Membongkar Kebohongan Profesi
A
A
A
Mohamad Sobary
Budayawan
Kebohongan sering melahirkan kebohongan. Dan, kebohongan yang baru lahir itu pun melahirkan pula kebohongan generasi berikutnya. Begitu seterusnya. Ini rangkaian panjang kebohongan untuk menyelamatkan kebohongan pertama tadi.
Ini terjadi di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari kita. Di pengadilan dan di penjara, banyak kita temukan corak kebohongan ini. Pengadilan tak selalu ada hubungannya dengan keadilan.
Tapi jangan salah. Di birokrasi pemerintahan, di parlemen, di partai politik, di dunia kedokteran, pendidikan, di wilayah penegakan hukum, dengan segenap aparat dan para ahli hukumnya, maupun dalam kehidupan rohani dan para rohaniwannya, banyak sekali kebohongan yang belum terungkap. Kita menginginkan agar semuanya terungkap demi keadilan yang merata, adil bagi siapa saja.
Di negara hukum yang mensyaratkan segala hal harus transparan, tak boleh ada yang sembunyi-sembunyi atau disembunyikan. Ini watak durhaka bukan hanya kepada hukum tapi juga pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kalau ada pihak yang ingin tidak adil sekaligus tidak beradab? Dalam tata kehidupan bernegara hal itu tidak mungkin. Tapi apakah sebabnya setiap watak durhaka yang tidak adil dan tidak beradab itu praktiknya selalu ada? Mungkin karena di tengah kita banyak orang yang ingin merusak kehidupan kenegaraan kita. Mungkin banyak di antara kita yang hatinya rusak dan tak bisa bersikap adil. Mungkin banyak di antara kita yang tidak beradab.
Contoh buruk sekali kejahatan besar, yakni penjahatnya tak mau diperlakukan dengan keadilan hukum dan memilih keadilan bagi dirinya sendiri. Koruptor besar yang sudah kaya raya sejak dulu, maunya menempuh jalan adil sesuai cita rasanya sendiri. Kejahatannya sebagai koruptor ingin ditutupi dengan aneka macam kebohongan.
Satu kebohongan dibuat, kebohongan lainnya harus menyempurnakannya, dan kejahatan berikutnya lagi terus-menerus diproduksi tak henti-hentinya hingga wajahnya begitu jelas merupakan wakil kejahatan yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
Penjahat luar biasa yang merusak kemanusiaan itu masih dibantu oleh ahli hukum yang membelanya. Apakah pembela harus juga menjadi penjahat setara penjahat yang dibelanya? Sejak awal terasa, pembelanya bohong besar. Ungkapan-ungkapan pembelaannya serba superlatif, gede, bombastis dan terasa kosong. Kita tidak enak menyaksikannya, tapi tak bisa berbuat sesuatu biarpun kita tahu kebenaran dan keadilan yang kita hormati diinjak-injak pembohong itu.
Ketika dalam suatu acara dialog di televisi, dia diprotes banyak kalangan, dengan enaknya dia berbohong bahwa itu soal gaya, bahwa dirinya orang Surabaya yang gayanya memang begitu. Tidak bisa dia berbohong di sini. Gaya hanyalah gaya. Sebuah fenomena bisa diungkapkan dengan gaya Surabaya, gaya Yogya, gaya Minang, gaya Batak.
Gaya boleh lembut, boleh keras, boleh menghentak, tapi di dunia ilmu bahasa gaya tak mencampuri isi. Gaya hanya kulit. Mengikuti kasus kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, kita sudah merasa muak. Apalagi, pembelanya tampil tak kalah memuakkan.
Betapa rusak tata kehidupan hukum karena ulah klien dan pembelanya. Kita tak pernah tahu siapa saja dan berapa banyak kasus yang dibela para pembela dengan kualitas moral-hukumnya begitu rendah. Inilah seorang ahli hukum yang merusak sendiri dunia hukum tempat dia mencari sandang pangan dan profesinya.
Sikapnya yang sok pamer kekayaan maupun kegemarannya pada kemewahan, sama sekali tidak etis. Banyak orang muak melihat tingkahnya. Biasanya orang seperti ini bukan keluarga kaya sejak dulu. Boleh jadi ini fenomena orang kaya baru, kaya karena profesi dan kita diberi tahu, profesi yang luhur itu dirusak dengan aneka macam cara berbohong yang akhirnya tak lagi mampu bertahan. Barang busuk selalu berbau dan bau itu yang menunjukkan dia ada di mana.
Ahli hukum terkemuka kita, Yap Thiam Hien, selalu bertanya pada calon kliennya: kau ingin menang apa ingin aku buktikan bahwa kau benar? Dan jika kliennya menjawab ingin menang, ahli yang jiwanya diliputi watak adil dan beradab itu tak sudi membelanya. Ibaratnya dia tak keberatan calon klien itu menjadi pembela yang lain di neraka sana.
Tapi bagi klien yang ingin dibuktikan dirinya benar, Tuan Yap yang mulia itu akan bekerja mati-matian sampai kebenaran kliennya diakui di pengadilan. Artinya, pihak yang mengejar kebenaran itu menjadi pemenang dalam kontes memperebutkan keadilan hukum. Pembela yang bohong jelas berkebalikan dari itu.
Hukum dihancurluluhkan dengan praktik buruk dengan warna kebohongan yang meremehkan tuntutan rasa keadilan umum. Sikap itu juga merendahkan nalar sehat seluruh bangsa seolah hanya dia yang tahu akan kebenaran.
Tapi kejahatannya terungkap dan pelakunya sudah ditangkap. Kalau bisa, akan baik sekali dia belajar dari pengalaman bahwa dirinya bukan apa-apa. Kalau dia mau. Kalau tidak, itu juga baik bagi kita karena yang harus ditangkap sudah ditangkap.
Kalau profesi hukum terlalu dekat dengan debat mendebat tentang kebenaran, terutama kebenaran hukum, dan seorang pembela tergoda berbuat tak senonoh secara profesional, apa yang harus kita lakukan? Kita memahami kompleksitas persoalannya, tapi tak mungkin kita mau membenarkannya. Kejahatan harus ditangkap dan diberi pelajaran seperlunya. Ini keadilan hukum yang kita dambakan.
Bagaimana tiba-tiba ada dokter yang terlibat dalam kasus kejahatan ini? Kalau dokter mengalami musibah karena “malapraktik” kita tahu keruwetan dunia kedokteran. Malapraktik merupakan sebuah kesalahan yang merugikan pasien dan dirinya sendiri maupun masyarakat secara umum.
Ini musibah yang masih bisa menimbulkan empati banyak kalangan. Tapi kalau seorang dokter terlibat dalam sebuah persekongkolan jahat, tindakannya jelas dianggap kejahatan. Dalam kategori itu, dia sendiri dianggap jahat.
Negara sedang sibuk menegakkan hukum dan mengadili kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, dunia kedokteran jelas memberi bantuan penting, tapi mengapa ada pula individu dokter yang berbuat sebaliknya? Duitkah yang bermain di balik layar sehingga seorang dokter swasta tergiur melihatnya? Berapakah jumlah duit yang menggiurkan itu? Kalau hanya sedikit jumlahnya, mengapa seorang dokter bisa terjebak? Kalau jumlahnya banyak, apa duit itukah yang dicari seorang dokter yang harus menjaga nama baiknya, nama baik lembaganya, nama baik profesinya? Duit hanya kertas. Duit bisa hilang, bisa terbakar, bisa dirampok.
Mengapa tak memilih menjaga baik yang tak bisa dirampok dan tak mungkin habis? Apakah dunia kedokteran terutama rumah sakit yang kapitalistik itu yang telah meracuni kehidupan profesinya? Apakah duit di atas segalanya sehingga sebuah profesi mahal dan terhormat dipertaruhkannya? Ini persoalan yang kita hadapi. Kita lahir tak berdaya dan hanya bisa mengikuti gerak uang hanya karena banyak orang menempuh hidup seperti itu?
Kalau orang lain begitu, mengapa kita harus juga begitu? Menjadi pembela ditangkap penegak hukum karena menghalangi proses pengadilan, mungkin masih kelihatan ada kaitan logis dengan tugasnya.
Kalau seorang dokter ditangkap penegak hukum karena terlibat urusan mempersulit penegakan hukum, apa hubungan dengan profesi kedokteran? Karena dia dokter dan harus melindungi pasien? Kalau pasiennya itu kere “mlekete “ dan melarat, apa dia akan dibela juga? Bukankah untuk bisa masuk ke kamar saja begitu sulitnya sehingga tak mungkin dia dilayani?
Hukum itu profesimu, milikmu, dan jangan dirusak. Kedokteran bukan profesiku dan bukan milikku, tapi jangan pula dirusak. Jika itu dilakukan, penegak hukum akan membongkarnya habis-habisan dan penjahatnya dibekuk. Kejahatan tak boleh dibiarkan merajalela.
Budayawan
Kebohongan sering melahirkan kebohongan. Dan, kebohongan yang baru lahir itu pun melahirkan pula kebohongan generasi berikutnya. Begitu seterusnya. Ini rangkaian panjang kebohongan untuk menyelamatkan kebohongan pertama tadi.
Ini terjadi di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari kita. Di pengadilan dan di penjara, banyak kita temukan corak kebohongan ini. Pengadilan tak selalu ada hubungannya dengan keadilan.
Tapi jangan salah. Di birokrasi pemerintahan, di parlemen, di partai politik, di dunia kedokteran, pendidikan, di wilayah penegakan hukum, dengan segenap aparat dan para ahli hukumnya, maupun dalam kehidupan rohani dan para rohaniwannya, banyak sekali kebohongan yang belum terungkap. Kita menginginkan agar semuanya terungkap demi keadilan yang merata, adil bagi siapa saja.
Di negara hukum yang mensyaratkan segala hal harus transparan, tak boleh ada yang sembunyi-sembunyi atau disembunyikan. Ini watak durhaka bukan hanya kepada hukum tapi juga pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kalau ada pihak yang ingin tidak adil sekaligus tidak beradab? Dalam tata kehidupan bernegara hal itu tidak mungkin. Tapi apakah sebabnya setiap watak durhaka yang tidak adil dan tidak beradab itu praktiknya selalu ada? Mungkin karena di tengah kita banyak orang yang ingin merusak kehidupan kenegaraan kita. Mungkin banyak di antara kita yang hatinya rusak dan tak bisa bersikap adil. Mungkin banyak di antara kita yang tidak beradab.
Contoh buruk sekali kejahatan besar, yakni penjahatnya tak mau diperlakukan dengan keadilan hukum dan memilih keadilan bagi dirinya sendiri. Koruptor besar yang sudah kaya raya sejak dulu, maunya menempuh jalan adil sesuai cita rasanya sendiri. Kejahatannya sebagai koruptor ingin ditutupi dengan aneka macam kebohongan.
Satu kebohongan dibuat, kebohongan lainnya harus menyempurnakannya, dan kejahatan berikutnya lagi terus-menerus diproduksi tak henti-hentinya hingga wajahnya begitu jelas merupakan wakil kejahatan yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
Penjahat luar biasa yang merusak kemanusiaan itu masih dibantu oleh ahli hukum yang membelanya. Apakah pembela harus juga menjadi penjahat setara penjahat yang dibelanya? Sejak awal terasa, pembelanya bohong besar. Ungkapan-ungkapan pembelaannya serba superlatif, gede, bombastis dan terasa kosong. Kita tidak enak menyaksikannya, tapi tak bisa berbuat sesuatu biarpun kita tahu kebenaran dan keadilan yang kita hormati diinjak-injak pembohong itu.
Ketika dalam suatu acara dialog di televisi, dia diprotes banyak kalangan, dengan enaknya dia berbohong bahwa itu soal gaya, bahwa dirinya orang Surabaya yang gayanya memang begitu. Tidak bisa dia berbohong di sini. Gaya hanyalah gaya. Sebuah fenomena bisa diungkapkan dengan gaya Surabaya, gaya Yogya, gaya Minang, gaya Batak.
Gaya boleh lembut, boleh keras, boleh menghentak, tapi di dunia ilmu bahasa gaya tak mencampuri isi. Gaya hanya kulit. Mengikuti kasus kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, kita sudah merasa muak. Apalagi, pembelanya tampil tak kalah memuakkan.
Betapa rusak tata kehidupan hukum karena ulah klien dan pembelanya. Kita tak pernah tahu siapa saja dan berapa banyak kasus yang dibela para pembela dengan kualitas moral-hukumnya begitu rendah. Inilah seorang ahli hukum yang merusak sendiri dunia hukum tempat dia mencari sandang pangan dan profesinya.
Sikapnya yang sok pamer kekayaan maupun kegemarannya pada kemewahan, sama sekali tidak etis. Banyak orang muak melihat tingkahnya. Biasanya orang seperti ini bukan keluarga kaya sejak dulu. Boleh jadi ini fenomena orang kaya baru, kaya karena profesi dan kita diberi tahu, profesi yang luhur itu dirusak dengan aneka macam cara berbohong yang akhirnya tak lagi mampu bertahan. Barang busuk selalu berbau dan bau itu yang menunjukkan dia ada di mana.
Ahli hukum terkemuka kita, Yap Thiam Hien, selalu bertanya pada calon kliennya: kau ingin menang apa ingin aku buktikan bahwa kau benar? Dan jika kliennya menjawab ingin menang, ahli yang jiwanya diliputi watak adil dan beradab itu tak sudi membelanya. Ibaratnya dia tak keberatan calon klien itu menjadi pembela yang lain di neraka sana.
Tapi bagi klien yang ingin dibuktikan dirinya benar, Tuan Yap yang mulia itu akan bekerja mati-matian sampai kebenaran kliennya diakui di pengadilan. Artinya, pihak yang mengejar kebenaran itu menjadi pemenang dalam kontes memperebutkan keadilan hukum. Pembela yang bohong jelas berkebalikan dari itu.
Hukum dihancurluluhkan dengan praktik buruk dengan warna kebohongan yang meremehkan tuntutan rasa keadilan umum. Sikap itu juga merendahkan nalar sehat seluruh bangsa seolah hanya dia yang tahu akan kebenaran.
Tapi kejahatannya terungkap dan pelakunya sudah ditangkap. Kalau bisa, akan baik sekali dia belajar dari pengalaman bahwa dirinya bukan apa-apa. Kalau dia mau. Kalau tidak, itu juga baik bagi kita karena yang harus ditangkap sudah ditangkap.
Kalau profesi hukum terlalu dekat dengan debat mendebat tentang kebenaran, terutama kebenaran hukum, dan seorang pembela tergoda berbuat tak senonoh secara profesional, apa yang harus kita lakukan? Kita memahami kompleksitas persoalannya, tapi tak mungkin kita mau membenarkannya. Kejahatan harus ditangkap dan diberi pelajaran seperlunya. Ini keadilan hukum yang kita dambakan.
Bagaimana tiba-tiba ada dokter yang terlibat dalam kasus kejahatan ini? Kalau dokter mengalami musibah karena “malapraktik” kita tahu keruwetan dunia kedokteran. Malapraktik merupakan sebuah kesalahan yang merugikan pasien dan dirinya sendiri maupun masyarakat secara umum.
Ini musibah yang masih bisa menimbulkan empati banyak kalangan. Tapi kalau seorang dokter terlibat dalam sebuah persekongkolan jahat, tindakannya jelas dianggap kejahatan. Dalam kategori itu, dia sendiri dianggap jahat.
Negara sedang sibuk menegakkan hukum dan mengadili kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, dunia kedokteran jelas memberi bantuan penting, tapi mengapa ada pula individu dokter yang berbuat sebaliknya? Duitkah yang bermain di balik layar sehingga seorang dokter swasta tergiur melihatnya? Berapakah jumlah duit yang menggiurkan itu? Kalau hanya sedikit jumlahnya, mengapa seorang dokter bisa terjebak? Kalau jumlahnya banyak, apa duit itukah yang dicari seorang dokter yang harus menjaga nama baiknya, nama baik lembaganya, nama baik profesinya? Duit hanya kertas. Duit bisa hilang, bisa terbakar, bisa dirampok.
Mengapa tak memilih menjaga baik yang tak bisa dirampok dan tak mungkin habis? Apakah dunia kedokteran terutama rumah sakit yang kapitalistik itu yang telah meracuni kehidupan profesinya? Apakah duit di atas segalanya sehingga sebuah profesi mahal dan terhormat dipertaruhkannya? Ini persoalan yang kita hadapi. Kita lahir tak berdaya dan hanya bisa mengikuti gerak uang hanya karena banyak orang menempuh hidup seperti itu?
Kalau orang lain begitu, mengapa kita harus juga begitu? Menjadi pembela ditangkap penegak hukum karena menghalangi proses pengadilan, mungkin masih kelihatan ada kaitan logis dengan tugasnya.
Kalau seorang dokter ditangkap penegak hukum karena terlibat urusan mempersulit penegakan hukum, apa hubungan dengan profesi kedokteran? Karena dia dokter dan harus melindungi pasien? Kalau pasiennya itu kere “mlekete “ dan melarat, apa dia akan dibela juga? Bukankah untuk bisa masuk ke kamar saja begitu sulitnya sehingga tak mungkin dia dilayani?
Hukum itu profesimu, milikmu, dan jangan dirusak. Kedokteran bukan profesiku dan bukan milikku, tapi jangan pula dirusak. Jika itu dilakukan, penegak hukum akan membongkarnya habis-habisan dan penjahatnya dibekuk. Kejahatan tak boleh dibiarkan merajalela.
(nag)