Hela Optimisme
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENJELANG tahun-tahun politik yang rawan diwarnai banyak atraksi, pemerintah dan masyarakat harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk lebih arif menangani berbagai situasi. Banyak pihak yang mengkhawatirkan kebijakan pemerintah tidak lagi objektif untuk menangani berbagai kepentingan publik yang lebih luas.
Prasangka ini tidak bisa disalahkan juga, karena memang faktanya banyak pejabat eksekutif dan legislatif dari level pusat hingga daerah yang terjun payung di arena kontestasi politik daerah. Dalam pesta demokrasi tersebut ada pejabat aktif yang mencoba peruntungan dengan menjadi salah satu kandidat kepala daerah.
Termasuk, tidak sedikit pejabat publik lainnya yang terlibat dengan aktif sebagai tim pendukung. Sehingga sangat wajar jika masyarakat merasa ketar-ketir apakah para pejabat tersebut masih tetap bisa fokus melayani masyarakat? Akankah pemilu yang sebentar lagi akan berjalan serempak mampu meminimalisir kegaduhan? Semuanya masih mendebarkan.
Tahun 2018, dianggap sebagai tahun politik yang diidentikkan dengan beraneka macam stigma yang kontennya terkadang cenderung negatif. Warna-warni strategi pemenangan politik juga tidak selamanya dilakukan dengan cara-cara yang sehat.
Akibatnya kasus sengketa, saling tuding kecurangan, hate speech, dan berbagai pola kegaduhan lainnya sulit terlepas dari konstelasi yang ada. Kegaduhan “musiman” seperti inilah yang kiranya dapat merusak stabilitas pembangunan ekonomi nasional. Pemerintah menargetkan untuk terus melanjutkan reformasi kelembagaan yang memang sudah diprogramkan, walaupun di tengah situasi yang seperti ini. Diharapkan juga, bagaimana stakeholders (rakyat dan para wakilnya) sebagai pengawas kinerja pemerintah tidak lengah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pesta politik di tahun ini juga bernilai strategis karena sedikit banyak akan dihubung-hubungkan dengan momentum pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) di tahun 2019. Kita dengan mudah bisa menebak akan banyak politisi yang dengan semangat dan gairah kekuasaan untuk turun gunung ke konstituennya. Selain untuk mensosialisasikan pasangan calon yang akan/sedang diusung partainya, politisi yang hendak bertarung di arena pileg akan melakukan beauty contest untuk mengkampanyekan dirinya sebagai calon legislator.
Sebagai bagian dari proses pelanggengan kekuasaan, mereka bisa saja memanfaatkan akses politiknya terutama melalui kebijakan anggaran untuk menarik simpati masyarakat. Biasanya wahana kebijakan yang paling sering digunakan adalah melalui skema hibah dan/atau bantuan sosial (bansos). Memang tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk melakukan bansos.
Akan tetapi perlu dipertimbangkan juga bagaimana dampak secara komprehensif terhadap masyarakat, termasuk bagaimana perilaku masyarakat terhadap hibah bansos. Pertanyaan terpenting berikutnya apakah program hibah/bansos sudah tepat sasaran? Karena perlu diteliti pula apakah skema hibah/bansos betul-betul menunjang program pengentasan kemiskinan dan ketimpangan dalam jangka panjang? Jangan sampai tujuan mulia dari bansos yang didanai dari kas daerah/negara ditunggangi hanya semata-mata demi meningkatkan popularitas politik. Masyarakat harus dibekali pendidikan politik yang lugas dan praktis agar tidak hanya menjadi tunggangan kepentingan pragmatis segelitintir politisi.
Menjaga Momentum
Optimisme yang kuat tengah digaungkan pemerintah untuk mengurangi kegelisahan masyarakat di tengah masa-masa krusial politik domestik. Pemerintah menjamin bahwa mereka tetap akan fokus melanjutkan reformasi ekonomi tanpa terpengaruh adanya gonjang-ganjing politik. Bahkan pemerintah menangkap peluang adanya kenaikan konsumsi masyarakat seperti halnya yang terjadi pada masa-masa pemilu sebelumnya. Hanya saja pemerintah perlu berhati-hati untuk menjaga prospek investasi yang akhir-akhir ini sedang membaik. Jangan sampai reformasi struktural yang tengah dibangun pemerintah menjadi berantakan di tengah-tengah jalan.
Lembaga rating internasional, yakni Moody’s Investors Service sudah mengingatkan akan pentingnya pengawasan tahun politik terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam pengamatannya, Moody’s menilai beberapa negara di Asia Pasifik seperti Kamboja, Myanmar, Malaysia, India, Pakistan, dan kemungkinannya juga Indonesia bisa menghadapi perlambatan reformasi ekonomi jika pemerintahnya tidak cukup arif mengendalikan dampak perhelatan pilkada. Jika kita kaitkan dengan laporan kondisi investasi yang baru-baru ini disampaikan pemerintah, ada benarnya juga bahwa pemerintah harus tetap fokus melanjutkan progresivitas reformasi yang tengah dijalani.
Pekan yang lalu pemerintah mengabarkan bahwa kondisi investasi kita semakin membaik. Semenjak Perpres Nomor 91/2017 diteken Presiden Joko Widodo, konon minat investasi meningkat sebanyak 1.054 proyek senilai USD42,6 miiar. Jika dikomparasikan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, minat investasi meningkat 23% secara tahunan.
Namun pemerintah jangan melupakan pekerjaan rumah besar lainnya untuk menjaga agar investasi di Indonesia bisa lancar proses realisasinya. Karena dalam kurun waktu 2010-2017 pemerintah mengatakan terdapat sekitar 190 proyek dengan nilai Rp351 triliun dan USD54,6 miliar yang masih mangkrak realisasinya. Jadi tanpa adanya perhelatan pilkada pun secara alamiah pemerintah sudah kewalahan mengawal kinerja realisasi investasi. Apalagi sekarang ditambah dengan adanya momentum pilkada? Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, pemerintah perlu fokus untuk mewujudkan profesionalisme kinerjanya dan melanjutkan reformasi kebijakan ekonomi yang tengah dilakukan saat ini. Bagi penulis langkah pemerintah dengan menyelenggarakan online single submission untuk memfasilitasi percepatan pelayanan perizinan investasi sudah menjadi solusi yang jitu.
Kebijakan ini disinyalir akan memperbaiki rating investasi dan doing business Indonesia. Namun jangan lupakan pula untuk melibatkan pemerintah daerah dalam koordinasi kebijakan. Karena sudah terbukti kebanyakan proyek-proyek yang mangkrak tersebut bersumber dari barrier secara kelembagaan dari pemerintah daerah. Rata-rata investasi mandek di tahap izin prinsip. Ketika hendak direalisasikan, para investor mendadak maju-mundur karena perubahan peraturan setelah terjadi pergantian pimpinan daerah.
Titik tekannya disini selain pentingnya koordinasi kebijakan ialah menghadirkan konsistensi kelembagaan. Setelah koordinasi dengan pemerintah daerah terjamin, tugas utama pemerintah pusat ialah menyediakan paket insentif lainnya. Entah apakah melalui skema perpajakan, perbaikan infrastruktur, ataupun dengan membangun kawasan-kawasan industri terpadu.
Kedua, kita perlu memanfaatkan momentum perbaikan perekonomian dunia, pertumbuhan negara emerging market, yang diikuti dengan perubahan harga komoditas strategis yang saat ini tengah menggembirakan. Dalam posisi ini lahir harapan bahwa tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat juga akan membaik. Struktur ekspor kita sebagian besar memang masih dikuasai oleh barang-barang mentah.
Sehingga pemerintah perlu jeli untuk menata agar momentum yang sekarang ini tidak pasang surut lagi. Caranya adalah dengan mendorong transmisi agar momentum perbaikan harga komoditas strategis yang sekarang ini terjadi, hasilnya tidak cepat menguap sekadar untuk dimanfaatkan sebagai input konsumsi.
Perlu ada daya tarik yang lebih kuat agar kalangan yang ekonominya tengah pulih ini mau melakukan investasi. Selain itu pemerintah juga perlu mendorong daya beli dan mengendalikan tingkat inflasi. Pada intinya pemerintah perlu bekerja keras agar mekanisme pasar yang tengah berjalan bisa mendapat kontinyuitas. Minimal ada perjuangan agar denyut perekonomian kita tidak terlalu menggantungkan pada kondisi eksternal.
Dan ketiga sebagai akhir dari tulisan, penulis berupaya mengingatkan ada baiknya jika pemerintah agar tidak terlalu terpancing untuk terlibat lebih terlalu dalam mekanisme politik yang berkembang di daerah-daerah. Sejumlah provinsi strategis seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara akan menjadi tuan rumah pemilu kepala daerah.
Jika menengok ke belakang berdasarkan pengalaman pilkada-pilkada lainnya, mudah-mudahan pilkada di kelima daerah itu tidak sampai terjadi percikan api konflik. Daerah-daerah lainnya juga bernilai strategis mengingat sudah menjelang Pilpres 2019. Penulis amat mengkhawatirkan jika pemerintah tidak mampu objektif menghadapi perhelatan pilkada, situasi sosial politik akan menjadi tidak kondusif.
Selain itu nanti pemerintah bisa kehabisan energi, dan terganggu hingga kehilangan fokus untuk menjaga kontinyuitas tren positif pembangunan saat ini. Penyelenggaraan kampanye harus lebih elegan adalah dengan banyak mengangkat isu tentang kebijakan pro kesejahteraan dan pemerataan.
Bersamaan dengan itu, diharapkan masyarakat tergerak untuk ikut mendukung keberlanjutan program pemerintah, karena sebenarnya itulah esensi demokrasi yang sedang kita jalani saat ini.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENJELANG tahun-tahun politik yang rawan diwarnai banyak atraksi, pemerintah dan masyarakat harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk lebih arif menangani berbagai situasi. Banyak pihak yang mengkhawatirkan kebijakan pemerintah tidak lagi objektif untuk menangani berbagai kepentingan publik yang lebih luas.
Prasangka ini tidak bisa disalahkan juga, karena memang faktanya banyak pejabat eksekutif dan legislatif dari level pusat hingga daerah yang terjun payung di arena kontestasi politik daerah. Dalam pesta demokrasi tersebut ada pejabat aktif yang mencoba peruntungan dengan menjadi salah satu kandidat kepala daerah.
Termasuk, tidak sedikit pejabat publik lainnya yang terlibat dengan aktif sebagai tim pendukung. Sehingga sangat wajar jika masyarakat merasa ketar-ketir apakah para pejabat tersebut masih tetap bisa fokus melayani masyarakat? Akankah pemilu yang sebentar lagi akan berjalan serempak mampu meminimalisir kegaduhan? Semuanya masih mendebarkan.
Tahun 2018, dianggap sebagai tahun politik yang diidentikkan dengan beraneka macam stigma yang kontennya terkadang cenderung negatif. Warna-warni strategi pemenangan politik juga tidak selamanya dilakukan dengan cara-cara yang sehat.
Akibatnya kasus sengketa, saling tuding kecurangan, hate speech, dan berbagai pola kegaduhan lainnya sulit terlepas dari konstelasi yang ada. Kegaduhan “musiman” seperti inilah yang kiranya dapat merusak stabilitas pembangunan ekonomi nasional. Pemerintah menargetkan untuk terus melanjutkan reformasi kelembagaan yang memang sudah diprogramkan, walaupun di tengah situasi yang seperti ini. Diharapkan juga, bagaimana stakeholders (rakyat dan para wakilnya) sebagai pengawas kinerja pemerintah tidak lengah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pesta politik di tahun ini juga bernilai strategis karena sedikit banyak akan dihubung-hubungkan dengan momentum pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) di tahun 2019. Kita dengan mudah bisa menebak akan banyak politisi yang dengan semangat dan gairah kekuasaan untuk turun gunung ke konstituennya. Selain untuk mensosialisasikan pasangan calon yang akan/sedang diusung partainya, politisi yang hendak bertarung di arena pileg akan melakukan beauty contest untuk mengkampanyekan dirinya sebagai calon legislator.
Sebagai bagian dari proses pelanggengan kekuasaan, mereka bisa saja memanfaatkan akses politiknya terutama melalui kebijakan anggaran untuk menarik simpati masyarakat. Biasanya wahana kebijakan yang paling sering digunakan adalah melalui skema hibah dan/atau bantuan sosial (bansos). Memang tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk melakukan bansos.
Akan tetapi perlu dipertimbangkan juga bagaimana dampak secara komprehensif terhadap masyarakat, termasuk bagaimana perilaku masyarakat terhadap hibah bansos. Pertanyaan terpenting berikutnya apakah program hibah/bansos sudah tepat sasaran? Karena perlu diteliti pula apakah skema hibah/bansos betul-betul menunjang program pengentasan kemiskinan dan ketimpangan dalam jangka panjang? Jangan sampai tujuan mulia dari bansos yang didanai dari kas daerah/negara ditunggangi hanya semata-mata demi meningkatkan popularitas politik. Masyarakat harus dibekali pendidikan politik yang lugas dan praktis agar tidak hanya menjadi tunggangan kepentingan pragmatis segelitintir politisi.
Menjaga Momentum
Optimisme yang kuat tengah digaungkan pemerintah untuk mengurangi kegelisahan masyarakat di tengah masa-masa krusial politik domestik. Pemerintah menjamin bahwa mereka tetap akan fokus melanjutkan reformasi ekonomi tanpa terpengaruh adanya gonjang-ganjing politik. Bahkan pemerintah menangkap peluang adanya kenaikan konsumsi masyarakat seperti halnya yang terjadi pada masa-masa pemilu sebelumnya. Hanya saja pemerintah perlu berhati-hati untuk menjaga prospek investasi yang akhir-akhir ini sedang membaik. Jangan sampai reformasi struktural yang tengah dibangun pemerintah menjadi berantakan di tengah-tengah jalan.
Lembaga rating internasional, yakni Moody’s Investors Service sudah mengingatkan akan pentingnya pengawasan tahun politik terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam pengamatannya, Moody’s menilai beberapa negara di Asia Pasifik seperti Kamboja, Myanmar, Malaysia, India, Pakistan, dan kemungkinannya juga Indonesia bisa menghadapi perlambatan reformasi ekonomi jika pemerintahnya tidak cukup arif mengendalikan dampak perhelatan pilkada. Jika kita kaitkan dengan laporan kondisi investasi yang baru-baru ini disampaikan pemerintah, ada benarnya juga bahwa pemerintah harus tetap fokus melanjutkan progresivitas reformasi yang tengah dijalani.
Pekan yang lalu pemerintah mengabarkan bahwa kondisi investasi kita semakin membaik. Semenjak Perpres Nomor 91/2017 diteken Presiden Joko Widodo, konon minat investasi meningkat sebanyak 1.054 proyek senilai USD42,6 miiar. Jika dikomparasikan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, minat investasi meningkat 23% secara tahunan.
Namun pemerintah jangan melupakan pekerjaan rumah besar lainnya untuk menjaga agar investasi di Indonesia bisa lancar proses realisasinya. Karena dalam kurun waktu 2010-2017 pemerintah mengatakan terdapat sekitar 190 proyek dengan nilai Rp351 triliun dan USD54,6 miliar yang masih mangkrak realisasinya. Jadi tanpa adanya perhelatan pilkada pun secara alamiah pemerintah sudah kewalahan mengawal kinerja realisasi investasi. Apalagi sekarang ditambah dengan adanya momentum pilkada? Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, pemerintah perlu fokus untuk mewujudkan profesionalisme kinerjanya dan melanjutkan reformasi kebijakan ekonomi yang tengah dilakukan saat ini. Bagi penulis langkah pemerintah dengan menyelenggarakan online single submission untuk memfasilitasi percepatan pelayanan perizinan investasi sudah menjadi solusi yang jitu.
Kebijakan ini disinyalir akan memperbaiki rating investasi dan doing business Indonesia. Namun jangan lupakan pula untuk melibatkan pemerintah daerah dalam koordinasi kebijakan. Karena sudah terbukti kebanyakan proyek-proyek yang mangkrak tersebut bersumber dari barrier secara kelembagaan dari pemerintah daerah. Rata-rata investasi mandek di tahap izin prinsip. Ketika hendak direalisasikan, para investor mendadak maju-mundur karena perubahan peraturan setelah terjadi pergantian pimpinan daerah.
Titik tekannya disini selain pentingnya koordinasi kebijakan ialah menghadirkan konsistensi kelembagaan. Setelah koordinasi dengan pemerintah daerah terjamin, tugas utama pemerintah pusat ialah menyediakan paket insentif lainnya. Entah apakah melalui skema perpajakan, perbaikan infrastruktur, ataupun dengan membangun kawasan-kawasan industri terpadu.
Kedua, kita perlu memanfaatkan momentum perbaikan perekonomian dunia, pertumbuhan negara emerging market, yang diikuti dengan perubahan harga komoditas strategis yang saat ini tengah menggembirakan. Dalam posisi ini lahir harapan bahwa tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat juga akan membaik. Struktur ekspor kita sebagian besar memang masih dikuasai oleh barang-barang mentah.
Sehingga pemerintah perlu jeli untuk menata agar momentum yang sekarang ini tidak pasang surut lagi. Caranya adalah dengan mendorong transmisi agar momentum perbaikan harga komoditas strategis yang sekarang ini terjadi, hasilnya tidak cepat menguap sekadar untuk dimanfaatkan sebagai input konsumsi.
Perlu ada daya tarik yang lebih kuat agar kalangan yang ekonominya tengah pulih ini mau melakukan investasi. Selain itu pemerintah juga perlu mendorong daya beli dan mengendalikan tingkat inflasi. Pada intinya pemerintah perlu bekerja keras agar mekanisme pasar yang tengah berjalan bisa mendapat kontinyuitas. Minimal ada perjuangan agar denyut perekonomian kita tidak terlalu menggantungkan pada kondisi eksternal.
Dan ketiga sebagai akhir dari tulisan, penulis berupaya mengingatkan ada baiknya jika pemerintah agar tidak terlalu terpancing untuk terlibat lebih terlalu dalam mekanisme politik yang berkembang di daerah-daerah. Sejumlah provinsi strategis seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara akan menjadi tuan rumah pemilu kepala daerah.
Jika menengok ke belakang berdasarkan pengalaman pilkada-pilkada lainnya, mudah-mudahan pilkada di kelima daerah itu tidak sampai terjadi percikan api konflik. Daerah-daerah lainnya juga bernilai strategis mengingat sudah menjelang Pilpres 2019. Penulis amat mengkhawatirkan jika pemerintah tidak mampu objektif menghadapi perhelatan pilkada, situasi sosial politik akan menjadi tidak kondusif.
Selain itu nanti pemerintah bisa kehabisan energi, dan terganggu hingga kehilangan fokus untuk menjaga kontinyuitas tren positif pembangunan saat ini. Penyelenggaraan kampanye harus lebih elegan adalah dengan banyak mengangkat isu tentang kebijakan pro kesejahteraan dan pemerataan.
Bersamaan dengan itu, diharapkan masyarakat tergerak untuk ikut mendukung keberlanjutan program pemerintah, karena sebenarnya itulah esensi demokrasi yang sedang kita jalani saat ini.
(whb)