Otonomi Khusus Papua dan Good Governance
A
A
A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi Luar Negeri dan Pertahanan DPR RI
PAPUA saat ini kembali menjadi sorotan. Bukan mengenai isu kemerdekaan, tetapi beberapa paradoks di Papua. Di awal 2018 terjadi ”musibah” yang melanda Papua, yakni gizi buruk dan penyakit campak yang diderita anak-anak di Kabupaten Asmat. Puluhan anak meninggal dunia, padahal anggaran untuk pendidikan dan kesehatan terus meningkat.
Ini ironis karena dana alokasi khusus (DAK) dan dana tambahan untuk Papua terus meningkat, pada 2017 mencapai Rp8,2 triliun, di mana Rp5,8 triliun dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, dari dana Otsus Papua yang 80% berada di kabupaten, 15% dialokasikan untuk kesehatan sehingga bencana gizi buruk dan penyakit campak di Kabupaten Asmat merupakan fenomena yang merisaukan.
Begitu juga dikaji dari sisi kewenangan, fenomena gizi buruk dan penyakit campak tak perlu terjadi karena sejak kebijakan Otonomi Khusus Papua sebagian besar kewenangan telah diserahkan ke daerah disertai alokasi anggaran yang besar, termasuk dana Otonomi Khusus. Dalam konteks kebijakan kesehatan, misalnya, menteri kesehatan tidak bisa lagi mengatur kebijakan kesehatan di daerah karena kebijakan kesehatan termasuk ketersediaan puskesmas, tenaga kesehatan, dan ketersediaan obat bagi masyarakat di Papua telah menjadi tanggung jawab gubernur dan bupati.
Ironi yang menimpa Papua telah melahirkan suatu masalah baru. Papua adalah tanah yang kaya, tetapi sejauh ini seolah masih menyimpan sejumlah fenomena kemiskinan dan penderitaan. Kekayaan bumi, ekosistem, dan nilai geo-ekonomi serta geo-politik yang sangat besar bagi kepentingan Indonesia secara keseluruhan membuat Papua harusnya menjadi tanah yang makmur bagi masyarakatnya. Tetapi, rupanya Papua hanya dipandang dari perspektif material-ekonomis bagi pemerintah pusat. Lihat contohnya fenomena surplus beras di Kabupaten Merauke. Menurut Kementerian Pertanian, setelah sekian lama mengimpor beras, akhirnya Indonesia mampu mengekspor beras pada 2017. Beras itu diekspor ke negara tetangga Papua Nugini (PNG) dan Singapura. Hasil produksi pertanian dari Jawa? Sulawesi? Bukan, dari Kabupaten Merauke, Papua. Artinya, dari sisi ketahanan pangan, Papua merupakan lumbung pangan nasional.
Namun, menjadi pertanyaan, ada apa dengan Papua? Di saat anggaran Otsus semakin meningkat dan Papua sebagai lumbung pangan, tetapi di sisi lain, Papua masih menghadapi masalah seperti fenomena gizi buruk dan penyakit campak. Kebijakan apa yang salah dengan Papua?
Perlunya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Kita harus jujur bahwa masalah-masalah di Papua adalah salah satu persoalan besar bangsa Indonesia yang harus dituntaskan untuk mewujudkan janji kemerdekaan bagi masyarakat Papua. Bayang-bayang kegagalan pembangunan Papua akan terus menghantui dan menyimpan bom waktu jika berbagai masalah Papua tidak diatasi secara tepat.
Sejak Otonomi Khusus Papua diberlakukan, anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat semakin meningkat. Dari sisi kewenangan, Papua juga memiliki otonomi yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri yang berbasis kemandirian. Namun, masalah Papua bukan pada anggaran yang kurang ataupun kewenangan yang terbatas, tetapi pada masalah tata kelola pemerintahan dalam memaksimalkan anggaran Otsus untuk kesejahteraan masyarakat. Uang di Papua banyak, tetapi tidak efektif penggunaannya sehingga tidak heran musibah gizi buruk dan penyakit campak terjadi.
Di sisi lain, pengawasan terhadap anggaran Otsus juga masih belum berjalan efektif. Kendala audit dana Otsus juga dirasa masih ada, sehingga dana Otsus belum memberikan dampak pembangunan yang signifikan. Sejak Otsus Papua diberlakukan, ada perubahan, tetapi perubahan tersebut belum terjadi secara signifikan, padahal anggaran yang dikucurkan untuk pembangunan Papua semakin besar dari tahun ke tahun.
Lalu apa harus dilakukan? Menurut hemat saya, pembangunan Papua saat ini butuh perspektif baru bahwa perlu adanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik agar kebijakan Otsus Papua berjalan lebih efektif, efisien, dan berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat Papua. Dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), Pemerintah Papua perlu menerapkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan penegakan hukum serta antikorupsi sebagai unsur utama.
Petama, transparansi, yaitu keterbukaan untuk menyampaikan kebijakan dan program pembangunan agar terjadi pengawasan dari masyarakat luas. Transparansi akan mendorong partisipasi publik yang luas. Komponen transparansi mencakup informasi yang komprehensif, ketepatan waktu dalam pelayanan informasi, dan ketersediaan informasi bagi publik.
Kedua, partisipasi (inklusifitas), yaitu proses pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder) seluas mungkin dalam pembuatan kebijakan pembangunan Papua. Dalam merumuskan kebijakan yang tepat, pemerintah harus melibatkan masyarakat luas, termasuk perangkat adat Papua agar kebijakan yang dirumuskan tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan di masyarakat. Masukan yang beragam dari berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan dapat membantu pemerintah untuk mempertimbangkan berbagai persoalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam mendorong pembangunan Papua yang lebih efektif.
Ketiga, akuntabilitas, yaitu mekanisme tanggung-gugat antara pembuat kebijakan dan stakeholder yang dilayani. Adanya mekanisme akuntabilitas memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan konsensus dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan. Dalam akuntabilitas, perlu ada akses ke keadilan (access to justice), sehingga masyarakat Papua dapat merasakan manfaat Otsus.
Keempat, penegakan hukum dan antikorupsi. Inilah salah satu masalah utama dalam penyelenggaraan Otsus di Papua. Penegakan hukum di Papua masih lemah karena banyak faktor, di antaranya belum adanya kesadaran hukum di masyarakat, budaya taat hukum yang masih lemah di level aparatur pemerintahan, serta pengawasan yang belum maksimal. Akibat dari penegakan hukum yang lemah melahirkan praktik koruptif yang luas.
Kita bersyukur bahwa saat ini KPK telah memberikan perhatian yang khusus dalam mengawasi pembangunan Papua. Papua mendapat perhatian KPK karena banyak indikasi penyalahgunaan dana Otsus yang membuat pembangunan Papua tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Karena itu, saya secara pribadi memberikan dukungan kepada langkah KPK dan aparat penegak hukum lain untuk terus meningkatkan pengawasan atas penggunaan dana Otsus yang semakin besar agar tidak digunakan oleh oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri.
Pada akhirnya kita menyadari bahwa berbagai kegagalan dalam pembangunan Papua sejak diberlakukannya Otonomi Khusus Papua bukanlah bersumber pada sikap pemerintah pusat yang kurang memperhatikan Papua, tetapi bersumber pada kurangnya kesiapan pemerintah Papua dalam melaksanakan kebijakan Otsus. Apalah artinya uang yang makin besar untuk membangun Papua jika pada akhirnya uang tersebut tidak digunakan secara efektif dan maksimal untuk membangun tanah Papua.
Anggota Komisi Luar Negeri dan Pertahanan DPR RI
PAPUA saat ini kembali menjadi sorotan. Bukan mengenai isu kemerdekaan, tetapi beberapa paradoks di Papua. Di awal 2018 terjadi ”musibah” yang melanda Papua, yakni gizi buruk dan penyakit campak yang diderita anak-anak di Kabupaten Asmat. Puluhan anak meninggal dunia, padahal anggaran untuk pendidikan dan kesehatan terus meningkat.
Ini ironis karena dana alokasi khusus (DAK) dan dana tambahan untuk Papua terus meningkat, pada 2017 mencapai Rp8,2 triliun, di mana Rp5,8 triliun dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, dari dana Otsus Papua yang 80% berada di kabupaten, 15% dialokasikan untuk kesehatan sehingga bencana gizi buruk dan penyakit campak di Kabupaten Asmat merupakan fenomena yang merisaukan.
Begitu juga dikaji dari sisi kewenangan, fenomena gizi buruk dan penyakit campak tak perlu terjadi karena sejak kebijakan Otonomi Khusus Papua sebagian besar kewenangan telah diserahkan ke daerah disertai alokasi anggaran yang besar, termasuk dana Otonomi Khusus. Dalam konteks kebijakan kesehatan, misalnya, menteri kesehatan tidak bisa lagi mengatur kebijakan kesehatan di daerah karena kebijakan kesehatan termasuk ketersediaan puskesmas, tenaga kesehatan, dan ketersediaan obat bagi masyarakat di Papua telah menjadi tanggung jawab gubernur dan bupati.
Ironi yang menimpa Papua telah melahirkan suatu masalah baru. Papua adalah tanah yang kaya, tetapi sejauh ini seolah masih menyimpan sejumlah fenomena kemiskinan dan penderitaan. Kekayaan bumi, ekosistem, dan nilai geo-ekonomi serta geo-politik yang sangat besar bagi kepentingan Indonesia secara keseluruhan membuat Papua harusnya menjadi tanah yang makmur bagi masyarakatnya. Tetapi, rupanya Papua hanya dipandang dari perspektif material-ekonomis bagi pemerintah pusat. Lihat contohnya fenomena surplus beras di Kabupaten Merauke. Menurut Kementerian Pertanian, setelah sekian lama mengimpor beras, akhirnya Indonesia mampu mengekspor beras pada 2017. Beras itu diekspor ke negara tetangga Papua Nugini (PNG) dan Singapura. Hasil produksi pertanian dari Jawa? Sulawesi? Bukan, dari Kabupaten Merauke, Papua. Artinya, dari sisi ketahanan pangan, Papua merupakan lumbung pangan nasional.
Namun, menjadi pertanyaan, ada apa dengan Papua? Di saat anggaran Otsus semakin meningkat dan Papua sebagai lumbung pangan, tetapi di sisi lain, Papua masih menghadapi masalah seperti fenomena gizi buruk dan penyakit campak. Kebijakan apa yang salah dengan Papua?
Perlunya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Kita harus jujur bahwa masalah-masalah di Papua adalah salah satu persoalan besar bangsa Indonesia yang harus dituntaskan untuk mewujudkan janji kemerdekaan bagi masyarakat Papua. Bayang-bayang kegagalan pembangunan Papua akan terus menghantui dan menyimpan bom waktu jika berbagai masalah Papua tidak diatasi secara tepat.
Sejak Otonomi Khusus Papua diberlakukan, anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat semakin meningkat. Dari sisi kewenangan, Papua juga memiliki otonomi yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri yang berbasis kemandirian. Namun, masalah Papua bukan pada anggaran yang kurang ataupun kewenangan yang terbatas, tetapi pada masalah tata kelola pemerintahan dalam memaksimalkan anggaran Otsus untuk kesejahteraan masyarakat. Uang di Papua banyak, tetapi tidak efektif penggunaannya sehingga tidak heran musibah gizi buruk dan penyakit campak terjadi.
Di sisi lain, pengawasan terhadap anggaran Otsus juga masih belum berjalan efektif. Kendala audit dana Otsus juga dirasa masih ada, sehingga dana Otsus belum memberikan dampak pembangunan yang signifikan. Sejak Otsus Papua diberlakukan, ada perubahan, tetapi perubahan tersebut belum terjadi secara signifikan, padahal anggaran yang dikucurkan untuk pembangunan Papua semakin besar dari tahun ke tahun.
Lalu apa harus dilakukan? Menurut hemat saya, pembangunan Papua saat ini butuh perspektif baru bahwa perlu adanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik agar kebijakan Otsus Papua berjalan lebih efektif, efisien, dan berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat Papua. Dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), Pemerintah Papua perlu menerapkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan penegakan hukum serta antikorupsi sebagai unsur utama.
Petama, transparansi, yaitu keterbukaan untuk menyampaikan kebijakan dan program pembangunan agar terjadi pengawasan dari masyarakat luas. Transparansi akan mendorong partisipasi publik yang luas. Komponen transparansi mencakup informasi yang komprehensif, ketepatan waktu dalam pelayanan informasi, dan ketersediaan informasi bagi publik.
Kedua, partisipasi (inklusifitas), yaitu proses pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder) seluas mungkin dalam pembuatan kebijakan pembangunan Papua. Dalam merumuskan kebijakan yang tepat, pemerintah harus melibatkan masyarakat luas, termasuk perangkat adat Papua agar kebijakan yang dirumuskan tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan di masyarakat. Masukan yang beragam dari berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan dapat membantu pemerintah untuk mempertimbangkan berbagai persoalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam mendorong pembangunan Papua yang lebih efektif.
Ketiga, akuntabilitas, yaitu mekanisme tanggung-gugat antara pembuat kebijakan dan stakeholder yang dilayani. Adanya mekanisme akuntabilitas memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan konsensus dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan. Dalam akuntabilitas, perlu ada akses ke keadilan (access to justice), sehingga masyarakat Papua dapat merasakan manfaat Otsus.
Keempat, penegakan hukum dan antikorupsi. Inilah salah satu masalah utama dalam penyelenggaraan Otsus di Papua. Penegakan hukum di Papua masih lemah karena banyak faktor, di antaranya belum adanya kesadaran hukum di masyarakat, budaya taat hukum yang masih lemah di level aparatur pemerintahan, serta pengawasan yang belum maksimal. Akibat dari penegakan hukum yang lemah melahirkan praktik koruptif yang luas.
Kita bersyukur bahwa saat ini KPK telah memberikan perhatian yang khusus dalam mengawasi pembangunan Papua. Papua mendapat perhatian KPK karena banyak indikasi penyalahgunaan dana Otsus yang membuat pembangunan Papua tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Karena itu, saya secara pribadi memberikan dukungan kepada langkah KPK dan aparat penegak hukum lain untuk terus meningkatkan pengawasan atas penggunaan dana Otsus yang semakin besar agar tidak digunakan oleh oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri.
Pada akhirnya kita menyadari bahwa berbagai kegagalan dalam pembangunan Papua sejak diberlakukannya Otonomi Khusus Papua bukanlah bersumber pada sikap pemerintah pusat yang kurang memperhatikan Papua, tetapi bersumber pada kurangnya kesiapan pemerintah Papua dalam melaksanakan kebijakan Otsus. Apalah artinya uang yang makin besar untuk membangun Papua jika pada akhirnya uang tersebut tidak digunakan secara efektif dan maksimal untuk membangun tanah Papua.
(mhd)