Perlunya Sistem Manajemen Kepegawaian Negara

Rabu, 26 Juli 2017 - 14:05 WIB
Perlunya Sistem Manajemen Kepegawaian Negara
Perlunya Sistem Manajemen Kepegawaian Negara
A A A
Dr. Mardani Ali Sera, M.Eng
Anggota Komisi II DPR RI, Fraksi PKS, Dapil Jabar VII

NEGARA merupakan sebuah organisasi besar yang di dalamnya terdapat sumber daya manusia yang menentukan laju dan arah pembangunannya. Seberapa cukup dan seberapa tinggi tingkat kualitas SDM yang dimiliki oleh suatu negara, maka seberapa majulah negara tersebut.

Jepang bisa menjadi contoh dalam hal ini. Keluarnya Jepang dari kondisi porak-poranda pasca-Perang Dunia II dan kesabarannya untuk bangkit memulai dari nol hingga keberhasilannya menjadi negara industri telah dipandang sebagai hasil dari berkualitasnya jajaran PNS di sana.

Jumlah pegawai negeri sipil di Jepang saat ini mencapai 4,5 juta atau 8% dari jumlah total tenaga kerja. Banyak literatur yang menyatakan bahwa PNS Jepang dikenal pintar, unggul, bersih, jujur, punya loyalitas, dan dedikasi terhadap pekerjaan serta bangga dengan pekerjaannya. Tingkat kejujuran PNS di Jepang juga telah dibuktikan secara nyata.

Jepang memiliki sistem kepegawaian yang baik, termasuk proses seleksi yang cukup ketat dibagi menjadi tiga kelas; kelas 1 adalah seleksi yang paling sulit dan yang lolos nantinya ditempatkan sebagai PNS yang menduduki jabatan-jabatan penting, dikenal sebagai high flyer bureaucrats yang jumlahnya hanya sekitar 4% dari total jumlah PNS yang ada. Adapun kelas 2 dan 3 ditempatkan di jabatan bawahnya.

Sementara di Indonesia, kepegawaian negara juga menjadi isu sangat penting, mengingat Indonesia adalah negara strategis yang memiliki 235 juta penduduk, 14 ribuan pulau, 700-an bahasa, adat dan budaya, diapit oleh dua samudra. Bagaimana pengelolaan kepegawaian negara menjadi sangat penting dengan kondisi demografis, geografis dan geostrategis demikian.

Jika kepegawaian negara berkualitas rendah, nasib Indonesia sudah bisa ditebak; ujung-ujungnya Indonesia bisa terancam menjadi negara gagal. Demikian sebaliknya jika tingkat kualitas kepegawaian yang dimiliki tinggi, Indonesia akan menjadi negara dengan pemerintahan yang maju.

Namun, ada juga suatu kondisi di mana kepegawaiannya biasa-biasa saja, maka laju negara tersebut juga akan lambat bahkan relatif stagnan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, kepegawaian negara disebut ASN (aparatur sipil negara) yang terdiri dari PNS (pegawai negeri sipil) dan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) atau yang biasa dikenal dengan tenaga honorer. Hingga 2016, jumlah PNS tercatat sekitar 4.5 juta jiwa, dengan rasio 1.77% dibanding jumlah penduduk, yang artinya dalam setiap 100 penduduk ada PNS 1.77 orang.

Jumlah yang besar ini jika tidak dimanajemeni dengan sistem yang baik dapat menyebabkan inefisiensi sehingga kinerja tidak akan produktif. Karenanya dibutuhkan suatu sistem manajemen kepegawaian yang meliputi analisis kebutuhan (need analysis), perencanaan, rekrutmen, seleksi, peningkatan kompetensi, penggajian, pengawasan, dan seterusnya.

Permasalahan yang ada sekarang turut memengaruhi kualitas kerja kepegawaian negara yang dikelola oleh Badan Kepegawaian Negara serta Badan Kepegawaian Daerah. Analisis kebutuhan yang dilakukan terkadang tidak didasarkan kepada kebutuhan yang sesungguhnya.

Di dalam melakukan analisis kebutuhan, seharusnya dievaluasi kerja suatu instansi. Bagaimana produktivitas kinerja pegawai dengan jumlah PNS yang ada selama ini. Lalu, posisi atau fungsi apa saja yang memang dibutuhkan dan apa saja yang cenderung tumpang tindih.

Dari sini kita akan mengetahui sejauh apa kebutuhan yang diperlukan, sehingga perencanaan pegawai yang diajukan menjadi efektif. Sementara selama ini beberapa kasus tiba-tiba saja instansi terkait ingin melakukan pengadaan atau rekrutmen PNS baru tanpa didahului dengan analisis kebutuhan yang memadai, sehingga terjadi ketidakefektifan kinerja PNS; ada yang tumpang tindih, ada yang cenderung menganggur karena posisi atau fungsi tersebut tidak atau kurang diperlukan. Akibatnya, ada penumpukan PNS di tempat-tempat tertentu.

Ironisnya, di tempat lain sangat dibutuhkan PNS sampai-sampai instansi terkait merekrut tenaga honorer (PPPK) karena misalnya keterbatasan anggaran pegawai di tempat tersebut, sehingga tidak memungkinkan dilakukan rekrutmen PNS secara resmi. Jika dikatakan postur PNS gemuk, iya memang begitu di beberapa tempat, tapi di tempat lain justru postur PNS kurus, bukan lagi ramping, karena kekurangan tenaga, seperti tenaga pendidikan dan tenaga kesehatan, khususnya di pelosok-pelosok dan daerah 3T (terluar, terdepan, terpinggir).

Permasalahan juga kita temukan pada tahap rekrutmen dan seleksi. Dengan analisis kebutuhan yang kurang memadai, rekrutmen dan seleksi yang dilakukan pun semakin membuat kinerja pemerintahan nanti tidak bertambah efektif dan efisien. Harusnya rekrutmen dan seleksi PNS diutamakan bagi para tenaga honorer (PPPK) yang jumlahnya juga signifikan itu.

Para tenaga honorer ini memiliki masa pengabdian cukup lama sementara mereka mendapatkan gaji yang kurang layak, sehingga mereka harus diperhatikan oleh pemerintah untuk diprioritaskan diangkat sebagai PNS. Ini lebih baik dilakukan dari pada merekrut PNS baru berdasarkan analisis kebutuhan yang tidak memadai tadi.

Sebetulnya sah-sah saja merekrut PNS baru jika secara analisis kebutuhan yang memadai memang benar-benar dibutuhkan. Sementara biasanya rekrutmen tenaga honorer oleh instansi-instansi tertentu didasari oleh kebutuhan yang sesungguhnya, sehingga sekali lagi para tenaga honorer layak diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS.

Persoalan kompetensi juga masih menjadi ganjalan. Menurut pemerintah, hanya sekitar 5% saja PNS yang berkompeten. Oleh karenanya perlu dilakukan peningkatan kompetensi PNS secara bertahap dan berkelanjutan. PNS yang sudah lama mengabdi pun perlu ditingkatkan atau disegarkan kompetensinya mengingat perkembangan teknologi dan dinamika sosial politik turut mempengaruhi dunia pemerintahan yang menuntut pemutakhiran kompetensi.

Peningkatan kompetensi ini dapat dilakukan dengan memberi tugas belajar kepada PNS untuk jenjang S-1, S-2, dan S-3. Selain itu, juga dapat dilakukan dalam bentuk diklat-diklat dan kursus-kursus secara berkelanjutan. Kita bisa mengambil Singapura sebagai inspirasi. PNS di Singapura disatukan dalam sebuah lembaga Civil Service College (CSC).

Di bawah lembaga ini, para PNS dengan aneka ragam kompetensi diberi kesempatan untuk saling bertukar pandangan, membangun etos dan perspektif bersama, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk dialog, berbagi pengetahuan dan belajar.

Dengan salah satu lembaga inilah internalisasi filosofi, nilai-nilai serta tujuan yakni kompetisi terbuka dan meritokrasi dalam seleksi dan penempatan, keterbukaan dan objektivitas dalam penilaian, reward dan recognition berdasarkan kinerja, tidak memihak dan antisuap, membayar dengan "gaji bersih" yang fleksibel, dan transparansi dalam pemberian imbalan, dapat ditanamkan ke dalam jiwa dan mental para PNS.

Berkaca dari Singapura ini, sepertinya Badan Kepegawaian Negara kita tanpa membuat lembaga baru dapat memfasilitasi para PNS untuk bersatu dalam sebuah forum yang memungkinkan para PNS untuk berinteraksi dan bertukar pikiran dalam rangka meningkatkan kompetensi serta internalisasi nilai-nilai ke-PNS-an.

Lalu terkait penggajian, perlu dipertahankan mekanisme pemberian reward and punishment. Selain gaji pokok, perlu dipertahankan tunjangan-tunjangan yang didasarkan kepada tingkat kerajinan PNS. Namun, yang perlu dikaji ulang adalah tunjangan kinerja berdasarkan kehadiran. Ini juga sekaligus terkait dengan pengawasan.

Perlu dipikirkan pemberian tunjangan kinerja berdasarkan tingkat produktivitas, yaitu hasil nyata apa dari yang sudah dilakukan. Jadi, penilaian tidak hanya melihat tingkat kehadiran karena terkadang ini malah kontraproduktif jika tidak ada produktivitas yang nyata dihasilkan.

Faktanya, banyak PNS yang mengutamakan kehadiran tepat waktu, padahal tidak ada yang dikerjakan di kantor. Kehadirannya yang tepat waktu akhirnya menjadi satu-satunya indikator penilaian kinerja. Padahal untuk apa itu semua jika tidak ada karya yang dihasilkan. Waktu dan anggaran negara untuk membiayai operasional PNS dengan model seperti ini akan cenderung sia-sia.

Menurut salah satu sumber yang tidak mau disebutkan namanya di salah satu lembaga pemerintah nonkementerian, dia kerja dalam satu tahun sebetulnya bisa dikerjakan dalam waktu enam bulan, sedangkan enam bulan sisanya cenderung "menganggur", tapi ia harus tetap hadir tepat waktu ke kantor setiap hari. Bagus jika misalnya pada enam bulan "menganggur" itu ia gunakan untuk hal-hal positif, misalnya membaca buku, jurnal, artikel, atau membuat tulisan ilmiah yang akan meningkatkan wawasannya sebagai abdi negara serta dapat berbagi ilmu dengan masyarakat secara luas. Tapi itu mungkin tidak banyak PNS yang melakukan.

Sebaliknya yang sering ditemukan adalah mereka melakukan hal-hal yang wasting time, seperti menonton film, ngobrol tak tentu arah, dan seterusnya sambil menunggu waktu pulang. Kita tidak bisa menyalahkan 100% kepada oknum PNS seperti itu. Kesalahan ada pada sistem yang memberi celah para oknum PNS untuk berbuat seperti itu.

Konsep telecommuting sepertinya bisa dipertimbangkan. Dengan konsep ini, para pekerja tidak diharuskan untuk hadir tiap hari ke kantor, karena yang penting bukan kehadirannya, tapi produktivitasnya. Perlu juga konsep seperti ini diadaptasi ke dalam sistem manajemen kepegawaian negara (ASN) kita.

Dengan sistem seperti ini, para PNS tertentu yang tugas dan fungsinya bukan frontliner yang harus selalu hadir ke kantor tepat waktu, bisa lebih produktif. Waktu yang ada tidak terbuang dengan waktu tempuh ke dan dari kantor.

Ini cukup signifikan khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta yang karena kemacetan, waktu tempuh perjalanan sendiri bisa 1-4 jam dalam sehari. Negara juga adanya sistem telecommuting ini mengurangi beban anggaran operasional negara termasuk mungkin bisa turut menurunkan angka kemacetan.

Dari sisi tenaga fisik, para PNS juga lebih terjaga sehingga pikiran lebih fresh untuk bekerja. Demikian juga dengan sisi psikologis, tingkat stres para PNS akan berkurang karena tidak menemui kemacetan. Yang penting adalah tugasnya selesai, dan itu bisa dikerjakan di mana saja tanpa harus hadir ke kantor.

Misalnya tugas membuat analisis, membuat laporan, dan seterusnya. Tapi ketika memang dibutuhkan hadir ke kantor misalnya untuk rapat, maka mereka harus hadir. Jadi sistem telecommuting ini bukan berarti para PNS tidak hadir sama sekali ke kantor, tetap ada keharusan untuk hadir, tapi hanya waktu-waktu tertentu yang dibutuhkan, dan tidak setiap hari. Namun, sistem ini tidak berlaku untuk para PNS yang tugas dan fungsinya melayani masyarakat secara langsung seperti frontliners, guru, dokter.

Manajemen kepegawaian tidak akan berjalan efektif tanpa adanya sistem yang baik. Sistem ini mutlak diperlukan mengingat pejabat baik kepala daerah atau kepala instansi terus berganti karena jabatan politik.

Tanpa adanya sistem yang baik, tidak heran jika ada klaim di salah satu provinsi ketika gubernurnya aktif menjabat, kinerja pemprov setempat cenderung baik; tapi begitu gubernur cuti, kinerja pemprov menurun. Ini menunjukkan sistem yang ada belum baik, masih bergantung pada orang bukan sistem. Tidak ada yang bisa dibanggakan bagi seorang gubernur yang seperti itu, dia telah gagal membangun sistem.

Bisa juga diterapkan sistem kerja PNS yang kewajiban hadir ke kantornya dihitung berdasarkan durasi wajib kerjanya. Misalnya kewajiban kerjanya delapan jam dalam sehari. Maka dihitung delapan jam sejak dia hadir di kantor dan tidak perlu ada istilah terlambat atau tidak. Jika ia hadir di kantor pukul 10.00, dia harus bekerja hingga pukul 18.00. Ini juga bisa diterapkan sebagai alternatif bersamaan dengan konsep telecommuting tadi. Ini juga tidak berlaku untuk PNS yang tugas dan fungsinya melayani masyarakat secara langsung seperti frontliners tadi.

Dengan sistem yang baik, siapa pun orang yang ada di dalamnya, sistem akan tetap berjalan dan produktif. Garbage in, garbage out tidak berlaku dalam sistem yang baik.

Orang yang berkompetensi rendah pun dapat bekerja dengan produktivitas yang tinggi melebihi ekspektasi dari kompetensinya jika ada sistem yang baik. Dan sebaliknya, orang sepintar apapun akan terlihat tidak berguna jika sistem yang menaunginya buruk.

Manajemen kepegawaian akan berserakan tak tentu arah tujuan, alih-alih mencapai visi misi instansi. Tapi dengan sistem dan manajemen yang baik, kepegawaian dan kinerja yang efektif, efisien dan produktif bukanlah suatu mimpi di siang bolong lagi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5923 seconds (0.1#10.140)