Asketisme Kaum Intelektual
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih buat Kesehatan
KITA selalu ingat Max Weber tiap berbicara mengenai asketisme dalam agama dan dalam ”sejarah” pertumbuhan semangat kapitalisme. Weber berbicara mengenai ”embrio” kapitalisme yang begitu subur di dunia Timur–India kuno, China kuno, Mesir kuno, Persia kuno, dan Babilonia kuno–tapi di negara-negara itu ”embrio” tersebut tak bisa lahir menjadi kapitalisme sebagaimana terjadi di dunia Barat.
Sebaliknya, menurut Weber, di dunia Barat ”embrio” kapitalisme itu bisa muncul menjadi kapitalisme karena pengaruh etika Protestan yang mengajarkan sikap hidup serba-penuh disiplin, hemat, gigih mengejar keuntungan, bersikap serbacermat dan penuh kalkulasi rasional. Dalam hidup ini ditawarkan dua pilihan: ”eat well” atau ”sleep well”.
Etika Protestan mengajarkan untuk memilih yang pertama. Pilihan ”eat well”, hidup berkecukupan, makan enak, punya apa saja yang dibutuhkan oleh hidup di dunia ini dianggap merupakan konsekuensi dari sikap hidup tersebut.
Maksudnya, mereka yang hidup disiplin, hemat, mengejar keuntungan, dan serbarasional, layak kalau bisa hidup berkecukupan seperti gambaran tersebut. Sikap rasional dan penuh kalkulasi seperti uraian di atas tadi mendasari jiwa asketisme dunia Barat, yang disebut ”inner worldly ascetism”. Kita menyebutnya ”asketisme duniawi”.
Weber menjelaskan asketisme di dalam agama-agama Timur, yang disebutnya ”other worldly ascetism” sebagai nilai budaya yang tak bisa mendorong lahirnya kapitalisme karena orientasi hidup yang lebih ditujukan untuk kehidupan nanti, di ”dunia sana” dan bukan untuk dunia ini dan sekarang ini.
***
Esai ini berusaha menggambarkan bahwa asketisme tidak bisa dibagi secara dikotomis sebagaimana dilakukan Weber yang kelihatannya memandang asketisme dalam agama-agama Timur dengan merujuk kehidupan kaum asketik–para brahmin, resi, pendeta, dan kaum sufi–ortodoks, yang meninggalkan dunia demi mengejar ”kehidupan kelak” di ”dunia sana”. Kaum asketik–rohaniwan–modern berbeda dari kaum asketik ortodoks.
Di dalam Islam, makna sufisme dan kaum sufi masih ditelusuri hubungannya dengan orang yang secara sangat sederhana berpakaian bulu domba, dan ”menyingkir” dari kehidupan ramai, menolak dengan rasa jijik dunia ini untuk sepenuhnya mengonsentrasikan hidup demi dunia yang akan datang. Tapi sufi modern banyak yang hidup di dunia bisnis, perbankan, birokrasi pemerintahan, ahli komunikasi, dan banyak ahli ini ahli itu, yang tak merasa harus menolak kehidupan ini.
Ini bukanlah gambaran asketisme dunia Timur dalam kategori Weber. Perbedaan asketisme dunia Barat dan Timur dalam pemikiran Weber tidak mudah ditemukan relevansinya. Apa yang harus dikatakan ketika seorang rohaniwan Katolik berbicara bahwa orientasi keumatan harus lebih ditampakkan bukan di altar, melainkan di pasar? Altar simbol ”dunia sana”, ”divine symbolism” dan seharusnya, sesuai dengan sikap keagamaan konvensional, pilihan harus diberikan pada ”altar” supaya orientasi rohaniahnya tampak jelas. Tapi, mengapa pilihan jatuh pada ”pasar” yang merupakan simbol bagi dirinya sendiri dan gambaran orientasi kekinian tanpa warna ”dunia sana”? Sikap rohaniwan ini tidak Barat dan tidak Timur. Mungkin tidak modern dan juga tidak tradisional.
Gambaran watak asketik di dalam sastra Jawa pun tak bisa dimasukkan ke dalam kategori Timur-Baratnya Weber. Tengoklah tembang Kinanthi : dadia laku nireku/ cegah dahar lawan guling/ aja pijer sukan-sukan/ manganggoa sawetawis/ ala wateke wong suka/ nyuda prayitnaning batin / (jadikan laku dalam hidupmu/ kurangi makan dan tidur/ jangan membiasakan diri berpesta-pora/ berpakaianlah sekadarnya/ buruklah watak orang yang gemar bersuka-ria/ membuat batin kita lengah). Siapa bisa membingkai orientasi spiritualistis dalam tembang ini ke dalam kategori pengikut Weber?
Dalam Islam, kaum sufi meninggalkan dunia karena kecewa pada para tokoh agama yang lebih ”mengabdi” penguasa dan menjadi pemberi stempel moral atas kebijakan para sultan. Kaum sufi modern, di Barat maupun di Timur, secara kritis juga menilai kebijakan pemerintah dan di sana-sini berhadapan dengan hal-hal mengecewakan, tapi mereka tidak meninggalkan dunia ini.
Sufi modern menjadi bagian dari dunia modern dan orientasi hidup mereka sama dengan manusia modern lainnya. Jika ada perbedaan di antara mereka, mungkin perbedaan itu ada pada aspek moralitas. Bagi mereka, orientasi ekonomi atau politik, bukan sekadar berhenti pada ekonomi dan politik itu sendiri, melainkan ada unsur-unsur rohaniah maupun ideologi keagamaan lain yang turut menjadi penentu apakah sesuatu kebijakan sah atau tidak secara moral.
***
Esai mengenai ”asketisme kaum intelektual” untuk bahan diskusi di dalam forum yang kita sebut Sugjapranata Memorial Lecture ini menekankan sikap asketis yang patut menjadi teladan kehidupan akademik kaum intelektual. Ini tawaran dan pilihan bebas yang patut menjadi renungan kita. Jadi bukan instruksi dan bukan pula orientasi normatif yang mengekang jiwa, tapi patut dicatat sejak awal bahwa kaum intelektual–rohaniwan, akademisi, peneliti, jurnalis, seniman, aktivis–niscaya mereka itu otomatis golongan kaum intelektual.
Apalagi jika definisi diri mereka tak terdistorsi oleh berbagai kepentingan politik-ekonomi yang membuat mereka menjadi bukan manusia merdeka. Ciri intelektual yang hanya mengejar popularitas pribadi pun tak bakal melanggengkan intelektualitasnya karena kekecewaan umum yang lama-lama memahami orientasi hidupnya hanya untuk mencari kemewahan material-duniawi saat ini juga.
Kalau intelektual itu bisa dianggap sebagai penyambung lidah orang banyak yang tak mampu bersuara sendiri, peran itu harus dijaga dengan baik. Peran profetik, kenabian, yang dipanggul kaum intelektual membuat dirinya harus merasa tak pantas nyolong dan serakah terhadap kekayaan materi. Kita butuh akan semua yang duniawi, tetapi inilah yang mungkin paling mendesak dan penting sekarang ini: kaum intelektual diminta membatasi orientasi duniawi yang berlebihan.
Dengan sendirinya, kaum intelektual juga paham sepaham-pahamnya bahwa orientasi pada perjuangan mengejar jabatan–apalagi ditempuh dengan segala cara–bukan bagian dari apa yang dicarinya di dunia ini. Seorang warga negara yang terkenal karena suatu hal tak harus merasa sudah populer, dan karena itu merasa layak mencalonkan diri menjadi gubernur atau jabatan lain. Apalagi kalau dia juga tahu–dan harus tahu–dirinya tak memiliki kompetensi teknis apa pun.
Seorang seniman boleh jadi terkenal sekali, tapi haruskah dia memaksa diri–karena sebenarnya tak tahu-menahu hal lain di luar dunianya–menjadi calon presiden yang pada akhirnya hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Di kampus-kampus, para intelektual ternama di bidang penelitian dan penulisan hingga namanya melambung, tapi mungkin dia tak harus melamar menjadi dekan terutama kalau dia tak paham akan birokrasi.
Seorang dekan yang sukses pun tak perlu memaksa diri mencalonkan diri menjadi rektor, karena dari dekan ke rektor tak pernah ada tangga penghubung yang memudahkan langkahnya. Seorang intelektual di kampus tujuan utamanya menjadi profesor. Itu jabatan yang paling logis dilihat dari jenjang karier yang punya ”tangga” penghubung profesional.
Untuk lembaga-lembaga yang memakai simbol keagamaan, unsur agama dan spiritualitas menjadi kekuatan yang menata jiwa kita. Keserakahan akan materi dan jabatan akan menjadi memalukan demi kehormatan lembaga. Kalau mau serakah mungkin tidak usah di lembaga tersebut. Dunia bisnis lebih leluasa mengakomodasi ambisi seperti itu.
Selebihnya, tanpa harus sok moralistik, intelektual memang memanggul kewajiban moral yang besar. Hidupnya dibangun di atas rel moralitas yang juga patut menjadi cita-cita ideal yang dibangun untuk moralitas publik. Di dunia keagamaan maupun bukan, tiap intelektual wajib tampil dalam sosok seperti itu.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih buat Kesehatan
KITA selalu ingat Max Weber tiap berbicara mengenai asketisme dalam agama dan dalam ”sejarah” pertumbuhan semangat kapitalisme. Weber berbicara mengenai ”embrio” kapitalisme yang begitu subur di dunia Timur–India kuno, China kuno, Mesir kuno, Persia kuno, dan Babilonia kuno–tapi di negara-negara itu ”embrio” tersebut tak bisa lahir menjadi kapitalisme sebagaimana terjadi di dunia Barat.
Sebaliknya, menurut Weber, di dunia Barat ”embrio” kapitalisme itu bisa muncul menjadi kapitalisme karena pengaruh etika Protestan yang mengajarkan sikap hidup serba-penuh disiplin, hemat, gigih mengejar keuntungan, bersikap serbacermat dan penuh kalkulasi rasional. Dalam hidup ini ditawarkan dua pilihan: ”eat well” atau ”sleep well”.
Etika Protestan mengajarkan untuk memilih yang pertama. Pilihan ”eat well”, hidup berkecukupan, makan enak, punya apa saja yang dibutuhkan oleh hidup di dunia ini dianggap merupakan konsekuensi dari sikap hidup tersebut.
Maksudnya, mereka yang hidup disiplin, hemat, mengejar keuntungan, dan serbarasional, layak kalau bisa hidup berkecukupan seperti gambaran tersebut. Sikap rasional dan penuh kalkulasi seperti uraian di atas tadi mendasari jiwa asketisme dunia Barat, yang disebut ”inner worldly ascetism”. Kita menyebutnya ”asketisme duniawi”.
Weber menjelaskan asketisme di dalam agama-agama Timur, yang disebutnya ”other worldly ascetism” sebagai nilai budaya yang tak bisa mendorong lahirnya kapitalisme karena orientasi hidup yang lebih ditujukan untuk kehidupan nanti, di ”dunia sana” dan bukan untuk dunia ini dan sekarang ini.
***
Esai ini berusaha menggambarkan bahwa asketisme tidak bisa dibagi secara dikotomis sebagaimana dilakukan Weber yang kelihatannya memandang asketisme dalam agama-agama Timur dengan merujuk kehidupan kaum asketik–para brahmin, resi, pendeta, dan kaum sufi–ortodoks, yang meninggalkan dunia demi mengejar ”kehidupan kelak” di ”dunia sana”. Kaum asketik–rohaniwan–modern berbeda dari kaum asketik ortodoks.
Di dalam Islam, makna sufisme dan kaum sufi masih ditelusuri hubungannya dengan orang yang secara sangat sederhana berpakaian bulu domba, dan ”menyingkir” dari kehidupan ramai, menolak dengan rasa jijik dunia ini untuk sepenuhnya mengonsentrasikan hidup demi dunia yang akan datang. Tapi sufi modern banyak yang hidup di dunia bisnis, perbankan, birokrasi pemerintahan, ahli komunikasi, dan banyak ahli ini ahli itu, yang tak merasa harus menolak kehidupan ini.
Ini bukanlah gambaran asketisme dunia Timur dalam kategori Weber. Perbedaan asketisme dunia Barat dan Timur dalam pemikiran Weber tidak mudah ditemukan relevansinya. Apa yang harus dikatakan ketika seorang rohaniwan Katolik berbicara bahwa orientasi keumatan harus lebih ditampakkan bukan di altar, melainkan di pasar? Altar simbol ”dunia sana”, ”divine symbolism” dan seharusnya, sesuai dengan sikap keagamaan konvensional, pilihan harus diberikan pada ”altar” supaya orientasi rohaniahnya tampak jelas. Tapi, mengapa pilihan jatuh pada ”pasar” yang merupakan simbol bagi dirinya sendiri dan gambaran orientasi kekinian tanpa warna ”dunia sana”? Sikap rohaniwan ini tidak Barat dan tidak Timur. Mungkin tidak modern dan juga tidak tradisional.
Gambaran watak asketik di dalam sastra Jawa pun tak bisa dimasukkan ke dalam kategori Timur-Baratnya Weber. Tengoklah tembang Kinanthi : dadia laku nireku/ cegah dahar lawan guling/ aja pijer sukan-sukan/ manganggoa sawetawis/ ala wateke wong suka/ nyuda prayitnaning batin / (jadikan laku dalam hidupmu/ kurangi makan dan tidur/ jangan membiasakan diri berpesta-pora/ berpakaianlah sekadarnya/ buruklah watak orang yang gemar bersuka-ria/ membuat batin kita lengah). Siapa bisa membingkai orientasi spiritualistis dalam tembang ini ke dalam kategori pengikut Weber?
Dalam Islam, kaum sufi meninggalkan dunia karena kecewa pada para tokoh agama yang lebih ”mengabdi” penguasa dan menjadi pemberi stempel moral atas kebijakan para sultan. Kaum sufi modern, di Barat maupun di Timur, secara kritis juga menilai kebijakan pemerintah dan di sana-sini berhadapan dengan hal-hal mengecewakan, tapi mereka tidak meninggalkan dunia ini.
Sufi modern menjadi bagian dari dunia modern dan orientasi hidup mereka sama dengan manusia modern lainnya. Jika ada perbedaan di antara mereka, mungkin perbedaan itu ada pada aspek moralitas. Bagi mereka, orientasi ekonomi atau politik, bukan sekadar berhenti pada ekonomi dan politik itu sendiri, melainkan ada unsur-unsur rohaniah maupun ideologi keagamaan lain yang turut menjadi penentu apakah sesuatu kebijakan sah atau tidak secara moral.
***
Esai mengenai ”asketisme kaum intelektual” untuk bahan diskusi di dalam forum yang kita sebut Sugjapranata Memorial Lecture ini menekankan sikap asketis yang patut menjadi teladan kehidupan akademik kaum intelektual. Ini tawaran dan pilihan bebas yang patut menjadi renungan kita. Jadi bukan instruksi dan bukan pula orientasi normatif yang mengekang jiwa, tapi patut dicatat sejak awal bahwa kaum intelektual–rohaniwan, akademisi, peneliti, jurnalis, seniman, aktivis–niscaya mereka itu otomatis golongan kaum intelektual.
Apalagi jika definisi diri mereka tak terdistorsi oleh berbagai kepentingan politik-ekonomi yang membuat mereka menjadi bukan manusia merdeka. Ciri intelektual yang hanya mengejar popularitas pribadi pun tak bakal melanggengkan intelektualitasnya karena kekecewaan umum yang lama-lama memahami orientasi hidupnya hanya untuk mencari kemewahan material-duniawi saat ini juga.
Kalau intelektual itu bisa dianggap sebagai penyambung lidah orang banyak yang tak mampu bersuara sendiri, peran itu harus dijaga dengan baik. Peran profetik, kenabian, yang dipanggul kaum intelektual membuat dirinya harus merasa tak pantas nyolong dan serakah terhadap kekayaan materi. Kita butuh akan semua yang duniawi, tetapi inilah yang mungkin paling mendesak dan penting sekarang ini: kaum intelektual diminta membatasi orientasi duniawi yang berlebihan.
Dengan sendirinya, kaum intelektual juga paham sepaham-pahamnya bahwa orientasi pada perjuangan mengejar jabatan–apalagi ditempuh dengan segala cara–bukan bagian dari apa yang dicarinya di dunia ini. Seorang warga negara yang terkenal karena suatu hal tak harus merasa sudah populer, dan karena itu merasa layak mencalonkan diri menjadi gubernur atau jabatan lain. Apalagi kalau dia juga tahu–dan harus tahu–dirinya tak memiliki kompetensi teknis apa pun.
Seorang seniman boleh jadi terkenal sekali, tapi haruskah dia memaksa diri–karena sebenarnya tak tahu-menahu hal lain di luar dunianya–menjadi calon presiden yang pada akhirnya hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Di kampus-kampus, para intelektual ternama di bidang penelitian dan penulisan hingga namanya melambung, tapi mungkin dia tak harus melamar menjadi dekan terutama kalau dia tak paham akan birokrasi.
Seorang dekan yang sukses pun tak perlu memaksa diri mencalonkan diri menjadi rektor, karena dari dekan ke rektor tak pernah ada tangga penghubung yang memudahkan langkahnya. Seorang intelektual di kampus tujuan utamanya menjadi profesor. Itu jabatan yang paling logis dilihat dari jenjang karier yang punya ”tangga” penghubung profesional.
Untuk lembaga-lembaga yang memakai simbol keagamaan, unsur agama dan spiritualitas menjadi kekuatan yang menata jiwa kita. Keserakahan akan materi dan jabatan akan menjadi memalukan demi kehormatan lembaga. Kalau mau serakah mungkin tidak usah di lembaga tersebut. Dunia bisnis lebih leluasa mengakomodasi ambisi seperti itu.
Selebihnya, tanpa harus sok moralistik, intelektual memang memanggul kewajiban moral yang besar. Hidupnya dibangun di atas rel moralitas yang juga patut menjadi cita-cita ideal yang dibangun untuk moralitas publik. Di dunia keagamaan maupun bukan, tiap intelektual wajib tampil dalam sosok seperti itu.
(whb)