Kampanye Hitam dan Cerita Orang-orang Kalah
A
A
A
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
PRESIDEN Joko Widodo pernah berharap agar bangsa ini mengedepankan karakter keindonesiaan dalam berpolitik. Karakter keindonesiaan itu satu di antaranya adalah tidak saling menjelekkan dan tak saling mencela. Berpolitik seharusnya beradu track record, program, ide, dan rencana-rencana cerdas ke depan.
Kegalauan Presiden itu tentu saja mewakili masyarakat yang peduli pada kemajuan Indonesia yang lebih baik di masa datang. Bisa jadi pula, kegelisahan Presiden juga mencemaskan masyarakat dan bangsa ini menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Sebagai orang yang peduli, apa pun profesinya, setidaknya kita harus ikut andil dalam usaha mengatasi kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keburukan di masa datang. Ini penting dikemukakan karena bangsa ini belum pernah punya sejarah atau juga tak mau belajar sejarah bahwa mengedepankan individu dan kelompok dalam setiap kompetisi politik justru merugikan generasi masa datang.
Salah satu yang dicemaskan masyarakat adalah munculnya kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam tentu berbeda dengan kampanye ne-gatif (negative campaign ). Kampanye hitam adalah kampanye yang menonjolkan sisi buruk seseorang atau kelompok tanpa pernah dilakukan. Misalnya seseorang tidak pernah melakukan selingkuh terus diberitakan dan direkayasa sedemikian rupa seolah dia pernah selingkuh.
Sementara itu kampanye negatif adalah kampanye tentang sisi negatif seseorang atau kelompok karena memang dia pernah melakukannya. Misalnya seseorang itu pernah melakukan perselingkuhan, saat ia akan menjadi calon kepala daerah tiba-tiba muncul foto mesranya dengan selingkuhannya itu. Orang yang menyebar ini sedang melakukan kampanye negatif.
Jadi perilaku yang dituduhkan dalam kampanye negatif itu pernah dilakukan, sementara dalam kampanye hitam hal tertuduh tidak pernah dilakukan. Tujuannya sama, menyerang seseorang secara buruk. Kampanye hitam pun menjadi fokus utama Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menyambut hiruk-pikuk Pilkada Serentak 2018.
Tidak bisa dimungkiri, dalam suhu politik saat ini tiap pihak melakukan berbagai upaya untuk memenangkan kompetisi. Dengan belum dewasanya perilaku demokratis bangsa dan masyarakat, kampanye hitam akan terus bermunculan. Kita akan melihat dari sisi lain fenomena kampanye hitam yang dicemaskan pemerintah.
Lepas dari pro-kontra, kampanye hitam adalah bentuk perlawanan atas sebuah dominasi atau usaha untuk merebut dominasi, bahkan untuk mempertahankan dominasi. Ini akan terus tumbuh karena politik itu urusannya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Di sinilah kampanye hitam menemukan penyalurannya.
Orang Kalah
Mengapa kampanye hitam meskipun dilarang dan punya dampak buruk terus dilakukan? Sebenarnya kampanye hitam itu adalah bentuk perlawanan orang-orang kalah. Kelompok ini tentu tidak akan bisa terang-terangan berkompetisi secara sehat. Yang dilakukan adalah tetap melawan dengan berbagai cara agar tujuannya tercapai.
Bentuk-bentuk perlawanan orang-orang kalah ini sama dengan cerita yang dilakukan para petani atas ketidakadilan yang dilakukan majikan. Ini tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa perlawanan orang-orang kalah dengan kampanye hitam itu akibat dia tertimpa ketidakadilan.
Mereka melawan bisa saja bukan karena ketidakadilan, tetapi yang penting melawan. Bahkan kelompok mapan dan berkuasa pun bisa melakukan perlawanan dengan memakai kampanye hitam pula. Kaitannya dengan perlawanan orang-orang kalah, kita diingatkan pada penelitian yang pernah dilakukan James C Scott (1985).
Dalam bukunya Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, dia meneliti petani miskin di Sedaka, Malaysia, yang menunjukkan pertarungan antara kelas kaya (pemilik lahan) dan kelas miskin (petani).
Sebagai kaum kaya, para pemilik lahan merasa bisa berbuat apa saja kepada para buruh taninya. Dari sini muncul ketidakadilan yang dirasakan kaum petani. Karenanya muncullah perlawanan dari para petani miskin itu. Tentu saja bentuk perlawanannya bukan perlawanan yang berhadap-hadapan dan radikal karena petani bisa kalah, sementara itu petani dalam posisi tergantung.
Maka bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukannya adalah dengan cara memfitnah, menggunjing, dan gosip yang berusaha untuk merusak nama baik majikan. Juga ada julukan-julukan kasar, gerakan tubuh yang bermaksud merendahkan. Adapun senjata ampuh yang mereka gunakan antara lain berpura-pura sakit, memperlambat pekerjaan, mencuri, pembakaran, penyerobotan, pura-pura tidak tahu padahal tahu, dan melarikan diri.
Secara hukum positif, tindakan kaum miskin petani itu jelas salah. Namun ketidakadilan yang menimpa mereka dari kaum kaya juga tidak bisa dibiarkan saja. Untuk melakukan perlawanan fisik jelas tidak bisa, sementara itu jika ketidakadilan dibiarkan akan semakin merajalela dan sangat merugikan petani. Maka petani tetap mengadakan perlawanan dengan “kekuatan” yang mereka punya. Maka perlawanan petani itu khas perlawanan orang-orang lemah karena tidak ada jalan formal lain untuk melakukan pertentangan.
Orang Kalah Modern
Gambaran tentang kasus petani di atas adalah khas bentuk perlawanan orang-orang kalah. Kalah dalam hal ini tidak berkonotasi secara kekuasaan kalah, tetapi tidak ada cara sportif yang bisa dilakukan. Politik di Indonesia adalah soal menang-kalah. Karenanya, apa pun akan dilakukan. Orang-orang yang percaya diri akan melakukan kampanye dengan cara elegan.
Sementara itu mereka yang tidak punya cara yang elegan, karena tujuannya menang, akan melakukan kampanye hitam. Catatan menarik dari kasus kampanye hitam adalah bahwa bangsa ini mayoritas masih menjadi orang-orang kalah. Sebab kampanye hitam hampir dilakukan oleh semua komunitas masyarakat untuk memenangi kompetisi.
Orientasi pada tujuan telah mengalahkan akal sehat yang tidak bermanfaat untuk anak cucu kita. Tak aneh jika banyak partai politik (parpol) miskin kaderisasi dengan mencalonkan figur bukan kader partai. Kalau sudah begini, kampanye hitam akan menjadi pemandangan setiap kompetisi politik di Indonesia. Sebut saja bangsa ini bermental bangsa kalah dengan baju modern.
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
PRESIDEN Joko Widodo pernah berharap agar bangsa ini mengedepankan karakter keindonesiaan dalam berpolitik. Karakter keindonesiaan itu satu di antaranya adalah tidak saling menjelekkan dan tak saling mencela. Berpolitik seharusnya beradu track record, program, ide, dan rencana-rencana cerdas ke depan.
Kegalauan Presiden itu tentu saja mewakili masyarakat yang peduli pada kemajuan Indonesia yang lebih baik di masa datang. Bisa jadi pula, kegelisahan Presiden juga mencemaskan masyarakat dan bangsa ini menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Sebagai orang yang peduli, apa pun profesinya, setidaknya kita harus ikut andil dalam usaha mengatasi kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keburukan di masa datang. Ini penting dikemukakan karena bangsa ini belum pernah punya sejarah atau juga tak mau belajar sejarah bahwa mengedepankan individu dan kelompok dalam setiap kompetisi politik justru merugikan generasi masa datang.
Salah satu yang dicemaskan masyarakat adalah munculnya kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam tentu berbeda dengan kampanye ne-gatif (negative campaign ). Kampanye hitam adalah kampanye yang menonjolkan sisi buruk seseorang atau kelompok tanpa pernah dilakukan. Misalnya seseorang tidak pernah melakukan selingkuh terus diberitakan dan direkayasa sedemikian rupa seolah dia pernah selingkuh.
Sementara itu kampanye negatif adalah kampanye tentang sisi negatif seseorang atau kelompok karena memang dia pernah melakukannya. Misalnya seseorang itu pernah melakukan perselingkuhan, saat ia akan menjadi calon kepala daerah tiba-tiba muncul foto mesranya dengan selingkuhannya itu. Orang yang menyebar ini sedang melakukan kampanye negatif.
Jadi perilaku yang dituduhkan dalam kampanye negatif itu pernah dilakukan, sementara dalam kampanye hitam hal tertuduh tidak pernah dilakukan. Tujuannya sama, menyerang seseorang secara buruk. Kampanye hitam pun menjadi fokus utama Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menyambut hiruk-pikuk Pilkada Serentak 2018.
Tidak bisa dimungkiri, dalam suhu politik saat ini tiap pihak melakukan berbagai upaya untuk memenangkan kompetisi. Dengan belum dewasanya perilaku demokratis bangsa dan masyarakat, kampanye hitam akan terus bermunculan. Kita akan melihat dari sisi lain fenomena kampanye hitam yang dicemaskan pemerintah.
Lepas dari pro-kontra, kampanye hitam adalah bentuk perlawanan atas sebuah dominasi atau usaha untuk merebut dominasi, bahkan untuk mempertahankan dominasi. Ini akan terus tumbuh karena politik itu urusannya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Di sinilah kampanye hitam menemukan penyalurannya.
Orang Kalah
Mengapa kampanye hitam meskipun dilarang dan punya dampak buruk terus dilakukan? Sebenarnya kampanye hitam itu adalah bentuk perlawanan orang-orang kalah. Kelompok ini tentu tidak akan bisa terang-terangan berkompetisi secara sehat. Yang dilakukan adalah tetap melawan dengan berbagai cara agar tujuannya tercapai.
Bentuk-bentuk perlawanan orang-orang kalah ini sama dengan cerita yang dilakukan para petani atas ketidakadilan yang dilakukan majikan. Ini tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa perlawanan orang-orang kalah dengan kampanye hitam itu akibat dia tertimpa ketidakadilan.
Mereka melawan bisa saja bukan karena ketidakadilan, tetapi yang penting melawan. Bahkan kelompok mapan dan berkuasa pun bisa melakukan perlawanan dengan memakai kampanye hitam pula. Kaitannya dengan perlawanan orang-orang kalah, kita diingatkan pada penelitian yang pernah dilakukan James C Scott (1985).
Dalam bukunya Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, dia meneliti petani miskin di Sedaka, Malaysia, yang menunjukkan pertarungan antara kelas kaya (pemilik lahan) dan kelas miskin (petani).
Sebagai kaum kaya, para pemilik lahan merasa bisa berbuat apa saja kepada para buruh taninya. Dari sini muncul ketidakadilan yang dirasakan kaum petani. Karenanya muncullah perlawanan dari para petani miskin itu. Tentu saja bentuk perlawanannya bukan perlawanan yang berhadap-hadapan dan radikal karena petani bisa kalah, sementara itu petani dalam posisi tergantung.
Maka bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukannya adalah dengan cara memfitnah, menggunjing, dan gosip yang berusaha untuk merusak nama baik majikan. Juga ada julukan-julukan kasar, gerakan tubuh yang bermaksud merendahkan. Adapun senjata ampuh yang mereka gunakan antara lain berpura-pura sakit, memperlambat pekerjaan, mencuri, pembakaran, penyerobotan, pura-pura tidak tahu padahal tahu, dan melarikan diri.
Secara hukum positif, tindakan kaum miskin petani itu jelas salah. Namun ketidakadilan yang menimpa mereka dari kaum kaya juga tidak bisa dibiarkan saja. Untuk melakukan perlawanan fisik jelas tidak bisa, sementara itu jika ketidakadilan dibiarkan akan semakin merajalela dan sangat merugikan petani. Maka petani tetap mengadakan perlawanan dengan “kekuatan” yang mereka punya. Maka perlawanan petani itu khas perlawanan orang-orang lemah karena tidak ada jalan formal lain untuk melakukan pertentangan.
Orang Kalah Modern
Gambaran tentang kasus petani di atas adalah khas bentuk perlawanan orang-orang kalah. Kalah dalam hal ini tidak berkonotasi secara kekuasaan kalah, tetapi tidak ada cara sportif yang bisa dilakukan. Politik di Indonesia adalah soal menang-kalah. Karenanya, apa pun akan dilakukan. Orang-orang yang percaya diri akan melakukan kampanye dengan cara elegan.
Sementara itu mereka yang tidak punya cara yang elegan, karena tujuannya menang, akan melakukan kampanye hitam. Catatan menarik dari kasus kampanye hitam adalah bahwa bangsa ini mayoritas masih menjadi orang-orang kalah. Sebab kampanye hitam hampir dilakukan oleh semua komunitas masyarakat untuk memenangi kompetisi.
Orientasi pada tujuan telah mengalahkan akal sehat yang tidak bermanfaat untuk anak cucu kita. Tak aneh jika banyak partai politik (parpol) miskin kaderisasi dengan mencalonkan figur bukan kader partai. Kalau sudah begini, kampanye hitam akan menjadi pemandangan setiap kompetisi politik di Indonesia. Sebut saja bangsa ini bermental bangsa kalah dengan baju modern.
(maf)