KPK Tersandera Angket DPR
A
A
A
Agil Oktaryal
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR)
dan Pemerhati Hukum Tata Negara
DI TENGAH derasnya arus desakan mundur Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi oleh banyak kalangan karena dinilai telah melanggar kode etik dan perilaku hakim, Kamis (8/2) Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik karena melalui Putusan No 36-37-40/ PUU-XV/2017 MK menyatakan KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif dan bisa menjadi objek angket oleh DPR. Artinya, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ke depan, KPK bisa dikontrol oleh DPR melalui instrumen hak angket yang dimilikinya jika, menurut DPR, KPK diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Meski demikian, MK membatasi yang boleh diselidiki DPR tidak termasuk ihwal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK.
Pascaputusan itu keluar, muncul perdebatan di tengah publik, putusan mana yang seharusnya ditaati, mengingat MK sebelumnya juga pernah memutus perkara serupa yang tercantum dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 19/PUU-V/2007, Putusan No 37-39/PUU-VIII/ 2010, dan Putusan No 5/PUU-IX/2011, yang inti dari empat putusan tersebut menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga independen dan tidak termasuk ke dalam cabang kekuasaan eksekutif sehingga tak dapat dijadikan objek hak angket oleh DPR. Independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahkan masih dapat ditelisik dari belasan putusan MK lain untuk memastikan hal tersebut.
Mencermati tulisan Prof Mahfud MD yang dimuat di salah satu harian nasional (10/2), beliau menyatakan semua putusan MK secara sederajat bersifat final dan mengikat. Bahkan tidak serta-merta putusan yang baru keluar bisa menggantikan putusan yang sudah ada sesuai asas lex posteriori derogat legi priori. Asas itu, lanjut Mahfud, hanya berlaku dalam pembentukan peraturan yang bersifat abstrak seperti dalam pembuatan UU, bukan untuk putusan-putusan pengadilan atas kasus konkret. Kalau untuk putusan pengadilan yang sudah sama-sama inkracht, demi keadilan hukum dan menghindari ne bis in idem, yang harus berlaku adalah putusan yang pertama, tegas Mahfud. Lantas benarkah logika hukum yang digunakan tersebut?
Putusan MK Terbaru Mengganti Putusan Lama
Jika dilacak keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945, MK merupakan satu-satunya lembaga yudisial yang putusannya bersifat final dan mengikat, artinya langsung berlaku sejak dibacakan tanpa ada upaya hukum lainnya (inkracht). Dalam perkembangan teori hukum tata negara, putusan yang seperti ini hanya bisa diubah melalui putusan yang setara. Dalam bahasa lain, putusan MK terdahulu hanya bisa diubah oleh putusan MK yang terbaru untuk perkara yang sama. Hal ini juga berlaku bagi Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menyatakan KPK bisa dijadikan objek hak angket oleh DPR.
Perihal asas ne bis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang telah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap), asas ini sejatinya diberlakukan pada perkara konkret yang putusannya tidak bersifat erga omnes (berlaku untuk semua) seperti pidana, perdata, dan tata usaha negara. Sementara di MK, putusannya mengikat untuk siapa pun sejak dibacakan. Bahkan, jika ditelusuri asas-asas peradilan yang berlaku khusus di MK, asas ne bis in idem tidak dimasukkan menjadi salah satu di antaranya.
Benar jika asas ini diberlakukan secara umum untuk semua peradilan, tetapi khusus untuk MK, dalam amatan penulis, asas ini berlaku ketika suatu permohonan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang masuk dalam tahap pemeriksaan pendahuluan di MK. Dalam tahap ini Pasal 60 ayat (1) UU No 8/2011 tentang Perubahan atas UU No 24/2003 tentang MK menyatakan bahwa “terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Di sini MK bisa menggugurkan permohonan Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menjadi dasar bagi DPR untuk melakukan angket terhadap KPK beberapa waktu terakhir dengan alasan ne bis in idem.
Persoalannya, MK tidak menggugurkan permohonan tersebut dan meneruskannya ke dalam pemeriksaan pokok perkara hingga vonis yang dijatuhkan pada Kamis (8/2) kemarin. Artinya, MK menganggap Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 yang diujikan tidaklah ne bis in idem. Hal ini terasa wajar karena UU No 42/2014 yang diujikan ke MK adalah UU yang berbeda dengan UU yang pernah diuji sebelumnya meski objek yang diuji konstitusionalitasnya sama, yaitu hak angket DPR. Karena itu, sejak putusan dibacakan pada Kamis kemarin, putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 tersebut berlaku mengikat dan menggantikan putusan yang telah ada sebelumnya, terutama untuk perluasan makna dari objek hak angket DPR.
Tersandera Angket
Pemberlakuan Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menempatkan KPK sebagai salah satu objek hak angket DPR sedikit-banyak tentu membuat komisi antirasuah ini akan tersandera oleh lembaga politik seperti DPR. Ke depan setiap kinerja KPK disinyalir kuat akan terus “diawasi” oleh DPR. Hak angket akan menjadi sarana paling jitu untuk melakukan perlawanan balik, apalagi jika perkara yang ditangani KPK bersangkut-paut dengan DPR. Kasus megakorupsi KTP elektronik menjadi bukti yang paling kentara bahwa hak angket itu bisa digunakan untuk mengganggu kinerja KPK.
Namun, untuk kasus yang satu ini, hasil-hasil Pansus Angket DPR yang ada sekarang ini dalam amatan penulis tidak serta-merta mengikat KPK meski Putusan No 36-37-40/PUU- XV/2017 telah dibacakan pada 8 Februari 2017. Hal ini karena putusan MK berlaku ke depan (prospective) tak bisa dilakukan secara surut (retroaktive). Perlu diketahui, pansus terbentuk sebelum putusan tersebut dikeluarkan atau sekitar Juni 2017. Pada waktu pembentukan pansus bahkan terdapat empat putusan MK yang menyatakan KPK bukan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif yang tak dapat di angket seperti Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 19/PUU-V/2007, Putusan No 37-39/ PUU-VIII/ 2010, dan Putusan No 5/PUU-IX/2011. Karena itu, putusan MK yang baru dikeluarkan tersebut tidak bisa dijadikan alas legitimasi bagi DPR untuk membenarkan tindakannya dalam mengangket KPK untuk kasus KTP elektronik.
Kembali pada kegelisahan akan tersanderanya KPK oleh DPR pasca-Putusan No 36-37-40/PUU-XV/2017 dikeluarkan, perlu diingat, MK dalam putusan tersebut telah mengecualikan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK tidak dapat dijadikan objek angket. Artinya, DPR haram untuk merecoki kinerja KPK yang berkaitan dengan tahapan tersebut.
Namun, yang harus diwaspadai adalah MK juga tidak membuat batasan jelas tentang hal yang bisa diangket oleh DPR. Karena itu, bisa saja kewenangan yang diberikan MK kepada DPR menjadi pintu masuk bagi DPR untuk mengotak-atik pelaksanaan tugas KPK, bahkan tak tertutup kemungkinan DPR akan memberanikan diri untuk masuk ke dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK.
Maka itu, harus ada ketegasan sampai mana hak angket itu boleh dilakukan DPR dan upaya apa yang dapat dilakukan KPK jika DPR masuk ranah yang telah dilarang MK. Berkaitan dengan ini, pidana obstruction of justice (perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum) dapat dijerat ke DPR jika berani memasuki ranah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK. Dengan cara ini, harapan tentu muncul bahwa putusan MK tidak menjadi kerangkeng yang terus menyandera KPK.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR)
dan Pemerhati Hukum Tata Negara
DI TENGAH derasnya arus desakan mundur Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi oleh banyak kalangan karena dinilai telah melanggar kode etik dan perilaku hakim, Kamis (8/2) Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik karena melalui Putusan No 36-37-40/ PUU-XV/2017 MK menyatakan KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif dan bisa menjadi objek angket oleh DPR. Artinya, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ke depan, KPK bisa dikontrol oleh DPR melalui instrumen hak angket yang dimilikinya jika, menurut DPR, KPK diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Meski demikian, MK membatasi yang boleh diselidiki DPR tidak termasuk ihwal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK.
Pascaputusan itu keluar, muncul perdebatan di tengah publik, putusan mana yang seharusnya ditaati, mengingat MK sebelumnya juga pernah memutus perkara serupa yang tercantum dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 19/PUU-V/2007, Putusan No 37-39/PUU-VIII/ 2010, dan Putusan No 5/PUU-IX/2011, yang inti dari empat putusan tersebut menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga independen dan tidak termasuk ke dalam cabang kekuasaan eksekutif sehingga tak dapat dijadikan objek hak angket oleh DPR. Independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahkan masih dapat ditelisik dari belasan putusan MK lain untuk memastikan hal tersebut.
Mencermati tulisan Prof Mahfud MD yang dimuat di salah satu harian nasional (10/2), beliau menyatakan semua putusan MK secara sederajat bersifat final dan mengikat. Bahkan tidak serta-merta putusan yang baru keluar bisa menggantikan putusan yang sudah ada sesuai asas lex posteriori derogat legi priori. Asas itu, lanjut Mahfud, hanya berlaku dalam pembentukan peraturan yang bersifat abstrak seperti dalam pembuatan UU, bukan untuk putusan-putusan pengadilan atas kasus konkret. Kalau untuk putusan pengadilan yang sudah sama-sama inkracht, demi keadilan hukum dan menghindari ne bis in idem, yang harus berlaku adalah putusan yang pertama, tegas Mahfud. Lantas benarkah logika hukum yang digunakan tersebut?
Putusan MK Terbaru Mengganti Putusan Lama
Jika dilacak keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945, MK merupakan satu-satunya lembaga yudisial yang putusannya bersifat final dan mengikat, artinya langsung berlaku sejak dibacakan tanpa ada upaya hukum lainnya (inkracht). Dalam perkembangan teori hukum tata negara, putusan yang seperti ini hanya bisa diubah melalui putusan yang setara. Dalam bahasa lain, putusan MK terdahulu hanya bisa diubah oleh putusan MK yang terbaru untuk perkara yang sama. Hal ini juga berlaku bagi Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menyatakan KPK bisa dijadikan objek hak angket oleh DPR.
Perihal asas ne bis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang telah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap), asas ini sejatinya diberlakukan pada perkara konkret yang putusannya tidak bersifat erga omnes (berlaku untuk semua) seperti pidana, perdata, dan tata usaha negara. Sementara di MK, putusannya mengikat untuk siapa pun sejak dibacakan. Bahkan, jika ditelusuri asas-asas peradilan yang berlaku khusus di MK, asas ne bis in idem tidak dimasukkan menjadi salah satu di antaranya.
Benar jika asas ini diberlakukan secara umum untuk semua peradilan, tetapi khusus untuk MK, dalam amatan penulis, asas ini berlaku ketika suatu permohonan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang masuk dalam tahap pemeriksaan pendahuluan di MK. Dalam tahap ini Pasal 60 ayat (1) UU No 8/2011 tentang Perubahan atas UU No 24/2003 tentang MK menyatakan bahwa “terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Di sini MK bisa menggugurkan permohonan Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menjadi dasar bagi DPR untuk melakukan angket terhadap KPK beberapa waktu terakhir dengan alasan ne bis in idem.
Persoalannya, MK tidak menggugurkan permohonan tersebut dan meneruskannya ke dalam pemeriksaan pokok perkara hingga vonis yang dijatuhkan pada Kamis (8/2) kemarin. Artinya, MK menganggap Pasal 79 ayat (3) UU No 42/2014 yang diujikan tidaklah ne bis in idem. Hal ini terasa wajar karena UU No 42/2014 yang diujikan ke MK adalah UU yang berbeda dengan UU yang pernah diuji sebelumnya meski objek yang diuji konstitusionalitasnya sama, yaitu hak angket DPR. Karena itu, sejak putusan dibacakan pada Kamis kemarin, putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 tersebut berlaku mengikat dan menggantikan putusan yang telah ada sebelumnya, terutama untuk perluasan makna dari objek hak angket DPR.
Tersandera Angket
Pemberlakuan Putusan MK No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang menempatkan KPK sebagai salah satu objek hak angket DPR sedikit-banyak tentu membuat komisi antirasuah ini akan tersandera oleh lembaga politik seperti DPR. Ke depan setiap kinerja KPK disinyalir kuat akan terus “diawasi” oleh DPR. Hak angket akan menjadi sarana paling jitu untuk melakukan perlawanan balik, apalagi jika perkara yang ditangani KPK bersangkut-paut dengan DPR. Kasus megakorupsi KTP elektronik menjadi bukti yang paling kentara bahwa hak angket itu bisa digunakan untuk mengganggu kinerja KPK.
Namun, untuk kasus yang satu ini, hasil-hasil Pansus Angket DPR yang ada sekarang ini dalam amatan penulis tidak serta-merta mengikat KPK meski Putusan No 36-37-40/PUU- XV/2017 telah dibacakan pada 8 Februari 2017. Hal ini karena putusan MK berlaku ke depan (prospective) tak bisa dilakukan secara surut (retroaktive). Perlu diketahui, pansus terbentuk sebelum putusan tersebut dikeluarkan atau sekitar Juni 2017. Pada waktu pembentukan pansus bahkan terdapat empat putusan MK yang menyatakan KPK bukan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif yang tak dapat di angket seperti Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 19/PUU-V/2007, Putusan No 37-39/ PUU-VIII/ 2010, dan Putusan No 5/PUU-IX/2011. Karena itu, putusan MK yang baru dikeluarkan tersebut tidak bisa dijadikan alas legitimasi bagi DPR untuk membenarkan tindakannya dalam mengangket KPK untuk kasus KTP elektronik.
Kembali pada kegelisahan akan tersanderanya KPK oleh DPR pasca-Putusan No 36-37-40/PUU-XV/2017 dikeluarkan, perlu diingat, MK dalam putusan tersebut telah mengecualikan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK tidak dapat dijadikan objek angket. Artinya, DPR haram untuk merecoki kinerja KPK yang berkaitan dengan tahapan tersebut.
Namun, yang harus diwaspadai adalah MK juga tidak membuat batasan jelas tentang hal yang bisa diangket oleh DPR. Karena itu, bisa saja kewenangan yang diberikan MK kepada DPR menjadi pintu masuk bagi DPR untuk mengotak-atik pelaksanaan tugas KPK, bahkan tak tertutup kemungkinan DPR akan memberanikan diri untuk masuk ke dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK.
Maka itu, harus ada ketegasan sampai mana hak angket itu boleh dilakukan DPR dan upaya apa yang dapat dilakukan KPK jika DPR masuk ranah yang telah dilarang MK. Berkaitan dengan ini, pidana obstruction of justice (perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum) dapat dijerat ke DPR jika berani memasuki ranah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK. Dengan cara ini, harapan tentu muncul bahwa putusan MK tidak menjadi kerangkeng yang terus menyandera KPK.
(kri)