Kontekstualitas Ghirah Kepahlawanan

Senin, 13 November 2017 - 06:49 WIB
Kontekstualitas Ghirah Kepahlawanan
Kontekstualitas Ghirah Kepahlawanan
A A A
Erwin Moeslimin Singajuru
Anggota DPR RI, Kandidat Doktor FH UII Yogyakarta

TANGGAL 10 November sebagai Hari Pahlawan layak kita jadikan momentum untuk menjaga dan melanjutkan semangat para pahlawan. Selama ini tiap 10 November sudah biasa kita peringati dengan melakukan upacara di taman makam pahlawan dan senantiasa mendoakan mereka yang pernah berjuang dan mengorbankan jiwa raganya bagi kemerdekaan bangsa dan negara kita. Apakah peringatan ”kepahlawanan” hanya sebatas itu? Kita tentu tahu bahwa nilai kepahlawanan tidak hanya sebatas upacara dan mendoakan saja, kendati itu sudah baik.

Jawaban Kepahlawanan Masa Kini
Saat ini beban dan tantangan kita, terutama generasi muda, adalah mengisi kemerdekaan dengan tetap bekerja keras dan bekerja cerdas. Sungguh beraneka ragam tantangan yang tengah dihadapi bangsa ini yang jelas memerlukan solusi yang juga tidak mudah. Di antara masalah yang jelas di hadapan kita adalah masifnya korupsi, kemiskinan, konflik, ketidakadilan dan belum tegaknya hukum, kesenjangan (ekonomi, kota-desa, tradisional-modern, dll), diskriminasi, radikalisme, potensi separatisme dari NKRI, dan minimnya keteladanan para pemimpin.

Korupsi masih masif terjadi. Meskipun sudah ada KPK dan berulang kali operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan terhadap para pejabat dan hukuman yang berat sudah dijatuhkan, ternyata semua itu belum cukup dalam menjerakan dan menumpas para koruptor.

Kemiskinan juga masih ada di mana-mana. Kendati data pastinya sulit dilacak, menurut data BPS terdapat sekitar 60 juta orang miskin di Indonesia pada 2017 ini. Tantangan dan masalah lain yang dihadapi adalah masih tingginya konflik, terutama di bidang agraria dan masalah sosial seperti perang antar­kampung dan konflik antar­suku. Lalu masalah radikalisme, terutama dari sejumlah kelompok yang disinyalir aparat keamanan bertentangan/melawan Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian berujung pada dikeluarkannya Perppu No 2 Tahun 2017 oleh pemerintah.

Potensi separatisme di daerah tertentu juga masih menunjukkan kekhawatiran karena akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Masalah-masalah ini jelas menjadi tantangan dan tugas kita sebagai generasi penerus untuk mengatasinya. Benarlah kata Soekarno, jika di masa perang musuh yang dihadapi jelas, yaitu agresor/penjajah, di masa kemerdekaan yang akan dihadapi adalah bangsa sendiri yang penyelesaiannya jauh lebih sulit.

Meneruskan Semangat
Peninggalan para pahlawan agar tidak sia-sia mestilah dipelihara, bahkan diteruskan oleh kita semua sebagai generasi penerus. Memperingati Hari Pahlawan substansinya tidak sekadar diupacarakan atau didoakan walaupun itu tidak buruk. Akan tetapi akan jauh lebih baik jika semangat mereka dikembangkan lebih luas untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Semua itu akan terwujud jika kita mampu terus memiliki semangat (ghirah) yang tinggi untuk mengatasi berbagai persoalan yang telah disebut di muka yang telah nyata-nyata menggerogoti kehidupan dan kewibawaan bangsa kita.

Dengan kata lain, diharapkan lewat pekerjaan kita, lingkungan kita, lewat profesi kita, kita mau terlibat dalam memecahkan tantangan-tantangan dan hambatan bangsa tersebut. Keterlibatan itu dapat dilakukan dalam dua cara. Pertama, mengembangkan kesadaran kritis atau sensitivitas terhadap persoalan dan tantangan di atas.

Kita diajak untuk memahami dan menyadari bahwa tindakan korup, radikalitas, separatis, kesenjangan, dan lain-lain itu adalah kondisi atau perbuatan tidak baik dan merusak, bahkan mengancam eksistensi bangsa. Kedua, melakukan tindakan konkret melawan dan mengatasi hal-hal negatif di atas.

Dalam cara yang kedua itu, kita diajak ikut bertanggung jawab untuk melawan tindakan korupsi yang terjadi. Kita diajak untuk ikut memberantas korupsi dan tindakan tidak jujur dalam hidup kita. Demikian juga dengan munculnya potensi separatisme dan radikalisme, kita diajak untuk ikut terlibat mencegah potensi yang terjadi.

Separatisme maupun radikalisme dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa (NKRI), oleh karenanya kita diajak untuk ikut menumbuhkan rasa nasionalisme dan sense of belonging terhadap kelebihan-kelebihan yang ada pada bangsa dan negara ini. Bahkan menjadi kewajiban kita bersama untuk tetap berkomitmen membangun, memperkuat, dan menumbuhkan solidaritas dan soliditas selaku anak bangsa.

Revitalisasi Gerakan
Melihat begitu banyaknya tantangan yang harus kita hadapi, gerakan ”kepahlawanan” dalam konteks kekinian harus ada revitalisasi. Pertama, battle of values (pertarungan nilai). Ke dalam diri para generasi muda khususnya harus ada koreksi atau pendefinisian identitas diri, pengontemplasian peran-peran dan dilakukannya gerakan absorbsi atas komponen-komponen masyarakat.

Meminjam istilah Antonio Gramsci, generasi muda hendaklah menjadi intelektual organik yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap gejala dan fenomena yang menggerogoti kehidupan bangsa. Kedua, reaktualisasi gerakan generasi muda. Sebagai penyambung estafet generasi yang tanggung jawabnya sama, kita harus menata ulang keberpihakan pada kepentingan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi, jangan membayangkan bahwa musuh gerakan generasi muda adalah sebagai mana yang dihadapi para pejuang konvensional kemerdekaan dulu. Persoalan dan tantangan yang dihadapi generasi saat ini adalah lebih pada bagaimana agar kita dapat meminimalkan masifnya korupsi, menghentikan potensi radikalisme, mencegah dan ikut berperan menghadang kemungkinan adanya gerakan separatisme, terutama di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah serta ikut mendidik, mengarahkan agar konflik sosial seperti perang antarkampung, perang antarsuporter sepak bola, dan perkelahian pelajar/ mahasiswa sebagai hal yang mengandung nilai kontraproduktif dengan nilai pendidikan, budaya kita sendiri.

Di berbagai tempat kita bekerja, kita tinggal, mungkin saja masih terjadi diskriminasi, pemaksaan kehendak pada kelompok lain sehingga hal ini harus dihilangkan. Dalam konteks nilai kepahlawanan sekarang, kita diajak untuk membangun persaudaraan dengan siapa pun sebagai satu anggota bangsa. Bagi yang bertugas membuat undang-undang atau mengatur hidup bersama, diharapkan dapat menyusun dan membuat undang-undang dengan semangat keadilan, kejujuran, visioner, dan berpikir bagi kesejahteraan seluruh anak bang­sa.

Perlu juga disinggung di sini, kendati radikalisme bukanlah lahir tanpa sebab seperti adanya ketidakadilan politik ekonomi global, imbasnya tetap masuk ke negara kita. Oleh karena itu, masalah radikalisme tetaplah menjadi PR yang harus dientaskan atau diminimalkan oleh seluruh komponen bangsa, tak terkecuali pelibatan generasi muda.

Kultural Paradoks
Konteks saat ini, siapa pun menyadari pentingnya rekonsilisasi demi terciptanya suasana kondusif agar kita bisa segera keluar dari persoalan. Tapi ternyata tidak mudah menentukan bentuk prioritas rekonsiliasi yang tepat dan bisa dilakukan dalam waktu dekat. Dan persoalan rekonsiliasi ini menjadi semakin pelik karena paradoksalnya kita dalam menyikapi simpul-simpul persoalan yang nyata itu. Kita memang tengah mengidap sindrom kultural paradoks. Penyakit yang membenarkan dua hal yang ber­tentangan satu sama lain.

Misalnya kita percaya ada masalah potensi separatis, tetapi di saat yang sama kita menganggap itu hal tidak ada, persatuan itu tetap utuh. Kita percaya ada radikalisme, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tetapi di saat yang sama kita percaya bahwa hal itu hanyalah isu, hoax alias bukan fakta yang sebenarnya. Kita juga dengan nyata merasakan ada konflik keras di masyarakat yang dilandasi sentimen keagamaan (internal dan eksternal).

Namun, pada saat yang sama kita terus menolak fakta-fakta yang bermunculan di lapangan hanya karena kita percaya bahwa semua agama itu baik. Semua agama itu menganjurkan perdamaian, cinta kasih, seraya diiringi dengan mengutip ayat-ayat atau risalah kitab suci agama masing-masing yang dilegitimasi teks sejarah perkembangan keberagamaan di negeri yang harmonis. Akibatnya ketika persoalan itu diangkat ke permukaan untuk dicarikan solusinya, kita seperti meraba-raba, bahkan seolah menggantang asap.

Penutup
Akhirnya, dengan terlibat membangun, berkomitmen dalam mengatasi korupsi, radi­kalisme, konflik sosial, diskriminasi, separatisme, kemiskinan, dan lain-lain, kita sejatinya telah meneruskan, mewarisi semangat (ghirah) para pahlawan yang telah memberi contoh kepada kita bahwa bangsa ini memerlukan ghirah, ide-ide, dan tindakan nyata. Dengan begitu semoga para pahlawan kita berbahagia dan tenang karena kita telah mewarisi nilai kepahlawanan mereka dengan menjadi teladan serta memikul tanggung jawab sungguh-sungguh atas nilai kepahlawanan yang mereka tinggalkan. Wallahu a‘lam bissawab.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7206 seconds (0.1#10.140)