Menyoal Holding BUMN Migas

Kamis, 25 Januari 2018 - 08:15 WIB
Menyoal Holding BUMN...
Menyoal Holding BUMN Migas
A A A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

SETELAH berhasil membentuk holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tambang, Menteri BUMN Rini Soemarno semakin percaya diri untuk segera membentuk BUMN Minyak dan Gas (Migas) yang sudah dua tahun terbengkalai.

Rini sudah memerintahkan kepada direksi PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero Tbk untuk segera melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) sebagai tahapan dalam pembentukan holding. Agenda utama RUPSLB PGN pada 25 Januari 2018 ini adalah perubahan anggaran dasar untuk memuluskan pembentukan holding migas.

Dalam era persaingan global, pembentukan holding migas memang merupakan suatu keniscayaan. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan memperdalam struktur usaha BUMN agar bisa bersaing di pasar global. Pembentukan holding itu diyakini dapat memperkuat struktur aset dan modal, serta mendorong BUMN Migas agar lebih efisien dan kompetitif. Pembentukan holding migas juga dapat mengintegrasikan usaha sejenis sesama BUMN sehingga tidak harus saling bersaing di antara sesamanya.

Namun, pembentukan holding BUMN Migas tidak boleh dilakukan bergegas dan menempuh jalan pintas melalui skema inbreng, yakni dengan mengalihkan seluruh saham seri B milik negara Republik Indonesia di PT PGN ke PT Pertamina (Persero). Dalam skema inbreng itu, Pertamina ditunjuk sebagai induk perusahaan holding migas, sedangkan PT PGN dijadikan sebagai anak perusahaan. Dalam skema itu pembentukan holding migas seolah hanya simplifikasi Pertamina untuk “mencaplok” PGN saja.

Pendekatan top down melalui skema inbreng merupakan jalan pintas bergegas, yang dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi sehingga justru menghambat proses pembentukan holding migas. Mestinya pembentukan holding menggunakan pendekatan bottom up yang mendorong integrasi usaha BUMN sejenis melalui merger dan/atau akuisisi. Salah satunya adalah integrasi antara PGN dengan Pertagas, anak perusahaan Pertamina memiliki usaha sejenis dengan PGN, yang bergerak di bidang usaha distribusi gas.

Selama ini kedua BUMN pelat merah itu justru saling bersaing, bahkan tidak mau saling mengalah dalam pembangunan infrastruktur pipa yang dibutuhkan dalam distribusi gas dari hulu hingga mencapai konsumen akhir. PGN dan Pertagas saling berlomba membangun pipa di lokasi “gemuk” yang lokasinya berdekatan. Tidak bisa dihindari, pembangunan pipa itu sering menimbulkan crossing, persinggungan pipa di area yang sama sehingga menimbulkan inefisiensi, dan tidak pernah mencapai kematangan dalam penyediaan pipa di seluruh wilayah Indonesia.

Ketidakmatangan penyediaan pipa ini sering kali memicu adanya krisis gas di berbagai daerah. Kekurangan infrastruktur pipa di daerah Sumatera Utara menyebabkan terjadi krisis gas akibat kekurangan pasokan gas yang dibutuhkan di daerah itu karena tidak tercukupinya sambungan pipa dari hulu ke konsumen.

Sedangkan di Jawa Timur justru sebaliknya, terjadi kelebihan pasokan gas yang tidak bisa disalurkan ke daerah-daerah lain di sekitarnya lantaran tidak tersedianya infrastruktur pipa di daerah tersebut. Sementara di daerah Jawa Barat terjadi adalah kelebihan infrastruktur pipa akibat PGN dan Pertagas secara bersamaan membangun pipa di lokasi yang sama.

Inefisiensi dan ketidakmatangan infrastruktur pipa itu tidak hanya menimbulkan krisis gas di berbagai daerah, tetapi juga menjadi salah satu pemicu mahalnya harga gas industri di dalam negeri. Sudah sejak setahun lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk menurunkan harga gas di dalam negeri hingga mencapai USD6/ MMbtu. Namun, hingga kini harga gas pada konsumen industri masih bertengger sebesar USD11/ MMbtu.

Integrasi antara PGN dan Pertagas dalam proses pem­bentukan holding migas diharapkan bisa mendorong efisiensi dan kematangan pembangunan infrastruktur pipa gas sehingga bisa menurunkan harga gas di dalam negeri. Integrasi itu semestinya dilakukan dengan cara PGN mengakuisisi Pertagas, bukan sebaliknya. Pasalnya, aset dan kepemilikan pipa PGN jauh lebih besar ke­timbang kepemilikan Pertagas.

Selain itu, PGN merupakan perusahaan publik dengan tingkat governance yang lebih baik dan transparan daripada Pertagas. Dalam kondisi tersebut, akan menjadi anomali kalau Pertagas yang mengakuisisi PGN dalam proses integrasi pembentukan holding migas.

Proses integrasi serupa antara PGN dan Pertagas harus dilakukan juga pada seluruh anak perusahaan, baik anak perusahaan Pertamina maupun anak perusahaan PGN. Integrasi itu dapat dikelompokkan ke dalam kesamaan kluster usaha di sektor hulu, midterm, dan hilir. Saka, anak perusahaan PGN yang punya usaha di sektor hulu, dapat diakuisisi oleh PT Pertamina EP yang punya usaha sejenis.

Demikian juga dengan anak-anak perusahaan lainnya mempunyai kesamaan usaha juga harus segera diintegrasikan melalui merger dan/atau akuisisi. Setelah proses integrasi seluruh BUMN Migas terjadi menyeluruh, pada saat itulah dibentuk perusahaan induk holding BUMN Migas.

Opsinya bisa menunjuk Pertamina sebagai perusahaan induk holding BUMN Migas, sedangkan PGN dan BUMN Migas lainnya menjadi anak perusahaan. Alternatifnya, dibentuk perusahaan baru yang bertindak sebagai perusahaan induk holding migas. Perusahaan induk itu akan membawahi seluruh BUMN Migas, termasuk Pertamina dan PGN.

Kalau dipaksakan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan induk holding dikhawatirkan justru akan memberatkan Pertamina. Pasalnya, Pertamina harus menjadi perusahaan induk holding sekaligus sebagai pelaku bisnis migas di sektor hulu, midterm, dan hilir, sebagai anak perusahaan.

Belum lagi, Pertamina masih harus menjalankan penugasan distribusi BBM dan pelaksanaan kebijakan BBM Satu Harga. Alternatif pembentukan perusahaan baru akan lebih baik ketimbang menunjuk Pertamina sebagai induk holding BUMN Migas.

Kepemilikan saham perusahaan induk holding migas itu harus 100% dikuasai negara. Sedangkan anak-anak perusahaan, termasuk Pertamina dan PGN, diperbolehkan menjual saham di pasar modal. Maksimal share down sebesar 49% saham sehingga mayoritas kepemilikan saham tetap dikuasai BUMN Migas.

Tanpa diawali dengan tahapan integrasi seluruh BUMN Migas melalui pendekatan bottom up, jangan harap bisa membentuk holding migas yang efisien dan kompetitif serta memberikan nilai tambah optimal bagi negeri ini. Dengan memaksakan pendekatan top down melalui skema inbreng, publik akan menilai bahwa pembentukan holding migas hanya semata-mata memuluskan jalan bagi Pertamina untuk mencaplok PGN belaka.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3323 seconds (0.1#10.140)