Petani dalam Ekosistem Beras
A
A
A
Arif Budimanta
Alumni IPB, Wakil Ketua Komite
Ekonomi dan Industri Nasional
ISU terkait beras memang selalu menjadi isu menarik untuk dibicarakan, terutama karena posisinya yang strategis sebagai bahan pangan utama di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2015 menyebutkan, setiap orang di Indonesia mengonsumsi beras sebanyak 85 kilogram per tahun.
Membicarakan tentang beras merujuk pada sebuah ekosistem yang di dalamnya ada petani, pengepul, distribusi, penjual, sampai akhirnya konsumen dengan fungsinya masing-masing. Tulisan ini berfokus pada petani dalam ekosistem beras.
Bisnis beras mulai marak setelah ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998 hingga kuartal dua tahun 2016. Pada masa tersebut, bisnis beras berada pada era sangat bebas, peran dari BULOG sebagai pemain ”tunggal” di pasar besar mengecil.
Setelah kesepakatan dengan IMF ditandatangani 15 Januari 1998, pada tahun yang sama keluar Keputusan Presiden. Sejumlah peran penting Badan Urusan Logistik (Bulog) dihapus. Bulog tidak lagi menjadi ”kepanjangan tangan” pemerintah dalam menjaga stabilitas harga dan perdagangan beras di tingkat konsumen akhir. Setelah 1998, pada beras, peran Bulog hanya menjaga harga dasar pembelian pemerintah di tingkat petani.
Sejak LoI dengan IMF disepakati, harga beras terus naik, bahkan melampai kenaikan harga internasional. Berdasarkan data BPS, kenaikan harga beras di pasar dalam negeri sejak Januari 1998 ke akhir Desember 2016 mencapai 700% (point to point), sementara di pasar internasional hanya naik 59%.
***
Pemerintah tampaknya mencoba merevisi kondisi pa-sar tersebut dengan mengeluarkan kebijakan harga acuan sejak tahun 2016. Harga acuan dimaksud adalah patokan harga penjualan di tingkat petani dan harga eceran tertinggi di tingkat konsumen melalui peraturan Menteri Perdagangan. Dengan harapan, pergerakan harga di tingkat konsumen stabil, mengingat beras merupakan komoditas utama.
Pham Thi Huong Din (2014) mengatakan, kebijakan harga acuan diaplikasikan oleh pemerintah jika ditemukan harga pasar tidak wajar tingkat pembeli ataupun di tingkat penjual. Dalam konteks perberasan, maka kebijakan harga acuan juga harus menjamin kelangsungan pelaku industri perberasan mulai dari hulu sampai hilir, petani, pedagang, sampai konsumen.
Namun yang tak kalah pentingnya dalam ekosistem beras ini adalah memberikan perlindungan selayaknya kepada para petani. Data BPS menyebutkan, per Februari 2017, sektor pertanian merupakan sumber utama pendapatan bagi sekitar 40 juta orang Indonesia.
Selain itu, wilayah perdesaan yang sebagian besar penduduknya bertani, masih merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Untuk itulah, penting bagi pemerintah mengatasi masalah perberasan ini karena dapat berimplikasi pada pengentasan kemiskinan.
***
Terkait dengan ekosistem beras, ada anomali pada harga. Saat harga di tingkat petani turun, secara musiman terjadi pada Maret saat panen raya, tapi di tingkat eceran justru terus mengalami kenaikan.
Tak heran seandainya laju kenaikan harga beras di tingkat eceran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga di petani dalam bentuk gabah kering giling maupun kering panen. Dari dua data yang dikutip penulis: BPS dan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, persentase pertumbuhan harga beras periode Januari 2007-Januari 2016 mencapai 124,2% (point to point). Sedangkan harga gabah kering giling dan kering panen masing-masing sebesar 99,6% dan 99,2%.
Data ini bermakna bahwa kenaikan harga beras yang dibeli konsumen tidak dinikmati oleh petani. Boleh jadi, kondisi ini ikut menjadikan wilayah perdesaan yang sebagian besar penduduknya bertani senantiasa menjadi kantong kemiskinan.
Pada Maret 2017 misalnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang. Sebagian besar atau sekitar 61,6% orang miskin tersebut berada di wilayah perdesaan. Di tengah situasi cenderung tak berubah sejak lama itu, pendapatan petani juga tidak beranjak naik. Bahkan sejak April 2016, usaha budi daya tanaman padi tidak memberikan manfaat ekonomi bagi rumah tangga petani.
Hal ini diindikasikan melalui data BPS per April 2017 menyebutkan indeks yang diterima petani sebesar 127,96 sementara indeks yang dibayar petani 131,37. Dengan demikian, tingkat penerimaan petani dari hasil produksinya lebih rendah dibandingkan dengan harga produksinya yang didorong oleh peningkatan biaya bahan makanan, makanan jadi, serta upah buruh tani.
Kondisi seperti itu, seperti membiarkan petani berada di lingkaran kemiskinan yang oleh Ozay Mehmet dalam ”Westernizing the Third World: The Eurocentricity of Economic Development Theories ” (1997) disebut sebagai jebakan ekonomi pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tabungan sehingga menyebabkan akumulasi modal tidak maksimal. Kondisi ini membuat tingkat produktivitas rendah sehingga melahirkan pendapatan rendah pula. Lingkaran tersebut berputar terus ke kondisi tabungan yang minim.
Lingkaran kemiskinan yang dipicu rendahnya pendapatan tidak akan terputus sehingga oleh Karl Gunnar Myrdal diistilahkan sebagai lingkaran setan kemiskinan atau ”The Vicious Circle of Poverty ”. Dengan demikian, diperlukan kebijakan pemerintah mendukung peningkatan pendapatan petani, khususnya petani padi yang selama ini tidak menikmati ”kelezatan” harga produk dihasilkannya di tingkat konsumen akhir.
Hasil analisis yang dilakukan penulis dan tim menunjukkan bahwa dengan asumsi harga gabah kering panen sebesar Rp3.700 per kilogram, maka pendapatan per kapita petani adalah Rp438.125 per bulan. Kondisi ini sangat rentan terhadap garis kemiskinan. Angka itu pun dengan asumsi kepemilikan lahan petani yang digunakan adalah 1 hektare. Jika ternyata lebih rendah dari itu, bisa dipastikan para petani berada di bawah garis kemiskinan. Data dari Sensus Pertanian (2013) rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga dan usaha pertanian adalah 0,2 Ha.
***
Posisi terbaik meningkatkan kesejahteraan petani dengan menempatkan pendapatannya pada kelompok pendapatan desil 5 (menengah), yaitu sekitar Rp692.563 per kapita per bulan. Dengan asumsi ini, kebijakan yang diperlukan pemerintah adalah menaikkan harga pembelian gabah kering panen di tingkat petani menjadi Rp4.991 per kilogram dengan asumsi masih menggunakan pupuk bersubsidi. Seandainya tanpa pupuk bersubsidi, menjadi Rp5.404.
Keberpihakan pemerintah terhadap petani ini menjadi sangat penting, mengingat 40 juta penduduk Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai pendapatan utamanya. Melalui kebijakan yang berpihak pada petani tersebut, efek lanjutan yang diharapkan adalah mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara nasional.
Jangan sampai petani yang merupakan aktor utama dalam ekosistem perberasan nasional, justru berpenghasilan figuran. Kesenjangan seperti ini juga harus dituntaskan agar tercipta keadilan sosial dan ekonomi dalam ekosistem beras, seperti semangat pemerataan pembangunan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah saat ini.
Alumni IPB, Wakil Ketua Komite
Ekonomi dan Industri Nasional
ISU terkait beras memang selalu menjadi isu menarik untuk dibicarakan, terutama karena posisinya yang strategis sebagai bahan pangan utama di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2015 menyebutkan, setiap orang di Indonesia mengonsumsi beras sebanyak 85 kilogram per tahun.
Membicarakan tentang beras merujuk pada sebuah ekosistem yang di dalamnya ada petani, pengepul, distribusi, penjual, sampai akhirnya konsumen dengan fungsinya masing-masing. Tulisan ini berfokus pada petani dalam ekosistem beras.
Bisnis beras mulai marak setelah ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998 hingga kuartal dua tahun 2016. Pada masa tersebut, bisnis beras berada pada era sangat bebas, peran dari BULOG sebagai pemain ”tunggal” di pasar besar mengecil.
Setelah kesepakatan dengan IMF ditandatangani 15 Januari 1998, pada tahun yang sama keluar Keputusan Presiden. Sejumlah peran penting Badan Urusan Logistik (Bulog) dihapus. Bulog tidak lagi menjadi ”kepanjangan tangan” pemerintah dalam menjaga stabilitas harga dan perdagangan beras di tingkat konsumen akhir. Setelah 1998, pada beras, peran Bulog hanya menjaga harga dasar pembelian pemerintah di tingkat petani.
Sejak LoI dengan IMF disepakati, harga beras terus naik, bahkan melampai kenaikan harga internasional. Berdasarkan data BPS, kenaikan harga beras di pasar dalam negeri sejak Januari 1998 ke akhir Desember 2016 mencapai 700% (point to point), sementara di pasar internasional hanya naik 59%.
***
Pemerintah tampaknya mencoba merevisi kondisi pa-sar tersebut dengan mengeluarkan kebijakan harga acuan sejak tahun 2016. Harga acuan dimaksud adalah patokan harga penjualan di tingkat petani dan harga eceran tertinggi di tingkat konsumen melalui peraturan Menteri Perdagangan. Dengan harapan, pergerakan harga di tingkat konsumen stabil, mengingat beras merupakan komoditas utama.
Pham Thi Huong Din (2014) mengatakan, kebijakan harga acuan diaplikasikan oleh pemerintah jika ditemukan harga pasar tidak wajar tingkat pembeli ataupun di tingkat penjual. Dalam konteks perberasan, maka kebijakan harga acuan juga harus menjamin kelangsungan pelaku industri perberasan mulai dari hulu sampai hilir, petani, pedagang, sampai konsumen.
Namun yang tak kalah pentingnya dalam ekosistem beras ini adalah memberikan perlindungan selayaknya kepada para petani. Data BPS menyebutkan, per Februari 2017, sektor pertanian merupakan sumber utama pendapatan bagi sekitar 40 juta orang Indonesia.
Selain itu, wilayah perdesaan yang sebagian besar penduduknya bertani, masih merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Untuk itulah, penting bagi pemerintah mengatasi masalah perberasan ini karena dapat berimplikasi pada pengentasan kemiskinan.
***
Terkait dengan ekosistem beras, ada anomali pada harga. Saat harga di tingkat petani turun, secara musiman terjadi pada Maret saat panen raya, tapi di tingkat eceran justru terus mengalami kenaikan.
Tak heran seandainya laju kenaikan harga beras di tingkat eceran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga di petani dalam bentuk gabah kering giling maupun kering panen. Dari dua data yang dikutip penulis: BPS dan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, persentase pertumbuhan harga beras periode Januari 2007-Januari 2016 mencapai 124,2% (point to point). Sedangkan harga gabah kering giling dan kering panen masing-masing sebesar 99,6% dan 99,2%.
Data ini bermakna bahwa kenaikan harga beras yang dibeli konsumen tidak dinikmati oleh petani. Boleh jadi, kondisi ini ikut menjadikan wilayah perdesaan yang sebagian besar penduduknya bertani senantiasa menjadi kantong kemiskinan.
Pada Maret 2017 misalnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang. Sebagian besar atau sekitar 61,6% orang miskin tersebut berada di wilayah perdesaan. Di tengah situasi cenderung tak berubah sejak lama itu, pendapatan petani juga tidak beranjak naik. Bahkan sejak April 2016, usaha budi daya tanaman padi tidak memberikan manfaat ekonomi bagi rumah tangga petani.
Hal ini diindikasikan melalui data BPS per April 2017 menyebutkan indeks yang diterima petani sebesar 127,96 sementara indeks yang dibayar petani 131,37. Dengan demikian, tingkat penerimaan petani dari hasil produksinya lebih rendah dibandingkan dengan harga produksinya yang didorong oleh peningkatan biaya bahan makanan, makanan jadi, serta upah buruh tani.
Kondisi seperti itu, seperti membiarkan petani berada di lingkaran kemiskinan yang oleh Ozay Mehmet dalam ”Westernizing the Third World: The Eurocentricity of Economic Development Theories ” (1997) disebut sebagai jebakan ekonomi pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tabungan sehingga menyebabkan akumulasi modal tidak maksimal. Kondisi ini membuat tingkat produktivitas rendah sehingga melahirkan pendapatan rendah pula. Lingkaran tersebut berputar terus ke kondisi tabungan yang minim.
Lingkaran kemiskinan yang dipicu rendahnya pendapatan tidak akan terputus sehingga oleh Karl Gunnar Myrdal diistilahkan sebagai lingkaran setan kemiskinan atau ”The Vicious Circle of Poverty ”. Dengan demikian, diperlukan kebijakan pemerintah mendukung peningkatan pendapatan petani, khususnya petani padi yang selama ini tidak menikmati ”kelezatan” harga produk dihasilkannya di tingkat konsumen akhir.
Hasil analisis yang dilakukan penulis dan tim menunjukkan bahwa dengan asumsi harga gabah kering panen sebesar Rp3.700 per kilogram, maka pendapatan per kapita petani adalah Rp438.125 per bulan. Kondisi ini sangat rentan terhadap garis kemiskinan. Angka itu pun dengan asumsi kepemilikan lahan petani yang digunakan adalah 1 hektare. Jika ternyata lebih rendah dari itu, bisa dipastikan para petani berada di bawah garis kemiskinan. Data dari Sensus Pertanian (2013) rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga dan usaha pertanian adalah 0,2 Ha.
***
Posisi terbaik meningkatkan kesejahteraan petani dengan menempatkan pendapatannya pada kelompok pendapatan desil 5 (menengah), yaitu sekitar Rp692.563 per kapita per bulan. Dengan asumsi ini, kebijakan yang diperlukan pemerintah adalah menaikkan harga pembelian gabah kering panen di tingkat petani menjadi Rp4.991 per kilogram dengan asumsi masih menggunakan pupuk bersubsidi. Seandainya tanpa pupuk bersubsidi, menjadi Rp5.404.
Keberpihakan pemerintah terhadap petani ini menjadi sangat penting, mengingat 40 juta penduduk Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai pendapatan utamanya. Melalui kebijakan yang berpihak pada petani tersebut, efek lanjutan yang diharapkan adalah mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara nasional.
Jangan sampai petani yang merupakan aktor utama dalam ekosistem perberasan nasional, justru berpenghasilan figuran. Kesenjangan seperti ini juga harus dituntaskan agar tercipta keadilan sosial dan ekonomi dalam ekosistem beras, seperti semangat pemerataan pembangunan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah saat ini.
(kri)