Sistem TI sebagai Fondasi Perusahaan
A
A
A
Sigit Priawan Djokosoetono
Direktur Blue Bird
1 Mei 2017 genap sudah Blue Bird berdiri kokoh selama 45 tahun. Perjalanan selama lebih dari empat dekade ini tentu bukan perkara mudah. Butuh perjuangan dari semua pihak berkepentingan di perusahaan agar bisnis terus berkelanjutan.
Namun, tidak dimungkiri bahwa kunci kesuksesan ini tak lepas dari fondasi yang ditanamkan sang pendiri, almarhumah Ny Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, yakni bekerja keras, jujur, dan disiplin.
Cikal bakal Blue Bird diawali dengan dua mobil hibah dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Perguruan Tinggi Hukum Militer, yakni sedan Opel dan Mercedes. Seiring terbitnya izin perusahaan taksi pada 1971 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dikantongilah izin 25 unit taksi dengan nama Blue Bird. Sejak saat itu "burung biru" terus beroperasi hingga saat ini.
Apa pun kondisi politik dan ekonomi yang terjadi di Tanah Air, Blue Bird senantiasa melayani pelanggan. Kami merasakan tantangan tiap dekade berbeda-beda. Dekade pertama pasti jauh berbeda dibandingkan sekarang. Tantangan terbesar pada tahun-tahun awal adalah mendapat izin dan kendaraan. Selain itu, menyetel (setup) perusahaan.
Pada dekade ini, almarhumah Ny Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono menciptakan sistem kekeluargaan, pelayanan, dan inovasi sebagai budaya perusahaan. Salah satu inovasi besar pada dekade pertama adalah penggunaan argo sebagai jaminan kepastian pembayaran bagi customers.
Zaman itu tak ada taksi yang menggunakan argo, pembayaran banyak dilakukan dengan model borongan. Inovasi berlanjut dengan pengadaan taksi berpendingin udara (AC). Dulu naik kendaraan yang dilengkapi AC itu sangat mewah karena mobil demikian masih jarang. Kami punya komitmen harus memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.
Setelah fisik kendaraan, Blue Bird mulai masuk esensi layanan prima sejak buka pintu. Esensi itu diterjemahkan dalam berbagai hal, salah satunya mengembalikan saat itu juga barang penumpang yang tertinggal di taksi. Jadi, hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah ditanamkan sejak lama.
Kami merancang fondasi perusahaan sedemikian rupa. Pelayanan prima juga memastikan pengemudi berseragam dan perekrutan dilakukan dengan mencegah kecenderungan negatif dari calon pengemudi. Manajemen juga terus berinovasi guna memberikan pelayanan excelent. Pada akhir 1970, pelayanan ditingkatkan dengan menerima order melalui telepon dan radio panggil.
Tahun 1980-an mulai digencarkan penerimaan pesanan melalui radio panggil dan melalui pangkalan-pangkalan. Kemudian memanfaatkan radio panggil yang lebih maju. Teknologi ini berkembang menjadi teknologi ANIBID, sehingga memudahkan pelanggan untuk cepat mendapatkan taksi yang diinginkan dan pengemudi juga mudah mendapatkan order.
Lalu, akhir 1980-an muncul sistem komputerisasi. Pesanan taksi tak lagi dicatat lewat kertas. Bergeser ke tahun 1990-an tantangannya bukan lagi fisik, melainkan teknologi. Terkait penggunaan teknologi, ada dikotomi antara taksi konvensional dan modern. Tapi sejatinya, kami sudah berinovasi dengan teknologi sejak dulu, saat perusahaan lain belum menggunakannya.
Pada 1990-an akhir, diadopsi teknologi global positioning system (GPS). Kami implementasikan GPS dan biding, jadi siapa pun pengemudi yang cepat dan dekat dengan lokasi, maka dia yang akan mengambil order. Kendati demikian, layanan itu tetap berbasiskan radio. Posisi unit bisa dilihat di kantor pusat dengan GPS. Karena jumlah unit makin banyak, tantangan juga makin kompleks.
Dibutuhkan komputerisasi yang lebih baik, salah satunya untuk laporan keuangan. Perusahaan pun berpikir kira-kira apa yang paling tepat untuk digunakan, sampai akhirnya diimplementasikan S400, lalu di era 2000-an menggunakan SAP. Memasuki era tahun 2000, semua orang ingin serba cepat. Kami respons dengan perbaikan sistem GPS.
Sistem radio juga diganti menjadi GSM. Jadi, semuanya sudah berbasis data. Bagian office juga di-upgrade menggunakan sistem komputer SAP. Perusahaan juga menambah layanan yang makin kompleks, antara lain membuat data center terintegrasi, pemesanan bukan hanya lewat telepon, melainkan juga bisa lewat surat elektronik (e-mail ).
Sesuai perkembangan zaman, semua harus belajar teknologi informasi (TI). Tapi sekali lagi, kami tetap menggunakan landasan yang sudah ada, yakni produk harus tetap bagus, termasuk mobil juga harus bagus. Pada 2010, tantangannya lebih mobile. Apalagi sekarang persaingannya dengan taksi online.
Mereka dinilai berinovasi, tapi sebenarnya kami sudah berinovasi sejak 2011 dengan adanya mobile reservation melalui aplikasi disistem operasi (OS) BlackBerry. Jadi, bisa dikatakan Blue Bird online sudah ada karena pelanggan bisa pesan lewat aplikasi. Taksinya terlihat, tinggal pencet, datang taksinya.
Lalu pada 2012, layanan itu dikembangkan dengan masuk ke OS Android dan iPhone. Sementara taksi online baru masuk pada 2015. Jadi, strategi kami adalah memudahkan pelanggan dengan membuka akses sebanyak-banyaknya. Mau lewat telepon (call center) dilayani, pangkalan dilayani, smartphone dilayani.
Sekarang adalah masa tantangan serba instan, sehingga kecepatan berinovasi diperlukan. Tantangan bahkan soal perilaku pelanggan yang kritis. Keluhan sedikit apa pun diunggah ke media sosial (medsos). Pelanggan seperti ini pun harus kami layani demi memberikan layanan prima. Untuk menghadapi hal semacam ini, ada tim support yakni customer response center. Di sini kami memperkuat digital army. Call center juga distandardisasi bisa lebih cepat menjawab komplain itu dari 2x24 jam menjadi 2x2 jam.
TI Terintegrasi
Dengan semakin gemuknya perusahaan, manajerial karyawan menjadi tantangan tersendiri. Saat ini Blue Bird memiliki 45.000 karyawan, sebagian besar driver. Jumlah kendaraan mencapai 35.000 unit dengan 26.000 unit di antaranya adalah taksi. Untuk mengontrol aset dibutuhkan TI yang terintegrasi dari sisi manajemen.
Di sisi lain, manajemen juga harus punya layar kontrol spesifik pada fungsinya masing-masing. Oleh sebab itu, kami punya sejumlah divisi, misalnya divisi taksi dan nontaksi agar masing-masing fokus lantaran industrinya berbeda-beda. Sekarang dengan sistem TI terintegrasi, kami punya kemampuan melihat income dan cost perkendaraan di seluruh Indonesia.
Caranya hanya dengan melihat ke sistem komputer. Tinggal mengecek nomor plat berapa, income dari mobil itu berapa, mobil berjalan berapa lama, bisa terlihat semua. Untuk melihat ini, selain perusahaan harus memiliki sistem TI terintegrasi, juga kemampuan manajemen yang bisa mengolah data tersebut.
Dalam operasional perusahaan, kami berikan delegasi terhadap manajer pool, kepala bagian bengkel, kepala bagian operasional pool. Mereka harus bisa melihat sama dengan apa yang kantor pusat lihat. Istilahnya, dalam melihat suatu masalah dari atas ke bawah sama. Dengan demikian bisa melahirkan solusi yang tepat.
Persoalan team work (kerja tim) juga menjadi hal yang harus kami perhatikan. Sebab kami punya 60 lebih pool yang tersebar di Indonesia. Ada 40 lebih ada di Jakarta dan masing-masing punya tim sendiri yang menjalankannya. Bukan hanya memberikan kewenangan atau delegasi, kami juga lihat kemampuan dari orangnya, penempatan SDM yang pas pada departemen-departemen yang ada.
Sementara struktur pengemudi sendiri juga wajib diperhatikan karena ada tidak kurang dari 35.000 driver. Mereka punya struktur pembinaan, punya serikat pekerja yang memang harus bergandengan tangan dalam menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, kerja tim adalah fondasi awal yang sudah ditanamkan owners, yakni harus ada unsur kekeluargaan.
Jadi jangan heran kalau menentukan komisi pengemudi di Blue Bird ditentukan bersama serikat pekerja dengan pengemudi. Tiap bulan kami rapat dengan serikat pekerja. Keterbukaan itu sangat penting. Menjadi perusahaan terbuka merupakan salah satu cara menjawab tantangan-tantangan berikutnya. Dengan go publik, dapat mengubah imej bahwa sebagai perusahaan keluarga, Blue Bird tidak profesional. Padahal, kami ingin sustainable.
Dengan menjadi perusahaan terbuka, kami harapkan profesionalitas lebih baik terbentuk. Ada keterbukaan informasi yang lebih jelas dan perusahaan bisa membuka akses-akses finansial atau profesional yang tersedia di Indonesia dan luar negeri. Kami sadar untuk berkembang tidak cukup di-handle keluarga sendiri. Sejak menjadi perusahaan terbuka, direktur keuangan juga independen. Artinya dia secara aturan melaporkan kondisi keuangan seperti adanya.
Tidak ada yang ditutup-tutupi. Begitu juga perekrutan coorporate secretary yang direkrut dari luar, sehingga apa yang berlangsung di Blue Bird berlangsung ketat sesuai ketentuan. Jadi, kami lebih profesional. Ke depan, kami berharap perusahaan tetap berkembang dan bertahan dari segala tantangan.
Direktur Blue Bird
1 Mei 2017 genap sudah Blue Bird berdiri kokoh selama 45 tahun. Perjalanan selama lebih dari empat dekade ini tentu bukan perkara mudah. Butuh perjuangan dari semua pihak berkepentingan di perusahaan agar bisnis terus berkelanjutan.
Namun, tidak dimungkiri bahwa kunci kesuksesan ini tak lepas dari fondasi yang ditanamkan sang pendiri, almarhumah Ny Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, yakni bekerja keras, jujur, dan disiplin.
Cikal bakal Blue Bird diawali dengan dua mobil hibah dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Perguruan Tinggi Hukum Militer, yakni sedan Opel dan Mercedes. Seiring terbitnya izin perusahaan taksi pada 1971 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dikantongilah izin 25 unit taksi dengan nama Blue Bird. Sejak saat itu "burung biru" terus beroperasi hingga saat ini.
Apa pun kondisi politik dan ekonomi yang terjadi di Tanah Air, Blue Bird senantiasa melayani pelanggan. Kami merasakan tantangan tiap dekade berbeda-beda. Dekade pertama pasti jauh berbeda dibandingkan sekarang. Tantangan terbesar pada tahun-tahun awal adalah mendapat izin dan kendaraan. Selain itu, menyetel (setup) perusahaan.
Pada dekade ini, almarhumah Ny Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono menciptakan sistem kekeluargaan, pelayanan, dan inovasi sebagai budaya perusahaan. Salah satu inovasi besar pada dekade pertama adalah penggunaan argo sebagai jaminan kepastian pembayaran bagi customers.
Zaman itu tak ada taksi yang menggunakan argo, pembayaran banyak dilakukan dengan model borongan. Inovasi berlanjut dengan pengadaan taksi berpendingin udara (AC). Dulu naik kendaraan yang dilengkapi AC itu sangat mewah karena mobil demikian masih jarang. Kami punya komitmen harus memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.
Setelah fisik kendaraan, Blue Bird mulai masuk esensi layanan prima sejak buka pintu. Esensi itu diterjemahkan dalam berbagai hal, salah satunya mengembalikan saat itu juga barang penumpang yang tertinggal di taksi. Jadi, hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah ditanamkan sejak lama.
Kami merancang fondasi perusahaan sedemikian rupa. Pelayanan prima juga memastikan pengemudi berseragam dan perekrutan dilakukan dengan mencegah kecenderungan negatif dari calon pengemudi. Manajemen juga terus berinovasi guna memberikan pelayanan excelent. Pada akhir 1970, pelayanan ditingkatkan dengan menerima order melalui telepon dan radio panggil.
Tahun 1980-an mulai digencarkan penerimaan pesanan melalui radio panggil dan melalui pangkalan-pangkalan. Kemudian memanfaatkan radio panggil yang lebih maju. Teknologi ini berkembang menjadi teknologi ANIBID, sehingga memudahkan pelanggan untuk cepat mendapatkan taksi yang diinginkan dan pengemudi juga mudah mendapatkan order.
Lalu, akhir 1980-an muncul sistem komputerisasi. Pesanan taksi tak lagi dicatat lewat kertas. Bergeser ke tahun 1990-an tantangannya bukan lagi fisik, melainkan teknologi. Terkait penggunaan teknologi, ada dikotomi antara taksi konvensional dan modern. Tapi sejatinya, kami sudah berinovasi dengan teknologi sejak dulu, saat perusahaan lain belum menggunakannya.
Pada 1990-an akhir, diadopsi teknologi global positioning system (GPS). Kami implementasikan GPS dan biding, jadi siapa pun pengemudi yang cepat dan dekat dengan lokasi, maka dia yang akan mengambil order. Kendati demikian, layanan itu tetap berbasiskan radio. Posisi unit bisa dilihat di kantor pusat dengan GPS. Karena jumlah unit makin banyak, tantangan juga makin kompleks.
Dibutuhkan komputerisasi yang lebih baik, salah satunya untuk laporan keuangan. Perusahaan pun berpikir kira-kira apa yang paling tepat untuk digunakan, sampai akhirnya diimplementasikan S400, lalu di era 2000-an menggunakan SAP. Memasuki era tahun 2000, semua orang ingin serba cepat. Kami respons dengan perbaikan sistem GPS.
Sistem radio juga diganti menjadi GSM. Jadi, semuanya sudah berbasis data. Bagian office juga di-upgrade menggunakan sistem komputer SAP. Perusahaan juga menambah layanan yang makin kompleks, antara lain membuat data center terintegrasi, pemesanan bukan hanya lewat telepon, melainkan juga bisa lewat surat elektronik (e-mail ).
Sesuai perkembangan zaman, semua harus belajar teknologi informasi (TI). Tapi sekali lagi, kami tetap menggunakan landasan yang sudah ada, yakni produk harus tetap bagus, termasuk mobil juga harus bagus. Pada 2010, tantangannya lebih mobile. Apalagi sekarang persaingannya dengan taksi online.
Mereka dinilai berinovasi, tapi sebenarnya kami sudah berinovasi sejak 2011 dengan adanya mobile reservation melalui aplikasi disistem operasi (OS) BlackBerry. Jadi, bisa dikatakan Blue Bird online sudah ada karena pelanggan bisa pesan lewat aplikasi. Taksinya terlihat, tinggal pencet, datang taksinya.
Lalu pada 2012, layanan itu dikembangkan dengan masuk ke OS Android dan iPhone. Sementara taksi online baru masuk pada 2015. Jadi, strategi kami adalah memudahkan pelanggan dengan membuka akses sebanyak-banyaknya. Mau lewat telepon (call center) dilayani, pangkalan dilayani, smartphone dilayani.
Sekarang adalah masa tantangan serba instan, sehingga kecepatan berinovasi diperlukan. Tantangan bahkan soal perilaku pelanggan yang kritis. Keluhan sedikit apa pun diunggah ke media sosial (medsos). Pelanggan seperti ini pun harus kami layani demi memberikan layanan prima. Untuk menghadapi hal semacam ini, ada tim support yakni customer response center. Di sini kami memperkuat digital army. Call center juga distandardisasi bisa lebih cepat menjawab komplain itu dari 2x24 jam menjadi 2x2 jam.
TI Terintegrasi
Dengan semakin gemuknya perusahaan, manajerial karyawan menjadi tantangan tersendiri. Saat ini Blue Bird memiliki 45.000 karyawan, sebagian besar driver. Jumlah kendaraan mencapai 35.000 unit dengan 26.000 unit di antaranya adalah taksi. Untuk mengontrol aset dibutuhkan TI yang terintegrasi dari sisi manajemen.
Di sisi lain, manajemen juga harus punya layar kontrol spesifik pada fungsinya masing-masing. Oleh sebab itu, kami punya sejumlah divisi, misalnya divisi taksi dan nontaksi agar masing-masing fokus lantaran industrinya berbeda-beda. Sekarang dengan sistem TI terintegrasi, kami punya kemampuan melihat income dan cost perkendaraan di seluruh Indonesia.
Caranya hanya dengan melihat ke sistem komputer. Tinggal mengecek nomor plat berapa, income dari mobil itu berapa, mobil berjalan berapa lama, bisa terlihat semua. Untuk melihat ini, selain perusahaan harus memiliki sistem TI terintegrasi, juga kemampuan manajemen yang bisa mengolah data tersebut.
Dalam operasional perusahaan, kami berikan delegasi terhadap manajer pool, kepala bagian bengkel, kepala bagian operasional pool. Mereka harus bisa melihat sama dengan apa yang kantor pusat lihat. Istilahnya, dalam melihat suatu masalah dari atas ke bawah sama. Dengan demikian bisa melahirkan solusi yang tepat.
Persoalan team work (kerja tim) juga menjadi hal yang harus kami perhatikan. Sebab kami punya 60 lebih pool yang tersebar di Indonesia. Ada 40 lebih ada di Jakarta dan masing-masing punya tim sendiri yang menjalankannya. Bukan hanya memberikan kewenangan atau delegasi, kami juga lihat kemampuan dari orangnya, penempatan SDM yang pas pada departemen-departemen yang ada.
Sementara struktur pengemudi sendiri juga wajib diperhatikan karena ada tidak kurang dari 35.000 driver. Mereka punya struktur pembinaan, punya serikat pekerja yang memang harus bergandengan tangan dalam menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, kerja tim adalah fondasi awal yang sudah ditanamkan owners, yakni harus ada unsur kekeluargaan.
Jadi jangan heran kalau menentukan komisi pengemudi di Blue Bird ditentukan bersama serikat pekerja dengan pengemudi. Tiap bulan kami rapat dengan serikat pekerja. Keterbukaan itu sangat penting. Menjadi perusahaan terbuka merupakan salah satu cara menjawab tantangan-tantangan berikutnya. Dengan go publik, dapat mengubah imej bahwa sebagai perusahaan keluarga, Blue Bird tidak profesional. Padahal, kami ingin sustainable.
Dengan menjadi perusahaan terbuka, kami harapkan profesionalitas lebih baik terbentuk. Ada keterbukaan informasi yang lebih jelas dan perusahaan bisa membuka akses-akses finansial atau profesional yang tersedia di Indonesia dan luar negeri. Kami sadar untuk berkembang tidak cukup di-handle keluarga sendiri. Sejak menjadi perusahaan terbuka, direktur keuangan juga independen. Artinya dia secara aturan melaporkan kondisi keuangan seperti adanya.
Tidak ada yang ditutup-tutupi. Begitu juga perekrutan coorporate secretary yang direkrut dari luar, sehingga apa yang berlangsung di Blue Bird berlangsung ketat sesuai ketentuan. Jadi, kami lebih profesional. Ke depan, kami berharap perusahaan tetap berkembang dan bertahan dari segala tantangan.
(maf)