Isu Gender
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
RELASI lelaki-perempuan senantiasa menjadi bahan diskusi yang tak pernah berakhir. Ini juga menyangkut persoalan karier dan pembagian kerja dalam kehidupan rumah tangga, posisi, serta promosi karyawan-karyawati di kantor, bahkan dalam dunia politik.
Siapakah yang lebih superior antara kaum laki-laki dan perempuan? Tentu tak ada jawaban tunggal yang disepakati semua pihak. Di sana terdapat beberapa teori yang mencoba menganalisis mengenai relasi gender.
Secara umum, setidaknya terdapat empat referensi yang menjadi rujukan untuk memperbincangkan relasi gender, yaitu faktor geografi, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pandangan keagamaan.
Mengenai aspek geografi, mari kita lihat secara sekilas. Masyarakat yang hidup di lingkungan alam yang keras, misalnya padang pasir, maka laki-laki lebih dominan perannya dalam mencari kebutuhan ekonomi, misalnya berburu hewan.
Ditambah lagi, jika sering terjadi perkelahian antarsuku, maka laki-laki mesti tampil di depan. Perempuan yang lagi hamil dan mengasuh bayi, misalnya, tentu mesti tinggal di rumah.
Situasi demikian pada urutannya menempatkan laki-laki sebagai hero, pahlawan, dan menempatkan perempuan sebagai instrumen reproduksi anak yang tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi.
Nasib perempuan sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Dalam ungkapan bernada ekstrem, laki-laki tampil sebagai somebody, lalu perempuan sebagai something.
Dalam konteks ini, yang menarik direnungkan adalah agama-agama besar dunia, seperti hanya Islam, lahir dan tumbuh dimulai dari masyarakat padang pasir yang secara sosiologis-politis bias laki-laki. Adakah pengaruh masyarakat patrimonial ini dalam menafsirkan dan mempraktikkan paham keagamaan yang mereka anut?
Kebalikan dari kondisi geografis yang keras, mari kita lihat kondisi geografis nusantara yang pertaniannya sangat makmur. Alamnya hijau, indah, lautnya luas kaya dengan ikan sehingga memungkinkan perempuan hidup mandiri dengan bercocok tanam dan beternak tanpa bergantung sepenuhnya pada kekuatan otot laki-laki.
Di beberapa daerah posisi perempuan lebih mandiri secara ekonomi dibanding dengan laki-laki karena rajin dan pintar bertani. Bahkan, ada perempuan yang menjadi kepala pemerintahan. Sementara laki-laki ada yang bermalas-malasan dan suka adu jago.
Karena itu, perempuan nusantara sejak dulu biasa pergi ke kebun atau ke pasar sendirian. Ini tentu suatu hal tidak dijumpai pada masyarakat padang pasir. Nusantara yang makmur dan aman memungkinkan para perempuan bepergian sendiri, tanpa dikawal suami atau saudara laki-laki. Di beberapa daerah posisi perempuan lebih tinggi sehingga terbentuk masyarakat matrimonial.
Lalu faktor ketiga, yaitu pendidikan. Berkat modernisasi, peluang untuk meraih pendidikan juga terbuka bagi laki-laki maupun perempuan, anak kota maupun desa.
Pendidikan juga telah mengubah konsep tentang kekuatan dan keunggulan seseorang yang mengunggulkan otot digeser oleh kompetisi keunggulan otak. Artinya, kehebatan seseorang bukan dinilai karena kekuatan ototnya untuk maju perang, tetapi karena prestasi pendidikannya.
Perbedaan biologis dan inklinasi psikologis antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, misalnya kapasitas hamil dan melahirkan bagi perempuan tak akan tergantikan oleh laki-laki. Namun, dengan pendidikan dan keahlian seseorang, maka faktor gender menjadi tergeser oleh soft skill.
Ini mudah diamati misalnya saja dalam dunia pendidikan. Banyak jabatan guru yang diisi perempuan dan ternyata hasil dan prestasinya tidak kalah dibanding laki-laki.
Masih banyak profesi lain yang mudah diamati di sekeliling kita membuktikan bahwa kategori lelaki-perempuan tidak selalu relevan dipertahankan dalam bidang-bidang jasa seperti dokter, perawat, bankir, dan lainnya.
Paling fenomenal adalah kemajuan sains dan teknologi yang telah mengubah secara drastis perbedaan lelaki-perempuan dalam dunia kerja. Dengan munculnya artificial intelligence, peran otot dan otak sebagian telah tergantikan oleh teknologi.
Yang diperlukan adalah kemampuan mengenali dan mengoperasionalkan teknologi super canggih. Contohnya adalah profesi pilot, sekarang tidak lagi dominasi kaum laki-laki. Begitu pun dalam dunia arsitektur dan rancang bangun properti, banyak perempuan mampu melakukan karena memiliki skill dan penguasaan teknologi.
Dulu kakek-nenek kita tidak membayangkan benda dan peralatan berbobot satu ton bisa diangkat atau dipindahkan ke tempat tinggi. Sekarang dengan teknologi, seorang perempuan bisa mengoperasionalkan alat canggih untuk mengangkat barang-barang berat. Jadi, teknologi telah mengurangi arogansi kaum laki-laki yang mengandalkan fisiknya.
Isu gender ini cukup pelik dan kadang menimbulkan kontroversi ketika dibawa ke ranah agama. Ada anggapan, sekali lagi ini sebuah anggapan, bahwa agama itu lebih memihak pada posisi dan kepentingan laki-laki.
Yang jadi rujukan adalah kenyataan bahwa semua nabi utusan Tuhan itu laki-laki. Begitu pun yang jadi imam sembahyang atau kebaktian agama adalah laki-laki. Selain itu, juga paham tentang warisan, laki-laki menerima lebih banyak ketimbang perempuan.
Dalam hal jadi saksi, perempuan juga dianggap separuh bobotnya. Ini semua memperkuat anggapan bahwa agama lebih mendahulukan laki-laki.
Pertanyaan yang muncul, apakah doktrin agama itu absolut, tidak ada penafsiran lain, ataukah ada kaitannya dengan budaya dan kondisi geografis saat sebuah agama lahir dan tumbuh, misalnya masyarakat tradisional yang hidup di padang pasir?
Sejauh ini pembagian lelaki-perempuan dalam hal jadi imam salat, misalnya, kelihatannya dianggap absolut. Tak diperlukan penafsiran lagi.
Tetapi dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia, kiprah perempuan jauh lebih luas dan lebih dinamis dibanding perempuan di lingkungan masyarakat Arab. Di sini perempuan bisa menduduki jabatan presiden, menteri, rektor universitas, hakim, diplomat, dan sekian posisi dan karier lainnya.
Ini semua tak lepas dari pengaruh faktor geografis, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pemahaman serta sikap keagamaan masyarakat Indonesia yang terbuka dan moderat.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
RELASI lelaki-perempuan senantiasa menjadi bahan diskusi yang tak pernah berakhir. Ini juga menyangkut persoalan karier dan pembagian kerja dalam kehidupan rumah tangga, posisi, serta promosi karyawan-karyawati di kantor, bahkan dalam dunia politik.
Siapakah yang lebih superior antara kaum laki-laki dan perempuan? Tentu tak ada jawaban tunggal yang disepakati semua pihak. Di sana terdapat beberapa teori yang mencoba menganalisis mengenai relasi gender.
Secara umum, setidaknya terdapat empat referensi yang menjadi rujukan untuk memperbincangkan relasi gender, yaitu faktor geografi, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pandangan keagamaan.
Mengenai aspek geografi, mari kita lihat secara sekilas. Masyarakat yang hidup di lingkungan alam yang keras, misalnya padang pasir, maka laki-laki lebih dominan perannya dalam mencari kebutuhan ekonomi, misalnya berburu hewan.
Ditambah lagi, jika sering terjadi perkelahian antarsuku, maka laki-laki mesti tampil di depan. Perempuan yang lagi hamil dan mengasuh bayi, misalnya, tentu mesti tinggal di rumah.
Situasi demikian pada urutannya menempatkan laki-laki sebagai hero, pahlawan, dan menempatkan perempuan sebagai instrumen reproduksi anak yang tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi.
Nasib perempuan sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Dalam ungkapan bernada ekstrem, laki-laki tampil sebagai somebody, lalu perempuan sebagai something.
Dalam konteks ini, yang menarik direnungkan adalah agama-agama besar dunia, seperti hanya Islam, lahir dan tumbuh dimulai dari masyarakat padang pasir yang secara sosiologis-politis bias laki-laki. Adakah pengaruh masyarakat patrimonial ini dalam menafsirkan dan mempraktikkan paham keagamaan yang mereka anut?
Kebalikan dari kondisi geografis yang keras, mari kita lihat kondisi geografis nusantara yang pertaniannya sangat makmur. Alamnya hijau, indah, lautnya luas kaya dengan ikan sehingga memungkinkan perempuan hidup mandiri dengan bercocok tanam dan beternak tanpa bergantung sepenuhnya pada kekuatan otot laki-laki.
Di beberapa daerah posisi perempuan lebih mandiri secara ekonomi dibanding dengan laki-laki karena rajin dan pintar bertani. Bahkan, ada perempuan yang menjadi kepala pemerintahan. Sementara laki-laki ada yang bermalas-malasan dan suka adu jago.
Karena itu, perempuan nusantara sejak dulu biasa pergi ke kebun atau ke pasar sendirian. Ini tentu suatu hal tidak dijumpai pada masyarakat padang pasir. Nusantara yang makmur dan aman memungkinkan para perempuan bepergian sendiri, tanpa dikawal suami atau saudara laki-laki. Di beberapa daerah posisi perempuan lebih tinggi sehingga terbentuk masyarakat matrimonial.
Lalu faktor ketiga, yaitu pendidikan. Berkat modernisasi, peluang untuk meraih pendidikan juga terbuka bagi laki-laki maupun perempuan, anak kota maupun desa.
Pendidikan juga telah mengubah konsep tentang kekuatan dan keunggulan seseorang yang mengunggulkan otot digeser oleh kompetisi keunggulan otak. Artinya, kehebatan seseorang bukan dinilai karena kekuatan ototnya untuk maju perang, tetapi karena prestasi pendidikannya.
Perbedaan biologis dan inklinasi psikologis antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, misalnya kapasitas hamil dan melahirkan bagi perempuan tak akan tergantikan oleh laki-laki. Namun, dengan pendidikan dan keahlian seseorang, maka faktor gender menjadi tergeser oleh soft skill.
Ini mudah diamati misalnya saja dalam dunia pendidikan. Banyak jabatan guru yang diisi perempuan dan ternyata hasil dan prestasinya tidak kalah dibanding laki-laki.
Masih banyak profesi lain yang mudah diamati di sekeliling kita membuktikan bahwa kategori lelaki-perempuan tidak selalu relevan dipertahankan dalam bidang-bidang jasa seperti dokter, perawat, bankir, dan lainnya.
Paling fenomenal adalah kemajuan sains dan teknologi yang telah mengubah secara drastis perbedaan lelaki-perempuan dalam dunia kerja. Dengan munculnya artificial intelligence, peran otot dan otak sebagian telah tergantikan oleh teknologi.
Yang diperlukan adalah kemampuan mengenali dan mengoperasionalkan teknologi super canggih. Contohnya adalah profesi pilot, sekarang tidak lagi dominasi kaum laki-laki. Begitu pun dalam dunia arsitektur dan rancang bangun properti, banyak perempuan mampu melakukan karena memiliki skill dan penguasaan teknologi.
Dulu kakek-nenek kita tidak membayangkan benda dan peralatan berbobot satu ton bisa diangkat atau dipindahkan ke tempat tinggi. Sekarang dengan teknologi, seorang perempuan bisa mengoperasionalkan alat canggih untuk mengangkat barang-barang berat. Jadi, teknologi telah mengurangi arogansi kaum laki-laki yang mengandalkan fisiknya.
Isu gender ini cukup pelik dan kadang menimbulkan kontroversi ketika dibawa ke ranah agama. Ada anggapan, sekali lagi ini sebuah anggapan, bahwa agama itu lebih memihak pada posisi dan kepentingan laki-laki.
Yang jadi rujukan adalah kenyataan bahwa semua nabi utusan Tuhan itu laki-laki. Begitu pun yang jadi imam sembahyang atau kebaktian agama adalah laki-laki. Selain itu, juga paham tentang warisan, laki-laki menerima lebih banyak ketimbang perempuan.
Dalam hal jadi saksi, perempuan juga dianggap separuh bobotnya. Ini semua memperkuat anggapan bahwa agama lebih mendahulukan laki-laki.
Pertanyaan yang muncul, apakah doktrin agama itu absolut, tidak ada penafsiran lain, ataukah ada kaitannya dengan budaya dan kondisi geografis saat sebuah agama lahir dan tumbuh, misalnya masyarakat tradisional yang hidup di padang pasir?
Sejauh ini pembagian lelaki-perempuan dalam hal jadi imam salat, misalnya, kelihatannya dianggap absolut. Tak diperlukan penafsiran lagi.
Tetapi dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia, kiprah perempuan jauh lebih luas dan lebih dinamis dibanding perempuan di lingkungan masyarakat Arab. Di sini perempuan bisa menduduki jabatan presiden, menteri, rektor universitas, hakim, diplomat, dan sekian posisi dan karier lainnya.
Ini semua tak lepas dari pengaruh faktor geografis, pendidikan, kemajuan teknologi, dan pemahaman serta sikap keagamaan masyarakat Indonesia yang terbuka dan moderat.
(poe)