Otoritarianisme Perppu Ormas

Sabtu, 15 Juli 2017 - 08:39 WIB
Otoritarianisme Perppu Ormas
Otoritarianisme Perppu Ormas
A A A
Khairul Fahmi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Pada 10 Juli lalu, Presiden Jokowi secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan Undang-Undang No 17/ 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Tujuannya, tak lain agar pemerintah dengan mudah dapat membubarkan ormas-ormas yang asas dan kegiatannya dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Sejak rencana pembentukannya, langkah menerbitkan Perppu telah mendapat banyak sanggahan. Sebab, keadaan darurat hukum terkait ormas sebagai alasan subjektif pembentukan Perppu belumlah terjadi.

Presiden tentu dapat berkelit dari sanggahan itu dengan alasan, pembentukan Perppu adalah hak presiden sesuai Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Telah terjadi atau tidaknya keadaan "kegentingan yang memaksa" merupakan hak subjektif presiden menentukannya. Bila hendak meminta objektifikasi atas sikap sang presiden, silakan tunggu pembahasan Perppu oleh DPR pada persidangan berikutnya.

Masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Betapa pun besarnya kekuasaan presiden, dia tetap harus menjalankan sesuai konstitusi. Kekuasaan pemerintahan mesti dilaksanakan dalam semangat penghormatan terhadap hukum dan HAM. Sebab, UUD 1945 secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, HAM dijamin dan dilindungi dari segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks itu, kehadiran Perppu ini menarik untuk dikaji lebih jauh.

Kerancuan Berpikir

Perppu ini lahir dari kerancuan berpikir dalam meletakkan kondisi keamanan negara dan kondisi darurat ke dalam kerangka hukum darurat yang disediakan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Kerancuan dimaksud dapat dibaca dalam penjelasan yang dituangkan dalam Penjelasan Umum Perppu tersebut.

Pertama, terbitnya Perppu karena adanya pengecualian kewajiban melindungi HAM disebabkan keadaan darurat. Keadaan darurat dimaksud diatur dalam sejumlah UU terkait HAM dan dilandaskan pada Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Dijadikannya Pasal 4 angka 1 ICCPR sebagai justifikasi pembentukan Perppu tidak lain karena hendak dijadikan alasan pembenar untuk mengadopsi norma-norma yang menyimpang dari kewajiban negara menghormati HAM dalam UUD 1945, khususnya hak berserikat dan berkumpul. Sementara keadaan darurat sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ICCPR sama sekali tidak atau belum terjadi hingga saat ini.

Jadi, walaupun Pasal 4 ICCPR dikutip secara utuh dalam Penjelasan Umum, Pembentuk Perppu jelas telah melakukan kekeliruan serius. Sebab, keadaan darurat yang dimaksud dalam ICCPR adalah kondisi di mana sebuah negara tengah mengalami keadaan darurat yang mengancam kehidupan dan keberadaannya. Keadaan darurat tersebut harus diumumkan secara resmi oleh negara dan diberlakukan hanya sementara waktu. Dalam waktu yang ditetapkan sebagai keadaan darurat itulah negara diperbolehkan mengambil langkah-langkah yang menyimpang dari kewajibannya menghormati HAM, termasuk dengan menerbitkan Perppu. Adapun penyimpangan itu hanya semata untuk mengatasi keadaan darurat yang terjadi.

Jika kehadiran Perppu Ormas ini dalam bingkai keadaan darurat yang dimaksud Pasal 4 ICCPR, kapan keadaan darurat itu telah diumumkan presiden? Bagaimana status daruratnya? Dari dan hingga kapan keadaan darurat diberlakukan?

Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijelaskan, lalu atas dasar apa maksud keadaan darurat sebagaimana diatur Pasal 4 ICCPR digunakan sebagai latar belakang menetapkan Perppu? Bila tidak ada relevansinya, alasan darurat mana yang membenarkan Perppu ini dapat memuat ketentuan yang menghilangkan hak warga untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas hak berserikat dan berkumpul mereka?

Kedua, walaupun penentuan keadaan kegentingan memaksa merupakan hak subjektif presiden, namun MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/ 2009 tetap memberikan panduan terkait tiga keadaan yang mesti dipenuhi dalam menerbitkan Perppu. Dari tiga keadaan yang disyaratkan MK, tidak satu pun di antaranya yang telah dipenuhi, termasuk keadaan terjadinya kekosongan hukum. Sebab, berbagai alasan darurat yang dikemukakan seperti tindakan permusuhan dan menyebar kebencian yang potensial menimbulkan konflik sosial antarmasyarakat, semuanya masih dapat diselesaikan dengan instrumen hukum yang ada.

Ketiga, dalam Penjelasan Umum juga dikemukakan, pembentukan Perppu ditujukan untuk membedakan sekaligus melindungi ormas yang mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan tersebut jelas tidak konsisten dengan materi muatan UU Ormas yang diubah melalui Perppu. Sebab, materi yang diubah justru yang berhubungan dengan prosedur penjatuhan sanksi dan pembubaran, bukan soal perlindungan. Di mana, pemerintah tanpa harus melalui prosedur peradilan, dapat menjatuhkan sanksi pembubaran terhadap ormas yang menurut persepsi mereka bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jangankan perlindungan, yang ada justru ancaman pembubaran atas alasan subjektif rezim berkuasa.

Pintu Otoritarianisme Baru

Secara substansi, muatan Perppu ini akan menjadi tempat lahirnya otoritarianisme baru. Setidaknya ada dua alasan mengapa dikatakan demikian. Pertama, pembentukan UU Ormas berangkat dari filosofi bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul mesti dilakukan dalam rangka tertib hukum dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara Perppu hadir dengan semangat perlindungan terhadap kedaulatan negara.

Perbedaan dasar filosofis tersebut menunjukkan bahwa Perppu ini hadir untuk memperkuat peran pemerintah dalam membatasi dan menghilangkan hak-hak warga negara. Demi alasan melindungi kedaulatan negara, jaminan hak atas perlindungan hukum terhadap hak berserikat dan berkumpul diabaikan. Bila sudah demikian, alasan menjaga kedaulatan negara akan menjadi sarana melanggengkan kedaulatan penguasa dalam suasana kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang dimaktubkan pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 hanya sebatas bungkus, sementara substansi pelaksanaan kekuasaan tertinggi sepenuhnya ada pada orang yang tengah memegang kekuasaan pemerintahan.

Kedua, upaya melanggengkan kedaulatan penguasa tersebut pun terkonfirmasi dengan dihilangkannya peran pengadilan dalam menilai benar atau tidaknya tuduhan pelanggaran yang dialamatkan kepada ormas. Prosedur dan tahapan penjatuhan sanksi yang sebelumnya melibatkan Mahkamah Agung dihapus melalui Perppu. Artinya, proses peradilan sebagai sarana klarifikasi dan konfirmasi bagi si tertuduh tidak tersedia lagi. Penjatuhan sanksi pembubaran sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah tanpa ada ruang pembelaan diri bagi ormas dianggap melanggar. Pada ranah itu, terbitnya Perppu bukan hendak mengisi kekosongan hukum, melainkan mengubah tatanan hukum yang awalnya bersifat responsif bagi hidup dan berkembangnya hak berserikat dan berkumpul menjadi tatanan hukum bercorak otoritarian.

Berbagai persoalan sekitar Perppu sebagaimana dibentangkan di atas merupakan fakta betapa kehadiran regulasi ini tidak memiliki pijakan konstitusi yang jelas. Alih-alih itu, keberadaannya justru bertentangan dengan semangat negara hukum demokratis yang melindungi HAM sebagaimana terkandung dalam UUD 1945.

Kalaulah semangat penerbitan Perppu ini untuk memperpendek birokrasi penjatuhan sanksi, seharusnya regulasi darurat ini tidak menghilangkan peran lembaga peradilan. Pengadilan tetap harus diberi ruang untuk menilai apakah tuduhan pemerintah atas ormas benar atau tidak. Pada saat yang sama, melalui proses peradilan pula ormas diberi hak untuk membela diri. Keberadaan pengadilan dalam penjatuhan sanksi merupakan satu-satunya jalan untuk menjauhkan pemerintah dari jebakan bertindak sewenang-wenang.

Dengan segala kelemahan substantif yang dikandungnya, kelak ketika DPR menentukan sikap, Perppu ini mesti ditolak jadi UU. Bila sebaliknya, artinya DPR turut merestui hidupnya otoritarianisme baru dalam republik berkedaulatan rakyat ini.

Selain itu, Perppu ini juga sangat layak diuji melalui Mahkamah Konstitusi. Sebagai pengawal hak konstitusional warga negara, MK memiliki peran amat strategis guna menjaga agar UU dan Perppu tidak menyimpangi konstitusi. Pada saat yang sama, juga harus memastikan bahwa HAM yang dijamin konstitusi tidak digadaikan pada rezim hukum yang bercorak otoritarian.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3754 seconds (0.1#10.140)