Jangan Biarkan HT Dijegal
A
A
A
Asmadji AS Muchtar
Wakil Rektor III Universitas Sains Alqur'an, Wonosobo, Jawa Tengah
SEJAK SMS Hary Tanoesoedibjo (HT) diperkarakan, di tengah masyarakat sering digelar diskusi tentang cita-cita politik yang sangat luhur tapi dianggap sebagai ancaman bagi pihak-pihak tertentu. Lebih jelasnya, cita-cita luhur seperti ingin memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena sehingga menjadikan hukum tidak adil, malah diperkarakan karena dianggap ancaman bagi mereka.
Maka kesannya jadi sangat aneh jika ancaman terhadap oknum-oknum penegak hukum yang merusak keadilan, justru kemudian hendak diadili dan dihukum. Memangnya hukum di negeri ini sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang merusak keadilan? Karena itu, logikanya, jika misalnya nanti HT dikalahkan karena SMS tersebut, rakyat layak menilai bahwa hukum di negeri ini sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang merusak keadilan.
Dengan demikian, layak diingatkan kepada semua jajaran penegak hukum di negeri ini untuk mempertimbangkan lagi apakah SMS HT layak diproses hukum ataukah tidak? Kalau diproses hukum, apa implikasinya terhadap citra hukum di negeri ini, bahkan bagi citra penegak hukum itu sendiri?
Sangat disayangkan jika citra hukum dan citra penegak hukum di negeri ini justru dibiarkan rusak hanya gara-gara memproses hukum sebuah SMS, yang substansinya hanya sebagai cita-cita luhur tapi dianggap sebagai ancaman yang melanggar hukum.
Dengan kata lain, jangan sampai terjadi, gara-gara SMS HT diproses hukum justru akan merusak citra hukum dan citra penegak hukum di negeri ini. Kini rakyat sudah cukup cerdas menilai setiap proses hukum yang ada.
Selain itu, jika HT dihukum karena bercita-cita luhur yang disampaikan lewat SMS, bukan tidak mungkin semua elite politik yang pernah bercita-cita luhur yang disampaikan lewat kampanye atau debat kandidat juga akan dihukum.
Silakan rekaman atau ingatan dibuka: Betapa semua kandidat yang pernah berlaga dalam pilpres maupun pilkada pasti punya cita-cita luhur yang telah disampaikan pada saat kampanye dan debat kandidat, sebagaimana cita-cita luhur yang disampaikan HT lewat SMS yang diperkarakan.
Merusak Keadilan
Rakyat di negeri ini layak mengingatkan kepada siapa pun, terutama jajaran penegak hukum untuk tidak semena-mena yang bisa berakibat rusaknya keadilan. Negara ini memang negara hukum, tapi harus hukum yang adil, bukan hukum yang tidak adil.
Jika hukum yang tidak adil yang berlaku di negara hukum, tentu sangat ironis, karena negara bisa dikuasai oleh kaum perusak keadilan alias rezim yang tidak adil. Pada titik ini, rakyat pasti akan menjadi korban setiap kali berurusan dengan penegak hukum, karena hukum sudah dikuasai oknum-oknum perusak keadilan.
Memerkarakan SMS HT layak diduga sebagai gejala hukum yang hendak digunakan menjerat partai yang berpotensi menjadi saingan politik terberat bagi rezim kekuasaan yang ada. Dugaan tersebut berdasarkan logika normatif. Lebih jelasnya, jika kasus tersebut bergulir dalam proses hukum di pengadilan maka akan memakan waktu lama sehingga HT dan jajaran pengurus Perindo bisa diharubirukan proses hukum yang bisa berakibat menurunnya elektabilitas.
Dengan kata lain, jika kasus tersebut diproses hukum maka rakyat yang menyaksikannya akan terbelah, ada yang mendukung HT dan ada pula yang mendukung proses hukum bahkan pasti juga ada yang bersikap tidak tahu-menahu. Pada titik ini, elektabilitas HT dan Perindo bisa menurun.
Pertanyaan yang layak diajukan: Pihak manakah yang diuntungkan kalau kasus SMS HT diproses hukum atau dibawa ke pengadilan yang terus berlangsung sampai dengan hari pemungutan suara Pemilu 2019 nanti? Jawabannya sudah jelas, yakni pihak yang kini tengah berkuasa.
Pertanyaan lainnya, apa mungkin kasus SMS yang konon hendak diproses hukum itu merupakan rekayasa atau pesanan pihak yang kini berkuasa? Jawabannya sulit dirumuskan, meskipun publik secara normatif dan logis layak menduga bahwa pihak yang diuntungkan dari kasus tersebutlah yang mungkin merekayasa.
Namun, jika ditarik lebih jauh, pihak yang diuntungkan dari kasus tersebut bukan hanya rezim yang kini berkuasa, melainkan juga elite politik lain yang notabene pesaing HT. Logikanya, dalam politik, semua kekuatan lain sama dengan rival. Sementara rivalitas politik acap penuh dengan intrik dan rekayasa yang bermuara untuk merebut suara rakyat dan meraih kemenangan.
Dengan demikian, sudah tepat upaya jajaran pendukung HT untuk mencegah kasus SMS tersebut diproses hukum. Mereka pun logis ketika menduga adanya kriminalisasi terhadap HT. Upaya tersebut selayaknya didukung segenap elite politik lintas partai di negeri ini yang notabene punya kepentingan yang sama, yakni menegakkan demokrasi secara sehat tanpa ada hukum yang menjerat partai atau kriminalisasi terhadap elite politik.
Layak disayangkan jika misalnya jajaran elite politik lintas partai ternyata justru mendukung proses hukum yang layak diduga hanya akan menjerat partai agar kalah telak dalam pemilu, karena bisa menguntungkannya. Pasalnya, sikap demikian merupakan cermin kenaifan berpolitik, yakni ingin untung di atas kerugian pihak lain, bukan karena usaha sendiri.
Merusak Demokrasi
Lepas dari urusan keadilan, jika hukum dipakai untuk menjerat politik (bisa dibaca: membonsai partai) maka demokrasi bisa berlangsung tidak sesuai dengan nilai-nilainya. Artinya, siapa yang berkuasa bisa memperlemah pihak lain yang dianggap saingan dengan menggunakan hukum.
Selain itu, jika SMS HT diproses hukum maka sama dengan merusak nilai-nilai demokrasi. Bahkan, demokrasi bisa dianggap cacat sehingga hasilnya juga layak dianggap cacat. Pada titik ini, siapa yang menang dalam kontestasi demokrasi berpotensi menjadi pemimpin yang tidak demokratis bahkan menjadi rezim yang merusak demokrasi.
Dengan demikian, perlu ada upaya masif untuk menyelamatkan demokrasi agar tidak dirusak oleh hukum, karena tegaknya demokrasi sama dengan tegaknya hukum dan keadilan. Demokrasi yang rusak adalah demokrasi cacat dan demokrasi cacat tidak akan bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Dari perspektif demokrasi, hukum yang digunakan menjerat politik akan menjadi hukum yang tidak adil dan melahirkan ketidakadilan dalam banyak hal. Ujung-ujungnya akan melahirkan dendam politik yang destruktif. Misalnya, data empiris membuktikan betapa kemelut politik di sejumlah negara ternyata dipicu oleh rusaknya hukum dan keadilan yang berimbas rusaknya demokrasi.
Bahkan, tidak sedikit negara yang bergolak gara-gara demokrasi tidak berlangsung baik karena sudah dirusak oleh hukum yang tidak adil. Kita layak berharap Indonesia bisa selamat dari ancaman kemelut politik. Pada titik ini, kita layak mendesak semua pihak untuk menjaga demokrasi jangan sampai dirusak oleh hukum yang tidak adil.
Kita pun selayaknya berharap Pemilu 2019 nanti berlangsung sehat dan demokratis tanpa ada partai yang dijerat hukum agar kalah telak atau malah tidak diperbolehkan mengikuti kontestasi demokrasi. Jangan sampai ada tokoh politik dijegal dengan hukum yang tidak adil.
Selain itu, kita juga layak berharap segenap rakyat untuk lebih cerdas memihak kebenaran dan keadilan, karena sampai kapan pun rakyatlah yang paling berkepentingan terhadap tegaknya kebenaran dan keadilan. Dan, yang lebih penting, kita berharap rezim yang kini sedang berkuasa bisa bersikap tegas dalam menjaga hukum agar tetap adil, agar demokrasi bisa berlangsung baik tanpa ada hukum yang menjerat partai dan elite politik secara semena-mena.
Dalam hal ini, presiden perlu didorong untuk membenahi kinerja semua jajaran aparatnya agar tidak semena-mena menggunakan hukum untuk menjerat partai dan elite politik yang berhak berkompetisi secara sehat alias secara demokratis.
Memuakkan Rakyat
Aroma kriminalisasi terhadap HT, kini memang semakin semerbak di negeri ini. Aroma tersebut jelas tidak sedap dan bahkan memuakkan bagi rakyat yang merindukan keadilan bagi semua pihak. Ada satu pertanyaan yang layak diutarakan kepada aparat penegak hukum.
Jika misalnya ada SMS berisi cita-cita ingin memberantas kemiskinan, apakah layak dianggap sebagai SMS ancaman bagi rakyat miskin dan pengirim SMS tersebut layak diproses hukum?
Jawabannya, sudah jelas, SMS tersebut tidak layak diproses hukum, karena kemiskinan memang tidak layak dipertahankan. Dengan kata lain, memproses hukum atau menghukum pihak yang hendak memberantas kemiskinan sama dengan hendak mempertahankan kemiskinan.
Maka amat sangat disayangkan, jika misalnya ada aparat penegak hukum di negeri ini yang justru hendak mempertahankan kemiskinan dengan cara menghukum tokoh-tokoh yang bercita-cita ingin memberantas kemiskinan.
Ada contoh terbaru, yakni sikap kepolisian yang menganggap ujaran "ndeso" yang diunggah Kaesang (putra Presiden Jokowi) tidak tergolong melanggar hukum, meski dilaporkan oleh seorang warga negara kita baru-baru ini, layak dianggap tepat. Sikap serupa selayaknya juga diterapkan terhadap kasus SMS HT.
"Ndeso" yang dimaksud Kaesang tak lain adalah kritik bagi siapa pun yang tidak mau maju di zaman maju alias tetap terbelakang di zaman modern ini, maka jika misalnya diproses hukum tentu hukum bisa dianggap memihak keterbelakangan.
Dengan demikian, SMS HT yang bisa juga dianggap sebagai kritik terhadap oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena (yang bisa merusak hukum dan keadilan) layak dianggap tidak melanggar hukum, dan karenanya tidak layak diproses hukum, agar hukum di negeri ini tidak menjerat politik.
Segenap rakyat tidak akan rela jika hukum di negeri ini digunakan untuk semena-mena menjerat atau menjegal tokoh yang secara riil semakin jelas ikut memperbaiki bangsa dan negara.
Wakil Rektor III Universitas Sains Alqur'an, Wonosobo, Jawa Tengah
SEJAK SMS Hary Tanoesoedibjo (HT) diperkarakan, di tengah masyarakat sering digelar diskusi tentang cita-cita politik yang sangat luhur tapi dianggap sebagai ancaman bagi pihak-pihak tertentu. Lebih jelasnya, cita-cita luhur seperti ingin memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena sehingga menjadikan hukum tidak adil, malah diperkarakan karena dianggap ancaman bagi mereka.
Maka kesannya jadi sangat aneh jika ancaman terhadap oknum-oknum penegak hukum yang merusak keadilan, justru kemudian hendak diadili dan dihukum. Memangnya hukum di negeri ini sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang merusak keadilan? Karena itu, logikanya, jika misalnya nanti HT dikalahkan karena SMS tersebut, rakyat layak menilai bahwa hukum di negeri ini sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang merusak keadilan.
Dengan demikian, layak diingatkan kepada semua jajaran penegak hukum di negeri ini untuk mempertimbangkan lagi apakah SMS HT layak diproses hukum ataukah tidak? Kalau diproses hukum, apa implikasinya terhadap citra hukum di negeri ini, bahkan bagi citra penegak hukum itu sendiri?
Sangat disayangkan jika citra hukum dan citra penegak hukum di negeri ini justru dibiarkan rusak hanya gara-gara memproses hukum sebuah SMS, yang substansinya hanya sebagai cita-cita luhur tapi dianggap sebagai ancaman yang melanggar hukum.
Dengan kata lain, jangan sampai terjadi, gara-gara SMS HT diproses hukum justru akan merusak citra hukum dan citra penegak hukum di negeri ini. Kini rakyat sudah cukup cerdas menilai setiap proses hukum yang ada.
Selain itu, jika HT dihukum karena bercita-cita luhur yang disampaikan lewat SMS, bukan tidak mungkin semua elite politik yang pernah bercita-cita luhur yang disampaikan lewat kampanye atau debat kandidat juga akan dihukum.
Silakan rekaman atau ingatan dibuka: Betapa semua kandidat yang pernah berlaga dalam pilpres maupun pilkada pasti punya cita-cita luhur yang telah disampaikan pada saat kampanye dan debat kandidat, sebagaimana cita-cita luhur yang disampaikan HT lewat SMS yang diperkarakan.
Merusak Keadilan
Rakyat di negeri ini layak mengingatkan kepada siapa pun, terutama jajaran penegak hukum untuk tidak semena-mena yang bisa berakibat rusaknya keadilan. Negara ini memang negara hukum, tapi harus hukum yang adil, bukan hukum yang tidak adil.
Jika hukum yang tidak adil yang berlaku di negara hukum, tentu sangat ironis, karena negara bisa dikuasai oleh kaum perusak keadilan alias rezim yang tidak adil. Pada titik ini, rakyat pasti akan menjadi korban setiap kali berurusan dengan penegak hukum, karena hukum sudah dikuasai oknum-oknum perusak keadilan.
Memerkarakan SMS HT layak diduga sebagai gejala hukum yang hendak digunakan menjerat partai yang berpotensi menjadi saingan politik terberat bagi rezim kekuasaan yang ada. Dugaan tersebut berdasarkan logika normatif. Lebih jelasnya, jika kasus tersebut bergulir dalam proses hukum di pengadilan maka akan memakan waktu lama sehingga HT dan jajaran pengurus Perindo bisa diharubirukan proses hukum yang bisa berakibat menurunnya elektabilitas.
Dengan kata lain, jika kasus tersebut diproses hukum maka rakyat yang menyaksikannya akan terbelah, ada yang mendukung HT dan ada pula yang mendukung proses hukum bahkan pasti juga ada yang bersikap tidak tahu-menahu. Pada titik ini, elektabilitas HT dan Perindo bisa menurun.
Pertanyaan yang layak diajukan: Pihak manakah yang diuntungkan kalau kasus SMS HT diproses hukum atau dibawa ke pengadilan yang terus berlangsung sampai dengan hari pemungutan suara Pemilu 2019 nanti? Jawabannya sudah jelas, yakni pihak yang kini tengah berkuasa.
Pertanyaan lainnya, apa mungkin kasus SMS yang konon hendak diproses hukum itu merupakan rekayasa atau pesanan pihak yang kini berkuasa? Jawabannya sulit dirumuskan, meskipun publik secara normatif dan logis layak menduga bahwa pihak yang diuntungkan dari kasus tersebutlah yang mungkin merekayasa.
Namun, jika ditarik lebih jauh, pihak yang diuntungkan dari kasus tersebut bukan hanya rezim yang kini berkuasa, melainkan juga elite politik lain yang notabene pesaing HT. Logikanya, dalam politik, semua kekuatan lain sama dengan rival. Sementara rivalitas politik acap penuh dengan intrik dan rekayasa yang bermuara untuk merebut suara rakyat dan meraih kemenangan.
Dengan demikian, sudah tepat upaya jajaran pendukung HT untuk mencegah kasus SMS tersebut diproses hukum. Mereka pun logis ketika menduga adanya kriminalisasi terhadap HT. Upaya tersebut selayaknya didukung segenap elite politik lintas partai di negeri ini yang notabene punya kepentingan yang sama, yakni menegakkan demokrasi secara sehat tanpa ada hukum yang menjerat partai atau kriminalisasi terhadap elite politik.
Layak disayangkan jika misalnya jajaran elite politik lintas partai ternyata justru mendukung proses hukum yang layak diduga hanya akan menjerat partai agar kalah telak dalam pemilu, karena bisa menguntungkannya. Pasalnya, sikap demikian merupakan cermin kenaifan berpolitik, yakni ingin untung di atas kerugian pihak lain, bukan karena usaha sendiri.
Merusak Demokrasi
Lepas dari urusan keadilan, jika hukum dipakai untuk menjerat politik (bisa dibaca: membonsai partai) maka demokrasi bisa berlangsung tidak sesuai dengan nilai-nilainya. Artinya, siapa yang berkuasa bisa memperlemah pihak lain yang dianggap saingan dengan menggunakan hukum.
Selain itu, jika SMS HT diproses hukum maka sama dengan merusak nilai-nilai demokrasi. Bahkan, demokrasi bisa dianggap cacat sehingga hasilnya juga layak dianggap cacat. Pada titik ini, siapa yang menang dalam kontestasi demokrasi berpotensi menjadi pemimpin yang tidak demokratis bahkan menjadi rezim yang merusak demokrasi.
Dengan demikian, perlu ada upaya masif untuk menyelamatkan demokrasi agar tidak dirusak oleh hukum, karena tegaknya demokrasi sama dengan tegaknya hukum dan keadilan. Demokrasi yang rusak adalah demokrasi cacat dan demokrasi cacat tidak akan bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Dari perspektif demokrasi, hukum yang digunakan menjerat politik akan menjadi hukum yang tidak adil dan melahirkan ketidakadilan dalam banyak hal. Ujung-ujungnya akan melahirkan dendam politik yang destruktif. Misalnya, data empiris membuktikan betapa kemelut politik di sejumlah negara ternyata dipicu oleh rusaknya hukum dan keadilan yang berimbas rusaknya demokrasi.
Bahkan, tidak sedikit negara yang bergolak gara-gara demokrasi tidak berlangsung baik karena sudah dirusak oleh hukum yang tidak adil. Kita layak berharap Indonesia bisa selamat dari ancaman kemelut politik. Pada titik ini, kita layak mendesak semua pihak untuk menjaga demokrasi jangan sampai dirusak oleh hukum yang tidak adil.
Kita pun selayaknya berharap Pemilu 2019 nanti berlangsung sehat dan demokratis tanpa ada partai yang dijerat hukum agar kalah telak atau malah tidak diperbolehkan mengikuti kontestasi demokrasi. Jangan sampai ada tokoh politik dijegal dengan hukum yang tidak adil.
Selain itu, kita juga layak berharap segenap rakyat untuk lebih cerdas memihak kebenaran dan keadilan, karena sampai kapan pun rakyatlah yang paling berkepentingan terhadap tegaknya kebenaran dan keadilan. Dan, yang lebih penting, kita berharap rezim yang kini sedang berkuasa bisa bersikap tegas dalam menjaga hukum agar tetap adil, agar demokrasi bisa berlangsung baik tanpa ada hukum yang menjerat partai dan elite politik secara semena-mena.
Dalam hal ini, presiden perlu didorong untuk membenahi kinerja semua jajaran aparatnya agar tidak semena-mena menggunakan hukum untuk menjerat partai dan elite politik yang berhak berkompetisi secara sehat alias secara demokratis.
Memuakkan Rakyat
Aroma kriminalisasi terhadap HT, kini memang semakin semerbak di negeri ini. Aroma tersebut jelas tidak sedap dan bahkan memuakkan bagi rakyat yang merindukan keadilan bagi semua pihak. Ada satu pertanyaan yang layak diutarakan kepada aparat penegak hukum.
Jika misalnya ada SMS berisi cita-cita ingin memberantas kemiskinan, apakah layak dianggap sebagai SMS ancaman bagi rakyat miskin dan pengirim SMS tersebut layak diproses hukum?
Jawabannya, sudah jelas, SMS tersebut tidak layak diproses hukum, karena kemiskinan memang tidak layak dipertahankan. Dengan kata lain, memproses hukum atau menghukum pihak yang hendak memberantas kemiskinan sama dengan hendak mempertahankan kemiskinan.
Maka amat sangat disayangkan, jika misalnya ada aparat penegak hukum di negeri ini yang justru hendak mempertahankan kemiskinan dengan cara menghukum tokoh-tokoh yang bercita-cita ingin memberantas kemiskinan.
Ada contoh terbaru, yakni sikap kepolisian yang menganggap ujaran "ndeso" yang diunggah Kaesang (putra Presiden Jokowi) tidak tergolong melanggar hukum, meski dilaporkan oleh seorang warga negara kita baru-baru ini, layak dianggap tepat. Sikap serupa selayaknya juga diterapkan terhadap kasus SMS HT.
"Ndeso" yang dimaksud Kaesang tak lain adalah kritik bagi siapa pun yang tidak mau maju di zaman maju alias tetap terbelakang di zaman modern ini, maka jika misalnya diproses hukum tentu hukum bisa dianggap memihak keterbelakangan.
Dengan demikian, SMS HT yang bisa juga dianggap sebagai kritik terhadap oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena (yang bisa merusak hukum dan keadilan) layak dianggap tidak melanggar hukum, dan karenanya tidak layak diproses hukum, agar hukum di negeri ini tidak menjerat politik.
Segenap rakyat tidak akan rela jika hukum di negeri ini digunakan untuk semena-mena menjerat atau menjegal tokoh yang secara riil semakin jelas ikut memperbaiki bangsa dan negara.
(maf)