Pancasila dan Generasi Milenial

Rabu, 31 Mei 2017 - 07:56 WIB
Pancasila dan Generasi...
Pancasila dan Generasi Milenial
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional Senior Advisor,
Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu

PANCASILA sebagai sebuah ideologi tengah mengalami pendewasaan di tengah ekosistem dunia yang juga sedang berubah. Tantangan yang harus dijawab oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa bukan hanya sebatas bagaimana menyikapi maraknya aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, tetapi juga posisi Indonesia dan warga negara dalam pergaulan internasional.

Jawaban itu terutama harus diformulasikan oleh generasi milenial yang akan menjadi pemilik bangsa ini untuk 50 tahun ke depan. Oleh sebab itu, komunikasi yang konstruktif, dialogis, dan sesuai dengan zaman antargenerasi adalah syarat penting agar Pancasila dapat beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan baru yang berbeda dengan situasi ketika Pancasila dicetuskan.

Generasi milenial adalah definisi demografi untuk mereka yang lahir pada tahun 1980-2000-an. Para ahli menganggap generasi ini berbeda dari sisi keyakinan religi, politik, interaksinya dengan teknologi, komunikasi, ekspresi dan lain sebagainya dari generasi-generasi SBX sebelumnya (Silent Generation 1928-1945, Boomer Generation 1946-1964, dan X Generation 1965-1980).

Kategori ini sendiri sebetulnya bias karena terpusat pada demografi masyarakat Barat. Contohnya dalam status pernikahan, Taylor dan Keeler (Millennials Confident. Connected. Open to Change., 2010) mengemukakan bahwa masyarakat yang cenderung tidak menikah pada saat generasi Boomer hidup lebih banyak, yaitu sebesar 52%, dibandingkan dengan yang menikah.

Hal ini berbeda dengan situasi di Asia pada waktu yang sama, pernikahan mungkin lebih banyak karena beberapa faktor seperti perjodohan dari orang tua. Hal ini menyebabkan tingkat kelahiran bayi di Asia lebih besar daripada di Barat.

Meski demikian, kategori ini tetap dapat bermanfaat untuk melihat preferensi atau kecenderungan antargenerasi yang hidup dalam suasana yang berbeda. Selain itu, dengan terintegrasinya dunia, maka batas antara negara maju dan berkembang juga semakin tipis, terutama dalam soal teknologi dan media komunikasi.

Generasi SBX adalah generasi yang hidup ketika teknologi belum mengambil alih hubungan sosial di tengah masyarakat. Dua puluh tahun lalu ketika telepon genggam masih langka, masyarakat sangat tergantung dengan proses perjumpaan tatap muka satu sama lain.

Pertemuan menjadi wadah untuk saling memberitahukan perkembangan masing-masing mulai dari gagasan, pemikiran, pandangan politik, hingga hobi atau kegemaran. Orang sangat terikat oleh waktu dan tempat untuk dapat terlibat dengan orang lain.

Bagi generasi SBX, toleransi sangat hidup karena setiap orang sangat tergantung dengan pertemuan secara fisik dalam ruang dan waktu. Tatap muka menjadi kebutuhan dan hal itu dapat terjadi apabila ada toleransi. Tanpa ada toleransi, tidak ada tatap muka.

Orang yang tidak bertoleransi akan tersingkir (teralienasi) dengan sendirinya dari pergaulan sosial di tengah masyarakat. Orang yang teralienasi tentu sangat susah hidup pada masa lalu.

Itu karena salah satu faktor yang dapat membuat keluarga bertahan dalam beragam tahapan krisis berumah tangga adalah hubungan yang baik dengan tetangga di sekitar rumah mereka.

Generasi milenial berbeda dengan generasi di atas. Mereka yang lahir setelah tahun 1990-an hidup dalam dunia teknologi dan informasi yang sangat intensif. Telepon pintar, komputer, tablet, atau smart watch menjadi ciri-ciri dari generasi milenial.

Mereka sangat mandiri dan tidak tergantung lagi perjumpaan untuk mengekspresikan gagasannya atau mengetahui perkembangan jaringan sosialnya. Ruang dan waktu untuk berkomunikasi tidak lagi menjadi hambatan karena semua dapat diatasi dengan WA, Instagram, atau Facebook.

Tidak perlu menempuh waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk berkomunikasi. Relasi pun relatif cepat terbentuk walaupun bisa juga cepat pergi. Tatap muka secara fisik tidak lagi menjadi kebutuhan sehingga toleransi pun menjadi tidak terlalu dibutuhkan.

Itu adalah tantangan yang dihadapi Pancasila dalam kehidupan nyata saat ini dan di sinilah terjadinya kesenjangan (gap) antara pemahaman nilai-nilai Pancasila dari generasi SBX ke generasi milenial.

Nilai-nilai Pancasila yang menekankan penghormatan atas perbedaan keyakinan, kemanusiaan, persatuan nasional, kemakmuran, dan keadilan sosial menjadi sangat abstrak bagi generasi milenial yang tidak punya kaitan emosional dengan masa ketika nilai-nilai itu dicetuskan.

Konsep kolonialisme, misalnya, yang merupakan rahim dari lahirnya Pancasila, lebih sulit dirasakan keberadaannya hari ini. Hal ini kontras dengan generasi SBX yang masih mengalami dampak langsung maupun tidak langsung dari masa revolusi melawan penjajah, termasuk eksploitasi dari pemilik modal, rendahnya upah, kesulitan mendapatkan pangan, kesehatan yang buruk, dan diskriminasi.

Di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kolonialismelah yang menjadi kenyataan terdekat dari tekanan global yang membuat bangsa mengembangkan prinsip berbangsa, moto bersama, tekad yang terpadu. Di Barat, konsep revolusi industri yang lebih membentuk nuansa politik mereka.

Pancasila menjadi ideologi bangsa karena apa yang dirumuskan oleh Pancasila terutama adalah perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan membangun bangsa dan negara atas dasar usaha sendiri. Watak inilah yang menjadi landasan Indonesia dalam berpolitik di dalam pergaulan internasional.

Kita dapat menelusurinya dalam risalah sidang-sidang internasional di PBB atau dalam konferensi internasional, termasuk dalam mendorong kemerdekaan di Asia Afrika, pembebasan rakyat Afrika Selatan dari politik Apartheid dan kemerdekaan Palestina.

Pancasila tidak lantas berhenti ketika Indonesia merdeka. Pro dan kontra terhadap Pancasila bukanlah hal baru. Setiap zaman melahirkan situasi dan kondisi baru yang menuntut kebaharuan Pancasila secara terus-menerus.

Kita perlu melihat bahwa pro dan kontra Pancasila dalam kehidupan politik adalah konsekuensi logis dari masyarakat dinamis yang tumbuh di lingkungan yang baru tersebut. Pro dan kontra juga adalah proses pendewasaan Indonesia menjalani fungsinya untuk memfasilitasi dan menjembatani semua pihak melalui demokrasi.

Ibaratnya rumah, tanah di mana rumah dibangun telah bergeser sehingga fondasi pun harus diperkuat, bahkan diperlebar, dan bila perlu ditambah tiang-tiang penopangnya agar rumah tidak miring dan rentan roboh. Seiring waktu kompleksitas persoalan bangsa tentu bukannya menjadi lebih sederhana, demikian pula derajat keberagamannya.

Namun, bukan berarti kemudian Pancasila tidak relevan karena ia adalah bagian dari sejarah penguatan komitmen bersama untuk saling peduli, saling menjaga, dan saling menguatkan. Pertanyaannya, hendaklah tentang apa saja hal lain yang perlu dimiliki bangsa ini supaya komitmen para pendiri bangsa untuk memayungi segenap anak bangsa dengan penghormatan akan ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan bangsa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial dapat terus terjaga.

Komitmen awal itu hendaknya tidak pernah berubah karena Pancasila adalah dasar kekuatan bangsa Indonesia selama ini, di dalam dan di luar negeri.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1802 seconds (0.1#10.140)