Pasar, Daya Saing dan Keseimbangan
A
A
A
Rizal Halim
Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 2017-2020
Satu-satunya sumber daya saing nasional dalam kurun waktu hampir 20 tahun atau setelah reformasi ini adalah pasar yang besar (market size). Besaran pasar Indonesia ini setiap tahun dilaporkan oleh Global Competitiveness Report sebagai indikator yang menopang daya saing global Indonesia dari sekian indikator yang ada. Realita ini menjawab mengapa pasar Indonesia menjadi seksi bagi para pelaku usaha, baik domestik maupun asing. Ini juga menjawab mengapa struktur ekonomi kita didominasi oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 56% selama kurang lebih dua dekade ini. Kita tentu patut bersyukur atas karunia ini, mengingat indikator daya saing nasional, seperti industri manufaktur, industri jasa, UMKM, pertanian, perkebunan, perdagangan (ekspor-impor), dan lainnya belum banyak memberikan dorongan pada daya saing nasional.
Dinamika pasar yang diwarnai dengan ketidaksimetrisan informasi (asymmetric information) dan ketidakseimbangan daya tawar produsen konsumen memicu berbagai persoalan yang dapat mendistorsi pasar. Tidak hanya itu, hal tersebut juga bisa memicu ketidakstabilan ekonomi akibat perilaku pasar yang tidak seimbang. Ini bisa merugikan dan mereduksi capaian ekonomi selama ini sekaligus mencederai daya saing nasional. Potret ini menjadi perhatian utama dalam pandangan para pemikir Post Keynesian seperti John Kenneth Galbraith (1958).
Salah satu gagasan Galbraith yang menurut saya perlu menjadi bahan pertimbangan bagi regulator, penegak hukum, pelaku usaha, dan masyarakat luas adalah "dependence effect paradigm". Gagasan ini sangat populer dan meruntuhkan logika-logika yang pernah dibangun para pemikir Neo-Klasik, baik dari kelompok Cambridge maupun kelompok Austria. Paradigma Post Keynesian juga memandang bahwa pasar (konsumen) tidak selamanya rasional dalam menentukan pilihan. Dalam kondisi ini, konsumen menjadi pihak yang vulnerable dan sering kali menjadi pihak yang dirugikan.
Dalam logika dependence effect paradigm, dinamika pasar dan dorongan perilaku konsumsi sangat ditentukan dengan penawaran yang dilakukan produsen di pasar. Pada titik ini, ketika penawaran dilakukan secara masif dan eksploitatif, maka pasar akan didominasi oleh informasi-informasi yang cenderung tidak utuh (incomplete information) akibat dari business purpose/interest. Ini kemudian mendorong fenomena ketidaksimetrisan informasi sehingga berpotensi memicu persoalan yang merugikan pasar, baik secara khusus (konsumen rumah tangga/ individu) maupun luas (stabilitas dan daya saing ekonomi nasional).
Ketidaksimetrisan informasi ini akan semakin destruktif ketika perilaku konsumen atau pengambilan keputusan konsumen didorong aspek emosional (tidak rasional) akibat dibombardir oleh informasi yang diberikan pada saat penawaran oleh produsen. Kasus koin Prita, Buvanest Spinal, Vaksin Palsu, First Travel, Acho, dan yang terbaru adalah meninggalnya adik Debora atau kasus penyalahgunaan PCC, merupakan potret yang masih sangat segar di ingatan kita. Jika ditelusuri dengan seksama, ada kesamaan pola dari kasus-kasus tersebut.
Pertama, kasus tersebut mencuat atau muncul di media-media sosial (bukan melalui saluran resmi pemerintah, seperti kementerian atau lembaga yang berwenang). Kedua, proses advokasi dari kasus-kasus tersebut cenderung dilakukan secara swamandiri, baik oleh keluarga korban, kerabat korban, bahkan masyarakat lain yang peduli dengan kasus tersebut. Ketiga, persoalan penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum atas tuntutan untuk memberi rasa keadilan yang dilindungi konstitusi negara.
Kita ambil contoh terbaru terkait meninggalnya adik Debora yang tentu menyisakan kesedihan luar biasa tidak hanya bagi orang tua korban, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Kasus penelantaran pasien anak yang berasal dari keluarga tidak mampu oleh rumah sakit ternyata banyak terjadi. Setidaknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis jumlah kasus penelantaran pasien anak di rumah sakit mencapai 526 kasus sepanjang 2011-2016 atau rata-rata 100 kasus per tahun. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka pilihannya hanya satu, yakni memberikan rasa keadilan yang paripurna sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Nawacita Presiden Joko Widodo (poin pertama,"melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman").
Dalam domain akademis dan hukum, tanggung jawab produk dijelaskan melalui empat (4) teori utama, yakni Negligence, Warranty, Misrepresentation, dan Strict liability (Gifis, 1975; Morgan dan Avrunin, 1982; Morgan, 1982). Kasus meninggalnya adik Debora dihadapkan secara jelas masuk dalam domain Negligence dan strict liability. Dalam doktrin Negligence, produk, baik barang dan jasa (produsen), memiliki tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan aturan atau hukum atau standar-standar tertentu yang berlaku karena produk itu ditawarkan. Jika terjadi risiko akibat pelanggaran kewajiban atau tanggung jawab tersebut (terutama akibat kelalaian), maka produsen dapat diperhadapkan pada tuntutan hukum (Prosser, 1971). Dalam hukum Negligence, produsen (perusahaan) dan seluruh rantai distribusinya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melakukan pengujian serta memastikan produk yang dihasilkan benar-benar aman bagi konsumen. Dalam doktrin ini, perantara (middleman) juga memiliki porsi tanggung jawab apabila informasi dari perusahaan produsen (manufaktur) dipandang belum memadai.
Sementara strict liability merupakan doktrin modern yang banyak digunakan tidak hanya pada produk individu, tetapi juga pada sistem industri yang lebih kompleks. Doktrin ini relatif menjembatani antara negligence dan warranty karena atribusi penyimpangan atas kerugian yang dialami konsumen perlu dibuktikan dengan teliti. Tidak hanya pembuktian akibat produksi, tetapi juga setelah produksi bahkan ketika produk berada di luar kendali produsen. Misalnya, kerusakan sistem rem pada Ford (kasus James Hasson) adalah benar-benar kerusakan pada saat diproduksi ataukah kerusakan akibat penggunaan yang tidak tepat (waktu dan cara). Doktrin ini juga berlaku tidak hanya konsumen pengguna langsung, tetapi bisa siapa saja yang menderita kerugian (korban) akibat produk walaupun bukan konsumen langsung.
Rasa keadilan perlu dirasakan tidak hanya bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, tetapi juga bagi kelompok masyarakat tidak mampu. Negara wajib memberi perlindungan kepada setiap warga negaranya sekaligus memastikan proses penegakan dan jaminan kepastian hukum dapat ditegakkan di republik tercinta ini. Semoga saudara-saudara kita yang tidak mampu atau mungkin berada di ambang garis kemiskinan juga bisa merasakan hasil-hasil pembangunan dan capaian ekonomi nasional yang telah kita capai hingga saat ini. Jangan biarkan mereka menjadi warga negara marjinal yang tidak merasakan nikmatnya kemerdekaan dan pembangunan ekonomi nasional.
Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 2017-2020
Satu-satunya sumber daya saing nasional dalam kurun waktu hampir 20 tahun atau setelah reformasi ini adalah pasar yang besar (market size). Besaran pasar Indonesia ini setiap tahun dilaporkan oleh Global Competitiveness Report sebagai indikator yang menopang daya saing global Indonesia dari sekian indikator yang ada. Realita ini menjawab mengapa pasar Indonesia menjadi seksi bagi para pelaku usaha, baik domestik maupun asing. Ini juga menjawab mengapa struktur ekonomi kita didominasi oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 56% selama kurang lebih dua dekade ini. Kita tentu patut bersyukur atas karunia ini, mengingat indikator daya saing nasional, seperti industri manufaktur, industri jasa, UMKM, pertanian, perkebunan, perdagangan (ekspor-impor), dan lainnya belum banyak memberikan dorongan pada daya saing nasional.
Dinamika pasar yang diwarnai dengan ketidaksimetrisan informasi (asymmetric information) dan ketidakseimbangan daya tawar produsen konsumen memicu berbagai persoalan yang dapat mendistorsi pasar. Tidak hanya itu, hal tersebut juga bisa memicu ketidakstabilan ekonomi akibat perilaku pasar yang tidak seimbang. Ini bisa merugikan dan mereduksi capaian ekonomi selama ini sekaligus mencederai daya saing nasional. Potret ini menjadi perhatian utama dalam pandangan para pemikir Post Keynesian seperti John Kenneth Galbraith (1958).
Salah satu gagasan Galbraith yang menurut saya perlu menjadi bahan pertimbangan bagi regulator, penegak hukum, pelaku usaha, dan masyarakat luas adalah "dependence effect paradigm". Gagasan ini sangat populer dan meruntuhkan logika-logika yang pernah dibangun para pemikir Neo-Klasik, baik dari kelompok Cambridge maupun kelompok Austria. Paradigma Post Keynesian juga memandang bahwa pasar (konsumen) tidak selamanya rasional dalam menentukan pilihan. Dalam kondisi ini, konsumen menjadi pihak yang vulnerable dan sering kali menjadi pihak yang dirugikan.
Dalam logika dependence effect paradigm, dinamika pasar dan dorongan perilaku konsumsi sangat ditentukan dengan penawaran yang dilakukan produsen di pasar. Pada titik ini, ketika penawaran dilakukan secara masif dan eksploitatif, maka pasar akan didominasi oleh informasi-informasi yang cenderung tidak utuh (incomplete information) akibat dari business purpose/interest. Ini kemudian mendorong fenomena ketidaksimetrisan informasi sehingga berpotensi memicu persoalan yang merugikan pasar, baik secara khusus (konsumen rumah tangga/ individu) maupun luas (stabilitas dan daya saing ekonomi nasional).
Ketidaksimetrisan informasi ini akan semakin destruktif ketika perilaku konsumen atau pengambilan keputusan konsumen didorong aspek emosional (tidak rasional) akibat dibombardir oleh informasi yang diberikan pada saat penawaran oleh produsen. Kasus koin Prita, Buvanest Spinal, Vaksin Palsu, First Travel, Acho, dan yang terbaru adalah meninggalnya adik Debora atau kasus penyalahgunaan PCC, merupakan potret yang masih sangat segar di ingatan kita. Jika ditelusuri dengan seksama, ada kesamaan pola dari kasus-kasus tersebut.
Pertama, kasus tersebut mencuat atau muncul di media-media sosial (bukan melalui saluran resmi pemerintah, seperti kementerian atau lembaga yang berwenang). Kedua, proses advokasi dari kasus-kasus tersebut cenderung dilakukan secara swamandiri, baik oleh keluarga korban, kerabat korban, bahkan masyarakat lain yang peduli dengan kasus tersebut. Ketiga, persoalan penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum atas tuntutan untuk memberi rasa keadilan yang dilindungi konstitusi negara.
Kita ambil contoh terbaru terkait meninggalnya adik Debora yang tentu menyisakan kesedihan luar biasa tidak hanya bagi orang tua korban, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Kasus penelantaran pasien anak yang berasal dari keluarga tidak mampu oleh rumah sakit ternyata banyak terjadi. Setidaknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis jumlah kasus penelantaran pasien anak di rumah sakit mencapai 526 kasus sepanjang 2011-2016 atau rata-rata 100 kasus per tahun. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka pilihannya hanya satu, yakni memberikan rasa keadilan yang paripurna sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Nawacita Presiden Joko Widodo (poin pertama,"melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman").
Dalam domain akademis dan hukum, tanggung jawab produk dijelaskan melalui empat (4) teori utama, yakni Negligence, Warranty, Misrepresentation, dan Strict liability (Gifis, 1975; Morgan dan Avrunin, 1982; Morgan, 1982). Kasus meninggalnya adik Debora dihadapkan secara jelas masuk dalam domain Negligence dan strict liability. Dalam doktrin Negligence, produk, baik barang dan jasa (produsen), memiliki tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan aturan atau hukum atau standar-standar tertentu yang berlaku karena produk itu ditawarkan. Jika terjadi risiko akibat pelanggaran kewajiban atau tanggung jawab tersebut (terutama akibat kelalaian), maka produsen dapat diperhadapkan pada tuntutan hukum (Prosser, 1971). Dalam hukum Negligence, produsen (perusahaan) dan seluruh rantai distribusinya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melakukan pengujian serta memastikan produk yang dihasilkan benar-benar aman bagi konsumen. Dalam doktrin ini, perantara (middleman) juga memiliki porsi tanggung jawab apabila informasi dari perusahaan produsen (manufaktur) dipandang belum memadai.
Sementara strict liability merupakan doktrin modern yang banyak digunakan tidak hanya pada produk individu, tetapi juga pada sistem industri yang lebih kompleks. Doktrin ini relatif menjembatani antara negligence dan warranty karena atribusi penyimpangan atas kerugian yang dialami konsumen perlu dibuktikan dengan teliti. Tidak hanya pembuktian akibat produksi, tetapi juga setelah produksi bahkan ketika produk berada di luar kendali produsen. Misalnya, kerusakan sistem rem pada Ford (kasus James Hasson) adalah benar-benar kerusakan pada saat diproduksi ataukah kerusakan akibat penggunaan yang tidak tepat (waktu dan cara). Doktrin ini juga berlaku tidak hanya konsumen pengguna langsung, tetapi bisa siapa saja yang menderita kerugian (korban) akibat produk walaupun bukan konsumen langsung.
Rasa keadilan perlu dirasakan tidak hanya bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, tetapi juga bagi kelompok masyarakat tidak mampu. Negara wajib memberi perlindungan kepada setiap warga negaranya sekaligus memastikan proses penegakan dan jaminan kepastian hukum dapat ditegakkan di republik tercinta ini. Semoga saudara-saudara kita yang tidak mampu atau mungkin berada di ambang garis kemiskinan juga bisa merasakan hasil-hasil pembangunan dan capaian ekonomi nasional yang telah kita capai hingga saat ini. Jangan biarkan mereka menjadi warga negara marjinal yang tidak merasakan nikmatnya kemerdekaan dan pembangunan ekonomi nasional.
(zik)