Haji dan Spirit Kemerdekaan

Kamis, 10 Agustus 2017 - 07:00 WIB
Haji dan Spirit Kemerdekaan
Haji dan Spirit Kemerdekaan
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

IBADAH haji sejatinya merupakan perjalanan pembebasan (liberating ) dan pemerdekaan diri dari zona nyaman (comfort zone ). Jamaah haji harus keluar dari "kenyamanan duniawi" di Tanah Air menuju dan beradaptasi dengan situasi serta prosesi (manasik haji) di Tanah Suci sebagai tamu Allah, dhuyufur Rahman . Sebagai tamu, jamaah haji harus "tahu dan sadar diri" dengan merespons panggilan ketaatan (talbiyah ).

Panggilan ketaatan sebagai tamu Allah itu harus dimulai dari kesucian hati, penguasaan manasik haji, dan kehalalan harta benda yang dibayarkan sebagai biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) dan bekal selama bertamu di Tanah Suci. Oleh karena itu, para hujjaj harus mampu memerdekakan diri dari penyakit riya (mengharapkan pujian), sum’ah (pencitraan), dan penyakit hati lainnya yang dapat merusak kemabruran haji.

Para hujjaj yang mendambakan haji mabrur juga harus mampu memerdekakan diri dari "penjara keduniaan", seperti status sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Meninggalkan Tanah Air menuju Tanah Suci berarti harus bersedia menanggalkan "pakaian kedinasan", jabatan politik, dan kedudukan sosial. Tamu Allah yang memenuhi panggilan ketaatan harus bersedia mengenakan pakaian kesederhanaan, kebersamaan, dan egaliter, yaitu pakaian ihram .

Berada di Tanah Suci, para hujjaj juga dituntut mampu memerdekakan diri dari penjara hawa nafsu dengan tidak melampiaskan amarah, bertengkar, berdebat kusir, bercumbu rayu, dan melanggar aneka larangan haji saat berpakaian ihram. Karena penjara hawa nafsu terkadang menjerumuskan jamaah haji dalam lembah hina dan nista.

Pembebasan dan pemerdekaan tersebut dimaksudkan agar para hujjaj menempuh perjalanan spiritual yang mendaki menuju orbit tauhid dan orientasi kehidupan yang benar sebagai hamba Allah. Dengan melakukan tawaf, mengelilingi Kakbah, para hujjaj meneguhkan komitmen mental spiritualnya untuk melakukan "tasbih" kehidupan dengan mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan, pemilik kehidupan di langit dan bumi.

Tawaf memerdekakan hamba dari orientasi duniawi menuju penyucian hati yang bertauhid, bertasbih, dan bertahmid. Tawaf itu gerak dinamis hamba menuju otentisitas cinta Ilahi berorientasi fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah wa qina adzab an-nar (keseimbangan hidup bahagia dunia dan akhirat, dan terbebas dari siksa api neraka).

Ibadah haji juga harus dimaknai sebagai pemerdekaan diri dari "masa lalu yang kelam" sebagai proses pertobatan dari segala dosa, baik personal maupun sosial. Oleh sebab itu, saat berniat haji di garis start (miqat ), para hujjaj harus berkomitmen menjalani "taubatan nashuha " dan berkomitmen tidak kembali ke masa silam yang kelam.

Sepulang haji, para hujjaj harus mampu menjadi hamba yang lebih shalih , tidak mengulangi lagi dosa-dosa kecil, apalagi besar, tidak maksiat dan korupsi lagi. Pemerdekaan dan pembebasan multidimensi tersebut dari belenggu hawa nafsu, orientasi duniawi, dan masa lalu kelam merupakan esensi kemabruran haji. Kemabruran haji tidak hanya terbatas pada pelaksanaan manasik haji selama di Tanah Suci, tetapi juga mengawal dan mempertahankannya dengan istiqamah hingga husnul khatimah .

Kemabruran haji tidak bisa dibeli dan berhenti pada ritualitas tanpa esensi, melainkan harus diniati, dijadikan sebagai komitmen, dijalani sepenuh hati, dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Berhenti sejenak sambil mengevaluasi dan berintrospeksi diri di Padang Arafah, miniatur Padang Makhsyar di akhirat. Dengan kata lain, puncak pemerdekaan diri jamaah itu adalah aktualisasi kearifan personal dan sosial dengan reformasi keimanan, keilmuan, ketakwaan, serta kesalehan. Alumni Tanah Suci harus mampu menjadi pelopor dan teladan kebaikan bagi umat dan bangsa dengan kearifan serta kesalehannya.

Nilai-nilai pembebasan dan pemerdekaan dari ibadah haji tersebut sesungguhnya sejalan dengan visi dan misi profetik para Nabi, yaitu memerdekakan hati dari segala bentuk penyakit dan penjajahan hati. Sebagian manusia ada yang berpenyakit iri, dengki, dendam, suka mencuri, tamak, kemaruk, dan korupsi. Sebagian lainnya ada pula manusia yang hatinya terjajah oleh virus fulus , orientasi kehidupan duniawi yang keliru, dan menghalalkan segala cara. Penjajahan paling berbahaya adalah penjajahan hati yang berperilaku syirik kepada Allah, termasuk syirik politik. Hati yang terjajah pasti menyimpang dari tauhidullah (mengesakan Allah).

Ketika menemukan kebenaran tauhid yang hakiki itu, Nabi Ibrahim AS memproklamirkan kemerdekaan hatinya dengan menegaskan: "Sungguh aku merdeka (terbebas) dari apa yang mereka sekutukan. [Karena itu] sungguh aku orientasikan hidupku kepada Sang Pencipta langit dan bumi dengan penuh hanif (kejujuran hati untuk menerima kebenaran) dan aku sekali-kali tidaklah termasuk orang yang menyekutukan Allah" (QS al-An'am [6]: 78-79). Jadi, kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan hati dari kemusyrikan dan hawa nafsu yang memprovokasi manusia untuk melakukan kemaksiatan, baik kemaksiatan personal, sosial, politik, hukum, maupun ekonomi, dan kultural.

Jika warga bangsa ini, khususnya para alumni haji, bisa selalu memerdekakan hati dari penjajahan kemusyrikan, kemunafikan, kedengkian, amarah, keserakahan, sifat tamak, korup, dan lainnya, niscaya hidupnya akan dihiasi kebajikan, kemuliaan, kedamaian, serta kebahagiaan hakiki.

Oleh karena itu, pemimpin dan warga bangsa ini perlu serius memerdekakan hati dan jiwa bangsa dari segala penyakit hati serta penjajahan asing dan aseng. Bangsa yang merdeka adalah bangsa berdaulat, merdeka dari utang luar negeri, merdeka dari segala produk impor dengan memiliki kedaulatan pangan yang mencukupi kebutuhan nasional, dan merdeka dari segala bentuk intervensi, kooptasi, serta hegemoni kepentingan asing dan aseng. Pemimpin merdeka adalah pemimpin yang tidak akan menggadaikan kedaulatan bangsa dan menjual kepentingan nasional kepada asing dan aseng.

Pemimpin sejati dan warga bangsa yang berhaji pasti akan menjaga kedaulatan dan harkat serta martabat bangsa dari segala bentuk neokolonialisme yang menjerat dan menyandera masa depan bangsa ini. Ideologi dan dasar negara Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 bukan sekadar "pencitraan dan pemanis" pembicaraan belaka, tetapi harus dibuktikan secara nyata dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Alangkah ironi dan malunya sebagai bangsa yang dua pertiga luas wilayahnya lautan, tetapi harus impor garam. Jadi, spirit kemerdekaan penting dimaknai dan diaktualisasi dari ibadah haji agar bangsa dan negara benar-benar merdeka, termasuk merdeka dari impor garam.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0787 seconds (0.1#10.140)