Jokowi dan Umat Islam

Kamis, 31 Agustus 2017 - 07:23 WIB
Jokowi dan Umat Islam
Jokowi dan Umat Islam
A A A
Adi Prayitno

Dosen Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
dan Peneliti The Political Literacy Institute

Pilkada DKI Jakarta me­mang menyuguhkan kisah dramatis. Bukan semata soal kekalahan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat atau pun karena mencuatnya sentimen agama, melainkan juga menyangkut panas dingin relasi Joko Widodo (Jokowi) dengan umat Islam.

Meski tak pernah eksplisit mendukung pasangan calon tertentu, tapi sulit menyanggah kedekatan Jokowi dengan pasangan petahana. Keduanya jelas sekutu dalam satu mazhab politik.

Banyak klaim mengemuka bahwa Ahok-Djarot adalah representasi kepentingan penguasa yang bertarung di jantung ibu kota. Sebab itulah, bukan tanpa alasan jika publik menduga Jokowi mendukung Ahok-Djarot.

Sejak menggantikan Jokowi menjadi gubernur, Ahok seakan mendapat "perlakuan istimewa" melakukan apa saja sekali pun tingkah polah politiknya kerap kontroversial dan mendaras isu sensitif keagamaan.

Polemik reklamasi, pembelian Rumah Sakit Sumber Waras, tukar guling tanah di Cengkareng, dan kasus kebijakan tak populis lainnya, menguap tanpa proses hukum memadai.

Sampai akhirnya, Ahok dipaksa menerima "takdir jalanan" diprotes jutaan umat Islam karena dianggap menodai Al-maidah 51.

Berlarutnya kasus penistaan agama semakin menebalkan keyakinan bahwa Ahok dilindungi penguasa. Apalagi sikap kritis tokoh umat Islam dilawan dengan represif, tuduhan makar, ditangkap, bahkan dipenjara. Meski alasannya terkesan dibuatbuat namun aparat tetap memburu celah kesalahan para pemimpin demo Bela Islam.

Sinyal keengganan Jokowi menemui demonstran Bela Islam makin menyulut emosi umat. Tak berlebihan, jika ada kekhawatiran peluru amarah umat justru akan menyasar Istana Negara.

Dalam kondisi tersudut, Jokowi menemui demonstran Bela Islam Jilid III yang menggelar aksi lanjutan untuk meredam bara emosi umat.

Ragam peristiwa politik sepanjang Pilkada DKI Jakarta memotret ketegangan Jokowi dengan umat Islam. Sedari awal, Jokowi seakan terjebak dalam dilema besar antara mem­bela "kepentingan" kelompok Islam atau memilih memproteksi Ahok.

Sekali pun rajin mempertontonkan silaturahmi dengan pimpinan struktural NU dan Muhammadiyah, tapi sorotan tajam terhadap Jokowi sulit dihilangkan. Langkah Jokowi itu juga tak efektif meredam amarah umat akar rumput. Buktinya, banyak kader NU dan Muhammadiyah yang ikut demo Bela islam.

Titik Balik

Seiring berjalannya waktu, hubungan Jokowi dengan umat Islam mulai mencair. Sejumlah momen politik menjadi titik balik pulihnya citra Jokowi di hadapan umat Islam.

Pertama , Ahok ditetapkan sebagai ter­sangka kasus penodaan agama. Publik terhenyak tak percaya. Sebab sejak awal Ahok nyaris "tak tersentuh" (untouchable) meski dikaitkan dengan sejum­lah kasus.

Tapi, inilah realitas hukum yang mesti diterima betapa tangan kekuasaan per­lahan mulai melepas Ahok. Terlalu berisiko jika Ahok terus dibela. Pada tahap ini, Jokowi perlahan mulai mendapat kredit poin umat Islam.

Kedua, vonis 2 tahun penjara tanpa masa percobaan dan langsung menahan Ahok tentu bukan peristiwa hukum biasa. Apalagi vonis hakim melampaui tuntutan ringan jaksa penuntut umum (JPU) yang hanya memvonis 2 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan.

Meski tak memuaskan semua pihak, tapi putusan hakim ter­sebut layak diapresiasi sebagai upaya menemukan titik temu jalan tengah. Setidaknya untuk meredakan ketegangan antar dua kubu yang kian mengeras.

Ketiga, Jokowi kembali merajut kebersamaan dengan tokoh-tokoh Islam untuk me­respons dinamika politik kekinian. Terutama menyikapi kisruh yang terus berlanjut meski pilkada sudah usai dan Ahok sudah divonis.

Berbagai pihak mem­protes putusan hakim yang dianggap diskriminatif itu. Dukungan kepada Ahok mengalir deras mulai dari karangan bunga, balon merah putih, dan parade lilin menjadi penegas betapa "perang" opini setelah Pilkada DKI Jakarta tak berkesudahan.

Ratusan karangan bunga, balon merah putih, dan parade lilin tentu bukan dukungan biasa. Ada pesan tersirat, yakni protes atas putusan hakim yang lahir akibat tekanan umat Islam serta dugaan kuatnya sentimen agama turut menumbangkan Ahok.

Di tengah gejolak, Jokowi mengimbau agar segera menyudahi kegaduhan. Semua pihak diminta tenang menahan diri merajut kembali tautan kebangsaan yang terkoyak.

Jokowi memainkan persuasi politik jitu guna menyudahi konfrontasi antara kubu. Seruan damai di tengah derasnya protes pen­dukung Ahok men­dapat respons baik dari umat Islam.

Imbauan tersebut secara tak langsung ditujukan kepada pihak yang masih tak terima dengan putusan hakim dan kalah Pilkada DKI Jakarta, yakni pendukung Ahok. Sebab umat Islam tak lagi ber­demon­strasi setelah Ahok divonis 2 tahun penjara.

Sikap Tegas

Setelah sekian lama bergeming di tengah gejolak politik, Jokowi akhirnya angkat bicara. Didampingi sejumlah tokoh lintas agama, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kepala Polri Tito Karnavian, Jokowi meminta kepada semua pihak menghentikan pertikai­an, saling hujat, fitnah, dan saling demo.

Presiden juga meminta TNI dan Polri menindak tegas segala bentuk aksi yang dapat mengusik persatuan. Termasuk menggebuk dan membubarkan kelompok yang merongrong NKRI, merusak kebinekaan, tak sesuai Pancasila dan UUD 1945.

Pidato Jokowi tentu tak lahir dalam ruang hampa. Pidato itu lahir setelah Jokowi terlebih da­hulu menerima masukan tokoh lintas agama tentang gejolak politik yang terjadi.

Terutama masukan dari tokoh Islam yang diundang ke Istana, seperti Ketua MUI Maíruf Amin, Sekre­taris Jenderal PBNU Helmy Faisal Zaini, serta Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah Syaiful Bakhri.

Pada titik ini, Jokowi memperagakan relasi publik persuatif dengan mencoba mengidentifikasi dan menemukan model ideal komunikasi dengan aktor-aktor kunci yang menjadi objek persuasinya, (James Grunig and Todd Hunt: 1984).

Singkatnya, komunikasi politik Jokowi dengan aktor kunci sebagai upaya memperbaiki manajemen komunikasi yang lebih baik.

Di sinilah letak kejelian Jokowi dalam membaca situasi politik mutakhir. Ia memainkan politik tegas persuasif. Satu sisi, menindak tegas pelaku anarkis, anti-Pancasila, dan merongrong kebhinnekaan.

Namun, pada saat bersamaan Jokowi juga menggandeng mesra ormas terbesar Islam NU, Muhammadiyah, dan MUI sebagai partner kebangsaan.

Meski sempat menegang, perlahan kemesraan Jokowi dengan umat Islam kembali terjalin. Menerima perwakilan GNPF MUI saat Lebaran di Istana Negara menjadi penanda sahih tak ada lagi sekat antara Jokowi dengan umat Islam.

Begitu juga termasuk safari Jokowi ke sejumlah pesantren sebagai bukti betapa hubungannya dengan umat Islam kembali normal. Oleh sebab itu, upaya Jokowi merajut kembali kemesraan dengan umat Islam mesti diapresiasi guna menaut­kan hati kebangsaan bersama.

Bukan semata meredam kisruh efek negatif Pilkada DKI Jakarta, melainkan juga untuk konteks yang lebih luas menjaga stabilitas nasional. Tentu saja untuk kepentingan elektoral 2019.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7091 seconds (0.1#10.140)