Asian Games dan Jiwa Kebangsaan Kita
A
A
A
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
Kompetisi olahraga antarnegara sejatinya bukan saja sebagai ajang untuk unjuk kebolehan kemampuan teknis dan kekuatan fisik.
Namun lebih dari itu, pada aras lain kompetisi olahraga adalah ajang untuk membangun jiwa persatuan dan gairah kebangsaan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan saja terbatas pada atlet-atlet yang berlaga.
Lihat saja penonton kompetisi bulu tangkis misalnya, baik di sisi lapangan maupun di balik layar kaca. Teriakan Indonesia benar-benar mengandung berjuta harapan bahwa kemenangan bukan saja berupa piala, tapi juga berbuahkan rasa bangga yang tak terperi yang melintasi seluruh pembuluh nadi anak negeri.
Para pencinta bulu tangkis Tanah Air, dari balik kaca harap-harap cemas mengikuti liak-liuk pemain di lapangan, sembari tetap memantau pergerakan angka.
Harapan, gelora semangat keindonesiaan, semburan api cinta Tanah Air, bayang-bayang kibaran merah putih di atas bendera-bendera negara lain, bercampur aduk dan menyatu ke dalam satu adonan rasa cinta dan bangga sebagai anak negeri Ibu Pertiwi.
Bukankah hal semacam ini yang akan membuat kita sebagai anak negeri, apa pun latar belakangnya, apa pun asal generasinya, akan saling melupakan perbedaan dan saling membanggakan latar keanaknegerian kita? Saya percaya, jawabannya adalah "ya" dan memang "ya".
Kompetisi olahraga adalah perang dalam makna yang sangat halus. Tatkala nasionalisme para pendahulu kita terbakar karena perang melawan kolonialisme dan imperialisme, kompetisi olahraga adalah perang era baru di mana senjata, ketakutan, dan kebencian terhadap lawan tak lagi dijadikan bahan mentahnya.
Kompetisi antarnegara dibangun atas landasan persahabatan, kasih sayang antarnegara, sportivitas, dan rasa bertanggung jawab kepada bangsa, pun rasa bertanggung jawab atas setiap event keolahragaan yang dipertandingkan.
Kemenangan yang didapat pun, bukan saja sebagai ganjaran atas kemenangan dalam adu tanding, tapi juga sebagai ganjaran atas keberhasilan dalam membangunkan jiwa-jiwa optimistis anak negeri yang sudah mulai skeptis dengan eksistensi negerinya sendiri bahwa Indonesia memang sudah selayaknya bersuara lantang di antara negara-negara lain dan merah putih sudah seharusnya berkibar bersama negara-negara lain dengan penuh bangga plus percaya diri.
Soekarno sangat percaya bahwa kompetisi olahraga adalah bagian dari upaya membangun jiwa bangsa Indonesia. Oleh karena itu, baru berselang empat tahun setelah merdeka, Soekarno berjuang keras dengan segala cara agar Asian Games keempat, 1962, diadakan di Indonesia.
Semua pihak ketika itu diminta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan agar Indonesia layak menjadi tuan rumah. Berapa pun anggarannya, harus diperjuangkan, apa pun infrastrukturnya harus diadakan, demi terlaksananya Asian Games keempat pada 1962.
Mengapa? Karena Soekarno pun percaya bahwa kompetisi olahraga antarnegara bukan sekadar kompetisi adu gengsi dan kemampuan teknis, tapi sebagai ajang yang punya tujuan jauh lebih besar dari itu, yakni tujuan nation building .
"Revolusi keolahragaan kita adalah sebagian daripada nation building Indonesia, revolusi kita untuk membentuk manusia baru Indonesia, antropologis, rasial, adalah sebagian daripada nation building Indonesia.
"Pendek kata, Saudara, kita ini sekarang semuanya memikul tugas besar yang di dalam satu perkataan dinamakan nation building ," demikian Bung Karno menyerukan dalam suatu pidatonya, beberapa waktu sebelum Asian Games keempat pada 1962.
Bisa dibayangkan, sampai hari ini, sudah hampir tidak ada lagi instrumen dan kegiatan yang mampu membuat anak negeri bersatu dalam jiwa dan rasa atas nama Indonesia, selain event kompetisi olahraga antarnegara.
Bahkan momen-momen bersejarah yang diperingati setiap tahun pun, berlalu hambar layaknya upacara rutin setiap hari Senin.
Momen bersejarah menjadi momen peringatan yang sangat nostalgis. Terkadang berderai air mata, tapi tak membuahkan apa-apa lagi. Nuansa magis pemersatunya kian hari kian menipis.
Kekuatan magisnya untuk mempersatukan jiwa-jiwa anak negeri terkikis digantikan oleh infiltrasi-infiltrasi kepentingan politis dangkal yang disisipkan di dalamnya.
Kemudian tanggal berlalu, hari berganti, semuanya kembali seperti biasa. Walhasil, rasa kebangsaan, rasa bangga menjadi Indonesia, rasa cinta menyandang status warga negara Indonesia, tak mampu terungkapkan secara ekspresif dan emosional.
Namun, kompetisi olahraga antarbangsa se-Asia, utamanya Asian Games 2018, punya kekuatan magis itu. Semangat mengejar kemenangan bukan saja perkara piala, tapi perkara bangsa Indonesia, perkara nation building, perkara ratusan juta manusia Indonesia yang perlu tetap dijaga rasa kebangsaannya, perkara semangat untuk tetap meneriakkan Indonesia dengan lantang dan bangga, sekalipun bejibun perbedaan ada di dalamnya. Percaya atau tidak, pada akhirnya, Asian Games adalah perkara eksistensi bangsa.
Lantas, kepada siapa kita semua bersandar? Tak lain, kepada atlet-atlet yang berlaga yang sudah pasti adalah "anak-anak muda berbakat kebangsaan bangsa".
Mereka adalah manusia-manusia muda pilihan yang akan membangunkan jiwa-jiwa patriotis, jiwa-jiwa nasionalis, jiwa-jiwa perjuangan, yang mengendap di dalam ratusan juta jiwa anak Ibu Pertiwi.
Karena melalui kompetisi olahraga antarnegaralah, salah satunya, esensi lagu Indonesia Raya bisa diwujudkan. "Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya".
Dengan raga-raga yang sehat, dibekali kemampuan teknis olahraga yang mumpuni, para serdadu muda Ibu Pertiwi berangkat membawa semangat dan harapan untuk bangsa dan negaranya.
Dengan jiwa-jiwa yang menggelora, mereka mengejar piala untuk memenuhi kebutuhan jiwa ratusan juta anak bangsa di tanah Ibu Pertiwi. Mari kita sukseskan perjuangan anak-anak muda berbakat kebanggaan bangsa di Sea Games 2018. Mari kita gelorakan kembali jiwa-jiwa kebangsaan anak negeri dengan semangat dan keringat mereka.
Untuk itu, kita boleh berbangga bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota Ibu Pertiwi kini sudah menyiapkan fasilitas dan segala rupa infrastruktur yang keren, seperti fasilitas velodrome sepeda, berkuda, renang, dan lain-lain, yang semuanya sangat megah dan multifungsi.
Jika infrastruktur fisik penunjang konektivitas dianggap akan menyokong ekonomi, maka infrastruktur olahraga diharapkan akan menumbuhkan spirit dan menciptakan kematangan pembinaan yang kemudian melahirkan aneka rupa prestasi olahraga.
Lantas, prestasi-prestasi tersebut akan melelehkan air mata-air mata cinta dan bangga dari anak-anak Ibu Pertiwi kepada Indonesia, dari tahun ke tahun.
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
Kompetisi olahraga antarnegara sejatinya bukan saja sebagai ajang untuk unjuk kebolehan kemampuan teknis dan kekuatan fisik.
Namun lebih dari itu, pada aras lain kompetisi olahraga adalah ajang untuk membangun jiwa persatuan dan gairah kebangsaan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan saja terbatas pada atlet-atlet yang berlaga.
Lihat saja penonton kompetisi bulu tangkis misalnya, baik di sisi lapangan maupun di balik layar kaca. Teriakan Indonesia benar-benar mengandung berjuta harapan bahwa kemenangan bukan saja berupa piala, tapi juga berbuahkan rasa bangga yang tak terperi yang melintasi seluruh pembuluh nadi anak negeri.
Para pencinta bulu tangkis Tanah Air, dari balik kaca harap-harap cemas mengikuti liak-liuk pemain di lapangan, sembari tetap memantau pergerakan angka.
Harapan, gelora semangat keindonesiaan, semburan api cinta Tanah Air, bayang-bayang kibaran merah putih di atas bendera-bendera negara lain, bercampur aduk dan menyatu ke dalam satu adonan rasa cinta dan bangga sebagai anak negeri Ibu Pertiwi.
Bukankah hal semacam ini yang akan membuat kita sebagai anak negeri, apa pun latar belakangnya, apa pun asal generasinya, akan saling melupakan perbedaan dan saling membanggakan latar keanaknegerian kita? Saya percaya, jawabannya adalah "ya" dan memang "ya".
Kompetisi olahraga adalah perang dalam makna yang sangat halus. Tatkala nasionalisme para pendahulu kita terbakar karena perang melawan kolonialisme dan imperialisme, kompetisi olahraga adalah perang era baru di mana senjata, ketakutan, dan kebencian terhadap lawan tak lagi dijadikan bahan mentahnya.
Kompetisi antarnegara dibangun atas landasan persahabatan, kasih sayang antarnegara, sportivitas, dan rasa bertanggung jawab kepada bangsa, pun rasa bertanggung jawab atas setiap event keolahragaan yang dipertandingkan.
Kemenangan yang didapat pun, bukan saja sebagai ganjaran atas kemenangan dalam adu tanding, tapi juga sebagai ganjaran atas keberhasilan dalam membangunkan jiwa-jiwa optimistis anak negeri yang sudah mulai skeptis dengan eksistensi negerinya sendiri bahwa Indonesia memang sudah selayaknya bersuara lantang di antara negara-negara lain dan merah putih sudah seharusnya berkibar bersama negara-negara lain dengan penuh bangga plus percaya diri.
Soekarno sangat percaya bahwa kompetisi olahraga adalah bagian dari upaya membangun jiwa bangsa Indonesia. Oleh karena itu, baru berselang empat tahun setelah merdeka, Soekarno berjuang keras dengan segala cara agar Asian Games keempat, 1962, diadakan di Indonesia.
Semua pihak ketika itu diminta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan agar Indonesia layak menjadi tuan rumah. Berapa pun anggarannya, harus diperjuangkan, apa pun infrastrukturnya harus diadakan, demi terlaksananya Asian Games keempat pada 1962.
Mengapa? Karena Soekarno pun percaya bahwa kompetisi olahraga antarnegara bukan sekadar kompetisi adu gengsi dan kemampuan teknis, tapi sebagai ajang yang punya tujuan jauh lebih besar dari itu, yakni tujuan nation building .
"Revolusi keolahragaan kita adalah sebagian daripada nation building Indonesia, revolusi kita untuk membentuk manusia baru Indonesia, antropologis, rasial, adalah sebagian daripada nation building Indonesia.
"Pendek kata, Saudara, kita ini sekarang semuanya memikul tugas besar yang di dalam satu perkataan dinamakan nation building ," demikian Bung Karno menyerukan dalam suatu pidatonya, beberapa waktu sebelum Asian Games keempat pada 1962.
Bisa dibayangkan, sampai hari ini, sudah hampir tidak ada lagi instrumen dan kegiatan yang mampu membuat anak negeri bersatu dalam jiwa dan rasa atas nama Indonesia, selain event kompetisi olahraga antarnegara.
Bahkan momen-momen bersejarah yang diperingati setiap tahun pun, berlalu hambar layaknya upacara rutin setiap hari Senin.
Momen bersejarah menjadi momen peringatan yang sangat nostalgis. Terkadang berderai air mata, tapi tak membuahkan apa-apa lagi. Nuansa magis pemersatunya kian hari kian menipis.
Kekuatan magisnya untuk mempersatukan jiwa-jiwa anak negeri terkikis digantikan oleh infiltrasi-infiltrasi kepentingan politis dangkal yang disisipkan di dalamnya.
Kemudian tanggal berlalu, hari berganti, semuanya kembali seperti biasa. Walhasil, rasa kebangsaan, rasa bangga menjadi Indonesia, rasa cinta menyandang status warga negara Indonesia, tak mampu terungkapkan secara ekspresif dan emosional.
Namun, kompetisi olahraga antarbangsa se-Asia, utamanya Asian Games 2018, punya kekuatan magis itu. Semangat mengejar kemenangan bukan saja perkara piala, tapi perkara bangsa Indonesia, perkara nation building, perkara ratusan juta manusia Indonesia yang perlu tetap dijaga rasa kebangsaannya, perkara semangat untuk tetap meneriakkan Indonesia dengan lantang dan bangga, sekalipun bejibun perbedaan ada di dalamnya. Percaya atau tidak, pada akhirnya, Asian Games adalah perkara eksistensi bangsa.
Lantas, kepada siapa kita semua bersandar? Tak lain, kepada atlet-atlet yang berlaga yang sudah pasti adalah "anak-anak muda berbakat kebangsaan bangsa".
Mereka adalah manusia-manusia muda pilihan yang akan membangunkan jiwa-jiwa patriotis, jiwa-jiwa nasionalis, jiwa-jiwa perjuangan, yang mengendap di dalam ratusan juta jiwa anak Ibu Pertiwi.
Karena melalui kompetisi olahraga antarnegaralah, salah satunya, esensi lagu Indonesia Raya bisa diwujudkan. "Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya".
Dengan raga-raga yang sehat, dibekali kemampuan teknis olahraga yang mumpuni, para serdadu muda Ibu Pertiwi berangkat membawa semangat dan harapan untuk bangsa dan negaranya.
Dengan jiwa-jiwa yang menggelora, mereka mengejar piala untuk memenuhi kebutuhan jiwa ratusan juta anak bangsa di tanah Ibu Pertiwi. Mari kita sukseskan perjuangan anak-anak muda berbakat kebanggaan bangsa di Sea Games 2018. Mari kita gelorakan kembali jiwa-jiwa kebangsaan anak negeri dengan semangat dan keringat mereka.
Untuk itu, kita boleh berbangga bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota Ibu Pertiwi kini sudah menyiapkan fasilitas dan segala rupa infrastruktur yang keren, seperti fasilitas velodrome sepeda, berkuda, renang, dan lain-lain, yang semuanya sangat megah dan multifungsi.
Jika infrastruktur fisik penunjang konektivitas dianggap akan menyokong ekonomi, maka infrastruktur olahraga diharapkan akan menumbuhkan spirit dan menciptakan kematangan pembinaan yang kemudian melahirkan aneka rupa prestasi olahraga.
Lantas, prestasi-prestasi tersebut akan melelehkan air mata-air mata cinta dan bangga dari anak-anak Ibu Pertiwi kepada Indonesia, dari tahun ke tahun.
(nag)