Kegaduhan di Awal Tahun Politik
A
A
A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia dan
Dosen Politik UIN Jakarta
BARU saja kita meninggalkan tahun 2017 yang penuh gejolak dan luka politik mendalam efek dari Pilkada DKI Jakarta. Luka yang hingga saat ini belum sepenuhnya terobati dan mengakibatkan fragmentasi politik kian ekstrem pada kutub yang saling mengeras.
Di berbagai wilayah rakyat terbelah karena pilihan politik berbeda.
Di awal tahun politik kegaduhan terjadi secara paralel. Di Jawa Barat, PKS bersitegang dengan Partai Demokrat karena meninggalkan perkongsian dengan calon gubernur Deddy Mizwar. Begitu pun riuh rendah Partai Golkar yang mencabut dukungan dari Ridwan Kamil.
Di Kalimantan Timur Partai Demokrat curhat kandidatnya dikriminalisasi partai politik (parpol) tertentu. Sementara Di Jawa Timur, mantan calon wakil gubernur Azwar Anas diserang isu skandal “foto panas”. Teranyar soal nyanyian La Nyalla Mattalitti tentang mahar politik yang diminta Partai Gerindra.
Kini, kita memasuki tahun politik 2018 yang sesungguhnya. Sebuah tahun serba gaduh yang dibarengi dengan begitu banyak aktivitas demokrasi elektoral pilkada serentak di 171 wilayah. Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik karena sejak awal Januari hingga pertengahan Juni, semua kontestan, parpol, tim sukses, serta relawan berjibaku dengan beragam agitasi dan propaganda pemenangan. Itu artinya, selama 6 bulan ke depan, kita akan dijejali dengan ingar-bingar hajatan politik yang penuh intrik.
Pada saat bersamaan, di tahun ini pula, tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah dimulai. Dari awal Maret hingga Agustus semua parpol dihadapkan pada situasi sibuk menghadapi tahapan pemilu serentak.
Mulai dari pengumuman parpol peserta pemilu, pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD, dan DPD hingga persiapan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres). Sementara di awal September, KPU akan menetapkan capres dan cawapres.
Inilah tahun politik yang mahadahsyat dalam sejarah politik kita. Jadwal serta tahapan pilkada dan pemilu serentak berlangsung secara berhimpitan. Tentu kita berharap, tahun politik kali ini bukan semata ritual prosedur demokrasi namun minim pemimpin baru berkualitas yang bisa memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat.
Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menegaskan bahwa demokrasi prosedural merupakan mekanisme memilih pemimpin secara periodik yang menekankan aspek keterbukaan, partisipasi, dan kompetisi. Cara ini dianggap ampuh melahirkan pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Modal Sosial dan Politik
Kontestasi elektoral di tahun politik tentu makin panas di tengah trauma merebaknya wabah efek Pilkada DKI Jakarta yang terus menghantui. Sebab itu, tahun politik kali ini harus disongsong dengan kekuatan modal sosial dan politik sebagai fundamen utama mengonsolidasi demokrasi.
Robert Putnam dalam Making Democracy Work (1993) menyebut modal sosial sebagai rasa simpati, keinginan baik, persahabatan, serta sikap saling percaya pada orang lain yang pada galibnya membentuk budaya politik toleran dan menjunjung tinggi pluralisme.
Pilkada DKI Jakarta memberi banyak pelajaran penting betapa rasa simpati, persahabatan, dan interpersonal trust tercerabut dari akar budaya politik kita. Padahal, sikap empati penuh persahabatan mendarah daging dalam cita-cita luhur bangsa. Tahun politik kali ini harus menanggalkan tradisi lama sembari menawarkan satu alternatif politik yang lebih beradab.
Pada saat bersamaan, kita juga memiliki modal politik cukup kuat yakni kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Kemajuan demokrasi Indonesia sejauh ini disebabkan oleh budaya politik umat Islam yang mengedepankan sikap moderat, inklusif, dan toleran.
Di Indonesia, sejak lama demokrasi bersemai indah di tengah mayoritas komunitas Islam. Berulang kali pilpres, pileg, dan pilkada semunya berjalan damai meski banyak celah yang harus dibenahi.
Namun secara umum, sustainabilitas demokrasi sejauh ini sangat dipengaruhi oleh sikap politik umat Islam yang mengedepankan budaya toleran dan menjunjung tinggi pluralisme. Bisa dilacak, pasca-Reformasi nyaris tak ada pertumpahan darah akibat kontestasi elektoral. Jikapun terjadi letupan, hal itu masih dalam batas kewajaran sebagai sebuah bangsa yang baru terbebas dari otoritarianisme Orde Baru. Itu artinya umat Islam Indonesia merupakan modal politik sempurna untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Praktik demokrasi yang tumbuh subur ini sekaligus menjungkalkan klaim ketidaksesuaian demokrasi dengan Islam. Meski dalam hal tertentu nilai-nilai Islam dan demokrasi saling bertabrakan namun bisa berjalan seiring.
Modal sosial dan politik inilah yang kemudian menjadi bekal menghadapi tahun politik yang kian aktual. Politik sejatinya dimaknai perkara biasa saja tanpa harus saling menegasi. Politik adalah seni menciptakan kebaikan bersama demi terciptanya masyarakat yang adil makmur.
Optimistis
Tahun politik mesti dimaknai sebagai tahun penuh optimisme guna memilih pemimpin transformatif yang bisa mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam kubangan demokrasi prosedural yang hanya mementingkan suksesi seremonial namun abai terhadap pemimpin berkualitas pro rakyat.
Inilah paradoks demokrasi kita saat ini. Di tengah keberlimpahan demokrasi yang kian tumbuh mekar tapi sulit mencari pemimpin yang rela berkorban sepenuh demi rakyat. Begitu banyak kepala daerah hasil pilkada yang hanya berakhir di penjara akibat korupsi, menyuburkan praktik politik dinasti, serta menjamurnya kekuasaan oligarkis.
Kinilah saatnya membamngun politik sebagai kebaikan bersama untuk rakyat. Pilkada serentak kali ini harus dijadikan momentum memilih pemimpin dengan narasi besar membangun demokrasi yang sehat dengan komitmen menuntaskan persoalan rakyat seperti kemiskinan dan kesejahteraan.
Pada saat bersamaan, kita juga harus belajar banyak dari pembelahan politik akibat pilkada Jakarta. Perang opini, saling fitnah, industri hoax, serta ujaran kebencian menjadi menu keseharian yang menggerus mental model toleran.
Tentu saja kita tak mau seperti keledai jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Cukup sudah kita dengan pilkada prosedural tanpa substansi. Saatnya memilih pemimpin populis memperjuangkan rakyat. Mari kita akhiri fragmentasi politik akibat politisasi SARA, kampanye hitam, dan ujaran kebencian yang mengakibatkan rakyat terbelah.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia dan
Dosen Politik UIN Jakarta
BARU saja kita meninggalkan tahun 2017 yang penuh gejolak dan luka politik mendalam efek dari Pilkada DKI Jakarta. Luka yang hingga saat ini belum sepenuhnya terobati dan mengakibatkan fragmentasi politik kian ekstrem pada kutub yang saling mengeras.
Di berbagai wilayah rakyat terbelah karena pilihan politik berbeda.
Di awal tahun politik kegaduhan terjadi secara paralel. Di Jawa Barat, PKS bersitegang dengan Partai Demokrat karena meninggalkan perkongsian dengan calon gubernur Deddy Mizwar. Begitu pun riuh rendah Partai Golkar yang mencabut dukungan dari Ridwan Kamil.
Di Kalimantan Timur Partai Demokrat curhat kandidatnya dikriminalisasi partai politik (parpol) tertentu. Sementara Di Jawa Timur, mantan calon wakil gubernur Azwar Anas diserang isu skandal “foto panas”. Teranyar soal nyanyian La Nyalla Mattalitti tentang mahar politik yang diminta Partai Gerindra.
Kini, kita memasuki tahun politik 2018 yang sesungguhnya. Sebuah tahun serba gaduh yang dibarengi dengan begitu banyak aktivitas demokrasi elektoral pilkada serentak di 171 wilayah. Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik karena sejak awal Januari hingga pertengahan Juni, semua kontestan, parpol, tim sukses, serta relawan berjibaku dengan beragam agitasi dan propaganda pemenangan. Itu artinya, selama 6 bulan ke depan, kita akan dijejali dengan ingar-bingar hajatan politik yang penuh intrik.
Pada saat bersamaan, di tahun ini pula, tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah dimulai. Dari awal Maret hingga Agustus semua parpol dihadapkan pada situasi sibuk menghadapi tahapan pemilu serentak.
Mulai dari pengumuman parpol peserta pemilu, pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD, dan DPD hingga persiapan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres). Sementara di awal September, KPU akan menetapkan capres dan cawapres.
Inilah tahun politik yang mahadahsyat dalam sejarah politik kita. Jadwal serta tahapan pilkada dan pemilu serentak berlangsung secara berhimpitan. Tentu kita berharap, tahun politik kali ini bukan semata ritual prosedur demokrasi namun minim pemimpin baru berkualitas yang bisa memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat.
Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menegaskan bahwa demokrasi prosedural merupakan mekanisme memilih pemimpin secara periodik yang menekankan aspek keterbukaan, partisipasi, dan kompetisi. Cara ini dianggap ampuh melahirkan pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Modal Sosial dan Politik
Kontestasi elektoral di tahun politik tentu makin panas di tengah trauma merebaknya wabah efek Pilkada DKI Jakarta yang terus menghantui. Sebab itu, tahun politik kali ini harus disongsong dengan kekuatan modal sosial dan politik sebagai fundamen utama mengonsolidasi demokrasi.
Robert Putnam dalam Making Democracy Work (1993) menyebut modal sosial sebagai rasa simpati, keinginan baik, persahabatan, serta sikap saling percaya pada orang lain yang pada galibnya membentuk budaya politik toleran dan menjunjung tinggi pluralisme.
Pilkada DKI Jakarta memberi banyak pelajaran penting betapa rasa simpati, persahabatan, dan interpersonal trust tercerabut dari akar budaya politik kita. Padahal, sikap empati penuh persahabatan mendarah daging dalam cita-cita luhur bangsa. Tahun politik kali ini harus menanggalkan tradisi lama sembari menawarkan satu alternatif politik yang lebih beradab.
Pada saat bersamaan, kita juga memiliki modal politik cukup kuat yakni kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Kemajuan demokrasi Indonesia sejauh ini disebabkan oleh budaya politik umat Islam yang mengedepankan sikap moderat, inklusif, dan toleran.
Di Indonesia, sejak lama demokrasi bersemai indah di tengah mayoritas komunitas Islam. Berulang kali pilpres, pileg, dan pilkada semunya berjalan damai meski banyak celah yang harus dibenahi.
Namun secara umum, sustainabilitas demokrasi sejauh ini sangat dipengaruhi oleh sikap politik umat Islam yang mengedepankan budaya toleran dan menjunjung tinggi pluralisme. Bisa dilacak, pasca-Reformasi nyaris tak ada pertumpahan darah akibat kontestasi elektoral. Jikapun terjadi letupan, hal itu masih dalam batas kewajaran sebagai sebuah bangsa yang baru terbebas dari otoritarianisme Orde Baru. Itu artinya umat Islam Indonesia merupakan modal politik sempurna untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Praktik demokrasi yang tumbuh subur ini sekaligus menjungkalkan klaim ketidaksesuaian demokrasi dengan Islam. Meski dalam hal tertentu nilai-nilai Islam dan demokrasi saling bertabrakan namun bisa berjalan seiring.
Modal sosial dan politik inilah yang kemudian menjadi bekal menghadapi tahun politik yang kian aktual. Politik sejatinya dimaknai perkara biasa saja tanpa harus saling menegasi. Politik adalah seni menciptakan kebaikan bersama demi terciptanya masyarakat yang adil makmur.
Optimistis
Tahun politik mesti dimaknai sebagai tahun penuh optimisme guna memilih pemimpin transformatif yang bisa mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam kubangan demokrasi prosedural yang hanya mementingkan suksesi seremonial namun abai terhadap pemimpin berkualitas pro rakyat.
Inilah paradoks demokrasi kita saat ini. Di tengah keberlimpahan demokrasi yang kian tumbuh mekar tapi sulit mencari pemimpin yang rela berkorban sepenuh demi rakyat. Begitu banyak kepala daerah hasil pilkada yang hanya berakhir di penjara akibat korupsi, menyuburkan praktik politik dinasti, serta menjamurnya kekuasaan oligarkis.
Kinilah saatnya membamngun politik sebagai kebaikan bersama untuk rakyat. Pilkada serentak kali ini harus dijadikan momentum memilih pemimpin dengan narasi besar membangun demokrasi yang sehat dengan komitmen menuntaskan persoalan rakyat seperti kemiskinan dan kesejahteraan.
Pada saat bersamaan, kita juga harus belajar banyak dari pembelahan politik akibat pilkada Jakarta. Perang opini, saling fitnah, industri hoax, serta ujaran kebencian menjadi menu keseharian yang menggerus mental model toleran.
Tentu saja kita tak mau seperti keledai jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Cukup sudah kita dengan pilkada prosedural tanpa substansi. Saatnya memilih pemimpin populis memperjuangkan rakyat. Mari kita akhiri fragmentasi politik akibat politisasi SARA, kampanye hitam, dan ujaran kebencian yang mengakibatkan rakyat terbelah.
(whb)