Harimau Jawa dan Arti Penting Keberadaannya
A
A
A
NYOTO SANTOSO
Dosen Fakultas Kehutanan IPB/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB
GANDA Saputra, petugas jagawana Ujung Kulon, Banten, belum lama ini menjadi perhatian dunia. Penyebabnya, Ganda dengan mata kepala sendiri mengaku menemukan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) di Ujung Kulon, Agustus lalu. Sampai hari-hari ini, kesaksian Ganda tersebut masih menjadi perbincangan hangat di dunia ilmu pengetahuan. Soalnya, selama ini versi ilmuwan, mbah loreng jawa telah dianggap punah. Beberapa diskusi tentang keberadaan harimau jawa baru-baru ini diadakan untuk membahas hal tersebut.
Konon, siang hari itu, 25 Agustus lalu, ketika Ganda melakukan ekspedisi untuk pendataan banteng di hutan lindung Ujung Kulon, tiba-tiba dia mendengar suara auman macan yang mengagetkan. Tentu saja Ganda kaget sekali. Dia pun bersembunyi untuk melihat, macan apa yang mengaum keras itu. Ganda pun memotretnya. Ternyata, menurut pengamatan Ganda, macan tersebut adalah harimau jawa yang selama ini dianggap sudah punah.
Kesaksian Ganda pun tentang adanya harimau jawa tersebut, tentu saja menghebohkan dunia konservasi dan ilmu pengetahuan. Pasalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan International Union of Conservation for Nature, masing-masing pada 1994 dan 1996, telah mengumumkan bahwa harimau jawa telah punah.
Jika kesaksian Ganda itu benar, berarti masih ada tersisa harimau jawa, yang mana nilainya secara ilmu pengetahuan dan konservasi tinggi sekali. Masyarakat konservasi dan pencinta lingkungan di dunia akan menabuh tambur tanda kegembiraan yang luar biasa.
Luar biasa? Betul, karena temuan tersebut sangat mengejutkan. Karena itu, kesaksian Ganda plus tiga jepretan kameranya, kini sedang diselidiki serius. Warna bulunya, tinggi pinggulnya, tinggi pundaknya, bagaimana ekornya—apakah ia benar-benar mbah loreng jawa? Sebab bisa saja, apa yang dilihat Ganda adalah macan tutul. Kalau macan tutul, memang belum dinyatakan punah. Masih tersisa beberapa puluh ekor di hutan-hutan Pulau Jawa, termasuk di Ujung Kulon.
Kepada wartawan, Didik Raharyono—pemerhati lingkungan, yang 20 tahun terakhir meneliti harimau jawa, mengatakan hewan yang terfoto itu unik dan sedikit membingungkan. Apakah itu macan tutul atau harimau jawa yang telah dinyatakan punah, perlu diteliti lebih jauh.
Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat berharap bahwa ”kucing besar” yang terpantau Ganda di atas adalah harimau jawa. Dari lorengnya, kata Mamat, mendekati harimau jawa. Mamat sudah bertugas di belantara Ujung Kulon sejak 1998 dan kerap mendapat laporan tentang keberadaan ”lodaya”—sebutan dalam bahasa Sunda untuk harimau jawa. Tak sedikit penduduk setempat yang mengaku bertemu lodaya.
Sementara Didik, yang mendanai riset sendiri dengan topik harimau, mengaku mengantongi banyak bukti bahwa harimau jawa masih ada dan hidup di kawasan hutan Pulau Jawa. Didik menyebutkan, antara tahun 2010-2011, dia memperoleh sampel kulit dari hewan yang diduga kuat harimau jawa tadi. Lantaran tidak mampu mendanai uji DNA, sampel tersebut dititipkan ke berbagai lembaga riset seperti Eijkman, Institut Pertanian Bogor, LIPI, UGM, dan UPI. Sampai sekarang belum ada jawaban kulit harimau apa, kata Didik.
Apa saja bukti keberadaan harimau jawa yang dimiliki Didik? Menurut dia, kelompok pencinta alam di Jember sudah sejak lama mengoleksi plaster cast dari jejak harimau jawa. Ukuran jejak tersebut bervariasi, dari 24x25 cm sampai 16x14 cm.
”Itu sudah di luar ukuran jejak macan tutul. Macan tutul maksimal diameter jejaknya 10 cm,” jelas Didik.
Didik mengaku pernah menjumpai bekas cakaran macan di pohon setinggi 2,8 meter di Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi. Menurutnya, itu di luar jangkauan macan tutul yang biasanya hanya setinggi 150 cm.
Di Taman Nasional Meru Betiri (Jember-Banyuwangi, Jatim) yang menjadi lokasi penentu kepunahan harimau jawa, lanjut Didik, terakhir kali hewan yang diduga harimau jawa mati terbunuh pada 2012. Sementara di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, kata Didik, masih sering ada laporan perjumpaan masyarakat dengan harimau jawa.
High End Predator
Terlepas dari perdebatan di atas (apakah temuan Ganda, harapan Mamat, dan kesaksian Didik itu benar bahwa harimau jawa masih ada atau sudah punah), yang patut kita cermati adalah, kenapa spesies harimau (jawa, sumatera, maupun tutul) banyak diburu?
Jawabnya: Itulah keserakahan manusia yang tidak ada puasnya, yang selalu mencari hal-hal musykil sehingga merusak alam. Sampai sekarang para pemburu masih saja berusaha menangkap dan membunuh harimau. Ini karena kulitnya, dagingnya, tulangnya, giginya—konon—berharga sangat mahal.
Sebagian masyarakat di Indo China menganggap semua organ tubuh macan adalah obat mujarab, bahkan ada yang menganggapnya punya kekuatan magis. Karena itu, harimau nilainya secara ekonomi sangat tinggi. Asumsi seperti itulah yang seharusnya dikoreksi. Tidak benar bahwa semua organ tubuh harimau bisa untuk obat berbagai penyakit. Tidak ada tes laboratorium medis yang membenarkan pendapat tersebut.
Lalu, mengapa dalam dunia konservasi dan ilmu pengetahuan, nilai harimau sangat tinggi? Jawabnya, karena harimau adalah high end predator. Sebagai high end predator, harimau adalah ”pusat pengendali” kelestarian hutan. Harimau adalah pemakan kera, babi, banteng, kijang, dan lain-lain yang keberadaannya, bila berlebihan, akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Di hutan yang harimaunya punah, niscaya jumlah kera dan babi akan makin banyak dan mengganggu ekosistem. Bila kedua binatang tersebut jumlahnya berlebihan, mereka merusak berbagai tanaman di hutan, khususnya tanaman penduduk yang menyangga keberadaan hutan. Dampak lanjutan dari populasi kera dan babi berlebihan tersebut, keseimbangan ekosistem yang lain pun ikut rusak. Akibatnya, banyak kuman yang selama ini dorman (tidur), tiba-tiba bangkit kembali dan menyerang manusia.
Dalam ekosistem, keberadaan flora dan fauna harus seimbang dan lestari. Jika salah satunya musnah, keseimbangan ekosistem terguncang. Dan ujungnya, manusialah yang paling menderita. Dari perspektif inilah, kita melihat pentingnya keberadaan mbah loreng jawa.
Punahnya harimau dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar bagi manusia. Ini karena dalam TEV, parameter ekonominya bukan hanya berbasis nilai finansial yang ada saat itu, melainkan juga nilai ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”. Parameter ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”, antara lain, adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Karena itu, punahnya harimau berkaitan langsung dengan masalah kerusakan alam tadi. Dengan kata lain, punahnya harimau juga mengindikasikan rusaknya ekosistem, rusaknya suhu bumi (global warming), dan rusaknya biodiversitas (keanekaragaman hayati).
Itulah sebabnya keberadaan mbah loreng jawa tersebut dirindukan kalangan konservasionis dan environmentalis. Dalam kaitan ini, tampaknya perlu riset lebih mendalam dan komprehensif untuk meyakinkan dunia—apakah mbah loreng jawa memang masih ada atau sudah punah. Bukan apa-apa, soalnya kesaksian masyarakat dan pengamat langsung yang bersentuhan dengan alam liar atau hutan belukar sering berbeda dengan pendapat para ilmuwan yang berada di menara gading. *
Dosen Fakultas Kehutanan IPB/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB
GANDA Saputra, petugas jagawana Ujung Kulon, Banten, belum lama ini menjadi perhatian dunia. Penyebabnya, Ganda dengan mata kepala sendiri mengaku menemukan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) di Ujung Kulon, Agustus lalu. Sampai hari-hari ini, kesaksian Ganda tersebut masih menjadi perbincangan hangat di dunia ilmu pengetahuan. Soalnya, selama ini versi ilmuwan, mbah loreng jawa telah dianggap punah. Beberapa diskusi tentang keberadaan harimau jawa baru-baru ini diadakan untuk membahas hal tersebut.
Konon, siang hari itu, 25 Agustus lalu, ketika Ganda melakukan ekspedisi untuk pendataan banteng di hutan lindung Ujung Kulon, tiba-tiba dia mendengar suara auman macan yang mengagetkan. Tentu saja Ganda kaget sekali. Dia pun bersembunyi untuk melihat, macan apa yang mengaum keras itu. Ganda pun memotretnya. Ternyata, menurut pengamatan Ganda, macan tersebut adalah harimau jawa yang selama ini dianggap sudah punah.
Kesaksian Ganda pun tentang adanya harimau jawa tersebut, tentu saja menghebohkan dunia konservasi dan ilmu pengetahuan. Pasalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan International Union of Conservation for Nature, masing-masing pada 1994 dan 1996, telah mengumumkan bahwa harimau jawa telah punah.
Jika kesaksian Ganda itu benar, berarti masih ada tersisa harimau jawa, yang mana nilainya secara ilmu pengetahuan dan konservasi tinggi sekali. Masyarakat konservasi dan pencinta lingkungan di dunia akan menabuh tambur tanda kegembiraan yang luar biasa.
Luar biasa? Betul, karena temuan tersebut sangat mengejutkan. Karena itu, kesaksian Ganda plus tiga jepretan kameranya, kini sedang diselidiki serius. Warna bulunya, tinggi pinggulnya, tinggi pundaknya, bagaimana ekornya—apakah ia benar-benar mbah loreng jawa? Sebab bisa saja, apa yang dilihat Ganda adalah macan tutul. Kalau macan tutul, memang belum dinyatakan punah. Masih tersisa beberapa puluh ekor di hutan-hutan Pulau Jawa, termasuk di Ujung Kulon.
Kepada wartawan, Didik Raharyono—pemerhati lingkungan, yang 20 tahun terakhir meneliti harimau jawa, mengatakan hewan yang terfoto itu unik dan sedikit membingungkan. Apakah itu macan tutul atau harimau jawa yang telah dinyatakan punah, perlu diteliti lebih jauh.
Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat berharap bahwa ”kucing besar” yang terpantau Ganda di atas adalah harimau jawa. Dari lorengnya, kata Mamat, mendekati harimau jawa. Mamat sudah bertugas di belantara Ujung Kulon sejak 1998 dan kerap mendapat laporan tentang keberadaan ”lodaya”—sebutan dalam bahasa Sunda untuk harimau jawa. Tak sedikit penduduk setempat yang mengaku bertemu lodaya.
Sementara Didik, yang mendanai riset sendiri dengan topik harimau, mengaku mengantongi banyak bukti bahwa harimau jawa masih ada dan hidup di kawasan hutan Pulau Jawa. Didik menyebutkan, antara tahun 2010-2011, dia memperoleh sampel kulit dari hewan yang diduga kuat harimau jawa tadi. Lantaran tidak mampu mendanai uji DNA, sampel tersebut dititipkan ke berbagai lembaga riset seperti Eijkman, Institut Pertanian Bogor, LIPI, UGM, dan UPI. Sampai sekarang belum ada jawaban kulit harimau apa, kata Didik.
Apa saja bukti keberadaan harimau jawa yang dimiliki Didik? Menurut dia, kelompok pencinta alam di Jember sudah sejak lama mengoleksi plaster cast dari jejak harimau jawa. Ukuran jejak tersebut bervariasi, dari 24x25 cm sampai 16x14 cm.
”Itu sudah di luar ukuran jejak macan tutul. Macan tutul maksimal diameter jejaknya 10 cm,” jelas Didik.
Didik mengaku pernah menjumpai bekas cakaran macan di pohon setinggi 2,8 meter di Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi. Menurutnya, itu di luar jangkauan macan tutul yang biasanya hanya setinggi 150 cm.
Di Taman Nasional Meru Betiri (Jember-Banyuwangi, Jatim) yang menjadi lokasi penentu kepunahan harimau jawa, lanjut Didik, terakhir kali hewan yang diduga harimau jawa mati terbunuh pada 2012. Sementara di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, kata Didik, masih sering ada laporan perjumpaan masyarakat dengan harimau jawa.
High End Predator
Terlepas dari perdebatan di atas (apakah temuan Ganda, harapan Mamat, dan kesaksian Didik itu benar bahwa harimau jawa masih ada atau sudah punah), yang patut kita cermati adalah, kenapa spesies harimau (jawa, sumatera, maupun tutul) banyak diburu?
Jawabnya: Itulah keserakahan manusia yang tidak ada puasnya, yang selalu mencari hal-hal musykil sehingga merusak alam. Sampai sekarang para pemburu masih saja berusaha menangkap dan membunuh harimau. Ini karena kulitnya, dagingnya, tulangnya, giginya—konon—berharga sangat mahal.
Sebagian masyarakat di Indo China menganggap semua organ tubuh macan adalah obat mujarab, bahkan ada yang menganggapnya punya kekuatan magis. Karena itu, harimau nilainya secara ekonomi sangat tinggi. Asumsi seperti itulah yang seharusnya dikoreksi. Tidak benar bahwa semua organ tubuh harimau bisa untuk obat berbagai penyakit. Tidak ada tes laboratorium medis yang membenarkan pendapat tersebut.
Lalu, mengapa dalam dunia konservasi dan ilmu pengetahuan, nilai harimau sangat tinggi? Jawabnya, karena harimau adalah high end predator. Sebagai high end predator, harimau adalah ”pusat pengendali” kelestarian hutan. Harimau adalah pemakan kera, babi, banteng, kijang, dan lain-lain yang keberadaannya, bila berlebihan, akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Di hutan yang harimaunya punah, niscaya jumlah kera dan babi akan makin banyak dan mengganggu ekosistem. Bila kedua binatang tersebut jumlahnya berlebihan, mereka merusak berbagai tanaman di hutan, khususnya tanaman penduduk yang menyangga keberadaan hutan. Dampak lanjutan dari populasi kera dan babi berlebihan tersebut, keseimbangan ekosistem yang lain pun ikut rusak. Akibatnya, banyak kuman yang selama ini dorman (tidur), tiba-tiba bangkit kembali dan menyerang manusia.
Dalam ekosistem, keberadaan flora dan fauna harus seimbang dan lestari. Jika salah satunya musnah, keseimbangan ekosistem terguncang. Dan ujungnya, manusialah yang paling menderita. Dari perspektif inilah, kita melihat pentingnya keberadaan mbah loreng jawa.
Punahnya harimau dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar bagi manusia. Ini karena dalam TEV, parameter ekonominya bukan hanya berbasis nilai finansial yang ada saat itu, melainkan juga nilai ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”. Parameter ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”, antara lain, adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Karena itu, punahnya harimau berkaitan langsung dengan masalah kerusakan alam tadi. Dengan kata lain, punahnya harimau juga mengindikasikan rusaknya ekosistem, rusaknya suhu bumi (global warming), dan rusaknya biodiversitas (keanekaragaman hayati).
Itulah sebabnya keberadaan mbah loreng jawa tersebut dirindukan kalangan konservasionis dan environmentalis. Dalam kaitan ini, tampaknya perlu riset lebih mendalam dan komprehensif untuk meyakinkan dunia—apakah mbah loreng jawa memang masih ada atau sudah punah. Bukan apa-apa, soalnya kesaksian masyarakat dan pengamat langsung yang bersentuhan dengan alam liar atau hutan belukar sering berbeda dengan pendapat para ilmuwan yang berada di menara gading. *
(wib)