Power Interplay Revisi UU Antiterorisme

Senin, 05 Juni 2017 - 08:14 WIB
Power Interplay Revisi UU Antiterorisme
Power Interplay Revisi UU Antiterorisme
A A A
ANCAMAN terorisme masih terus membayangi bangsa ini. Di tengah kondisi keamanan global yang masih sangat rentan terhadap serangan terorisme, Indonesia tidak terkecuali. Bahkan, para teroris serta ideologi terorisme bisa tumbuh di Indonesia. Tentu masalah ini menjadi pertanyaan besar di benak publik.

Dalam memandang masalah terorisme ini ada sangat banyak sudut pandang yang muncul di publik. Dari sisi publik cukup banyak yang mengapresiasi pemerintah yang mampu menangkapi dan dalam beberapa kesempatan menewaskan para teroris.

Namun, yang kecewa dengan performa pemerintah yang diwakili oleh beberapa pihak seperti Polri beserta Densus 88 Antiteror, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara serta belakangan TNI yang mulai dilibatkan dalam aksi pemberantasan terorisme.

Namun, kalau mau memandang dari segi pemerintah cq penegak hukum maka kita bisa mendapatkan pandangan yang cukup mencerahkan sekaligus mengkhawatirkan. Ternyata penegak hukum selama ini cukup mampu mengawasi pergerakan sel-sel teroris.

Terbukti, ketika ada serangan, langsung banyak penangkapan. Namun, keberhasilan tersebut sekaligus menandai kegagalan aparat yang akarnya bisa ditarik pada bolongnya UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Aparat tidak punya ruang yang cukup lebar untuk langkah pencegahan terorisme. Karena semangat UU 15/2003 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk memberantas teroris setelah bencana bom Bali. Visi pencegahan, yang berkorelasi dengan penindakan belum kentara.

Sayangnya, tarik menarik kepentingan politik (power interplay) bukan hanya tercium, tapi dipampangkan secara terbuka dalam pembahasan revisi UU Antiterorisme ini. Padahal, akan sangat baik jika elite politik di DPR bisa sejenak mengesampingkan posisi politik yang berseberangan dalam revisi UU yang sangat penting ini.

Misalnya, Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme Muhammad Syafii dari Partai Gerindra sangat negatif mengomentari draf revisi yang diajukan pemerintah. “Konten RUU yang diajukan pemerintahan sih meminta kewenangan yang lebih dalam penindakan,” ungkap Syafii.

Padahal, kita tahu bersama masalah penindakan ini yang menjadi hambatan utama penegak hukum. Misalnya, penegak hukum sudah memantau aktivitas pelatihan terduga teroris, namun tidak bisa melakukan penangkapan karena pelaku bisa saja berkelit sedang latihan fisik biasa.

Polisi baru bisa menangkapi jaringan yang sudah diawasi tersebut ketika sudah mempersiapkan aksi terornya, bahkan tak jarang jadi terlambat hingga memakan korban karena aksi telanjur terlaksana.

Tarik menarik kepentingan politik ini yang tidak elok ini misalnya ketika Ketua Pansus Muhammad Syafii mempermasalahkan keinginan pemerintah yang ingin menetapkan pidana terhadap seseorang yang menjadi anggota dari organisasi yang dianggap oleh pemerintah sebagai organisasi teroris. Padahal, pilihan perlakuan itu sangat wajar.

Kalaupun nanti ada orang yang tak tahu menahu, dia akan dilepaskan ketika proses penyidikan lanjutan atau persidangan. Sungguh miris ketika seorang Ketua Pansus berposisi seperti itu dalam mengomentari revisi UU yang sedang dibahas di bawah kepemimpinannya.

Sekalipun ada ketidaksetujuan pribadi, golongan, atau partai, maka ketidaksetujuan tersebut harus dilempar dalam kerangka legislasi. Segala pandangan yang curiganya tersebut harus diusahakan masuk revisi yang dipimpinnya ini.

Para elite politik seharusnya lebih sensitif terhadap perkembangan sosial politik di publik. Lembaga eksekutif dan legislatif harus sadar omongannya bisa dimanfaatkan kelompok yang bertujuan tidak baik.

Mereka harus tahu ada beberapa hal yang ultrasensitif yang akan lebih elok untuk dibahas di ruang yang lebih hening. Secara terbuka mengatakan bahwa ada upaya pendiskreditan terhadap agama dalam revisi UU ini tentu harus dijawab dengan pertarungan di legislasi, bukan dengan melempar bola panas ke publik. Sudah saatnya kita kembali melirik fatsoen politik yang selama ini sering tertinggal di belakang.

Sekalipun perjuangannya di level parlemen akhirnya tidak berhasil, masih ada kesempatan dari segi legislasi. Bisa saja ke depan melakukan pengajuan kembali atas UU tersebut. Anggota DPR juga bisa mengajukan minderheids nota yang merupakan catatan tertulis atas keberatannya terhadap UU yang nanti disetujui. Bahkan, langkah maju ke Mahkamah Konstitusi bisa jadi pilihan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5963 seconds (0.1#10.140)
pixels