Premanisme Versus Kepolisian
A
A
A
Prof. Dr. Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015
MASYARAKAT semakin resah, was was, dan khawatir akan keselamatannya karena begal merajalela di mana-mana dan beraksi pada sembarang waktu.
Masalah kesenjangan sosial, pengaruh video game, dan terbukanya peluang, merupakan akar masalah sekaligus faktor-faktor pemicu maraknya begal, preman, dan sejenisnya itu.
Terkait dengan masalah peluang kejahatan, masyarakat bertanya-tanya, ke mana aparat kepolisian selama ini? Mengapa semua kegiatan premanisme, aksi begal, dan kenakalan remaja tidak pernah bisa diantisipasi dengan baik? Apakah Petrus (penembakan misterius) untuk menanggulangi kejahatan perlu dibentuk kembali? (Tajuk, Koran Sindo , 12/6/17).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, preman artinya orang-orang yang melakukan kejahatan, seperti penodongan atau pemerasan.
Sedangkan premanisme adalah sebuah gaya hidup mengedepankan kekerasan. Begitu banyak padanan kata untuk preman, antara lain: begal, kecu, gali, rampok, klithih , dan lainnya.
Jadi, preman dan premanisme bukan hanya sebatas individu kekar berwajah garang, bertato, gemar memeras, atau suka berkeliaran sembari mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat di tempat umum, melainkan sebuah gaya hidup tersendiri.
Dalam sejarah kehidupan manusia, dulu preman-preman bertindak sendiri-sendiri. Kekuatan fisik dan "kekuatan dalam" menjadi andalannya. Sasaran atau musuh dihadapinya seorang diri. Namun, dalam perkembangannya, dijumpai organisasi-organisasi preman.
Organisasi tersebut ada yang bernaung di bawah organisasi kepemudaan, kedaerahan, bahkan partai politik.
Meski organisasi-organisasi preman tersebut dikemas dengan make up modern agar tercitrakan sebagai kumpulan orang-orang intelek, beradab, berakhlak, tapi perilaku dan orientasi kehidupannya, tetap saja hedonistik dan materialistik. Segalanya ingin diraih instan dengan menghalalkan segala cara. Masyarakat paham dan tidak terkecoh dengan pencitraan tersebut.
Mempertanyakan sekaligus meminta ketegasan kepolisian dalam pembinaan atau pemberantasan premanisme, kiranya hal wajar. Mengapa? Karena, pertama, secara yuridis formal, kewenangan menjaga keamanan masyarakat berada pada institusi kepolisian.
Kepolisian dibenarkan bersikap tegas dan menggunakan senjata serta berbagai peranti-peranti lain sebagai pendukung tugas-tugasnya. Bila kepolisian amanah dengan wewenangnya serta-merta didukung masyarakat luas, maka celah-celah premanisme bisa dipersempit, bahkan ditutup sama sekali.
Suasana aman dan nyaman dapat terwujud setiap saat. Masyarakat tidak perlu dan tidak boleh main hakim sendiri, kecuali sekadar membantu tugas-tugas kepolisian.
Kedua , secara kuantitatif, jumlah polisi di negeri ini banyak. Didukung logistik, sarana-prasarana dan dana mencukupi, maka tidak ada alasan-alasan untuk kalah atau keteteran menghadapi ulah para preman.
Dengan menggunakan alat-alat elektronik modern, tanda-tanda kemunculan kejahatan preman maupun lokasi keberadaannya, dapat dideteksi sejak dini sehingga tindakan pencegahan segera dilakukan.
Ketiga , secara empiris, kepolisian memiliki track record bagus dalam menumpas teroris, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.
Preman kelas kampung maupun jaringan preman antarwilayah, tentu levelnya jauh di bawah teroris ataupun kejahatan narkoba.
Nalar sehat mengatakan pemberantasan premanisme lebih mudah, lebih ringan, dan mestinya lebih berhasil dibandingkan penangkapan teroris atau gembong narkoba. Bila ada gebrakan serentak, boleh jadi preman-preman akan kocar-kacir, tertangkap, dan meringkuk di penjara.
Kajian sosiologi hukum memperlihatkan bahwa masih sering dijumpai, bahkan diduga ada kepentingan organisasi preman berkelindan, bersaling-silang, atau berpadu dengan kepentingan oknum-oknum aparat ataupun pejabat.
Kepentingan dimaksud bisa berupa kepentingan ekonomi demi mengakumulasi kekayaan atau kepentingan politik untuk memperbesar dukungan massa, khususnya terkait dengan pemilihan umum.
Sangat disayangkan bila benar ada semacam pelimpahan sebagian kewenangan kepolisian kepada organisasi preman sehingga membuat premanisme terorganisasi punya ruang gerak leluasa menaklukkan pihak-pihak lain dalam tujuan tertentu.
Misal, mereka diberi otoritas melakukan pengaplingan jalan-jalan, trotoar, area pedagang K5, bahkan wilayah tertentu, kemudian mengelolanya atas nama keamanan lingkungan dengan menarik retribusi ilegal.
Jika dugaan demikian benar, maka membina atau memberantas premanisme ibarat mengurai benang kusut, menyapu lantai dengan sapu kotor.
Sangat sulit dipertanggungjawabkan secara sosial dan hukum karena satu sama lain saling terkait kepentingan. Pembinaan biasanya dilakukan terhadap gembong-gembongnya, sementara pemberantasan disasarkan hanya pada preman-preman kelas teri di jalanan.
Anomali kehidupan akibat maraknya preman sudah kasatmata. Patut disyukuri, kepercayaan masyarakat kepada kepolisian untuk pencegahan maupun penindakan masih tinggi. Public trust tersebut tidak boleh disia-siakan. Sikap jujur, cerdas, bijak, dan berwawasan kebangsaan sangat diperlukan dan mesti ada pada setiap person kepolisian.
Pertanyaan dan ekspresi kekecewaan, seperti; di manakah polisi? Kenapa tidak hadir? Kenapa terlambat bertindak? Sesungguhnya merupakan sikap kritis dan dukungan masyarakat.
Oleh karenanya, tidak perlu disikapi secara antagonis, melainkan perlu dikemas sebagai bagian dari kebersamaan agar kepolisian bekerja lebih maksimal.
Interaksi kepolisian dengan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban umum perlu dijawab dengan bukti-bukti konkret. Bangsa ini sangat berharap agar kepolisian benar-benar menjadi kekuatan sosial yang mampu menjadi penangkal untuk menghentikan merebaknya premanisme.
Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti . Dalam konteks kekinian, ajaran luhur Rangga Warsita itu bisa diartikan "Kekuatan dan keberanian kepolisian serta dukungan masyarakat dipastikan mampu meleburkan keangkaramurkaan preman-preman di negeri ini". Semoga. Wallahualam
(nag)