Urgensi Tarif Listrik Terjangkau
A
A
A
Fahmy Radhi Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
UNTUK mencapai keadilan energi, sesuai dengan Program Nawacita Presiden Joko Widodo, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampaknya bekerja keras untuk mewujudkan itu satu di antaranya melalui program
kelistrikan. Di samping mewujudkan Proyek Listrik 35.000 MW, program unggulan Joko Widodo, Menteri ESDM
Ignasius Jonan juga memprioritaskan percepatan elektrifikasi, utamanya listrik di perdesaan.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik dengan prioritas: (1) perdesaan belum
berkembang, (2) perdesaan terpencil, (3) perdesaan perbatasan, dan (4) pulau kecil berpenduduk. Prioritas elektrifikasi perdesaan ini menunjukkan komitmen pemerintah kepada rakyat di perdesaan untuk memperoleh akses penerangan.
Komitmen serupa juga ditunjukkan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017, bahkan Jonan
bertekad mengupayakan tidak ada kenaikan tarif listrik hingga akhir 2019. Memang tidak bisa dihindari ada penilaian dari beberapa kalangan bahwa komitmen Jonan itu dalam rangka mendukung upaya pemenangan pencapresan Joko Widodo periode kedua pada Pilpres 2019. Namun, lepas dari syak-wasangka politik itu, tidak ada kenaikan tarif listrik hingga 2019 akan menguntungkan rakyat dan industri pengguna listrik.
Hanya, bagaimana strategi yang harus ditempuh agar tarif listrik tidak naik sehingga semakin terjangkau bagi
masyarakat. Berbeda dengan percepatan elektrifikasi, komitmen pemerintah untuk secara konsisten tidak menaikan tarif listrik memang relatif lebih sulit untuk dicapainya. Penetapan tarif listrik relatif tidak bisa dikontrol (uncontrollable) secara langsung oleh pemerintah.
Di samping tarif ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR, ada beberapa variabel yang secara signifikan menentukan tarif listrik. Satu di antara variabelnya adalah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN dan power purchase
agreement (PPA) dari independent power producer (IPP), perusahaan swasta yang menjual listrik ke PLN. Agar tarif listrik semakin terjangkau, PLN dan IPP harus mencapai efisiensi dalam produksi dan penyediaan listrik.
Kendati terjadi tren penurunan BPP, PLN dinilai masih belum mencapai efisiensi secara optimal. Indikatornya,
pemerintah masih mengeluarkan subsidi listrik dalam jumlah yang besar. Meskipun sudah ada pemangkasan, total subsidi listrik pada 2016 masih mencapai Rp58,1 triliun di antaranya untuk 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin. Inefisiensi PLN tersebut juga tercermin dari ada gap antara BPP listrik per kWh yang selalu lebih besar daripada tarif ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR.
Data menunjukkan pada 2011 BPP tercatat sebesar Rp1.251/kWh, sedangkan tarif listrik ditetapkan sebesar Rp738/kWh sehingga beban subsidi pemerintah sebesar Rp513/kWh. Pada 2016 BPP turun menjadi Rp1.229/kWh, tarif ditetapkan Rp1.150/kWh, beban subsidi turun menjadi Rp79/kWh. Pada tahun yang sama, harga jual PPA ke PLN rata-rata sebesar USD6,52 cent atau setara Rp868/kWh. Jumlah itu merupakan 64% dari HPP. Jika ditambah biaya distribusi, biaya transmisi, biaya pemeliharaan, dan biaya lainnya sebesar Rp488,52/kWh, yang merupakan 36% dari HPP. Total HPP dari IPP sebesar Rp1,356.25/kWh (Rp868+Rp488,52), masih lebih besar dibanding HPP listrik yang dihasilkan oleh PLN sebesar Rp1.229/kWh.
Ada selisih kemahalan antara BPP IPP dan BPP PLN yang mendorong Kementerian ESDM mengimbau kepada
direktur utama PLN untuk meninjau ulang perjanjian jual beli tenaga listrik dengan IPP. Tujuan dari imbauan itu adalah menjadikan tarif listrik yang semakin terjangkau dan sekaligus menurunkan alokasi subsidi listrik sesuai program
Kementerian ESDM. Melalui surat Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng mengimbau PLN untuk meninjau ulang perjanjian dengan IPP bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.
Berdasarkan surat imbauan tersebut, PLN dengan sigap menindaklanjuti dengan melakukan perundingan secara business-to-business (B2B) dengan sejumlah IPP untuk meninjau ulang penetapan PPA yang sudah disepakati
bersama. Hasilnya, PLTU Cirebon dan PLTU Tanjung Jati B 2X1000 MW sepakat menurunkan APP dari USD6 cent menjadi USD5,5 cent per kWh. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa-3 juga bersedia
menurunkan APP dari USD6,3 cent per kWh menjadi USD6,1 per kWh. Demikian juga dengan PT Adaro Power tetap berkomitmen untuk mengembangkan bisnis pembangkit listrik di Indonesia selama masih menarik secara komersial.
Ada beberapa pengusaha listrik swasta yang telah bersedia dan berkomitmen menurunkan PPA mengindikasikan
bahwa peninjauan ulang PPA tidak menjadi masalah serius bagi IPP. Sejumlah pengusaha listrik swasta bahkan mengatakan bahwa investasi listrik di Indonesia masih memberikan margin. Meski margin berkurang akibat penurunan PP, omzet penjualan yang diraup pengusaha listrik swasta masih dalam jumlah yang besar.
Tidak bisa dihindari, upaya peninjauan kembali penetapan PPA menimbulkan resistensi dari beberapa pihak. Rizka
Armadhana, bendahara Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI), menolak peninjauan kembali besaran PPA. Menurut Rizka, peninjauan PPA berpotensi memunculkan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha di sektor listrik, termasuk lembaga keuangan. Ujung-ujungnya akan memicu iklim investasi tidak lagi kondusif.
Penolakan senada juga disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Berapa saat setelah pertemuan Wakil Menteri ESDM Acandra Tahar, Luhut mengatakan seharusnya evaluasi PPA sudah tidak perlu dilakukan lagi bila dua belah pihak, yakni PLN dan pengembang swasta, sudah setuju untuk melakukan tanda tangan kontrak PPA. Peninjauan kembali kontrak PPA akan menimbulkan ketidakpastian, yang bisa memengaruhi minat para investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Kekhawatiran bendahara APLSI dan Luhut memang beralasan. Namun, jika mencermati ada beberapa IPP, yang
menerima peninjauan ulang PPA, bahkan bersedia menurunkan PPA, kekhawatiran Rizka dan Luhut sesungguhnya agak berlebihan. Apalagi, tujuan penurunan PPA itu untuk menjadikan tarif listrik semakin terjangkau oleh masyarakat sehingga pemerintah tidak perlu menaikan tarif listrik secara konsisten hingga 2019.
Sesungguhnya ada kepentingan bangsa yang lebih besar untuk didahulukan dalam peninjauan ulang PPA, yakni tarif yang semakin terjangkau. Dengan tarif listrik yang terjangkau, tidak hanya mengurangi beban rakyat, tetapi juga
menjadikan industri pengguna listrik bisa lebih kompetitif dalam bersaing di pasar global. Upaya Kementerian ESDM untuk menjadikan tarif listrik semakin terjangkau memang tidak mudah, tetapi tidak mustahil untuk direalisasikan
selama didukung oleh berbagai pihak, termasuk dukungan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
UNTUK mencapai keadilan energi, sesuai dengan Program Nawacita Presiden Joko Widodo, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampaknya bekerja keras untuk mewujudkan itu satu di antaranya melalui program
kelistrikan. Di samping mewujudkan Proyek Listrik 35.000 MW, program unggulan Joko Widodo, Menteri ESDM
Ignasius Jonan juga memprioritaskan percepatan elektrifikasi, utamanya listrik di perdesaan.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik dengan prioritas: (1) perdesaan belum
berkembang, (2) perdesaan terpencil, (3) perdesaan perbatasan, dan (4) pulau kecil berpenduduk. Prioritas elektrifikasi perdesaan ini menunjukkan komitmen pemerintah kepada rakyat di perdesaan untuk memperoleh akses penerangan.
Komitmen serupa juga ditunjukkan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017, bahkan Jonan
bertekad mengupayakan tidak ada kenaikan tarif listrik hingga akhir 2019. Memang tidak bisa dihindari ada penilaian dari beberapa kalangan bahwa komitmen Jonan itu dalam rangka mendukung upaya pemenangan pencapresan Joko Widodo periode kedua pada Pilpres 2019. Namun, lepas dari syak-wasangka politik itu, tidak ada kenaikan tarif listrik hingga 2019 akan menguntungkan rakyat dan industri pengguna listrik.
Hanya, bagaimana strategi yang harus ditempuh agar tarif listrik tidak naik sehingga semakin terjangkau bagi
masyarakat. Berbeda dengan percepatan elektrifikasi, komitmen pemerintah untuk secara konsisten tidak menaikan tarif listrik memang relatif lebih sulit untuk dicapainya. Penetapan tarif listrik relatif tidak bisa dikontrol (uncontrollable) secara langsung oleh pemerintah.
Di samping tarif ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR, ada beberapa variabel yang secara signifikan menentukan tarif listrik. Satu di antara variabelnya adalah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN dan power purchase
agreement (PPA) dari independent power producer (IPP), perusahaan swasta yang menjual listrik ke PLN. Agar tarif listrik semakin terjangkau, PLN dan IPP harus mencapai efisiensi dalam produksi dan penyediaan listrik.
Kendati terjadi tren penurunan BPP, PLN dinilai masih belum mencapai efisiensi secara optimal. Indikatornya,
pemerintah masih mengeluarkan subsidi listrik dalam jumlah yang besar. Meskipun sudah ada pemangkasan, total subsidi listrik pada 2016 masih mencapai Rp58,1 triliun di antaranya untuk 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin. Inefisiensi PLN tersebut juga tercermin dari ada gap antara BPP listrik per kWh yang selalu lebih besar daripada tarif ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR.
Data menunjukkan pada 2011 BPP tercatat sebesar Rp1.251/kWh, sedangkan tarif listrik ditetapkan sebesar Rp738/kWh sehingga beban subsidi pemerintah sebesar Rp513/kWh. Pada 2016 BPP turun menjadi Rp1.229/kWh, tarif ditetapkan Rp1.150/kWh, beban subsidi turun menjadi Rp79/kWh. Pada tahun yang sama, harga jual PPA ke PLN rata-rata sebesar USD6,52 cent atau setara Rp868/kWh. Jumlah itu merupakan 64% dari HPP. Jika ditambah biaya distribusi, biaya transmisi, biaya pemeliharaan, dan biaya lainnya sebesar Rp488,52/kWh, yang merupakan 36% dari HPP. Total HPP dari IPP sebesar Rp1,356.25/kWh (Rp868+Rp488,52), masih lebih besar dibanding HPP listrik yang dihasilkan oleh PLN sebesar Rp1.229/kWh.
Ada selisih kemahalan antara BPP IPP dan BPP PLN yang mendorong Kementerian ESDM mengimbau kepada
direktur utama PLN untuk meninjau ulang perjanjian jual beli tenaga listrik dengan IPP. Tujuan dari imbauan itu adalah menjadikan tarif listrik yang semakin terjangkau dan sekaligus menurunkan alokasi subsidi listrik sesuai program
Kementerian ESDM. Melalui surat Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng mengimbau PLN untuk meninjau ulang perjanjian dengan IPP bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.
Berdasarkan surat imbauan tersebut, PLN dengan sigap menindaklanjuti dengan melakukan perundingan secara business-to-business (B2B) dengan sejumlah IPP untuk meninjau ulang penetapan PPA yang sudah disepakati
bersama. Hasilnya, PLTU Cirebon dan PLTU Tanjung Jati B 2X1000 MW sepakat menurunkan APP dari USD6 cent menjadi USD5,5 cent per kWh. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa-3 juga bersedia
menurunkan APP dari USD6,3 cent per kWh menjadi USD6,1 per kWh. Demikian juga dengan PT Adaro Power tetap berkomitmen untuk mengembangkan bisnis pembangkit listrik di Indonesia selama masih menarik secara komersial.
Ada beberapa pengusaha listrik swasta yang telah bersedia dan berkomitmen menurunkan PPA mengindikasikan
bahwa peninjauan ulang PPA tidak menjadi masalah serius bagi IPP. Sejumlah pengusaha listrik swasta bahkan mengatakan bahwa investasi listrik di Indonesia masih memberikan margin. Meski margin berkurang akibat penurunan PP, omzet penjualan yang diraup pengusaha listrik swasta masih dalam jumlah yang besar.
Tidak bisa dihindari, upaya peninjauan kembali penetapan PPA menimbulkan resistensi dari beberapa pihak. Rizka
Armadhana, bendahara Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI), menolak peninjauan kembali besaran PPA. Menurut Rizka, peninjauan PPA berpotensi memunculkan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha di sektor listrik, termasuk lembaga keuangan. Ujung-ujungnya akan memicu iklim investasi tidak lagi kondusif.
Penolakan senada juga disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Berapa saat setelah pertemuan Wakil Menteri ESDM Acandra Tahar, Luhut mengatakan seharusnya evaluasi PPA sudah tidak perlu dilakukan lagi bila dua belah pihak, yakni PLN dan pengembang swasta, sudah setuju untuk melakukan tanda tangan kontrak PPA. Peninjauan kembali kontrak PPA akan menimbulkan ketidakpastian, yang bisa memengaruhi minat para investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Kekhawatiran bendahara APLSI dan Luhut memang beralasan. Namun, jika mencermati ada beberapa IPP, yang
menerima peninjauan ulang PPA, bahkan bersedia menurunkan PPA, kekhawatiran Rizka dan Luhut sesungguhnya agak berlebihan. Apalagi, tujuan penurunan PPA itu untuk menjadikan tarif listrik semakin terjangkau oleh masyarakat sehingga pemerintah tidak perlu menaikan tarif listrik secara konsisten hingga 2019.
Sesungguhnya ada kepentingan bangsa yang lebih besar untuk didahulukan dalam peninjauan ulang PPA, yakni tarif yang semakin terjangkau. Dengan tarif listrik yang terjangkau, tidak hanya mengurangi beban rakyat, tetapi juga
menjadikan industri pengguna listrik bisa lebih kompetitif dalam bersaing di pasar global. Upaya Kementerian ESDM untuk menjadikan tarif listrik semakin terjangkau memang tidak mudah, tetapi tidak mustahil untuk direalisasikan
selama didukung oleh berbagai pihak, termasuk dukungan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
(rhs)