Selamat Datang Komandan Pajak Baru

Senin, 04 Desember 2017 - 08:04 WIB
Selamat Datang Komandan...
Selamat Datang Komandan Pajak Baru
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

TEPAT pada 1 Desember 2017 kemarin Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak resmi memiliki nahkoda baru. Presiden Joko Widodo telah memilih Robert Pakpahan sebagai komandan pajak yang baru menggantikan Ken Dwijugiasteadi yang telah memasuki masa purna tugas.

Dalam profilnya, Robert Pakpahan ternyata pernah menjadi “orang dalam” di Dirjen Pajak sebelum mengisi jabatan sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. Ihwal penunjukan Robert Pakpahan sebagai Dirjen Pajak yang baru oleh Presiden, dijelaskan oleh Menkeu Sri Mulyani karena berkaitan dengan pengalaman dan pemahaman di bidang perpajakan dalam kapasitas jabatan sebelumnya.

Selain sebagai Dirjen DJPPR, Robert juga tercatat pernah mengemban tugas sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak dari 2003 hingga 2005 silam. Setelahnya Robert dipercaya menjadi Direktur Potensi dan Sistem Perpajakan hingga tahun 2006 dan sebagai Direktur Transformasi Proses Bisnis.

Robert juga pernah menjadi Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara pada tahun 2011. Sehingga Robert dinilai memiliki background yang pas karena melewati banyak kronik-kronik yang terkait dengan reformasi perpajakan di Indonesia.

Sekarang tugas berat sudah menanti Robert Pakpahan sebagai Dirjen Pajak yang baru. Lembaga perpajakan teramat krusial bagi denyut fiskal negara karena hampir mayoritas dana belanja pemerintah disediakan dari hasil perolehan pajak.

Pada 2016 dari total pendapatan negara sebesar Rp1.555,9 triliun, sebanyak Rp1.284,97 triliun atau sekitar 82,59% di antaranya dihasilkan dari penerimaan perpajakan. Sedangkan dalam lima tahun sebelumnya dalam kurun waktu 2011-2015, kontribusi penerimaan perpajakan rata-rata mencapai 75,31% terhadap total pendapatan negara.

Dari persentase tersebut menegaskan bahwa peranan perpajakan sangat penting untuk pembangunan nasional. Sehingga selama pos pendapatan negara lainnya belum mampu mengimbangi kontribusi perpajakan, maka kinerja perpajakan akan sulit terlepas dari sorotan utama publik.

Perpajakan akan selalu dikaitkan dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran pembangunan negara. Nah di sinilah kapasitas Robert Pakpahan akan sangat diuji karena bisa jadi akan seringkali muncul tekanan hebat dari luar dan dalam pemerintahan mengenai kinerja institusinya.

Dalam waktu dekat masyarakat akan segera disuguhkan bagaimana pola kerja Dirjen Pajak yang baru dalam mengejar target pajak 2017. Hingga akhir November kemarin pajak yang sudah terkumpul mencapai Rp1.148 triliun atau sekitar 78% dari target APBN-P 2017 yang senilai Rp1.472 triliun.

Dalam sebulan terakhir ini otomatis Dirjen Pajak akan mengejar Rp324 target yang tersisa. Jika angka tersebut mampu terealisasi tentu akan sangat membanggakan karena berhasil melebihi penerimaan tahun lalu yang hanya terkumpul Rp1.284,97 triliun.

Penerimaan pajak juga menentukan besaran defisit fiskal yang dalam outlook 2017 ditargetkan maksimal sebesar 2,67% dari PDB. Kalau target tersebut gagal terpenuhi maka pemerintah harus bersiap-siap kembali mendapat tekanan politik karena keraguan publik akan kredibilitas pemerintah dalam perencanaan.

Setelah masa perjuangan di APBN-P 2017 berakhir, Robert Pakpahan baru akan dapat fokus pada kelanjutan nasib reformasi perpajakan yang telah diwariskan oleh pejabat terdahulu. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, reformasi perpajakan menjadi agenda yang sangat penting untuk negara ini.

Perlu ada reformasi sistemik dan berkala untuk dapat mengoptimalkan kinerja perpajakan. Pertama, sebagai sumber penerimaan utama negara, pajak dituntut harus terus dikelola dengan tingkat transparansi yang tinggi. Alasan utamanya agar modal sosial dengan masyarakat dapat terus ditingkatkan.

Modal sosial sangat penting karena hal tersebut bisa berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan pajak (compliance tax). Hal ini telah direferensikan oleh beberapa negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Jepang yang meskipun memiliki tingkat pungutan pajak yang relatif tinggi, namun partisipasi masyarakatnya dalam perpajakan tidak cukup terganggu karena diimbangi dengan modal sosial yang kuat antara negara dan wajib pajak.

Kunci utamanya terletak pada bagaimana masyarakat mampu diberikan akses untuk merasakan bahwa negara hadir di setiap afirmasi kebutuhan hidupnya. Sehingga masyarakat memiliki keyakinan yang kuat bahwa pajak menjadi salah satu sarana peningkatan perekonomian mereka melalui kebijakan politik yang dikembangkan pemerintahnya.

Saat ini pemerintah memang tengah menerapkan Perppu Nomor 1/2017 tentangAkses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Namun banyak pihak yang meragukan kesuksesan dari Perppu ini karena gap modal sosial yang cukup kentara antara negara dan objek pajak.

Kedua, pekerjaan rumah berikutnya adalah meningkatkan tingkat kepatuhan melalui reformasi struktural. Saat ini berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (2017) jumlah masyarakat yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di Indonesia baru mencapai 36 juta.

Angka tersebut jika disandingkan dengan jumlah orang yang bekerja di Indonesia menunjukkan sebuah ironi, karena total orang yang bekerja sendiri sudah mencapai 121,02 juta jiwa pada periode Agustus 2017 (BPS, 2017). Sehingga dari total penduduk yang bekerja di Indonesia, hanya 29,75% di antaranya yang memiliki NPWP.

Kemudian dari total pemilik NPWP tersebut, hanya 16 juta wajib pajak (WP) yang berada di atas kategori penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Total 16 juta WP inilah yang setiap tahunnya wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dan membayar tanggungan pajaknya secara rutin kepada pemerintah.

Namun dari jumlah tersebut lagi-lagi menyusut hanya 11,6 juta WP yang secara disiplin memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya terhadap negara. Sehingga berdasarkan catatan tersebut, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia hanya terealisasi mencapai 32,3%.

Karena masih rendahnya tingkat kepatuhan pajak itulah yang seringkali dikambinghitamkan atas kegagalan pemerintah dalam memenuhi target penerimaan pajak serta rendahnya tax ratio pajak terhadap PDB. Namun sisi positifnya upaya ekstentifikasi dan intensifikasi masih sangat terbuka untuk dilakukan pemerintah.

Hasil-hasil dari program tax amnesty yang dilakukan selama periode September 2016 hingga Maret 2017 kemarin juga dapat dijadikan sebagai stimulus untuk menggerakkan proses intensifikasi dan ekstentifikasi perpajakan. Minimal basis data yang dikumpulkan dari program tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi otoritas perpajakan untuk mengejar tingkat kepatuhan pembayaran pajak.

Potensi penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) juga akan terus meningkat seiring dengan semakin tertibnya administrasi perdagangan dan aktivitas pencatatan transaksi. Bahkan kabarnya transaksi perdagangan daring atau yang seringkali disebut e-commerce juga tidak luput dari perhatian pemerintah.

Alasannya untuk menciptakan keadilan dengan para pelaku usaha perdagangan konvensional yang selama ini menjadi target pungutan pajak. Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) 2017-2019 akan menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk menertibkan ekosistem perekonomian berbasis digital.

Dalam Road Map E-Commerce ini setidaknya mencakup 8 program penting. Yakni pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistik, keamanan siber (cyber security) dan pembentukan manajemen pelaksana sistem Road Map E-Commerce 2017-2019.

Akan tetapi perlu ada kehatian-hatian dari pemerintah untuk menyusun proses regulasinya karena saat ini pertumbuhan pelaku e-commerce di Indonesia sedang dalam masa yang menjanjikan. Apalagi peminat usaha e-commerce sebagian besar merupakan kalangan muda yang terbawa intuisi untuk selalu kritis dan inovatif. Sehingga proses tarik-ulur kebijakan harus mempertimbangkan dampak yang lebih besar terhadap perekonomian.

Para pelaku usaha jangan cuma “diperas” melalui kebijakan pajak, namun juga diimbangi dengan insentif-insentif yang menarik ketika mereka mampu memberikan dampak positif terhadap ekosistem perekonomian di Indonesia. Harapannya nanti para pengusaha lokal khususnya di level UKM juga digandeng sebagai mitra perdagangan. Artinya akan ada potensi kehidupan yang lebih baik berkat menggeliatnya e-commerce.

Ketiga, perlu ada pembangunan dari sisi kesadaran perpajakan. Sasarannya tidak hanya kepada masyarakat sebagai objek pajak melainkan juga perlu menyentuh aspek internal (SDM) dari instansi perpajakan. Effort ini sangat berkaitan dengan upaya pembangunan modal sosial antara negara sebagai penguasa dengan rakyat sebagai pembayar dan penerima manfaat dari pajak.

Secara garis besar, masyarakat sebagai objek pajak harus diyakinkan bahwa setiap rupiah yang mereka bayarkan akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk pembiayaan pembangunan negara. Hasil pembangunan tersebut juga diperuntukkan kembali bagi masyarakat agar perekonomiannya terus kian tumbuh.

Kemudian dari sisi internal perpajakan, kapasitas SDM harus dibangun secara optimal untuk menghindari adanya potensi moral hazard. SDM perpajakan seharusnya merupakan sekumpulan orang-orang yang jujur, militan, patriotik, dan transparan.

Kapasitas mereka untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat juga perlu terus ditingkatkan untuk memudahkan proses intensifikasi. Karena salah satu kendala utama mengapa tingkat ketaatan pembayaran pajak masih cukup rendah, disinyalir karena dukungan sarana informasi yang lemah sehingga banyak masyarakat yang merasa awam dengan segala tetek-bengek informasi yang berkaitan dengan proses kelembagaan perpajakan.

Akhir kata, reformasi perpajakan ini perlu terus dijalankan dan diperbaiki secara kontinyu untuk menjamin pembiayaan pembangunan dan mengurangi beban negara untuk kian bergantung pada perbendahaan utang. Meskipun tergolong cukup berat, namun cita-cita ini merupakan sebuah keniscayaan selama para punggawa di dalamnya mampu bekerja keras.

Perlu ada kesabaran dan kegigihan yang luar biasa dari otoritas perpajakan untuk menggeliatkan kinerja perpajakan. Penulis memberikan dukungan yang sangat besar kepada Robert Pakpahan beserta tim untuk dapat menyukseskan target perpajakan yang sehat.

Kata arti sehat disini adalah semuanya merasa happy dengan sistem perpajakan di Indonesia, baik dari sisi wajib pajak maupun otoritas yang menjalankan sistem perpajakan. Caranya pun tidak melulu harus agresif.

Pemerintah harus lebih jeli dan kreatif untuk mendapatkan hasil yang kreatif. Harapan besar telah disematkan masyarakat kepada segenap otoritas perpajakan. Selamat bekerja kepada Dirjen Pajak yang baru!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1991 seconds (0.1#10.140)