Mencabik Keberagaman dengan Hoax Provokatif
A
A
A
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
DAYA tahan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kodrat dan identitas bangsa Indonesia sedang mengalami ujian cukup berat. Penyebaran informasi bohong atau hoax provokatif terus menggempur eksistensi keberagaman SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), bahkan sudah mengarah pada upaya merusak sendi-sendi harmoni bangsa.
Demi terjaganya eksistensi NKRI, negara jangan diam.Tidak bisa dimungkiri bahwa hoax provokatif berkonten SARA akan selalu menjadi persoalan sangat sensitif bagi sebagian masyarakat. Sejak dulu, kini, dan di masa yang akan datang, isu yang berkaitan dengan SARA akan selalu sensitif karena masyarakat Indonesia sangat beragam.
Menurut data hasil sensus penduduk yang pernah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku di Indonesia yang berhasil didata sebanyak 1.128 suku bangsa. Akan tetapi, jumlahnya diperkirakan lebih besar dari angka itu karena pendataan belum menjangkau semua wilayah. Lalu, negara memberi ruang bagi masyarakat untuk menganut dan mengamalkan enam agama, meliputi Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta Agama Kong Hu Cu.
Kumpulan petualang politik dan petualang bisnis melihat keberagaman ini sebagai titik lemah negara. Dalam persepsi mereka, Indonesia bisa dirusak dengan menggoreng isu SARA. Cukup dengan menyebarkan hoax provokatif berkonten SARA, kekacauan akan terjadi. Bahkan, dengan hoax provokatif pula, konflik horizontal di akar rumput bisa direkayasa.
Berkat perkembangan teknologi, merekayasa konflik horizontal di Indonesia tidak lagi berbiaya mahal. Sekarang, ada sarana media sosial yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan berita bohong serta ujaran kebencian dan mengadu domba kelompok-kelompok di tengah masyarakat.
Kalau akhir-akhir ini masyarakat merasakan tingginya intensitas penyebaran hoax berkonten SARA, itu menjadi pertanda bahwa keberagaman Indonesia sedang menghadapi ujian. Ada yang sedang mencabik-cabik keberagaman Indonesia.
Mengacu pada fakta-fakta yang berkembang di ruang publik, bisa dirasakan bahwa ujian terhadap keberagaman itu sudah memasuki tahapan sangat serius. Contoh kasus ujian itu sangat beragam untuk dirinci. Paling banyak adalah kasus ujaran kebencian pada komunitas tertentu.
Namun, dari semua contoh kasus, yang paling berbahaya adalah hoax provokatif berkonten SARA. Karena hoax provokatif berkonten SARA itu akhir-akhir ini begitu tinggi intensitasnya, tidak berlebihan untuk membuat kesimpulan bahwa ada upaya berkesinambungan untuk memprovokasi dan mengadu domba antarkelompok masyarakat melalui penyebaran berita bohong itu.
Aktor intelektualnya tentu saja para petualang politik dan petualang bisnis yang mengerahkan sejumlah orang sebagai provokator. Upaya terbaru para provokator mengadu domba antarkelompok masyarakat tampak sangat jelas di Pontianak, Kalimantan Barat, pada Sabtu 20 Mei 2017.
Sepanjang hari itu, beredar video yang menggambarkan kerusuhan terjadi di Pontianak. Padahal, tidak ada peristiwa luar biasa di Pontianak pada akhir pekan itu. Memang, hari itu, dua kelompok masyarakat sedang melakukan kegiatan di ruang publik pada waktu yang sama di lokasi berbeda.
Sekumpulan warga Bela Ulama 205 melakukan kegiatan long march pada pukul 13.00 dan warga Dayak melakukan pawai kendaraan hias pada pukul 14.00, diikuti seluruh perwakilan kabupaten di Kalbar.
Namun, di media sosial beredar sejumlah video yang memuat informasi tentang terjadinya bentrokan antara dua kelompok itu di Pontianak. Kepolisian setempat pun harus buru-buru memastikan video-video itu hoax. Setelah ditelusuri, video yang viral sepanjang hari itu adalah video lama yang memuat informasi peristiwa tahun 2015.
Penyebaran video hoax itu jelas-jelas merupakan pekerjaan atau ulah provokator. Tujuannya pun jelas, mengadu domba antarkelompok masyarakat. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, negara tidak boleh diam. Polri dan intelijen negara harus merespons ulah para provokator itu.
Aksi para provokator menebar hoax provokatif berkonten SARA harus segera dihentikan karena sangat berbahaya. Polri dan BIN (Badan Intelijen Negara) dituntut mampu mendeteksi aksi para provokator itu.
Kemampuan Polri dan BIN mendeteksi aktivitas provokator penyebar hoax perlu dibuktikan dan ditunjukkan kepada masyarakat agar tumbuh efek jera. Dan, jika bukti-buktinya sudah mencukupi, para provokator itu harus dihadapkan pada proses hukum dengan ancaman sanksi hukum semaksimal mungkin.
Belajar dari Sejarah
Kecenderungan ini harus ditanggapi dengan sangat serius oleh Polri dan intelijen negara. Bagaimanapun, harus diakui bahwa situasi saat ini belum terlalu kondusif. Dalam situasi yang demikian, Polri dan intelijen negara harus responsif. Ingat, ada beberapa catatan tentang konflik horizontal yang berdarah-darah karena berlatar belakang masalah SARA.
Tepat 19 tahun silam, persisnya 12 Mei 1998, aksi mahasiswa memprotes penembakan empat mahasiswa Trisakti justru berbuntut panjang dan melebar. Ada yang mengeskalasi demonstrasi mahasiswa itu menjadi konflik antaretnis pribumi versus Tionghoa. Terjadi penjarahan dan pembakaran aset milik etnis Tionghoa.
Massa juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita etnis Tionghoa. Setahun kemudian, tepatnya Januari 1999, terjadi konflik bernuansa SARA di Ambon.
Tragis. Masyarakat di daerah lain hanya bisa menangis menyimak rentetan aksi kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa dan merusak hampir semua tatanan kehidupan di Ambon.
Banyak warga Ambon harus melalui tahun-tahun yang sulit untuk bisa menyembuhkan luka batin mereka.Dua tahun kemudian, tepatnya Februari 2001, terjadi tragedi Sampit. Tercatat sebagai konflik antarsuku paling berdarah di era Indonesia modern. Konflik ini dimulai 18 Februari di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, dan meluas ke daerah sekitarnya, termasuk Ibu Kota Palangka Raya.
Cuplikan tentang catatan konflik horizontal berlatar belakang isu SARA ini sengaja dikedepankan, dan juga sangat perlu, dengan tujuan agar generasi masa kini mau belajar dan bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi hoax provokatif berkonten SARA.
Siapa pun tidak ingin konflik berdarah seperti itu terulang. Maka, peran negara menyelenggarakan langkah-langkah preventif menjadi sangat penting dan strategis. Dalam konteks penyelenggaraan langkah-langkah preventif itulah kewaspadaan serta kesigapan Polri dan Intelijen negara sangat dibutuhkan.
Sebab, sekarang ini segala sesuatu bisa terjadi dengan begitu cepat; dalam hitungan menit atau detik. Tragedi Mei 1998, tragedi Ambon 1999, dan tragedi Sampit 2001 terjadi ketika hoax provokatif berkonten SARA belum dikenal. Kini, hoax provokatif berkonten SARA bisa menjadi faktor penggerak massa. Kalau negara, dalam hal ini Polri dan intelijen, tidak waspada dan tidak sigap, hal-hal yang tidak diinginkan bisa dengan cepat terjadi.
Artinya, pemerintah, DPR, Polri, dan Intelijen negara harus menerima kenyataan bahwa hoax provokatif telah berevolusi menjadi faktor yang sangat potensial mendestruksi stabilitas nasional dan ketertiban umum.
Karena besarnya ancaman dari hoax provokatif berkonten SARA itu maka penyikapannya pun tidak bisa lagi biasa-biasa saja atau ala kadarnya. Kini, hoax provokatif berkonten SARA harus direspons dengan sangat serius dan sangat tegas. Rakyat mengandalkan Polri dan BIN.
Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
DAYA tahan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kodrat dan identitas bangsa Indonesia sedang mengalami ujian cukup berat. Penyebaran informasi bohong atau hoax provokatif terus menggempur eksistensi keberagaman SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), bahkan sudah mengarah pada upaya merusak sendi-sendi harmoni bangsa.
Demi terjaganya eksistensi NKRI, negara jangan diam.Tidak bisa dimungkiri bahwa hoax provokatif berkonten SARA akan selalu menjadi persoalan sangat sensitif bagi sebagian masyarakat. Sejak dulu, kini, dan di masa yang akan datang, isu yang berkaitan dengan SARA akan selalu sensitif karena masyarakat Indonesia sangat beragam.
Menurut data hasil sensus penduduk yang pernah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku di Indonesia yang berhasil didata sebanyak 1.128 suku bangsa. Akan tetapi, jumlahnya diperkirakan lebih besar dari angka itu karena pendataan belum menjangkau semua wilayah. Lalu, negara memberi ruang bagi masyarakat untuk menganut dan mengamalkan enam agama, meliputi Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta Agama Kong Hu Cu.
Kumpulan petualang politik dan petualang bisnis melihat keberagaman ini sebagai titik lemah negara. Dalam persepsi mereka, Indonesia bisa dirusak dengan menggoreng isu SARA. Cukup dengan menyebarkan hoax provokatif berkonten SARA, kekacauan akan terjadi. Bahkan, dengan hoax provokatif pula, konflik horizontal di akar rumput bisa direkayasa.
Berkat perkembangan teknologi, merekayasa konflik horizontal di Indonesia tidak lagi berbiaya mahal. Sekarang, ada sarana media sosial yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan berita bohong serta ujaran kebencian dan mengadu domba kelompok-kelompok di tengah masyarakat.
Kalau akhir-akhir ini masyarakat merasakan tingginya intensitas penyebaran hoax berkonten SARA, itu menjadi pertanda bahwa keberagaman Indonesia sedang menghadapi ujian. Ada yang sedang mencabik-cabik keberagaman Indonesia.
Mengacu pada fakta-fakta yang berkembang di ruang publik, bisa dirasakan bahwa ujian terhadap keberagaman itu sudah memasuki tahapan sangat serius. Contoh kasus ujian itu sangat beragam untuk dirinci. Paling banyak adalah kasus ujaran kebencian pada komunitas tertentu.
Namun, dari semua contoh kasus, yang paling berbahaya adalah hoax provokatif berkonten SARA. Karena hoax provokatif berkonten SARA itu akhir-akhir ini begitu tinggi intensitasnya, tidak berlebihan untuk membuat kesimpulan bahwa ada upaya berkesinambungan untuk memprovokasi dan mengadu domba antarkelompok masyarakat melalui penyebaran berita bohong itu.
Aktor intelektualnya tentu saja para petualang politik dan petualang bisnis yang mengerahkan sejumlah orang sebagai provokator. Upaya terbaru para provokator mengadu domba antarkelompok masyarakat tampak sangat jelas di Pontianak, Kalimantan Barat, pada Sabtu 20 Mei 2017.
Sepanjang hari itu, beredar video yang menggambarkan kerusuhan terjadi di Pontianak. Padahal, tidak ada peristiwa luar biasa di Pontianak pada akhir pekan itu. Memang, hari itu, dua kelompok masyarakat sedang melakukan kegiatan di ruang publik pada waktu yang sama di lokasi berbeda.
Sekumpulan warga Bela Ulama 205 melakukan kegiatan long march pada pukul 13.00 dan warga Dayak melakukan pawai kendaraan hias pada pukul 14.00, diikuti seluruh perwakilan kabupaten di Kalbar.
Namun, di media sosial beredar sejumlah video yang memuat informasi tentang terjadinya bentrokan antara dua kelompok itu di Pontianak. Kepolisian setempat pun harus buru-buru memastikan video-video itu hoax. Setelah ditelusuri, video yang viral sepanjang hari itu adalah video lama yang memuat informasi peristiwa tahun 2015.
Penyebaran video hoax itu jelas-jelas merupakan pekerjaan atau ulah provokator. Tujuannya pun jelas, mengadu domba antarkelompok masyarakat. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, negara tidak boleh diam. Polri dan intelijen negara harus merespons ulah para provokator itu.
Aksi para provokator menebar hoax provokatif berkonten SARA harus segera dihentikan karena sangat berbahaya. Polri dan BIN (Badan Intelijen Negara) dituntut mampu mendeteksi aksi para provokator itu.
Kemampuan Polri dan BIN mendeteksi aktivitas provokator penyebar hoax perlu dibuktikan dan ditunjukkan kepada masyarakat agar tumbuh efek jera. Dan, jika bukti-buktinya sudah mencukupi, para provokator itu harus dihadapkan pada proses hukum dengan ancaman sanksi hukum semaksimal mungkin.
Belajar dari Sejarah
Kecenderungan ini harus ditanggapi dengan sangat serius oleh Polri dan intelijen negara. Bagaimanapun, harus diakui bahwa situasi saat ini belum terlalu kondusif. Dalam situasi yang demikian, Polri dan intelijen negara harus responsif. Ingat, ada beberapa catatan tentang konflik horizontal yang berdarah-darah karena berlatar belakang masalah SARA.
Tepat 19 tahun silam, persisnya 12 Mei 1998, aksi mahasiswa memprotes penembakan empat mahasiswa Trisakti justru berbuntut panjang dan melebar. Ada yang mengeskalasi demonstrasi mahasiswa itu menjadi konflik antaretnis pribumi versus Tionghoa. Terjadi penjarahan dan pembakaran aset milik etnis Tionghoa.
Massa juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita etnis Tionghoa. Setahun kemudian, tepatnya Januari 1999, terjadi konflik bernuansa SARA di Ambon.
Tragis. Masyarakat di daerah lain hanya bisa menangis menyimak rentetan aksi kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa dan merusak hampir semua tatanan kehidupan di Ambon.
Banyak warga Ambon harus melalui tahun-tahun yang sulit untuk bisa menyembuhkan luka batin mereka.Dua tahun kemudian, tepatnya Februari 2001, terjadi tragedi Sampit. Tercatat sebagai konflik antarsuku paling berdarah di era Indonesia modern. Konflik ini dimulai 18 Februari di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, dan meluas ke daerah sekitarnya, termasuk Ibu Kota Palangka Raya.
Cuplikan tentang catatan konflik horizontal berlatar belakang isu SARA ini sengaja dikedepankan, dan juga sangat perlu, dengan tujuan agar generasi masa kini mau belajar dan bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi hoax provokatif berkonten SARA.
Siapa pun tidak ingin konflik berdarah seperti itu terulang. Maka, peran negara menyelenggarakan langkah-langkah preventif menjadi sangat penting dan strategis. Dalam konteks penyelenggaraan langkah-langkah preventif itulah kewaspadaan serta kesigapan Polri dan Intelijen negara sangat dibutuhkan.
Sebab, sekarang ini segala sesuatu bisa terjadi dengan begitu cepat; dalam hitungan menit atau detik. Tragedi Mei 1998, tragedi Ambon 1999, dan tragedi Sampit 2001 terjadi ketika hoax provokatif berkonten SARA belum dikenal. Kini, hoax provokatif berkonten SARA bisa menjadi faktor penggerak massa. Kalau negara, dalam hal ini Polri dan intelijen, tidak waspada dan tidak sigap, hal-hal yang tidak diinginkan bisa dengan cepat terjadi.
Artinya, pemerintah, DPR, Polri, dan Intelijen negara harus menerima kenyataan bahwa hoax provokatif telah berevolusi menjadi faktor yang sangat potensial mendestruksi stabilitas nasional dan ketertiban umum.
Karena besarnya ancaman dari hoax provokatif berkonten SARA itu maka penyikapannya pun tidak bisa lagi biasa-biasa saja atau ala kadarnya. Kini, hoax provokatif berkonten SARA harus direspons dengan sangat serius dan sangat tegas. Rakyat mengandalkan Polri dan BIN.
(dam)