Teknologi, Ketimpangan, dan Kemiskinan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
ADA begitu banyak impresi yang muncul dari perkembangan teknologi informasi di masa kini. Kemajuan teknologi dan juga sistem informasi belakangan ini sangat layak untuk kita sebut dalam masa yang begitu “menggila”.
Dahulu kala ketika perkembangan teknologi mulai menginspirasi hadirnya revolusi industri, perkembangan teknologi masih berpusat pada piranti-piranti keras (hardware) seperti mesin produksi pertanian dan industri, alat transportasi, dan pertambangan. Namun kini piranti-piranti lunak (software) jumlahnya jauh lebih banyak mendominasi dan terus mengalami perkembangan.
Dalam sebuah buku teori ekonomi pembangunan karya Michael Todaro, teknologi sering disebut sebagai input produksi yang keempat, setelah tenaga kerja, modal, dan tanah. Secara umum keempat input produksi memang sangat diperlukan untuk membangun perekonomian suatu bangsa. Ketika keempat faktor produksi dasar tersebut mampu disediakan maka secara normatif kemajuan sebuah negara akan sulit dielakkan.
Ada harapan yang begitu besar dari ikhtiar suatu negara untuk terus mengefisiensikan ekonominyamelalui perkembangan teknologi. Pada konferensi Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) ke-7 yang diselenggarakan pada pekan lalu di Jakarta, Kementerian Keuangan mengangkat tema “Riding The Waves of Technological Change: The Way Forward to Drive Productivity and Alleviate Inequality” sebagai tajuk diskusi.
AIFED tahun ini membahas tentang pertumbuhan teknologi dan pengaruhnya pada ketimpangan dan pengurangan kemiskinan. Tentu saja dalam forum tersebut juga terselip harapan agar kualitas kebijakan publik dan perpaduannya dengan perkembangan teknologi akan menghasilkan banyak perbaikan.
Pemerintah kita memang secara perlahan-lahan mulai mengadopsi pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang efektivitas layanan publiknya. Hal ini selaras dengan target implementasi reformasi bikrokrasi. Pemerintah semakin memperluas lapak-lapak bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan (governance) sumber daya negara.
Menteri Keuangan dalam sambutannya berharap bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik akan lebih mudah direalisasikan dengan penerapan teknologi pada administrasi pemerintahan. Sehingga, nantinya kebijakan pemerintah akan jauh lebih akurat, tepat, dan cepat. Prinsip-prinsip ABS (Asal Bapak Senang) akan hilang dengan sendirinya.
Reformasi birokrasi yang begitu lama diidam-idamkan akan mudah digelar dimana profesionalitas serta merit system pada kinerja ASN (Aparatur Sipil Negara) akan juga lebih mudah dijalankan. Itu semua hal-hal positif yang sangat mungkin terjadi ketika penerapan teknologi informasi disadurkan pada public policy dan administrasi pemerintahan. Namun faktanya tidak semua teknologi mampu menunjang aktivitas manusia, khususnya di sektor swasta.
Jika dikaitkan dengan aktivitas bisnis perusahaan, mungkin hanya sekelumit perusahaan yang mampu mengawinkan secara sempurna dimana penggunaan teknologi akan mendukung produktivitas sumber daya manusia (SDM). Sedangkan sisanya mungkin justru bermain-main dalam pola zero sum game. Teknologi mesin dan sistem informasi malah tumbuh liar menjadi pesaing berat bagi tenaga kerja manusia.
Kejadian ini seperti mengulang era revolusi industri di awal perekonomian modern, dimana eksistensi teknologi mesin telah menggeser permintaan tenaga kerja pada produksi, meskipun dari sisi agregatnya turut mampu meningkatkan hasil produksi dan ekonomi berkat berbagai inovasi yang melahirkan banyak efisiensi.
Pengalaman di sebagian besar negara berkembang memang agak berbeda karena banyak teknologi yang kurang bisa bersifat complementary pada tenaga kerja manusia. Sehingga penerapan teknologi lebih banyak akan mengurangi jumlah tenaga kerja. Dalam fase berikutnya penerapan teknologi bahkan bisa mendorong angka kemiskinan melonjak akibat jumlah pengangguran yang makin melambung, serta dampaknya secara makro akan memperlebar ketimpangan antardaerah dan kelompok pendapatan.
Dalam hal ini pemerintah perlu juga menghimbau agar pelaku usaha bisa bersikap arif dalam penggunaan teknologi. Karena tidak semua teknologi akan selaras dengan misi pembangunan sosial, khususnya terkait kemiskinan dan ketimpangan. OECD (2011) menjelaskan ada teknologi yang justru berperan melambungkan ketimpangan dengan istilah fenomena skills-biased. IMF (2007) menambahkan bahwa ada teknologi yang menjadi driving force atas skills premium, sehingga gap antara high-skilled workers dan low-skilled workers akan semakin menggunung. Muaranya nanti tinggal menunggu waktukapan kenaikan koefisien Gini akan mencapai titik puncaknya.
Pendapat kedua lembaga internasional tersebut mungkin ada benarnya. Karena di Indonesia sendiri perjalanannya sudah mengarah demikian liarnya. Memang kita tidak bisa menghindari atau bahkan menyalahkan bahwa sebagian pelaku usaha begitu menikmati adanya kemajuan teknologi. Pertumbuhan ekonomi selalu kita raih, profit sebagian orang kaya kian membumbung tinggi. Apalagi ketika tenaga kerja manusia telah dapat digantikan oleh penggunaan mesin, pengusaha yang cenderung profit oriented dan padat modal akan semakin berpikir ekonomis.
Mereka juga tidak perlu lagi susah-susah berantem dengan asosiasi-asosiasi tenaga kerja untuk bernegosiasi terkait tuntutan-tuntutan karyawannya. Apalagi pasar tenaga kerja kita sudah cukup terkenal secara agregat tidak cukup tangguh menghadapi rezim persaingan global. Lembaga-lembaga kajian dan pemerintah mulai was-was akan bahaya peningkatan jumlah permasalahan sosial akibat semakin meluasnya digitalisasi ekonomi.
International LaborOrganization (ILO, 2017) pernah memperkirakan bahwa risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Kondisi serupa juga dialami oleh banyak negara, khususnya negara berkembang. Proyeksi di Indonesia kurang lebih akan sama. Sektor padat karya yang eksistensi tenaga kerjanya paling terancam adalah pertanian, industri, dan jasa. Sulit dipungkiri betapa teknologi berangsur-angsur telah menghilangkan sejumlah pekerjaan, meskipun teknologi juga menjanjikan pekerjaan baru akan tetapi jumlahnya tidak cukup berimbang.
Kembali ke topik perkembangan teknologi dan persoalan mesin vs manusia tadi. Ada baiknya jika kita mulai menelusuri mengapa teknologi yang ada malah seperti menabuh genderang perang karena merusak eksistensi tenaga kerja manusia. Logika yang paling sederhana, hal ini bisa terjadi dengan sangat mudah bisa jadi dikarenakan lemahnya pendidikan dan keterampilan (knowledge and skills), serta infrastruktur yang memungkinkan sumber daya kurang aktif bergerak antardaerah dan antarsektor pekerjaan.
Saat pendidikan (baik untuk knowledge maupun skills) sudah dapat diberkembangkan dengan cepat dan merata seperti saat ini (era disruption), maka teknologi akan berdampak positif terhadap perekonomian. Lompatan output (produk domestik bruto/PDB) sangat mungkin bisa langsung signifikan. Sebagai contoh, pada umumnya negara-negara maju anggota OECD ketika kita bandingkan rasio tingkat upah terhadap PDB-nya antara medio 1990-an dengan sekitar 2015-an, maka akan terlihat sejumlah peningkatan walau tidak selalu bombastis.
Sedangkan pertumbuhan rasio di negara-negara berkembang tidak selalu sama dengan negara maju karena pola peningkatannya seringkali bersifat geometris. Artinya peningkatan upah di negara berkembang relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan output. Hal ini diduga, karena perkembangan dunia pendidikan yang gagal menunjukkan lompatan.
Data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti menyebutkan kita memiliki sekitar 4.578 perguruan tinggi mulai yang berbentuk akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi hanya segelintir perguruan tinggi yang mampu menembus jajaran top university di seluruh dunia. Berdasarkan QS World University Rankings 2018, hanya ada 9 perguruan tinggi di Indonesia yang menembus jajaran peringkat 1.000 besar dunia.
Kemudian berdasarkan peringkat yang dirilis lembaga 4 International Colleges & Universities (4icu), hanya ada 7 perguruan tinggi Indonesia yang menembus jajaran 200 kampus elite se-Asia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing pendidikan kita tidaklah cukup menggembirakan. Perlu ada inovasi yang lebih mendalam agar sistem pendidikan yang nanti juga berdampak pada pembentukan kualitas SDM, bisa selaras dengan perkembangan teknologi massal dan dunia kerja. Selain itu, aturan sistem pengupahan masih cukup ketat (controlled) juga perlu disegarkan bentuk kelembagaannya.
Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk segera menemukan solusi bagaimana idealnya agar perkembangan teknologi ini tidak merusak tatanan pembangunan sosial yang impresif. Implementasi teknologi sangat penting dalam pemerintahan (publicpolicy) maupun perekonomian. Namun perlu disusun secara bertahap dan hati-hati (selected technology) karena ada barrier SDM dan infrastruktur (fisik dan sosial) yang ketidakmerataannya begitu nyata. Jika tidak, maka penerapan teknologi bukan mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, tetapi malah sebaliknya.
Kesiapan SDM di birokrasi dalam penerapan teknologi sangat penting untuk meningkatkan layanan pungutan pajak (e-commerce), mengetahui performance perekonomian/program setelah diterapkan suatu kebijakan, optimalisasi pajak, dan lain sebagainya. Sementara itu di sektor swasta, institusi yang berwenang pada kesiapan dan kualitas SDM (tenaga kerja) juga harus segera berbenah. Para pengusaha jangan dibiarkan kapok karena kualitas tenaga kerja kita yang pas-pasan. Apalagi persoalan yang sekarang terjadi banyak tenaga kerja yang berkarya di luar bidang yang mereka tekuni selama masa pendidikan (overlapping). Mereka berpikir sederhana, “yang penting dapat kerja”.
Bahkan alumni-alumni SMK dan pendidikan vokasi yang seharusnya menjadi tenaga terampil siap pakai, malah tidak sedikit yang statusnya sebagai pengangguran. Artinya sistem pendidikan kita perlu ditegakluruskan kembali dengan dunia kerja. Dunia pendidikan akan selamanya menjadi senjata yang terdepan untuk mencetak generasi yang adaptif, sehingga tidak gagap dan alergi dengan kemajuan teknologi.
Berikutnya, pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas asimetris dan afirmatif pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah ekonomi yang kondisinya memang membutuhkan bantuan khusus. Kemajuan teknologi seharusnya mampu dikelola agar menjadi sahabat manusia, bukan malah menjadi musuh tenaga kerja.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
ADA begitu banyak impresi yang muncul dari perkembangan teknologi informasi di masa kini. Kemajuan teknologi dan juga sistem informasi belakangan ini sangat layak untuk kita sebut dalam masa yang begitu “menggila”.
Dahulu kala ketika perkembangan teknologi mulai menginspirasi hadirnya revolusi industri, perkembangan teknologi masih berpusat pada piranti-piranti keras (hardware) seperti mesin produksi pertanian dan industri, alat transportasi, dan pertambangan. Namun kini piranti-piranti lunak (software) jumlahnya jauh lebih banyak mendominasi dan terus mengalami perkembangan.
Dalam sebuah buku teori ekonomi pembangunan karya Michael Todaro, teknologi sering disebut sebagai input produksi yang keempat, setelah tenaga kerja, modal, dan tanah. Secara umum keempat input produksi memang sangat diperlukan untuk membangun perekonomian suatu bangsa. Ketika keempat faktor produksi dasar tersebut mampu disediakan maka secara normatif kemajuan sebuah negara akan sulit dielakkan.
Ada harapan yang begitu besar dari ikhtiar suatu negara untuk terus mengefisiensikan ekonominyamelalui perkembangan teknologi. Pada konferensi Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) ke-7 yang diselenggarakan pada pekan lalu di Jakarta, Kementerian Keuangan mengangkat tema “Riding The Waves of Technological Change: The Way Forward to Drive Productivity and Alleviate Inequality” sebagai tajuk diskusi.
AIFED tahun ini membahas tentang pertumbuhan teknologi dan pengaruhnya pada ketimpangan dan pengurangan kemiskinan. Tentu saja dalam forum tersebut juga terselip harapan agar kualitas kebijakan publik dan perpaduannya dengan perkembangan teknologi akan menghasilkan banyak perbaikan.
Pemerintah kita memang secara perlahan-lahan mulai mengadopsi pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang efektivitas layanan publiknya. Hal ini selaras dengan target implementasi reformasi bikrokrasi. Pemerintah semakin memperluas lapak-lapak bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan (governance) sumber daya negara.
Menteri Keuangan dalam sambutannya berharap bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik akan lebih mudah direalisasikan dengan penerapan teknologi pada administrasi pemerintahan. Sehingga, nantinya kebijakan pemerintah akan jauh lebih akurat, tepat, dan cepat. Prinsip-prinsip ABS (Asal Bapak Senang) akan hilang dengan sendirinya.
Reformasi birokrasi yang begitu lama diidam-idamkan akan mudah digelar dimana profesionalitas serta merit system pada kinerja ASN (Aparatur Sipil Negara) akan juga lebih mudah dijalankan. Itu semua hal-hal positif yang sangat mungkin terjadi ketika penerapan teknologi informasi disadurkan pada public policy dan administrasi pemerintahan. Namun faktanya tidak semua teknologi mampu menunjang aktivitas manusia, khususnya di sektor swasta.
Jika dikaitkan dengan aktivitas bisnis perusahaan, mungkin hanya sekelumit perusahaan yang mampu mengawinkan secara sempurna dimana penggunaan teknologi akan mendukung produktivitas sumber daya manusia (SDM). Sedangkan sisanya mungkin justru bermain-main dalam pola zero sum game. Teknologi mesin dan sistem informasi malah tumbuh liar menjadi pesaing berat bagi tenaga kerja manusia.
Kejadian ini seperti mengulang era revolusi industri di awal perekonomian modern, dimana eksistensi teknologi mesin telah menggeser permintaan tenaga kerja pada produksi, meskipun dari sisi agregatnya turut mampu meningkatkan hasil produksi dan ekonomi berkat berbagai inovasi yang melahirkan banyak efisiensi.
Pengalaman di sebagian besar negara berkembang memang agak berbeda karena banyak teknologi yang kurang bisa bersifat complementary pada tenaga kerja manusia. Sehingga penerapan teknologi lebih banyak akan mengurangi jumlah tenaga kerja. Dalam fase berikutnya penerapan teknologi bahkan bisa mendorong angka kemiskinan melonjak akibat jumlah pengangguran yang makin melambung, serta dampaknya secara makro akan memperlebar ketimpangan antardaerah dan kelompok pendapatan.
Dalam hal ini pemerintah perlu juga menghimbau agar pelaku usaha bisa bersikap arif dalam penggunaan teknologi. Karena tidak semua teknologi akan selaras dengan misi pembangunan sosial, khususnya terkait kemiskinan dan ketimpangan. OECD (2011) menjelaskan ada teknologi yang justru berperan melambungkan ketimpangan dengan istilah fenomena skills-biased. IMF (2007) menambahkan bahwa ada teknologi yang menjadi driving force atas skills premium, sehingga gap antara high-skilled workers dan low-skilled workers akan semakin menggunung. Muaranya nanti tinggal menunggu waktukapan kenaikan koefisien Gini akan mencapai titik puncaknya.
Pendapat kedua lembaga internasional tersebut mungkin ada benarnya. Karena di Indonesia sendiri perjalanannya sudah mengarah demikian liarnya. Memang kita tidak bisa menghindari atau bahkan menyalahkan bahwa sebagian pelaku usaha begitu menikmati adanya kemajuan teknologi. Pertumbuhan ekonomi selalu kita raih, profit sebagian orang kaya kian membumbung tinggi. Apalagi ketika tenaga kerja manusia telah dapat digantikan oleh penggunaan mesin, pengusaha yang cenderung profit oriented dan padat modal akan semakin berpikir ekonomis.
Mereka juga tidak perlu lagi susah-susah berantem dengan asosiasi-asosiasi tenaga kerja untuk bernegosiasi terkait tuntutan-tuntutan karyawannya. Apalagi pasar tenaga kerja kita sudah cukup terkenal secara agregat tidak cukup tangguh menghadapi rezim persaingan global. Lembaga-lembaga kajian dan pemerintah mulai was-was akan bahaya peningkatan jumlah permasalahan sosial akibat semakin meluasnya digitalisasi ekonomi.
International LaborOrganization (ILO, 2017) pernah memperkirakan bahwa risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Kondisi serupa juga dialami oleh banyak negara, khususnya negara berkembang. Proyeksi di Indonesia kurang lebih akan sama. Sektor padat karya yang eksistensi tenaga kerjanya paling terancam adalah pertanian, industri, dan jasa. Sulit dipungkiri betapa teknologi berangsur-angsur telah menghilangkan sejumlah pekerjaan, meskipun teknologi juga menjanjikan pekerjaan baru akan tetapi jumlahnya tidak cukup berimbang.
Kembali ke topik perkembangan teknologi dan persoalan mesin vs manusia tadi. Ada baiknya jika kita mulai menelusuri mengapa teknologi yang ada malah seperti menabuh genderang perang karena merusak eksistensi tenaga kerja manusia. Logika yang paling sederhana, hal ini bisa terjadi dengan sangat mudah bisa jadi dikarenakan lemahnya pendidikan dan keterampilan (knowledge and skills), serta infrastruktur yang memungkinkan sumber daya kurang aktif bergerak antardaerah dan antarsektor pekerjaan.
Saat pendidikan (baik untuk knowledge maupun skills) sudah dapat diberkembangkan dengan cepat dan merata seperti saat ini (era disruption), maka teknologi akan berdampak positif terhadap perekonomian. Lompatan output (produk domestik bruto/PDB) sangat mungkin bisa langsung signifikan. Sebagai contoh, pada umumnya negara-negara maju anggota OECD ketika kita bandingkan rasio tingkat upah terhadap PDB-nya antara medio 1990-an dengan sekitar 2015-an, maka akan terlihat sejumlah peningkatan walau tidak selalu bombastis.
Sedangkan pertumbuhan rasio di negara-negara berkembang tidak selalu sama dengan negara maju karena pola peningkatannya seringkali bersifat geometris. Artinya peningkatan upah di negara berkembang relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan output. Hal ini diduga, karena perkembangan dunia pendidikan yang gagal menunjukkan lompatan.
Data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti menyebutkan kita memiliki sekitar 4.578 perguruan tinggi mulai yang berbentuk akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi hanya segelintir perguruan tinggi yang mampu menembus jajaran top university di seluruh dunia. Berdasarkan QS World University Rankings 2018, hanya ada 9 perguruan tinggi di Indonesia yang menembus jajaran peringkat 1.000 besar dunia.
Kemudian berdasarkan peringkat yang dirilis lembaga 4 International Colleges & Universities (4icu), hanya ada 7 perguruan tinggi Indonesia yang menembus jajaran 200 kampus elite se-Asia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing pendidikan kita tidaklah cukup menggembirakan. Perlu ada inovasi yang lebih mendalam agar sistem pendidikan yang nanti juga berdampak pada pembentukan kualitas SDM, bisa selaras dengan perkembangan teknologi massal dan dunia kerja. Selain itu, aturan sistem pengupahan masih cukup ketat (controlled) juga perlu disegarkan bentuk kelembagaannya.
Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk segera menemukan solusi bagaimana idealnya agar perkembangan teknologi ini tidak merusak tatanan pembangunan sosial yang impresif. Implementasi teknologi sangat penting dalam pemerintahan (publicpolicy) maupun perekonomian. Namun perlu disusun secara bertahap dan hati-hati (selected technology) karena ada barrier SDM dan infrastruktur (fisik dan sosial) yang ketidakmerataannya begitu nyata. Jika tidak, maka penerapan teknologi bukan mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, tetapi malah sebaliknya.
Kesiapan SDM di birokrasi dalam penerapan teknologi sangat penting untuk meningkatkan layanan pungutan pajak (e-commerce), mengetahui performance perekonomian/program setelah diterapkan suatu kebijakan, optimalisasi pajak, dan lain sebagainya. Sementara itu di sektor swasta, institusi yang berwenang pada kesiapan dan kualitas SDM (tenaga kerja) juga harus segera berbenah. Para pengusaha jangan dibiarkan kapok karena kualitas tenaga kerja kita yang pas-pasan. Apalagi persoalan yang sekarang terjadi banyak tenaga kerja yang berkarya di luar bidang yang mereka tekuni selama masa pendidikan (overlapping). Mereka berpikir sederhana, “yang penting dapat kerja”.
Bahkan alumni-alumni SMK dan pendidikan vokasi yang seharusnya menjadi tenaga terampil siap pakai, malah tidak sedikit yang statusnya sebagai pengangguran. Artinya sistem pendidikan kita perlu ditegakluruskan kembali dengan dunia kerja. Dunia pendidikan akan selamanya menjadi senjata yang terdepan untuk mencetak generasi yang adaptif, sehingga tidak gagap dan alergi dengan kemajuan teknologi.
Berikutnya, pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas asimetris dan afirmatif pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah ekonomi yang kondisinya memang membutuhkan bantuan khusus. Kemajuan teknologi seharusnya mampu dikelola agar menjadi sahabat manusia, bukan malah menjadi musuh tenaga kerja.
(thm)