Sinergi Perantau dan Pendatang

Jum'at, 23 Juni 2017 - 10:22 WIB
Sinergi Perantau dan Pendatang
Sinergi Perantau dan Pendatang
A A A
Dr Edy Purwo Saputro SE MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

LEBARAN sebentar lagi dan arus mudik mulai merayap sementara ancaman arus balik kian tidak terbendung. Tak terasa lama waktu di kampung, para pemudik akan bersiap-siap menjalani arus balik.

Jawa dan Jakarta khususnya masih menjadi primadona tujuan migrasi sehingga ini menegaskan fakta kesenjangan. Prediksi pemerintah jumlah pemudik tahun ini naik 6,9 persen mencapai 28,99 juta dibanding tahun 2016 yang mencapai 26,36 juta. Problem arus mudik-balik pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi ekonomi di daerah. Oleh karena itu, otonomi daerah (otda) dan juga maraknya pemekaran daerah seharusnya bisa mereduksi migrasi. Pencapaian ini dapat dilakukan jika ekonomi di daerah mampu tumbuh dan berkembang dengan baik, ter­masuk tentunya harus dapat didukung dengan infrastruktur yang memadai.

Harapan terhadap bangkitnya ekonomi di daerah tentu tidak bisa hanya mengandalkan pemda-pemkot-pemkab, tetapi juga harus melibatkan investor. Hal ini menunjukan di era otda seharusnya pemda-pemkot-pemkab menjadi inspirator yang menentukan target orientasi pembangunan, sedangkan pelaksanaan target orientasi pembangunannya bisa diserahkan kepada investor atau swasta.

Sinergi pemda-pemkot-pemkab dengan investor swasta untuk menggarap ekonomi di daerah sangat dimungkinkan selama ada win-win solutions dan orientasi terhadap simbiosis mutualisme. Oleh karena itu, seharusnya era otda tiap kepala daerah bersikap kreatif untuk memasarkan daerahnya sehing ga menarik para investor dan swasta untuk terlibat secara aktif. Ironisnya, sampai 15 tahun era otda berlaku dan ditandai maraknya pemekaran ternyata fenomena mudik-balik cenderung semakin meningkat setiap tahun. Fakta ini secara tidak langsung menegaskan kegagalan era otda karena migrasi masih tinggi dan logika migrasi adalah orientasi untuk mencari perbaikan taraf kesejahteraan.

Mengacu 15 tahun terakhir pemberlakuan otda dan indikasi kegagalan karena tingginya arus mudik-balik maka wajar jika tuntutan pemekaran perlu dievaluasi lagi dan ini harus menjadi kajian pemerintah untuk moratorium. Fakta tingginya arus mudik-balik secara tidak langsung menunjukkan kegagalan pembangunan dan ketidakmampuan era otda memacu basis ekonomi di daerah. Padahal, jika setiap daerah bisa menciptakan satu produk unggulannya sesuai konsep keunggulan kompetitif maka seharusnya tidak ada lagi kepenatan memandang fenomena arus mudik-balik. Oleh karena itu, sudah perlu dipikirkan untuk mem­bangun ekonomi di daerah secara berkelanjutan dan dana desa juga bisa menjadi acuan pembangunan di daerah untuk mereduksi kesenjangan daerah.

Problem Serius
Belajar bijak dari fakta arus mudik-balik, ada beberapa aspek yang harus dicermati. Pertama, pemberlakuan otda ternyata tidak menjamin peningkatan kesejahteraan daerah. Paling tidak, ini terlihat dari tren arus mudik dan balik yang terus meningkat. Bahkan, tingginya arus balik ke perkotaan justru semakin menunjukan ketidakmampuan daerah menyediakan lapangan kerja. Jika ini dibiarkan maka perdesaan semakin ditinggalkan dan perkotaan semakin padat sehingga memicu ancaman social-political cost.

Realitas ini juga diperparah oleh lahan pertanian yang semakin kecil tergerus oleh kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman. Selain itu, nilai tukar pertanian yang rendah juga berpengaruh terhadap redupnya daya tarik pertanian. Fakta ini menguatkan asumsi bahwa ketahanan pangan lemah dan wajar jika impor pangan cenderung meningkat yang melemahkan komitmen swasembada pangan.

Kedua, konsekuensi dari era otda adalah pemekaran dan seharusnya pemekaran mampu mendukung harapan dari pemberlakuan era otda itu sendiri. Artinya, ketika pemekaran justru semakin menambah kemiskinan di daerah baru hasil pemekaran dan berdampak negatif terhadap daerah induknya maka tujuan pemekaran itu sendiri gagal. Padahal, seharusnya pemekaran mampu menciptakan potensi-potensi baru dari daerah yang baru sehingga pasca pemekaran antara daerah baru dan daerah induk mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jika masyarakat sejahtera, maka orentasi terhadap arus balik pasca Idul Fitri berkurang, bukan justru sebaliknya arus mudik cenderung meningkat sementara arus balik lebih meningkat yang berpengaruh terhadap kepadatan di perkotaan dan daerah sentra ekonomi bisnis, sementara di perdesaan semakin lengang.

Ketiga, pemerintah perlu melakukan reorientasi pemikiran terhadap pembangunan dan juga pemerataannya. Tidak bisa disangkal bahwa kesenjangan masih menjadi persoalan akut sampai kini. Padahal, kesenjangan ini menjadi alasan mengapa terjadi migrasi dari perdesaan ke perkotaan untuk mencari perbaikan nasib dan kesejahteraan. Artinya ketika kesenjangan kian lebar maka migrasi kian tinggi dan tentu ini juga berdampak negatif terhadap arus mudik dan balik pasca Idul Fitri. Artinya, pembangunan di perdesaan saat ini perlu lebih diprioritaskan seiring dengan pengembangan ekonomi kreatif di daerah.

Keempat, aspek terkait dengan laju kesenjangan yaitu distribusi investasi. Investor tentu ingin mendapatkan kepastian dan return yang besar dan hal ini hanya bisa tercapai jika ada realisasi investasi yang prospektif. Oleh karena itu, kepala daerah seharusnya dapat meyakinkan investor agar berinvestasi di daerahnya.

Artinya, peluang investasi semakin terbuka jika kepala daerah proaktif, bukan justru sebaliknya karena mengandalkan dari kemampuan daerah untuk membangun daerah tidaklah mungkin bisa berhasil karena ada keterbatasan modal dan SDM. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa era otda justru memicu kesenjangan dan karenanya fenomena arus mudik dan balik cenderung terus meningkat. Oleh karena itu, mengimbau untuk mereduksi arus mudik-balik tidak bisa hanya dengan regulasi, tapi harus ada aksi yang bisa mendukung ekonomi bisnis di daerah sehingga masyarakat tidak tergoda untuk migrasi.

Kelima, pemerintah pusat dan daerah perlu membangun kesadaran kolektif untuk bisa membangun ekonomi di daerah, termasuk misalnya dengan memberikan insentif bagi siapa saja yang mampu membangun atau berkontribusi terhadap perekonomian di daerah sehingga muncul tokoh-tokoh di daerah. Kesadaran kolektif ini pada akhirnya mampu menciptakan geliat perekonomian di daerah, termasuk misal eksistensi ekonomi kreatif berbasis potensi sumber daya lokal dan kearifan lokal yang berdampak positif terhadap keunggulan kompetitif dari setiap daerah itu sendiri.

Langkah ini bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh perantauan yang telah sukses untuk kembali ke daerah dan dilibatkan dengan pembangunan di daerahnya. Jika itu semua bisa dilakukan maka arus mudik dan balik dapat direduksi karena ekonomi di daerah semakin berkembang dan kecelakaan dari arus mudik-balik bisa direduksi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4737 seconds (0.1#10.140)