Indeks Kebahagiaan

Jum'at, 08 September 2017 - 08:02 WIB
Indeks Kebahagiaan
Indeks Kebahagiaan
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

BISAKAH kebahagiaan yang bersifat subjektif-kualitatif diukur lalu dikuantitatifkan? Dengan bantuan ilmu psikologi dan statistik, para sarjana telah mencoba melakukan pengukuran, antara lain melalui wawancara.

Sepanjang yang merasakan derita dan bahagia itu manusia, sesungguhnya bisa digali, diajak dialog, dan secara statistik bisa diukur lalu diperbandingkan.
Hanya saja mesti diingat bahwa kebahagiaan seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama yang dianut seseorang.

Namun dari semua masyarakat yang hendak disurvei, di sana terdapat kemiripan faktor yang mendukung kebahagiaan seseorang. Misalnya kebutuhan rasa aman, lingkungan sosial yang jujur, tempat tinggal, lapangan kerja, penerimaan sosial, kesehatan, pendidikan dan pandangan optimistik melihat masa depannya.

Terdapat dua masyarakat atau negara yang dilaporkan paling bahagia saat ini, yaitu Buthan dan Norwegia, dua masyarakat yang memiliki budaya dan agama yang berbeda. Buthan adalah kerajaan kecil dengan luas wilayah 38.394 km persegi, berpenduduk sekitar 750.000 jiwa. Sebuah masyarakat agraris, pemeluk Buddha yang sangat setia. Income per kapita sekitar USD2.730. Letaknya berdekatan China, India, dan Nepal, serta berada di lereng Pegunungan Himalaya.

Berdasarkan World Happiness Report (WHR) 2017, dari 155 negara yang diurvei, Norwegia dinyatakan sebagai bangsa yang paling bahagia di dunia. Menyusul di bawahnya adalah Denmark, Iceland, Switzerland, dan Finlandia. Kesemuanya tergolong negara kecil dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta, bahkan kurang.

Norwegia letaknya di semenanjung Skandinavia, bertetangga dengan Swedia, Finlandia, dan Rusia, dengan luas wilayah 385.525 km persegi serta berpenduduk sekitar 5 juta jiwa. Alam Norwegia sangat kaya, memiliki cadangan minyak bumi, gas alam, mineral, makanan laut dan air segar yang melimpah di bawah pemerintahan seorang raja. Pendapat per kapita sekitar USD54.397.

Beberapa aspek yang dijadikan kriteria mencakup rasa aman, sikap tolong-menolong, kedermawanan, kejujuran, pemerintahan yang melindungi dan melayani, ketersediaan lapangan kerja, emosi positif warganya, bebas dari rasa tertekan dan eudaimonia atau perasaan hidup bermakna dan memiliki tujuan yang jelas.

Warga Amerika Serikat, misalnya, meskipun secara ekonomi tinggi dan maju, tingkat kebahagiaan rakyatnya menurun. Berbagai ancaman terorisme dan dinamika politik serta ekonomi yang fluktuatif telah mengurangi rasa aman dan bahagia warganya.

Indeks kebahagiaan China pun menurun. Suasana hidup yang penuh kompetitif dalam ekonomi dan politik, memang telah menciptakan kegaduhan. Restless, noicy. Kondisi demikian kurang, atau tidak, dirasakan masyarakat negara-negara kecil yang menempati peringkat kebahagiaan tinggi.

Sebagai pemeluk Buddha, masyarakat Buthan bahkan diajari konsep detachment. Hidup merdeka, tak mau terbelenggu oleh nikmat dunia. Bahkan warga Buthan diajarkan untuk selalu berbuat baik dan mengingat mati sebagai jalan pembebasan.

Dalam konstitusi Buthan tertulis, yang dalam bahasa Inggris berbunyi: If the government cannot create happiness for its people, then there is no purpose for government to exist. Makanya cukup populer ungkapan Khesan Namgyel Wangchuck, Raja ke-5 Buthan, yang menegaskan bahwa Gross National Happiness (GNH) lebih penting dari Gross National Product (GNP).

Jika diskusi ini dibawa ke ranah bangsa dan masyarakat Indonesia, bagaimana potretnya? Dalam WHR 2017 ini, Indonesia menduduki peringkat ke-81.

Sebagai negara besar dan yang penduduknya tersebar ke sekian banyak pulau dengan beragam tradisi, agama, sumber ekonomi, dan pekerjaan, sudah pasti tidak bisa disajikan secara utuh dan mudah potret kebahagiaan warganya sebagaimana negara-negara yang penduduknya di bawah 5 juta dan menempati daratan yang sama.

Jika diambil rata-rata secara nasional, income per kapita rakyat Indonesia sekitar USD3.500. Tapi pada kenyataan di lapangan, ada yang di atas USD25.000 dan ada yang di bawah USD1.000. Pemerataan masih jauh untuk diwujudkan dan dinikmati.

Belum lagi bicara ketersediaan lapangan kerja, rasa aman, dan optimisme memandang hari depan, suasana batin masyarakat Indonesia pun diliputi rasa ketidapkastian (uncertain). Suasana keterbukaan dan persaingan antarbangsa dan negara telah menimbulkan dorongan untuk maju, tetapi juga perasaan tertinggal dan terancam, bahkan sebagian merasa sebagai warga negara yang kalah.

Di tengah ekspansi ekonomi dan pengaruh budaya asing yang semakin gencar, sesungguhnya masyarakat Indonesia memiliki tradisi dan modal untuk merasa bahagia. Setidaknya terdapat empat faktor yang pantas disyukuri.

Pertama, alam Indonesia yang indah sehingga untuk melihat dan menikmati alam tak perlu pergi rekreasi jauh-jauh dan mahal. Bandingkan saja dengan mereka yang tinggal di alam yang panas dan gersang. Di sini terdapat laut, pantai, sawah, sungai, gunung, hutan, pedesaan yang membuat bangsa lain iri.

Kedua, tradisi hidup komunalisme. Berbeda jauh dari masyarakat barat, masyarakat kita masih memiliki hubungan kekerabatan yang kuat, baik atas dasar suku, marga, famili maupun kedaerahan.

Sekarang ini dengan ditemukannya media sosial berbasis internet, hubungan kekerabatan dan pertemanan lama mudah terjalin kembali. Sering sekali ada acara reuni teman sekolah atau sedaerah yang difasilitasi dengan WhatsApp untuk mengumpulkan teman-teman lama. Secara psikologis forum ini membuat para peserta merasa bahagia, terhibur, membuang lelah dan jenuh dari rutinitas kerja.

Ketiga, tradisi humor. Coba saja perhatikan, betapa kayanya tradisi humor dan candaan di tengah masyarakat kita. Berbagai problem hidup yang pahit bahkan bisa dan sering diolah menjadi bahan humor dan parodi, sehingga menjadi semacam katarsis sosial.

Jika ditelusuri ke belakang, kekayaan humor mungkin berkaitan dengan kekayaan dan keragaman suku yang dulunya hidup secara komunal, dalam lingkungan alam dan sosial yang nyaman, sehingga masyarakatnya menjadi santai, tidak mesti kerja keras yang pada urutannya mengondisikan untuk senang bercanda.

Keempat, aspek ini mungkin yang sangat besar perannya dalam membuat seseorang tahan uji dan sabar menjalani kehidupan. Yaitu faktor agama.

Meskipun secara ekonomi Indonesia kalah jauh dibanding Norwegia atau Jepang, tapi angka bunuh diri sangat kecil. Jumlah angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat merupakan salah satu indikator kerentanan jiwa ketika diterpa masalah hidup.

Masyarakat Indonesia yang dikenal religius, apapun agama dan kepercayaannya, mempunyai peran sangat besar pada pemeluknya untuk selalu bersabar ketika musibah dan senantiasa bersyukur menerima anugerah Tuhan, termasuk anugerah kehidupan ini.

Banyaknya mimbar pengajian keagamaan melalui televisi, radio, di tempat ibadah dan dalam masyarakat sudah pasti memperkuat dan menginspirasi mental masyarakat untuk merayakan kehidupan dengan memperbanyak amal kebajikan dan menjaga silaturahmi. Keduanya ini menimbulkan eudaimonia, yaitu perasaan hidup bermakna, memiliki tujuan hidup dan harmoni sosial.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0702 seconds (0.1#10.140)