Salah Langkah di Pulau Palsu
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
Dalam risalah Indonesia Kita, Cak Nur (1939-2005) mengatakan bahwa,"Mengingat kesenjangan yang begitu jauh antara cita-cita pendiri negara dengan kenyataan yang kini kita saksikan, maka bangsa Indonesia memerlukan adanya suatu momen historis, dalam bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita para pendiri negara" (2003).
Pesan Cak Nur sangat relevan dengan situasi yang terjadi di Teluk Jakarta belakangan ini. Pasca-lengsernya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di dalam Pemilukada DKI Jakarta 2017, tarik ulur terkait dengan nasib proyek reklamasi justru kian menguat. Djarot Saiful Hidayat, Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Ahok sejak 15 Juni, berkeinginan untuk menuntaskan legalitas pulau buatan yang sudah terbangun sebelum genap masa pengabdiannya sebagai petugas partai.
Jauh bertolak belakang, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno justru sejak awal masa kampanye telah menyatakan ”penghentian reklamasi” sebagai salah satu program kerja yang akan mereka tunaikan setelah resmi dilantik pada Oktober 2017.
Dalam perkembangannya, BPN Jakarta Utara menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau 2A atau Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare untuk perusahaan properti skala besar PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan PT Agung Sedayu Group) pada 24 Agustus 2017. Menariknya, proses penerbitannya terbilang kilat.
Pertama, diterbitkannya sertifikat Hak Pengelolaan untuk Pulau D kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 19 Juni 2017. Berbekal sertifikat inilah, Gubernur DKI Jakarta merupakan pemegang hak untuk mengelola tanah di pulau buatan tersebut.
Kedua, mengacu pada Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang berhak mengajukan permohonan memperoleh sertifikat hak guna bangunan di atas tanah Pulau D. Syaratnya, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group tersebut terlebih dahulu harus memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku pemegang hak pengelolaan. Belakangan perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Kapuk Naga Indah telah disepakati di Balai Kota Jakarta pada 27 Juli 2017.
Ketiga, prosesi penyerahan sertifikat Hak Pengelolaan Pulau D oleh Presiden Joko Widodo kepada Pemprov DKI Jakarta pada 20 Agustus 2017. Prosesi ini menjadi penanda bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang dicanangkan oleh rezim poros maritim dunia di dalam RPJMN 2015-2019 adalah proyek properti skala besar melalui reklamasi pantai. Selain Jakarta, proyek serupa juga direncanakan dibangun di Semarang, Makassar, dan Bali, meski mayoritas warga telah menolaknya.
Keempat, berbekal perjanjian kerja sama pengelolaan tanah di Pulau D dengan Pemprov DKI Jakarta, PT Kapuk Naga Indah mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak guna bangunan kepada BPN Jakarta Utara. Dengan alasan untuk percepatan pembangunan, maka terbitlah Surat Ukur Nomor 00976/ 2017 untuk tanah seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare pada 23 Agustus dan disahkan menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan pada 24 Agustus 2017.
Dengan adanya sertifikat hak guna bangunan, maka pekerjaan PT Kapuk Naga Indah selanjutnya adalah memasarkan produk-produk properti beromzet triliunan rupiah di beranda televisi-televisi nasional. Dengan cara itulah mereka menawarkan "gaya hidup baru" dengan pelbagai kemewahan dan kewangian infrastruktur sosial dan budaya khas kaum borjuasi, meski bertentangan dengan spirit gotong-royong yang diusung oleh founding fathers.
Seperti pernah diutarakan oleh Raymond William dalam bukunya Resources of Hope: Culture, Democracy and Socialism (1989) bahwa,"Dominasi yang terjadi di masyarakat dilakukan untuk mempertahankan kepentingan kelas tertentu. Hal ini dilakukan tidak selalu menggunakan kekuasaan (power), melainkan perluasan kepemilikan atas alat-alat produksi (property)".
Momen Historis
Jakarta adalah etalase kesenjangan ekonomi sebagaimana dikhawatirkan oleh Cak Nur. Betapa tidak, selain proyek reklamasi di Teluk Jakarta, sedikitnya 1.761,2 hektare tanah aset DKI Jakarta dikuasai sejumlah pengembang, di antaranya Agung Podomoro Group, PT Summarecon Agung, dan PT Mitra Sindo Makmur, sejak diterbitkannya surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) pada 1971 (BPK, Juni 2017). Sebaliknya, warga Jakarta yang tinggal di 44 rukun tetangga dan 2 rukun warga di Muara Angke sejak 1975 misalnya, justru belum mengantongi legalitas kepemilikan tanah. Lebih parah lagi, hingga April 2017, sedikitnya 550 hektare lahan di Jakarta dialokasikan untuk pembangunan 173 pusat perbelanjaan.
Pembiaran yang dilakukan oleh Gubernur DKI terhadap kesenjangan yang terus membesar di DKI Jakarta jelas merupakan langkah yang salah. Mengapa demikian? Setidaknya mengacu pada dua hal sebagai berikut: pertama, Pasal 6-7 Undang-Undang Nomor 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan bahwa,"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu, agar tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". Apalagi nelayan di Teluk Jakarta terang-terangan menolak sedari awal rencana pembangunan mega proyek properti reklamasi tersebut. Mestinya, Djarot fokus pada upaya pembangunan rumah layak huni dan memfasilitasi pengurusan sertifikat hak atas tanah bagi nelayan di sepanjang pesisir utara Jakarta.
Kedua, sampai dengan akhir Agustus 2017, DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Padahal, keberadaan aturan ini sangat strategis bagi upaya memberikan perlindungan kepada warga Jakarta yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terlebih lagi, di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tersedia ruang konstitusional bagi Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut hak guna bangunan demi kepentingan umum (nelayan). Sayangnya, Djarot lebih memilih jalur sebagai petugas partai ketimbang pelindung rakyat.
Menyikapi hal tersebut, dalam sebuah kesempatan, Presiden Soekarno pernah berkata,"Tuhan Yang Maha Esa menciptakan suatu bangsa untuk maju melawan kebohongan elitenya dan hanya bangsanya sendirilah yang mampu mengubah nasib negerinya sendiri". Dengan perkataan lain, momen historis penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan di Teluk Jakarta yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita para pendiri negara kembali hilang pada era gubernur saat ini.
Agar kebiasaan salah melangkah dan menjauh dari konstitusi ini tidak berulang, maka sudah menjadi fardlu fardlu ain bagi warga Jakarta untuk lebih proaktif mengawasi pembangunan di Ibu Kota sembari meneriakkan kembali pesan Bung Karno dengan lantang, "Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, rasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?"
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
Dalam risalah Indonesia Kita, Cak Nur (1939-2005) mengatakan bahwa,"Mengingat kesenjangan yang begitu jauh antara cita-cita pendiri negara dengan kenyataan yang kini kita saksikan, maka bangsa Indonesia memerlukan adanya suatu momen historis, dalam bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita para pendiri negara" (2003).
Pesan Cak Nur sangat relevan dengan situasi yang terjadi di Teluk Jakarta belakangan ini. Pasca-lengsernya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di dalam Pemilukada DKI Jakarta 2017, tarik ulur terkait dengan nasib proyek reklamasi justru kian menguat. Djarot Saiful Hidayat, Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Ahok sejak 15 Juni, berkeinginan untuk menuntaskan legalitas pulau buatan yang sudah terbangun sebelum genap masa pengabdiannya sebagai petugas partai.
Jauh bertolak belakang, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno justru sejak awal masa kampanye telah menyatakan ”penghentian reklamasi” sebagai salah satu program kerja yang akan mereka tunaikan setelah resmi dilantik pada Oktober 2017.
Dalam perkembangannya, BPN Jakarta Utara menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau 2A atau Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare untuk perusahaan properti skala besar PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan PT Agung Sedayu Group) pada 24 Agustus 2017. Menariknya, proses penerbitannya terbilang kilat.
Pertama, diterbitkannya sertifikat Hak Pengelolaan untuk Pulau D kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 19 Juni 2017. Berbekal sertifikat inilah, Gubernur DKI Jakarta merupakan pemegang hak untuk mengelola tanah di pulau buatan tersebut.
Kedua, mengacu pada Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang berhak mengajukan permohonan memperoleh sertifikat hak guna bangunan di atas tanah Pulau D. Syaratnya, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group tersebut terlebih dahulu harus memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku pemegang hak pengelolaan. Belakangan perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Kapuk Naga Indah telah disepakati di Balai Kota Jakarta pada 27 Juli 2017.
Ketiga, prosesi penyerahan sertifikat Hak Pengelolaan Pulau D oleh Presiden Joko Widodo kepada Pemprov DKI Jakarta pada 20 Agustus 2017. Prosesi ini menjadi penanda bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang dicanangkan oleh rezim poros maritim dunia di dalam RPJMN 2015-2019 adalah proyek properti skala besar melalui reklamasi pantai. Selain Jakarta, proyek serupa juga direncanakan dibangun di Semarang, Makassar, dan Bali, meski mayoritas warga telah menolaknya.
Keempat, berbekal perjanjian kerja sama pengelolaan tanah di Pulau D dengan Pemprov DKI Jakarta, PT Kapuk Naga Indah mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak guna bangunan kepada BPN Jakarta Utara. Dengan alasan untuk percepatan pembangunan, maka terbitlah Surat Ukur Nomor 00976/ 2017 untuk tanah seluas 3,12 juta meter persegi atau setara 312 hektare pada 23 Agustus dan disahkan menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan pada 24 Agustus 2017.
Dengan adanya sertifikat hak guna bangunan, maka pekerjaan PT Kapuk Naga Indah selanjutnya adalah memasarkan produk-produk properti beromzet triliunan rupiah di beranda televisi-televisi nasional. Dengan cara itulah mereka menawarkan "gaya hidup baru" dengan pelbagai kemewahan dan kewangian infrastruktur sosial dan budaya khas kaum borjuasi, meski bertentangan dengan spirit gotong-royong yang diusung oleh founding fathers.
Seperti pernah diutarakan oleh Raymond William dalam bukunya Resources of Hope: Culture, Democracy and Socialism (1989) bahwa,"Dominasi yang terjadi di masyarakat dilakukan untuk mempertahankan kepentingan kelas tertentu. Hal ini dilakukan tidak selalu menggunakan kekuasaan (power), melainkan perluasan kepemilikan atas alat-alat produksi (property)".
Momen Historis
Jakarta adalah etalase kesenjangan ekonomi sebagaimana dikhawatirkan oleh Cak Nur. Betapa tidak, selain proyek reklamasi di Teluk Jakarta, sedikitnya 1.761,2 hektare tanah aset DKI Jakarta dikuasai sejumlah pengembang, di antaranya Agung Podomoro Group, PT Summarecon Agung, dan PT Mitra Sindo Makmur, sejak diterbitkannya surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) pada 1971 (BPK, Juni 2017). Sebaliknya, warga Jakarta yang tinggal di 44 rukun tetangga dan 2 rukun warga di Muara Angke sejak 1975 misalnya, justru belum mengantongi legalitas kepemilikan tanah. Lebih parah lagi, hingga April 2017, sedikitnya 550 hektare lahan di Jakarta dialokasikan untuk pembangunan 173 pusat perbelanjaan.
Pembiaran yang dilakukan oleh Gubernur DKI terhadap kesenjangan yang terus membesar di DKI Jakarta jelas merupakan langkah yang salah. Mengapa demikian? Setidaknya mengacu pada dua hal sebagai berikut: pertama, Pasal 6-7 Undang-Undang Nomor 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan bahwa,"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu, agar tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". Apalagi nelayan di Teluk Jakarta terang-terangan menolak sedari awal rencana pembangunan mega proyek properti reklamasi tersebut. Mestinya, Djarot fokus pada upaya pembangunan rumah layak huni dan memfasilitasi pengurusan sertifikat hak atas tanah bagi nelayan di sepanjang pesisir utara Jakarta.
Kedua, sampai dengan akhir Agustus 2017, DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Padahal, keberadaan aturan ini sangat strategis bagi upaya memberikan perlindungan kepada warga Jakarta yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terlebih lagi, di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tersedia ruang konstitusional bagi Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut hak guna bangunan demi kepentingan umum (nelayan). Sayangnya, Djarot lebih memilih jalur sebagai petugas partai ketimbang pelindung rakyat.
Menyikapi hal tersebut, dalam sebuah kesempatan, Presiden Soekarno pernah berkata,"Tuhan Yang Maha Esa menciptakan suatu bangsa untuk maju melawan kebohongan elitenya dan hanya bangsanya sendirilah yang mampu mengubah nasib negerinya sendiri". Dengan perkataan lain, momen historis penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan di Teluk Jakarta yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita para pendiri negara kembali hilang pada era gubernur saat ini.
Agar kebiasaan salah melangkah dan menjauh dari konstitusi ini tidak berulang, maka sudah menjadi fardlu fardlu ain bagi warga Jakarta untuk lebih proaktif mengawasi pembangunan di Ibu Kota sembari meneriakkan kembali pesan Bung Karno dengan lantang, "Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, rasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?"
(zik)