompetensi mengakibatkan mereka tidak mampu membuat perencanaan yang baik, menyusun laporan dan membuat pertanggungjawaban kegiatan.
Menurut hemat penulis, ada dua sisi yang harus diantisipasi agar efektivitas dana desa lebih baik ke depan, yakni dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, hal yang penting adalah integritas dan kompetensi. Aparat desa harus memiliki integritas agar tidak tergoda melihat dana yang besar untuk melakukan korupsi sehingga dana desa dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan. Aparat desa juga harus meningkatkan kompetensinya agar bisa mengelola dana dengan baik dan terhindar dari kesalahan yang tidak disengaja.
Dari sisi eksternal yang harus dioptimalkan adalah pendampingan dan pengawasan. Pendamping desa harus mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan saran dan masukan kepada aparat desa sehingga terhindar dari penyimpangan atau kesalahan. Pengawasan dimaksudkan agar pengelolaan dana desa dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemberian sanksi harus dilakukan untuk mengurangi terjadinya pelanggaran dan sebagai efek jera bagi yang berniat tidak baik.
Kunci sukses desa untuk menyejahterakan masyarakat dalam membangun desa adalah kuatnya sentuhan inisiasi, inovasi, kreasi, dan kerja sama antara aparat desa dan masyarakat dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama. Pembangunan desa tidak mungkin bisa dilakukan oleh aparat desa sendiri, tetapi butuh dukungan, prakarsa, dan peran aktif dari masyarakat.
Mari kelola dana desa dengan amanah! Jangan jadikan dana yang melimpah sebagai pintu masuk ke dalam penjara. Mari gunakan dana desa sebagai modal pembangunan untuk menuju masyarakat perdesaan yang mandiri dan sejahtera. Semoga!
Statistikawan pada Badan Pusat Statistik Aceh Besa
MELALUI Nawacita, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan program pembangunan yang berorientasi pada penguatan daerah. Nawacita yang ketiga tersebut adalah "Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka NKRI".
Untuk mewujudkannya, sejak tiga tahun terakhir telah dikucurkan dana besar ke desa-desa melalui program dana desa. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, dari rata-rata Rp280 juta per desa pada 2015 menjadi Rp800 juta per desa pada 2017.
Dana yang besar tersebut bertujuan untuk percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan. Setelah tiga tahun berjalan, apakah dana desa telah efektif dalam mendongkrak percepatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan yang diharapkan?
Desa merupakan representasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang seiring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan bangsa. Kebijakan penataan dan pengaturan mengenai desa diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dalam segala aspeknya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, UU No 6 Tahun 2014 memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana desa. Dana desa tersebut dianggarkan setiap tahun dalam APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa.
Menurut UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Dana desa mulai dikucurkan pada 2015. Saat itu dianggarkan Rp20,7 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta. Pada 2016, dana desa meningkat menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapat Rp628 juta. Selanjutnya pada 2017 kembali meningkat menjadi Rp60 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapat alokasi Rp800 juta.
Dana desa yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun itu ditargetkan dapat mendorong percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di perdesaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aspek kesejahteraan yang dimaksud bermakna dapat meningkatkan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan masyarakat di perdesaan.
Cara untuk mengukur efektivitas dana desa dapat melalui perbandingan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah dana desa dikucurkan. Indikator kesejahteraan yang digunakan antara lain indikator pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebelum adanya dana desa (2012-2014) rata-rata penurunan pengangguran per tahun sebesar 0,095%, sedangkan setelah ada dana desa (2015-2017) rata-rata penurunan per tahun sebesar 0,34%. Ternyata rata-rata penurunan angka pengangguran per tahun lebih tinggi setelah dana desa dikucurkan.
Dengan kata lain penurunan angka pengangguran lebih efektif setelah adanya dana desa yang juga berarti terjadi peningkatan lapangan kerja yang cukup signifikan setelah dana dikucurkan bila dibandingkan dengan sebelumnya.
Sementara itu dari sisi indikator kemiskinan, rata-rata penurunan kemiskinan per tahun sebelum adanya dana desa (2012-2014) sebesar 1,24%, sedangkan setelah dana desa (2015-2017) sebesar 0,33%. Ternyata rata-rata penurunan kemiskinan per tahun setelah dana desa dikucurkan malah lebih rendah daripada sebelum dana desa dikucurkan sehingga dapat disimpulkan penurunan kemiskinan setelah adanya dana desa belum efektif. Artinya dana desa belum mampu mendongkrak daya beli masyarakat secara signifikan.
Selain melalui indikator pengangguran dan kemiskinan, efektivitas dana desa juga dapat diukur melalui indikator ketimpangan, yaitu dengan rasio gini. Sebelum bergulirnya dana desa (2012-2014), terjadi peningkatan rasio gini per tahun sebesar 0,0005 poin, sedangkan setelah bergulirnya dana desa (2015-2017) terjadi penurunan per tahun sebesar 0,0055 poin.
Artinya setelah dana desa bergulir, kesenjangan pendapatan masyarakat semakin berkurang. Dari sisi ketimpangan, program dana desa menunjukkan efektivitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum program tersebut bergulir.
Efektivitas dana desa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dapat menghambat keberhasilan program tersebut adalah terjadinya penyimpangan dalam pengelolaannya. Dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo menyebutkan terdapat 900 kepala desa di Indonesia tersangkut kasus penyalahgunaan anggaran dana desa pada 2017.
Menurut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif, ada enam modus penyimpangan dana desa, yaitu pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark-up anggaran yang tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa, penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi, dan lemahnya pengawasan serta penggelapan honor aparat desa.
Selain akibat penyalahgunaan anggaran, hal lain yang dapat mengurangi efektivitas dana desa adalah kurangnya kompetensi aparat desa sebagai pengelola. Kurangnya kompetensi mengakibatkan mereka tidak mampu membuat perencanaan yang baik, menyusun laporan dan membuat pertanggungjawaban kegiatan.
Menurut hemat penulis, ada dua sisi yang harus diantisipasi agar efektivitas dana desa lebih baik ke depan, yakni dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, hal yang penting adalah integritas dan kompetensi. Aparat desa harus memiliki integritas agar tidak tergoda melihat dana yang besar untuk melakukan korupsi sehingga dana desa dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan. Aparat desa juga harus meningkatkan kompetensinya agar bisa mengelola dana dengan baik dan terhindar dari kesalahan yang tidak disengaja.
Dari sisi eksternal yang harus dioptimalkan adalah pendampingan dan pengawasan. Pendamping desa harus mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan saran dan masukan kepada aparat desa sehingga terhindar dari penyimpangan atau kesalahan. Pengawasan dimaksudkan agar pengelolaan dana desa dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemberian sanksi harus dilakukan untuk mengurangi terjadinya pelanggaran dan sebagai efek jera bagi yang berniat tidak baik.
Kunci sukses desa untuk menyejahterakan masyarakat dalam membangun desa adalah kuatnya sentuhan inisiasi, inovasi, kreasi, dan kerja sama antara aparat desa dan masyarakat dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama. Pembangunan desa tidak mungkin bisa dilakukan oleh aparat desa sendiri, tetapi butuh dukungan, prakarsa, dan peran aktif dari masyarakat.
Mari kelola dana desa dengan amanah! Jangan jadikan dana yang melimpah sebagai pintu masuk ke dalam penjara. Mari gunakan dana desa sebagai modal pembangunan untuk menuju masyarakat perdesaan yang mandiri dan sejahtera. Semoga!
(maf)