Wajah Janus Reformasi

Sabtu, 20 Mei 2017 - 08:30 WIB
Wajah Janus Reformasi
Wajah Janus Reformasi
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

REFORMASI sudah berjalan 19 tahun. Realitasnya, hingga saat ini reformasi masih berwajah Janus. Dalam mitologi Yunani Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua dan menghadap ke arah yang berlawanan. Satu wajah ke depan dan satunya lagi ke belakang. Dalam konteks penggambaran reformasi, satu wajah penuh harapan dan optimisme menuju ragam upaya perbaikan saat ini dan pada masa mendatang.

Wajah lainnya masih menampilkan kegundahan, kekecewaan, dan praktik politik pragmatis yang tak banyak berubah seperti di masa lalu, meskipun rezim sudah berganti-ganti. Seperti digambarkan Juan Linz dan Alfred Stephen dalam bukunya Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996), transisi dari satu rezim otoriter ke rezim baru, belum tentu menuju ke suatu pemerintahan demokratis dan masyarakat berkeadaban. Transisi yang tak sempurna ini, dapat membuahkan pola demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy).

PR Reformasi
Benar bahwa reformasi telah memberi dampak signifikan pada kebebasan pers (freedom of the press), kebebasan ber­ekspresi (freedom of expression), pemerintahan yang dituntut lebih transparan dan partisipasi publik dalam proses demokrasi. Reformasi juga telah memberi berkah dengan mulai bermunculannya para tokoh lokal dan nasional yang punya perhatian pada watak kepemimpinan transformatif serta mendedikasikan jabatan mereka untuk menghadirkan bonnum commune atau pewujudan kebaikan bersama.

Apakah demokrasi kita sudah berjalan ke arah yang tepat? Saya termasuk yang optimis, demokrasi kita berjalan ke arah yang tepat meskipun beragam persoalan menghadang. Keyakinan ini juga ditunjang dengan makin munculnya arus kuat rasio emansipatoris di ma­syarakat, meskipun di sana-sini masih kerap muncul sejumlah paradoks dan guncangan.

Dalam survei nasional SMRC terhadap 1.220 responden, pada 10-20 Desember 2015 dan dirilis awal 2016, menunjukkan data 72% masyarakat yang di­survei percaya bahwa Indonesia sedang berjalan ke arah yang benar, 15,2% ke arah salah, dan 12,7% tidak tahu. Artinya, secara umum warga masih per­caya bahwa demokrasi kita menuju arah yang masih kita kehendaki, meskipun butuh perawatan, “vaksin kekebalan tubuh” agar punya daya tahan di tengah banyak tantangan yang harus diatasinya.

Paling tidak, ada lima pekerjaan rumah (PR) di era reformasi yang harus dibenahi. Pertama, agenda kontestasi elektoral yang kerap menimbulkan sejumlah paradoks. Perburuan kekuasaan sering melahirkan banyak persoalan terlebih jika ditempuh dengan menghalalkan segala macam cara. Misalnya saja praktik kampanye dan propaganda menggunakan isu berdaya ledak tinggi, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ujaran kebencian yang menggejala di media sosial, berita palsu yang menjadi industri, provokasi yang merusak kohesi sosial dan politik akibat keterbelahan atau polarisasi dukungan. Praktik politik uang (money politic), politik kartel, dan collusive democracy berbasis politik kekerabatan dianggap biasa dan wajar apa adanya.

Mengemukanya sejumlah fenomena ini, bagi sebagian pihak dianggap sebagai praktik reformasi yang kebablasan. Sebenarnya bukan reformasinya yang kebablasan, melainkan cara orang mengisi reformasi.

Jika meminjam istilah dari Charles Alexis de Tocqueville dalam karya klasiknya De la Democratie en Amerique, membedakan dua aspek demokratisasi, yakni sistem demokratik dan etos demokratik. Sistem demokratik merupakan prosedur demokratik dan manajemen pemerintahan demokratik? termasuk di dalamnya terdapat sistem hukum demokratik, birokrasi pemerintahan demokratik, dan proses legislasi keputusan-keputusan publik secara demokratik. Sedangkan etos demokratik adalah formasi nilai-nilai demokratik di masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat warga (civil society) yang kokoh. Secara sistem demokratik, era reformasi jauh lebih baik di banding era otoritarian Orde Baru, meskipun etos demokratik masih sangat rentan saat dipraktikkan banyak kalangan.

Agenda kontestasi elektoral kita nyaris berhimpitan waktunya. Ada 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada tahun 2015. Pada tahun 2017, ada 101 daerah dan tahun 2018 ada 171 daerah. Pilkada akan terus digelar pada 2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada serentak nasional pada 2027. Pemilu legislatif dan pemilu presiden pun akan diselenggarakan dalam waktu bersamaan tahun 2019. Agenda politik ini kerap melahirkan persoalan bawaan, yakni polarisasi dukungan yang tidak seluruhnya dilandasi kedewasaan berpolitik.

Kedua, persoalan kapasitas kelembagaan dari institusi-institusi demokrasi pascarefor­masi. Saya setuju dengan istilah yang digunakan Yarif Hidayat dan Abdul Malik Gismar dalam Reformasi Setengah Matang (2010) menyebutkan bahwa salah satu kelemahan mendasar dari proses reformasi yang berlangsung sejak 1998 adalah karena gerakan perubahan lebih berfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara (state institutions). Sementara upaya membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tidak mendapatkan perhatian yang seimbang. Konsekuensinya, “kehadiran negara” dalam kehidupan sehari-hari (state in practice) kerap kali samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus cenderung “absen”.

Ketiga, masalah ekonomi dan kesejahteraan. Faktor ini biasanya terhubung langsung dengan kerangka referensi evaluatif dari khalayak atas proses reformasi. Banyak masyarakat tak cukup bersabar, jika ekonomi dan kesejahteraannya tak juga kunjung membaik. Keempat, soal penegakan hukum yang masih menunjukkan realitas obstruction of justice, yakni tindakan menghalang-halangi proses hukum. Kewibawaan hukum sering kali baru bisa dirasakan saat berurusan dengan masyarakat bawah dan menjadi mainan politik saat berhadapan dengan kelompok elite.

Kelima, penetrasi ideologi transnasional yang mewujud dalam gerakan organisasi terorisme, radikalisme, dan kelompok intoleran. Hal ini ditopang oleh teknologi seperti media dan media sosial yang memungkinkan perubahan pola dari collective action ke connective action. Sejumlah tantangan ini memerlukan kesadaran bersama untuk mengatasinya. Meskipun pemerintah punya peluang mengambil porsi lebih banyak dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Komunikasi Deliberatif
Karena begitu banyaknya tantangan di era reformasi, maka harus ada niat baik dan niat politik dari penguasa dan kelompok penyokongnya yang dimandati kuasa rakyat untuk menghadirkan praktik komunikasi deliberatif. Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Komunikasi bersifat deliberatif jika prosesnya mampu menghadirkan konsultasi publik atau diskursus publik. Ada upaya meningkatkan intensitas partisipasi warga dalam proses pembentukan aspirasi dan opini. Proses ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi deliberatif yang berprinsip Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).

Jangan sampai elite berkuasa berpikir, dirinya adalah kekuasaan dan apapun yang menjadi keinginan serta kepentingannya menjadi hukum yang harus ditaati dan dijalankan tanpa memberi ruang aspirasi dan partisipasi.

Reformasi sudah menuntun kita keluar dari masa silam yang penuh kegelapan era Orde Baru. Tirai pembuka reformasi pun sudah dibuka sejak tahun 1998. Hampir dua dekade kita menapaki jalan panjang reformasi, tentu bukan wajah Janus yang menghadap masa lalu yang kita inginkan, melainkan wajah Janus yang menatap masa depan penuh keyakinan. Reformasi bukanlah kebablasan melainkan perbaikan dan penguatan. Sistem demokratik dan etos demokratik harus saling me­nguatkan bukan saling menegasikan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0754 seconds (0.1#10.140)