HET Beras dan Ketidakpastian Baru
A
A
A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
KEMENTERIAN Perdagangan menetapkan kebijakan baru, harga eceran tertinggi atau HET beras. Aturan yang berlaku mulai 1 September 2017 itu menetapkan HET berdasar kualitas (medium, premium, dan khusus) dan wilayah produksi (produsen dan konsumen). Menurut Pasal 7 Permendag No 57/2017 tentang HET Beras, pelaku usaha yang tidak mematuhi HET bakal dicabut izin usahanya setelah dua kali mendapat peringatan tertulis.
Jika HET gula, minyak goreng, dan daging sapi beku berlaku di pasar modern, beleid beras ini berlaku secara nasional. Baik di pasar modern maupun tradisional. Tak ayal, aturan baru ini kemudian memicu pro dan kontra. Tidak sedikit pula yang meyakini aturan baru ini tidak akan efektif di lapangan. Lebih sebulan berlaku, aturan ini belum efektif. Menurut laman Kemendag, 9 Oktober 2017, harga beras medium rata-rata Rp10.659/kg, lebih tinggi dari HET (antara Rp9.450/kg hingga Rp10.250/kg).
Mematok HET tunggal sepanjang tahun memang ideal. Bagi pemerintah, ini akan memudahkan pengawasan. Namun, tidak demikian halnya bagi para pelaku usaha. Mematok HET beras medium di wilayah produsen Rp9.450/kg dan di sentra konsumen antara Rp9.950 hingga Rp10.250 per kg (bergantung ongkos transportasi), serta HET beras premium di wilayah produsen Rp12.800/ kg dan di sentra konsumen antara Rp13.300 hingga Rp13.600/ kg (bergantung ongkos transportasi) pada dasarnya memaksa pelaku usaha untuk menekan margin pemasaran. Beleid antiprofiteering ini berangkat dari keyakinan, margin keuntungan para pelaku pemasaran beras selama ini terlalu besar.
Masalahnya, kalau penetapan HET tidak masuk akal dan bahkan dipaksakan, membuat risiko usaha penggilingan padi dan pelaku usaha beras menjadi semakin tinggi. Agar bisa menjual beras medium Rp9.450/kg, harga gabah maksimal sekitar Rp4.000/kg. Padahal, di pasar saat ini sulit ditemukan harga gabah Rp4.000/kg. Agar bisa menjual beras sesuai HET, pedagang dan penggilingan padi akan menahan pembelian gabah. Harga gabah akan jatuh. Petani merugi. Apabila kejatuhan harga terjadi di banyak tempat dan dalam jumlah besar, Bulog pasti kewalahan menyerap seluruh surplus produksi.
Sebaliknya, bisa juga penggilingan padi dan pedagang menghentikan pembelian. Mereka tidak ingin menanggung risiko terkena sanksi karena menjual beras di atas HET. Jika harus menjual sesuai HET, mereka berpotensi merugi. Karena pengurangan margin bukan berasal dari peningkatan efisiensi pada kegiatan pemasaran, terutama pengeringan, transportasi, penggilingan, dan biaya modal. Perbedaan HET beras antarwilayah yang hanya mempertimbangkan ongkos angkut juga tidak adil. Karena biaya pemasaran beras juga dipengaruhi harga/kualitas GKP (gabah kering panen), biaya pengeringan dan penggilingan, biaya distribusi, dan modal kerja yang berbeda satu tempat dengan lainnya.
Mematok HET tunggal sepanjang tahun juga melawan kenyataan pasar beras. Tanam padi yang serentak menghasilkan irama panen ajeg, hampir tidak berubah dari tahun ke tahun, musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen, rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik pada musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Saat ini harga cenderung tinggi.
Pergerakan harga gabah/beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum supply-demand, tetapi juga terkait dengan kualitas gabah/ beras, kualitas gabah/beras rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik. Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah. Akibatnya, kualitas gabah menurun. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat panen gadu dan paceklik.
Kenyataan tersebut menunjukkan kualitas gabah/beras bervariasi mengikuti irama panen. Demikian pula harga gabah/ beras bervariasi mengikuti irama panen. Mematok HET tunggal sepanjang tahun, ”melawan” pergerakan harga itu. Ini memaksa pelaku usaha untuk menerapkan strategi berbeda dari yang dilakukan selama ini. Pelaku usaha harus memperbesar pengadaan gabah dengan harga murah saat panen raya. Sebaliknya, mereka mengurangi pembelian saat paceklik dan panen gadu. Ini membuat persaingan memperebutkan gabah saat panen raya semakin sengit. Pelaku usaha bermodal cekak dan penggilingan padi kecil hampir bisa dipastikan bakal tersingkir dari arena pertarungan.
Jika harga gabah tidak juga turun saat panen raya, bukan mustahil penyerapan gabah bakal lesu. Sebab, sejumlah penggilingan padi produsen beras dan pelaku usaha akan mengurangi serapan gabah. Bukan saja margin keuntungan kian tipis, tapi karena perbedaan harga beras antarmusim dan antar tempat tidak menarik lagi buat mereka. Jika ini terjadi di semua sentra-sentra produsen padi, surplus produksi padi yang tidak terserap akan sangat besar. Siapakah yang harus menyerap semua surplus padi ini? Bulog pasti kewalahan untuk menyerap seluruh surplus produksi. Sebab, tidak ada outlet penyaluran.
Dugaan saya, pemerintah menetapkan HET beras bukan semata-mata menekan margin keuntungan pelaku usaha dan agar inflasi terkendali. Namun, berharap agar Bulog kian kompetitif saat berhadapan dengan pelaku usaha lain dalam pengadaan gabah atau beras. Naiknya competitiveness Bulog akan menggaransi BUMN ini bisa memenuhi target pengadaan beras 2017, yaitu 3,74 juta ton beras. Pemerintah patut risau karena hingga pertengahan Agustus lalu pengadaan Bulog baru mencapai 1,64 juta ton beras. Direksi Bulog memproyeksikan, hingga akhir tahun hanya bisa menyerap 2,5 juta ton beras.
Menimbang harga gabah yang masih tinggi di pasaran, demikian pula kegagalan panen padi di sejumlah daerah dan sebentar lagi kita akan memasuki musim paceklik, sepertinya akan sulit bagi Bulog bisa menggapai pengadaan 2,5 juta ton beras. Jika ini yang terjadi, pasar beras kita akan sangat ”panas” karena stok tipis. Harga mudah sekali terguncang tinggi oleh perilaku pihak-pihak yang hendak mengeruk untung di air keruh. Pendek kata, beleid HET bukan saja telah menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha, bagi Bulog pun tak ada garansi bakal bisa memenuhi target serapan yang dipatok. Belum terlambat buat merumuskan ulang kebijakan HET beras jika dinilai tidak tepat.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
KEMENTERIAN Perdagangan menetapkan kebijakan baru, harga eceran tertinggi atau HET beras. Aturan yang berlaku mulai 1 September 2017 itu menetapkan HET berdasar kualitas (medium, premium, dan khusus) dan wilayah produksi (produsen dan konsumen). Menurut Pasal 7 Permendag No 57/2017 tentang HET Beras, pelaku usaha yang tidak mematuhi HET bakal dicabut izin usahanya setelah dua kali mendapat peringatan tertulis.
Jika HET gula, minyak goreng, dan daging sapi beku berlaku di pasar modern, beleid beras ini berlaku secara nasional. Baik di pasar modern maupun tradisional. Tak ayal, aturan baru ini kemudian memicu pro dan kontra. Tidak sedikit pula yang meyakini aturan baru ini tidak akan efektif di lapangan. Lebih sebulan berlaku, aturan ini belum efektif. Menurut laman Kemendag, 9 Oktober 2017, harga beras medium rata-rata Rp10.659/kg, lebih tinggi dari HET (antara Rp9.450/kg hingga Rp10.250/kg).
Mematok HET tunggal sepanjang tahun memang ideal. Bagi pemerintah, ini akan memudahkan pengawasan. Namun, tidak demikian halnya bagi para pelaku usaha. Mematok HET beras medium di wilayah produsen Rp9.450/kg dan di sentra konsumen antara Rp9.950 hingga Rp10.250 per kg (bergantung ongkos transportasi), serta HET beras premium di wilayah produsen Rp12.800/ kg dan di sentra konsumen antara Rp13.300 hingga Rp13.600/ kg (bergantung ongkos transportasi) pada dasarnya memaksa pelaku usaha untuk menekan margin pemasaran. Beleid antiprofiteering ini berangkat dari keyakinan, margin keuntungan para pelaku pemasaran beras selama ini terlalu besar.
Masalahnya, kalau penetapan HET tidak masuk akal dan bahkan dipaksakan, membuat risiko usaha penggilingan padi dan pelaku usaha beras menjadi semakin tinggi. Agar bisa menjual beras medium Rp9.450/kg, harga gabah maksimal sekitar Rp4.000/kg. Padahal, di pasar saat ini sulit ditemukan harga gabah Rp4.000/kg. Agar bisa menjual beras sesuai HET, pedagang dan penggilingan padi akan menahan pembelian gabah. Harga gabah akan jatuh. Petani merugi. Apabila kejatuhan harga terjadi di banyak tempat dan dalam jumlah besar, Bulog pasti kewalahan menyerap seluruh surplus produksi.
Sebaliknya, bisa juga penggilingan padi dan pedagang menghentikan pembelian. Mereka tidak ingin menanggung risiko terkena sanksi karena menjual beras di atas HET. Jika harus menjual sesuai HET, mereka berpotensi merugi. Karena pengurangan margin bukan berasal dari peningkatan efisiensi pada kegiatan pemasaran, terutama pengeringan, transportasi, penggilingan, dan biaya modal. Perbedaan HET beras antarwilayah yang hanya mempertimbangkan ongkos angkut juga tidak adil. Karena biaya pemasaran beras juga dipengaruhi harga/kualitas GKP (gabah kering panen), biaya pengeringan dan penggilingan, biaya distribusi, dan modal kerja yang berbeda satu tempat dengan lainnya.
Mematok HET tunggal sepanjang tahun juga melawan kenyataan pasar beras. Tanam padi yang serentak menghasilkan irama panen ajeg, hampir tidak berubah dari tahun ke tahun, musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen, rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik pada musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Saat ini harga cenderung tinggi.
Pergerakan harga gabah/beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum supply-demand, tetapi juga terkait dengan kualitas gabah/ beras, kualitas gabah/beras rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik. Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah. Akibatnya, kualitas gabah menurun. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat panen gadu dan paceklik.
Kenyataan tersebut menunjukkan kualitas gabah/beras bervariasi mengikuti irama panen. Demikian pula harga gabah/ beras bervariasi mengikuti irama panen. Mematok HET tunggal sepanjang tahun, ”melawan” pergerakan harga itu. Ini memaksa pelaku usaha untuk menerapkan strategi berbeda dari yang dilakukan selama ini. Pelaku usaha harus memperbesar pengadaan gabah dengan harga murah saat panen raya. Sebaliknya, mereka mengurangi pembelian saat paceklik dan panen gadu. Ini membuat persaingan memperebutkan gabah saat panen raya semakin sengit. Pelaku usaha bermodal cekak dan penggilingan padi kecil hampir bisa dipastikan bakal tersingkir dari arena pertarungan.
Jika harga gabah tidak juga turun saat panen raya, bukan mustahil penyerapan gabah bakal lesu. Sebab, sejumlah penggilingan padi produsen beras dan pelaku usaha akan mengurangi serapan gabah. Bukan saja margin keuntungan kian tipis, tapi karena perbedaan harga beras antarmusim dan antar tempat tidak menarik lagi buat mereka. Jika ini terjadi di semua sentra-sentra produsen padi, surplus produksi padi yang tidak terserap akan sangat besar. Siapakah yang harus menyerap semua surplus padi ini? Bulog pasti kewalahan untuk menyerap seluruh surplus produksi. Sebab, tidak ada outlet penyaluran.
Dugaan saya, pemerintah menetapkan HET beras bukan semata-mata menekan margin keuntungan pelaku usaha dan agar inflasi terkendali. Namun, berharap agar Bulog kian kompetitif saat berhadapan dengan pelaku usaha lain dalam pengadaan gabah atau beras. Naiknya competitiveness Bulog akan menggaransi BUMN ini bisa memenuhi target pengadaan beras 2017, yaitu 3,74 juta ton beras. Pemerintah patut risau karena hingga pertengahan Agustus lalu pengadaan Bulog baru mencapai 1,64 juta ton beras. Direksi Bulog memproyeksikan, hingga akhir tahun hanya bisa menyerap 2,5 juta ton beras.
Menimbang harga gabah yang masih tinggi di pasaran, demikian pula kegagalan panen padi di sejumlah daerah dan sebentar lagi kita akan memasuki musim paceklik, sepertinya akan sulit bagi Bulog bisa menggapai pengadaan 2,5 juta ton beras. Jika ini yang terjadi, pasar beras kita akan sangat ”panas” karena stok tipis. Harga mudah sekali terguncang tinggi oleh perilaku pihak-pihak yang hendak mengeruk untung di air keruh. Pendek kata, beleid HET bukan saja telah menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha, bagi Bulog pun tak ada garansi bakal bisa memenuhi target serapan yang dipatok. Belum terlambat buat merumuskan ulang kebijakan HET beras jika dinilai tidak tepat.
(pur)