Perang Proxy di Lebanon (2)

Rabu, 06 Desember 2017 - 08:59 WIB
Perang Proxy di Lebanon...
Perang Proxy di Lebanon (2)
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional

DALAM analisa sebelumnya saya menulis tentang Lebanon menyusul peristiwa pengunduran diri Perdana Menteri Hariri yang diumumkan dari Arab Saudi. Tak lama setelah kejadian itu, Hariri pulang ke negaranya dan mengumumkan penangguhan pengunduran dirinya.

Hubungan Iran dan Lebanon lebih panjang sejarahnya dibandingkan Lebanon dengan Arab Saudi. Penjelasan sejarah Lebanon penting agar kita tidak menilai perselisihan politik yang terjadi saat ini secara dangkal. Konflik di Lebanon sebenarnya adalah cerminan dari dasar bernegara di Lebanon yang sangat rentan. Lebanon sebagai negara terus berproses menemukan jati dirinya, namun proses tersebut tidak lancar karena dinamika politik yang terjadi di luar Lebanon.

Negara yang relatif kecil dengan penduduk 6.2 juta orang terjepit ini berbatasan langsung dengan Suriah, Israel dan Laut Mediterania. Dari segi komposisi agama, jumlah penduduk Muslim dan Kristen hampir sama jumlahnya dan di dalam tiap agama terdapat aliran-aliran yang beragam dan punya kekuatan politik juga di kawasan (seperti aliran Sunni, Shiah, Orthodox Yunani, Maronite-Nasrani dan lain-lain). Dalam situasi seperti ini, Lebanon terbawa dalam kepentingan negara lain sehingga tidak punya waktu untuk membangun diri mereka sendiri. Sejak perang saudara 1975, Lebanon terus menjadi medan pertarungan kepentingan negara-negara lain secara silih berganti; terus terbawa situasi peperangan kepentingan antara kekuatan-kekuatan di Timur Tengah.

Keterlibatan Iran dalam politik Lebanon baru dimulai ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Pemerintahan Kerajaan Reza Palevi melalui Revolusi Islam 1979 yang dipimpin oleh Ulama Syiah Ruhollah Khomeini (yang kemudian dikenal sebagai Ayatollah Khomeini). Iran membantu memfasilitasi berdirinya Hisbullah dari sejumlah tokoh seperti Musa al-Sadr dari Kelompok Garis Keras Harakat al-Mahrumin (dikenal sebagai Gerakan Orang Terpinggir atau dikenal dengan singkatan Aman di Lebanon). Dalam politik regional, kelompok ini menjadi penguat perjuangan Iran melawan Israel; menjaga perbatasan Lebanon selatan. Di dalam negeri, ideologi Aman ini sendiri bersifat nasionalis karena menuntut persamaan hak dan kewajiban seluruh warga Lebanon walaupun digagas oleh komunitas muslim Syiah.

Garis perjuangan Hisbullah sedikit berbeda dengan Aman dalam menghadapi Israel dan PLO meskipun mereka sama-sama menjadi wadah organisasi perjuangan komunitas Muslim Syiah di Lebanon. Aman secara politik tidak ingin melakukan konfrontasi secara langsung dengan Israel karena serangan balik Israel telah membuat Komunitas Muslim Syiah yang menjadi mayoritas penduduk di Lebanon Selatan menjadi korban. Sementara Hisbullah sendiri secara politik, terutama dari AD/ART nya memiliki tujuan untuk mendirikan Negara Republik Islam. Tujuan itu sendiri sejalan dengan kepentingan Iran yang ingin memastikan wilayah regional di Timur Tengah bebas dari pengaruh Israel dan Amerika Serikat.

Perbedaan itu tidak lepas dari konflik Israel-Palestina yang merembet ke Lebanon. PLO mendirikan basis perlawanan mereka di Lebanon Selatan yang berbatasan langsung dengan Israel terutama ketika PLO diusir dari Yordania karena terlibat dalam percobaan kudeta yang dikenal dengan nama “Black September”. Kehadiran mereka bagi masyarakat Lebanon dianggap melanggar kedaulatan negara sehingga memicu pertempuran berbagai milisi sehingga disebut dengan Perang Saudara. PLO bertempur menghadapi Milisi Maronite-Nasrani yang dibantu Israel tetapi juga bertempur dengan Milisi Aman (Syiah) dalam merebut pengaruh atas beberapa kota. Milisi Aman sendiri juga bertempur dengan Milisi Hisbullah dalam merebut kepemimpinan di dalam komunitas Syiah.

Israel sendiri kemudian menduduki Lebanon Selatan pada 1982 untuk mencegah wilayah itu digunakan sebagai basis perlawanan PLO dan PLO kemudian memindahkannya ke Lebanon Utara yang juga artinya memindahkan titik-titik pertempuran menjadi lebih luas. Suriah kemudian terlibat dalam perang tersebut; dari yang awalnya berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan perselisihan antara PLO dan para pejuang yang mayoritas berasal dari Muslim Sunni dengan Muslim Syiah hingga akhirnya merasa harus hadir di Lebanon untuk mencegah Israel masuk lebih dalam ke Lebanon. Kehadiran Suriah juga awalnya didukung oleh Liga Arab yang tergabung di Arab Deterence Forces (ADF). Meskipun ADF didirikan oleh Liga Arab secara nyata 90% pasukannya adalah pasukan Suriah.

Kepentingan Suriah adalah mencegah penetrasi yang lebih dalam dari Israel melalui Lebanon. Apabila Lebanon jatuh ke tangan Israel maka akan menjadi ancaman yang besar bagi Suriah. Oleh sebab itu, Suriah siap bekerja sama dan membantu semua kelompok yang berhadapan dengan Israel mulai dari PLO, Milisi Hisbullah, Milisi Aman , Milisi Hammas dan Iran. Kehadiran Suriah juga ditentang oleh sebagian komunitas Lebanon terutama yang berafiliasi kepada Israel. Hal ini menyebabkan pemerintahan di Lebanon yang telah terbelah menjadi lebih terbelah lagi: antara mereka yang setuju dan yang menolak kehadiran Suriah. Suriah baru benar-benar pergi setelah 30 tahun di Lebanon pada tahun 2005.

Selama periode Perang Bersaudara, Iran dan Suriah memiliki hubungan yang erat melalui Hisbullah untuk tujuan sama yaitu mencegah luasnya pengaruh Israel. Hubungan ini semakin erat ketika PLO dan Israel mencapai kesepakatan (1993) untuk menerima eksistensi keduabelah pihak sehingga mengubah perjuangan dari bersenjata ke perundingan diplomasi. Hal ini juga berimplikasi kepada negara-negara Liga Arab yang dulu menolak atau kritis bekerjasama dengan Israel dan Barat (khususnya AS) mulai mengambil pendekatan pragmatis dan lebih mengutamakan kemajuan ekonomi dalam negeri masing-masing negara.

Meskipun sebagian besar negara masih tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel namun mereka tidak lagi memusuhi Israel seperti tahun 1970an. Bantuan yang dulu diberikan kepada PLO dalam bentuk senjata, kini diganti dengan program-program pembangunan. Dinamika politik regional itu juga menyisakan Iran dan Suriah yang masih terus melawan pengaruh Israel lebih luas di Lebanon. Iran dan Suriah juga menjadi pendonor bagi organisasi yang menggunakan perjuangan bersenjata untuk membebaskan Palestina seperti Hamas. Hamas sendiri adalah organisasi Muslim Sunni yang menjadi kompetitor Fatah/PLO dan menguasai Gaza. Suriah menjadi tempat latihan dan suaka bagi para pejabat Hamas yang melarikan diri dari Palestina.

Lambat laun konflik yang awalnya adalah antara negara-negara Arab berhadapan dengan Israel kini justru terjadi di antara negara Arab itu sendiri atau khususnya antara Iran melawan Arab Saudi. Sikap anti Israel membuat Iran menjadi populis (terutama dalam komunitas Syiah) dan memiliki pengaruh di beberapa negara di Timur Tengah. Iran juga terus menggagas dan memperluas ideologi pembentukan Negara Republik Islam untuk menggantikan kekuasaan Kerajaan yang masih mendominasi sistim pemerintahan di Timur Tengah. Hal ini yang menjadi salah satu kekhawatiran ketika Arab Springs berkembang. Negara GCC mengkhawatirkan pengaruh Iran akan menjadi kuat masuk ke dalam gerakan gelombang protes yang melanda seluruh negeri di Timur Tengah. Di situlah gerakan yang dipimpin Perdana Menteri Hariri berteriak. Bagian ini telah saya jelaskan minggu lalu.

Hubungan Iran, Suriah dan Hisbullah tampaknya akan semakin erat pasca gagalnya pendirian ISIS. Hamas dari kelompok Sunni yang dulu menjauh dari Iran dan Suriah karena tidak mau membantu Suriah kini kembali menguatkan hubungan dengan Iran. Menyusul penangguhan pengunduran diri Hariri, masih perlu dipantau apakah konsekuensinya bagi perang pengaruh di Timur Tengah ini. Apakah Lebanon akan menjadi sasaran ISIS ke-2 sebagai kelanjutan perang proksi dan perang pengaruh antara Iran dan Arab Saudi? *
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0759 seconds (0.1#10.140)