Membongkar Kebohongan Profesi

Sabtu, 20 Januari 2018 - 07:46 WIB
Membongkar Kebohongan...
Membongkar Kebohongan Profesi
A A A
Mohamad Sobary
Budayawan

Kebohongan sering me­la­hirkan kebohongan. Dan, kebohongan yang baru lahir itu pun melahirkan pula kebohongan generasi beri­kutnya. Begitu seterusnya. Ini rangkaian panjang kebohongan untuk menyelamatkan kebo­hong­an pertama tadi.

Ini terjadi di mana-mana dalam kehi­dup­an sehari-hari kita. Di peng­adilan dan di penjara, banyak kita temukan corak kebo­hong­an ini. Pengadilan tak selalu ada hubungannya dengan keadilan.

Tapi jangan salah. Di bi­ro­krasi pemerintahan, di par­le­men, di partai politik, di dunia ke­dokteran, pendidikan, di wi­layah penegakan hukum, de­ngan segenap aparat dan para ahli hukumnya, maupun dalam kehidupan rohani dan para ro­haniwannya, banyak sekali ke­bohongan yang belum ter­ung­kap. Kita menginginkan agar semuanya terungkap demi ke­adilan yang merata, adil bagi sia­pa saja.

Di negara hukum yang mensyaratkan segala hal harus transparan, tak boleh ada yang sem­bunyi-sembunyi atau di­sem­bunyikan. Ini watak dur­ha­ka bukan hanya kepada hukum tapi juga pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kalau ada pihak yang ingin tidak adil sekaligus tidak ber­adab? Dalam tata kehidupan ber­negara hal itu tidak mung­kin. Tapi apakah sebabnya se­tiap watak durhaka yang tidak adil dan tidak beradab itu prak­tiknya selalu ada? Mungkin ka­rena di tengah kita banyak orang yang ingin merusak ke­hidupan kenegaraan kita. Mung­kin ba­nyak di antara kita yang hatinya rusak dan tak bisa bersikap adil. Mungkin banyak di antara kita yang tidak beradab.

Contoh buruk sekali keja­hat­an besar, yakni penjahatnya tak mau diperlakukan dengan keadilan hukum dan memilih keadilan bagi dirinya sendiri. Koruptor besar yang sudah kaya raya sejak dulu, maunya me­nem­puh jalan adil sesuai cita ra­sa­nya sendiri. Kejahatannya se­bagai koruptor ingin ditutupi de­ngan aneka macam kebo­ho­ngan.

Satu kebohongan dibuat, kebohongan lainnya harus me­nyempurnakannya, dan ke­ja­hat­an berikutnya lagi terus-me­nerus diproduksi tak henti-hentinya hingga wajahnya be­gitu jelas merupakan wakil ke­ja­hatan yang tak bisa dibiarkan begitu saja.

Penjahat luar bia­sa yang me­rusak ke­ma­nu­siaan itu masih dibantu oleh ahli hu­kum yang mem­be­la­nya. Apakah pembela harus juga men­jadi penjahat se­tara pen­jahat yang di­be­lanya? Sejak awal te­ra­sa, pem­belanya bo­hong besar. Ungkapan-ung­­­­kapan pem­be­la­an­nya serba su­per­latif, ge­de, bombastis dan te­rasa kosong. Kita tidak enak me­nyaksikannya, tapi tak bisa ber­buat se­sua­tu biarpun kita tahu ke­be­naran dan ke­adilan yang kita hormati di­injak-injak pem­bo­hong itu.

Ketika dalam suatu acara dia­log di televisi, dia diprotes ba­nyak kalangan, dengan enak­nya dia berbohong bahwa itu soal gaya, bahwa dirinya orang Su­rabaya yang gayanya me­mang begitu. Tidak bisa dia ber­bohong di sini. Gaya hanyalah gaya. Sebuah fenomena bisa di­ungkapkan dengan gaya Su­ra­baya, gaya Yogya, gaya Minang, gaya Batak.

Gaya boleh lembut, boleh keras, boleh menghentak, tapi di dunia ilmu bahasa gaya tak mencampuri isi. Gaya hanya kulit. Mengikuti kasus ke­ja­hat­an luar biasa terhadap ke­ma­nu­siaan, kita sudah merasa muak. Apalagi, pembelanya tampil tak kalah memuakkan.

Betapa ru­sak tata kehidupan hukum ka­rena ulah klien dan pem­be­la­nya. Kita tak pernah tahu siapa saja dan berapa banyak kasus yang dibela para pembela de­ngan kualitas moral-hukumnya begitu rendah. Inilah seorang ahli hukum yang merusak sen­diri dunia hukum tempat dia men­cari sandang pangan dan pro­fesinya.

Sikapnya yang sok pamer ke­kayaan maupun kegemarannya pada kemewahan, sama sekali ti­dak etis. Banyak orang muak me­li­hat tingkahnya. Biasanya orang se­perti ini bukan keluarga kaya se­jak dulu. Boleh jadi ini fe­no­me­na orang kaya baru, kaya karena profesi dan kita diberi tahu, profesi yang luhur itu di­rusak de­ngan aneka macam cara ber­bo­hong yang akhirnya tak lagi mam­pu bertahan. Ba­rang busuk se­lalu berbau dan bau itu yang menunjukkan dia ada di mana.

Ahli hukum terkemuka kita, Yap Thiam Hien, selalu ber­ta­nya pada calon kliennya: kau ingin menang apa ingin aku buk­tikan bahwa kau benar? Dan jika kliennya menjawab ingin menang, ahli yang jiwanya di­li­puti watak adil dan beradab itu tak sudi membelanya. Ibarat­nya dia tak keberatan calon klien itu menjadi pembela yang lain di neraka sana.

Tapi bagi klien yang ingin di­buk­­tikan dirinya benar, Tuan Yap yang mulia itu akan bekerja mati-matian sampai kebenaran klien­nya diakui di pengadilan. Ar­ti­nya, pihak yang mengejar ke­be­na­ran itu menjadi peme­nang da­lam kon­tes mem­pe­re­but­kan ke­adil­an hu­kum. Pem­bela yang bo­hong jelas ber­ke­balikan dari itu.

Hukum dihancurluluhkan de­ngan prak­tik buruk dengan war­na ke­bo­ho­ngan yang me­re­meh­kan tun­tut­an rasa keadilan umum. Sikap itu juga meren­dah­kan nalar sehat seluruh bang­sa seolah hanya dia yang ta­hu akan kebenaran.

Tapi ke­ja­hat­annya ter­ung­kap dan pe­la­ku­nya su­dah ditang­kap. K­alau bisa, akan baik se­kali dia be­lajar dari pe­nga­laman bah­wa diri­nya bukan apa-apa. Kalau dia mau. Kalau ti­dak, itu juga baik ba­gi kita karena yang ha­rus di­tang­kap sudah di­tang­kap.

Kalau profesi hu­kum terlalu dekat de­ngan debat mendebat ten­tang kebenaran, te­rutama kebenaran hu­­kum, dan seorang pem­bela tergoda ber­buat tak se­nonoh se­cara pro­fe­sio­nal, apa yang harus kita laku­kan? Kita me­ma­hami kompleksitas per­soal­annya, tapi tak mungkin kita mau membe­nar­kannya. Kejahatan harus di­tang­kap dan diberi pela­jaran seperlunya. Ini keadilan hukum yang kita dam­bakan.

Bagaimana tiba-tiba ada dok­ter yang terlibat dalam ka­sus kejahatan ini? Kalau dokter mengalami musibah karena “malapraktik” kita tahu ke­ru­wet­an dunia kedokteran. Mala­praktik merupakan sebuah ke­sa­lahan yang merugikan pasien dan dirinya sendiri maupun ma­syarakat secara umum.

Ini mu­si­bah yang masih bisa me­nim­bulkan empati banyak ka­la­ng­an. Tapi kalau seorang dokter ter­libat dalam sebuah perse­kong­kolan jahat, tindakannya jelas dianggap kejahatan. Da­lam kategori itu, dia sendiri di­anggap jahat.

Negara sedang sibuk me­ne­gakkan hukum dan mengadili kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, dunia kedok­ter­an jelas memberi bantuan pen­ting, tapi mengapa ada pula in­dividu dokter yang berbuat se­baliknya? Duitkah yang ber­main di balik layar sehingga se­orang dokter swasta tergiur me­lihatnya? Be­ra­­pakah jumlah duit yang meng­giurkan itu? Ka­lau hanya sedikit jumlahnya, me­ngapa seorang dokter bisa ter­jebak? Kalau jum­lahnya ba­nyak, apa duit itukah yang dicari seorang dokter yang harus menjaga nama baiknya, nama baik lembaganya, nama baik profesinya? Duit hanya ker­tas. Duit bisa hilang, bisa ter­bakar, bisa dirampok.

Mengapa tak memilih men­jaga baik yang tak bisa dirampok dan tak mungkin habis? Apakah dunia kedokteran terutama ru­mah sakit yang kapitalistik itu yang telah meracuni kehidupan profesinya? Apakah duit di atas segalanya sehingga sebuah pro­fesi mahal dan terhormat di­per­ta­ruhkannya? Ini persoalan yang kita hadapi. Kita lahir tak berdaya dan hanya bisa meng­ikuti gerak uang hanya karena banyak orang menempuh hidup seperti itu?

Kalau orang lain begitu, me­ngapa kita harus juga begitu? Menjadi pembela ditangkap penegak hukum karena meng­ha­langi proses pengadilan, mung­­kin masih kelihatan ada kaitan logis dengan tugasnya.

Kalau seorang dokter ditang­kap penegak hukum karena ter­libat urusan mempersulit pe­ne­gakan hukum, apa hubungan de­ngan profesi kedokteran? Ka­rena dia dokter dan harus me­lindungi pasien? Kalau pa­si­en­nya itu kere “mlekete “ dan me­larat, apa dia akan dibela juga? Bukankah untuk bisa masuk ke kamar saja begitu sulitnya se­hingga tak mungkin dia di­layani?

Hukum itu profesimu, mi­likmu, dan jangan dirusak. Ke­dok­teran bukan profesiku dan bukan milikku, tapi jangan pula di­rusak. Jika itu dilakukan, pe­negak hukum akan mem­bong­karnya habis-habisan dan pen­ja­hatnya dibekuk. Kejahatan tak boleh dibiarkan merajalela.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0497 seconds (0.1#10.140)