KPK Tersandera Angket DPR

Kamis, 15 Februari 2018 - 07:07 WIB
KPK Tersandera Angket DPR
KPK Tersandera Angket DPR
A A A
Agil Oktaryal
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR)
dan Pemerhati Hukum Tata Negara

DI TENGAH derasnya arus desakan mundur Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi oleh banyak ka­la­ngan karena dinilai telah me­langgar kode etik dan perilaku hakim, Kamis (8/2) Mahkamah Konstitusi (MK) kembali men­jadi sorotan publik karena me­lalui Putusan No 36-37-40/ PUU-XV/2017 MK me­nyat­a­kan KPK sebagai bagian dari ca­bang kekuasaan eksekutif dan bisa menjadi objek angket oleh DPR. Artinya, dalam melak­sa­na­kan tugas dan kewe­na­ngan­nya ke depan, KPK bisa di­kontrol oleh DPR melalui ins­trumen hak angket yang di­milikinya jika, menurut DPR, KPK diduga bertentangan de­ngan peraturan perundang-un­dangan. Meski demikian, MK membatasi yang boleh di­se­lidiki DPR tidak termasuk ihwal pelaksanaan penyelidikan, pe­nyidikan, dan penuntutan oleh KPK.

Pascaputusan itu keluar, muncul perdebatan di tengah publik, putusan mana yang se­harusnya ditaati, mengingat MK sebelumnya juga pernah memutus perkara serupa yang tercantum dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Pu­tusan No 19/PUU-V/2007, Pu­tusan No 37-39/PUU-VIII/ 2010, dan Putusan No 5/PUU-IX/2011, yang inti dari empat putusan tersebut menyatakan bahwa KPK merupakan lem­ba­ga independen dan tidak ter­ma­suk ke dalam cabang kekuasaan eksekutif sehingga tak dapat dijadikan objek hak angket oleh DPR. Independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahkan masih dapat ditelisik dari belasan putusan MK lain untuk memastikan hal tersebut.

Mencermati tulisan Prof Mahfud MD yang dimuat di sa­lah satu harian nasional (10/2), beliau menyatakan semua pu­tusan MK secara sederajat ber­sifat final dan mengikat. Bah­kan tidak serta-merta pu­tus­an yang baru keluar bisa meng­gantikan putusan yang sudah ada sesuai asas lex pos­teriori de­rogat legi priori. Asas itu, lanjut Mahfud, hanya ber­laku dalam pembentukan per­aturan yang bersifat abstrak se­perti dalam pembuatan UU, bukan untuk putusan-putusan pengadilan atas kasus konkret. Kalau untuk putusan peng­adil­an yang sudah sama-sama in­kracht, demi ke­adilan hukum dan menghindari ne bis in idem, yang harus ber­laku adalah pu­tusan yang per­ta­ma, tegas Mah­fud. Lantas be­narkah logika hu­kum yang di­gunakan tersebut?

Putusan MK Terbaru Mengganti Putusan Lama
Jika dilacak keseluruhan pa­sal-pasal dalam UUD 1945, MK merupakan satu-satunya lem­baga yudisial yang pu­tus­annya bersifat final dan me­ngikat, ar­ti­nya langsung berlaku sejak di­ba­cakan tanpa ada upaya hukum lainnya (inkracht). Da­lam per­kembangan teori hu­kum tata negara, putusan yang seperti ini hanya bisa diubah melalui pu­tus­an yang setara. Dalam bahasa lain, putusan MK terdahulu ha­nya bisa diubah oleh putusan MK yang terbaru untuk perkara yang sama. Hal ini juga berlaku bagi Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menya­ta­kan KPK bisa dijadikan objek hak angket oleh DPR.

Perihal asas ne bis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang te­lah mendapat putusan ber­ke­kuat­an hukum tetap), asas ini sejatinya diberlakukan pada per­kara konkret yang putus­an­nya tidak bersifat erga omnes (ber­laku untuk semua) seperti pi­da­na, perdata, dan tata usaha ne­gara. Se­men­ta­ra di MK, pu­tu­sannya meng­ikat untuk siapa pun sejak dib­ac­a­kan. Bahkan, jika ditelusuri asas-asas per­adil­an yang berlaku khusus di MK, asas ne bis in idem tidak di­ma­suk­kan men­jadi salah satu di an­ta­ranya.

Benar jika asas ini dibe­r­la­kukan secara umum untuk se­mua per­adilan, tetapi khusus un­tuk MK, dalam amatan pe­nu­lis, asas ini berlaku ketika suatu per­mohonan pengujian kon­s­ti­tusionalitas suatu undang-un­dang masuk dalam tahap pe­me­rik­saan pendahuluan di MK. Dalam tahap ini Pasal 60 ayat (1) UU No 8/2011 ten­tang Per­­ubah­an atas UU No 24/2003 ten­tang MK me­nya­takan bah­wa “terhadap ma­teri muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian da­lam undang-un­dang yang telah diuji, tidak da­pat di­mo­hon­kan peng­ujian kem­­bali”. Di sini MK bisa meng­gugurkan per­mo­hon­an Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menjadi dasar bagi DPR untuk me­la­ku­kan angket terhadap KPK be­be­rapa waktu terakhir dengan alasan ne bis in idem.

Persoalannya, MK tidak meng­­gugurkan permohonan ter­sebut dan meneruskannya ke dal­am pemeriksaan pokok pe­r­kara hingga vonis yang di­ja­tuh­kan pada Kamis (8/2) ke­ma­rin. Artinya, MK menganggap Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 yang diujikan ti­daklah ne bis in idem. Hal ini terasa wajar karena UU No 42/2014 yang di­uji­kan ke MK adalah UU yang berbeda dengan UU yang pernah diuji se­belumnya meski ob­jek yang di­uji kon­s­ti­tusionalitasnya sama, yaitu hak angket DPR. Karena itu, sejak pu­tusan di­ba­cakan pa­da Kamis kemarin, putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 ter­sebut ber­laku me­ng­ikat dan meng­gant­ikan pu­tus­an yang telah ada sebe­lum­nya, teruta­ma untuk perluasan makna dari objek hak angket DPR.

Tersandera Angket
Pemberlakuan Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menempatkan KPK sebagai sa­lah satu objek hak angket DPR se­dikit-banyak tentu membuat ko­misi antirasuah ini akan ter­sandera oleh lembaga politik se­perti DPR. Ke depan setiap ki­nerja KPK disinyalir kuat akan te­rus “diawasi” oleh DPR. Hak ang­ket akan menjadi sarana paling jitu untuk mela­ku­kan per­la­wan­an balik, apa­lagi jika perkara yang dita­ngani KPK bersangkut-paut dengan DPR. Kasus meg­ako­rup­­si KTP elektronik men­jadi buk­ti yang paling kentara bahwa hak angket itu bisa digunakan untuk mengganggu kinerja KPK.

Namun, untuk kasus yang satu ini, hasil-hasil Pan­sus Ang­ket DPR yang ada se­ka­rang ini dalam amat­­an pe­nu­lis ti­dak ser­ta-mer­ta me­ng­ikat KPK mes­ki Pu­tus­an No 36-37-40/PUU- XV/2017 telah di­ba­ca­kan pada 8 Fe­bruari 2017. Hal ini karena putusan MK berlaku ke depan (pros­pective) tak bisa di­la­kukan secara su­rut (re­tro­ak­tive). Per­lu di­ke­tahui, pansus ter­ben­tuk se­be­lum pu­tusan ter­­sebut di­ke­­luar­kan atau se­kitar Juni 2017. Pada waktu pem­ben­tukan pan­sus bahkan ter­dapat empat pu­tus­an MK yang me­nyatakan KPK bu­­kan bagian dari cabang ke­kuasaan ekse­ku­tif yang tak da­pat di angket se­perti Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 19/PUU-V/2007, Putusan No 37-39/ PUU-VIII/ 2010, dan Pu­tus­an No 5/PUU-IX/2011. Karena itu, putusan MK yang baru di­ke­luarkan ter­sebut tidak bisa di­ja­dikan alas legitimasi bagi DPR untuk membenarkan tinda­kan­nya da­lam meng­ang­ket KPK untuk ka­sus KTP elek­tronik.

Kembali pada kegelisahan akan tersanderanya KPK oleh DPR pasca-Putusan No 36-37-40/PUU-XV/2017 dikeluar­kan, perlu diingat, MK dalam pu­tus­an tersebut telah menge­cua­li­kan bahwa proses pe­nye­li­dikan, pe­nyidikan, dan pe­nun­tut­an oleh KPK tidak dapat di­jadikan objek angket. Ar­tinya, DPR ha­ram un­tuk me­re­coki ki­nerja KPK yang ber­­kaitan de­ngan tahapan ter­se­but.

Namun, yang harus di­was­pa­dai adalah MK juga tidak mem­buat batasan je­las tentang hal yang bisa di­angket oleh DPR. Karena itu, bisa saja ke­we­na­ngan yang di­be­rikan MK ke­pa­da DPR men­jadi pintu masuk bagi DPR un­tuk mengotak-atik pe­lak­sa­na­an tugas KPK, bah­kan tak ter­tutup kemungkinan DPR akan memberanikan diri untuk ma­suk ke dalam proses penye­li­di­kan, penyidikan, dan pe­nun­tut­an yang dilakukan KPK.

Maka itu, harus ada ke­te­gas­an sampai mana hak angket itu boleh di­la­kukan DPR dan upa­ya apa yang dapat dil­a­ku­kan KPK jika DPR masuk ranah yang telah dil­a­rang MK. Ber­kait­an dengan ini, pidana obs­truc­tio­n of justice (per­buatan yang meng­ha­lang-halangi pro­ses pene­ga­kan hu­kum) dapat dijerat ke DPR jika berani me­ma­suki ra­nah pe­nye­lidikan, pe­nyidikan, dan pe­nun­tutan yang dilakukan KPK. Dengan cara ini, harapan tentu muncul bah­wa putusan MK tidak menjadi kerangkeng yang terus menyandera KPK.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6513 seconds (0.1#10.140)